SEKELUMIT FAIDAH DARI SYAIKH RABI’ TENTANG PERSELISIHAN DI DALAM MASALAH AL-JARH WAT TA’DÎL
Sebelum berangkat ke kantor, Saya sempat browsing ringan ke situs Kullas Salafiyîn, dan Saya tertarik dengan salah satu thread yang ditulis oleh Syaikh ‘Alî Hasan al-Halabî yang berjudul : “Kalimatu Haqqin li-d Duktûr Rabî’ al-Madkhalî Haula-l Ikhtilâfi fî-l Jarhi wat Ta’dîli… Walâkin!”(Perkataan Yang Benar dari DR Rabî’ al-Madkhalî tentang Perselisihan di dalam Jarh (celaan) dan Ta’dîl (pujian)… Akan tetapi?!). Demikianlah judul thread yang membuat Saya penasaran untuk membacanya. Karena faidahnya yang besar, maka Saya sempatkan untuk mengalihbahasakannya dan membagikannya ke dalam blog ini, semoga bisa dipetik manfaat dan faidahnya…
Syaikh Rabî’ al-Madkhalî –semoga Alloh membimbing beliau kepada kebaikan- berkata di dalam buku beliau yang berjudul “Bayânu Fasâdil Mi’yâr” (hal. 72-73/1417 H), ketika mendiskusikan status shahih atau dha’îf-nya hadits tentang membaca Âyat-ul Kursî selepas sholat, beliau mengatakan :
“Pendapat para ulama mengenai hadits ini ada beberapa macam, sebagai berikut :
- Ada diantara ulama yang menghukuminya sebagai hadits palsu (maudhu’), seperti Ibnul Jauzî, dan ini adalah pendapat yang terlampau keras.
- Ada yang menghukuminya sebagai hadits gharîb (asing) seperti ad-Dâruquthnî dan adz-Dzahabî.
- Ada yang men-shahih-kannya.
- Dan adapula yang meng-hasan-kannya.
Seluruh pendapat para ulama ini bermuara pada penilaian mereka kepada Muhammad bin Himyar.
Apabila seorang peneliti (hadits) me-rajih-kan status dha’îf (lemah)-nya, berangkat dari (kaidah) taqdîmul jarh (‘alat ta’dîl) [mendahulukan celaan daripada pujian], maka tidak boleh ia dicemooh kecuali oleh orang yang bodoh atau pengikut hawa nafsu.
Apabila ada peneliti lain yang meng-hasan-kannya, juga tidak boleh dicemooh, karena mereka berangkat dari (kaidah) taqdîmu-t ta’dîl ‘ala-l jarh (mendahulukan pujian daripada celaan).
Seharusnya dalam hal ini, tujuannya adalah untuk mencari kebenaran dan menjauhi hawa nafsu.
Karena orang yang mengikuti hawa nafsu (di dalam menghukumi) pasti berdosa, sedangkan orang yang bertujuan mencari kebenaran -setelah mengerahkan segala usaha-, adalah mujtahid, yang tetap diberi pahala baik benar ataupun salah.
Inilah manhaj yang dipegang oleh ahlul hadîts dan ahlus sunnah.
Tinggalkan para pengikut hawa nafsu! karena yang dominan pada perkataan dan sikap mereka adalah hawa nafsu. Sehingga buah apa yang mereka ucapkan adalah kebatilan yang tertolak di hadapan orang yang adil, berakal lagi obyektif (ahlul ‘adl wan nuhâ wal inshâf).” (Selesai kutipan ucapan Syaikh Rabî’ hafizhahullâhu sampai di sini.)
Faidah :
- Masalah apakah kaidah “jarh lebih didahulukan daripada ta’dîl” atau sebaliknya, adalah khilâf mu’tabar (perselisihan yang diakui) dari semenjak dahulu, sehingga yang berbeda pendapat tidak sepatutnya saling menghujat, mencemooh dan menjelekkan.
- Masalah jarh wa ta’dîl sendiri adalah permasalahan yang seringkali diliputi oleh perbedaan pendapat diantara para ulama. Sehingga sungguh naif apabila menganggap masalah jarh wa ta’dîl terhadap individu/person sebagai masalah manhaj yang harus disepakati dan menjalankan walâ’ dan barô` di atasnya.
- Para ulama hadits sendiri di dalam menilai perawi, bertingkat : ada yang mutasyaddid (terlampau kencang), mutasâhil (terlampau longgar) dan yang mu’tadil (pertengahan). Maka tentu saja para ulama zaman ini ketika menilai person/individu tertentu tidaklah lepas dari 3 sifat ini. Yang paling selamat adalah bersama ulama senior, seperti Ibn Baz, Albanî, Ibn ‘Utsaimîn, al-‘Abbad, dll. Karena mereka tidak syak lagi adalah munshifin.
- Acapkali, dalam masalah ta’shil kita sepakat dan sama, namun di dalam masalah tathbîq (penerapan) kita ada perbedaan. Dalam hal ini hendaknya yang dikedepankan adalah munâshohah (saling menasehati) untuk menetapi kebenaran dan kesabaran, bukannya saling mentahdzir, menghujat, mencela dls. Apalagi sampai menuduh bid’ah dan sesat –wal’iyadzubillâh-. Karena sikap-sikap seperti ini mudah disusupi syaithân dan dikuasai oleh hawa nafsu.
- Faidah berikutnya silakan dipetik sendiri.
Semoga Allâh memberkahi Syaikh Rabî’ dan meluruskan langkah beliau kepada ketaatan, memberikan taufiq dan hidayah-Nya dan memperpanjang usia beliau di dalam kebaikan, serta mengampuni segala kesalahan dan ketergelinciran beliau. Dan semoga Allâh memberkahi Syaikh ‘Alî al-Halabî dan menganugerahkan kesabaran kepada beliau, memberikan keistiqomahan di atas manhaj yang wasath ini dan memperpanjang usia beliau di dalam dakwah dan jihâd. Âmîn ya Robbal ‘Âlamîn.
NASKAH ASLI
قال –وفّقه الله إلى كل خير-في كتابه «بيان فساد المعيار»(72-73-سنة1417هـ) –مناقشاً حديثَ قراءة آية الكرسي دُبُر الصلاة – صحّةً وضعفاً-:
«هذا الحديث مما تختلف فيه أنظارُ العلماء ؛ فهو -كما ترى- :
1 ـ من العلماء مَن حكم عليه بالوضع -كابن الجوزي- ، وهذا تشدُّد.
2 ـ ومنهم مَن استغربه -كالدارقطني والذهبي- .
3 ـ ومنهم مَن صحّحه
4- ومنهم مَن حسّنه .
وكلُّ ذلك راجعٌ إلى أحكامهم على محمد بن حِمْيَر :
* فإذا ترجّح للباحث ضعفُه -بناءً على تقديم الجرح فيه- : فلا يُشَنِّعُ عليه إلا أهلُ الجهل والهوى.
* وإذا حسَّنه آخرُ : لا يُشَنَّعُ عليه؛ فإن ذلك بناءً منه على تقديم التعديل على الجرح .
واللازمُ -في هذا- هو : قصد الحقّ ، وتجنُّب الهوى .
فصاحبُ الهوى : آثمٌ ، وقاصدُ الحقِّ المجتهدُ ـ بعد بذل الوُسع ـ : مأجورٌ -أصاب أو أخطأ- .
هذا ما عليه أهلُ الحديث والسنة.
وَدَعْ عنك أهلَ الأهواء ؛ فإن الغالبَ على أقوالهم ومواقفهم الهوى، فتكونُ النتيجةُ أنّ ما يقولونه باطلٌ مرفوضٌ عند أهل العدل والنُّهى والإنصاف ».