KENAPA PERLU MENYEBUTKAN SUMBER???
Jawabannya adalah :
“التثبت من الأدلة وذكر المصدر ونسب الكلام إلى قائله”
Untuk menverifikasi bukti (dalil) dan menyebutkan sumber serta menyandarkan ucapan kepada pengucapnya
لهذا نجد سلفنا الصالح و علماءنا و مشايخنا حرصون على ذكر المصدر سواءا في كتبهم أو مقالاتهم …
Karena itulah para salaf kita terdahulu, termasuk ulama dan masyaikh kita, bersemangat menyebukan sumber di dalam buku dan tulisan-tulisan mereka…
* Imam Ibnu Abdil Barr (w.463 H.) rahimahullåhu berkata :
( يقال إن من بركة العلم أن تضيفَ الشيء إلى قائله ) .
“Dikatakan bahwa sesungguhnya termasuk keberkahan ilmu adalah menyandarkan sesuatu kepada pengucapnya”
[Jâmi’ Bayânil ‘Ilmi wa Fadhlihi II/922, dengan tahqîq Abul Asybal al-Azharî. Penerbit Dâr Ibnil Jauzî. KSA, Cet 1, 1414/1994]
* Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah (w. 728 H.) rahimahullâhu berkata :
( فمن اراد ان ينقل مقالة عن طائفة فليسم القائل والناقل ، وإلا فكل أحد يقدر على الكذب )
Barangsiapa yang bermaksud menukilkan suatu ucapan dari suatu kaum, maka hendaknya menyebutkan siapa pengucapnya dan penulisnya. Karena apabila tidak, maka setiap orang akan bisa berdusta.
[Minhâjus Sunnah an-Nabawiyah fî Naqdhi Kalâmi asy-Syî’ah al-Qodariyah, II/518 dengan tahqîq Muhammad Rasyâd Sâlim. Penerbit Universitas Islam Imam Muhammad bin Su’ud, cet 1, 1406/1986]
* Imam Ibnul Mubârok (w. 181 H.) rahimahullâhu berkata :
( الإسناد من الدين ولولا الإسناد لقال مَنْ شاء ما شاء )
“Sanad itu bagian dari agama. Jikalau tidak ada sanad, maka setiap orang akan berbicara sekehendaknya”
[al-Minhaj karya an-Nawawi, 1/87, Bâb Bayân anna al-Isnâd minad Dîn. Penerbit al-Mathba’ah al-Mishriyah bil Azhar, cet. i/1347/1929]
* Imam an-Nawawi (w. 676 H.) rahimahullâhu berkata :
( ومن النّصيحة أن تضاف الفائدة الّتي تستغرب إلى قائلها ، فمن فعل ذلك بورك له في علمه وحاله ، ومن أوهم ذلك وأوهم فيما يأخذُ من كلام غيره أنه له ، فهو جدير أن لا يُنْتفَع بعلمه ، ولا يباركُ له في حاله ولم يزل أهل العلم والفضل على إضافة الفوائد إلى قائلها نسأل الله تعالى التوفيق لذلك دائما ).
“Diantara nasehat (ilmiyah) adalah menyandarkan suatu faidah yang menarik kepada pengucapnya. Siapa yang melakukan hal ini, maka akan diberkahi ilmunya dan keadaannya. Dan barangsiapa yang menyamarkan (membuat rancu) tentang perkataan orang lain yang ia bawakan (seakan-akan) itu perkataannya, maka layak kiranya jika ilmunya tidaklah bermanfaat dan keadaannya tidaklah diberkahi. Para ulama dan pemilik keutamaan selalu menyandarkan suatu faidah kepada pengucapnya. Kami memohon kepada Allâh taufiq-nya selalu di dalam perkara ini.”
[Bustânul ‘Ârifîn hal. 16. Penerbit Dâr ar-Rayyan lit Turâts]
* Syaikh al-Mu’allimî (w. 1386 H.) rahimahullâhu berkata :
( قيل إن كل فائدة لم تُسند إلى صاحبها فهي لقيطة كالطفل المنبوذ الذي لا يُعرف أبوه في المنتسبين ).
“Dikatakan bahwa sesungguhnya setiap faidah yang tidak disandarkan kepada pengucapnya maka ia seperti anak pungut, yaitu anak yang dipungut sementara tidak diketahui siapa bapaknya biologisnya secara nasab.”
[Âtsâr al-Mu’allimî I/49. Peberbit Dâr ‘Alam al-Fawâid lin Nasyri wat Tawzî. Cet. 1, 1434.]
* Imam as-Sakhôwî (w. 902 H.) rahimahullâhu berkata :
( صح عن سفيان الثوري أنه قال ما معناه: نسبة الفائدة إلى مُفيدها من الدقة في العلم وشكره، وأن السكوت عن ذلك من الكذب في العلم وكفره ).
“Telah valid dari Sufyân ats-Tsauri bahwa beliau berkata yang maknanya : menyandarkan faidah kepada sang pemberi faidah termasuk kecermatan di dalam ilmu dan bentuk apresiasi kepadanya. Sementara mendiamkannya (tidak menyebutkannya) termasuk kedustaan di dalam ilmu dan bentuk kekufuran kepadanya.”
[Al-Jauhâr wal Duror fî Tarjamati Syaikhil Islâm Ibni Hajar karya as-Sakhôwî I/181. Penerbit Dâr Ibni Hazm lith Thibâ’ah wan Nasyri wat Tawzî’, Beirut, Libanon. Cet. 1, 1419/1999].
* Imam al-Qurthubî (w. 671 H.) rahimahullâh berkata di dalam muqoddimah tafsir beliau :
وشرطي في هذا الكتاب : إضافة الأقوال الى قائليها، والأحاديث الى مصنفيها، فإنه يقال من بركة العلم أن يضاف القول الى قائله
“Ketentuanku di dalam buku ini adalah, menyandarkan perkataan yang ada kepada pengucapnya dan menyandarkan hadits-haditsnya kepada penyusunnya. Karena sesungguhnya dikatakan bahwa, termasuk keberkahan ilmu adalah menyandarkan perkataan kepada pengucapnya.”
[Al-Jâmi’ li Ahkâmil Qur`ân I/3. Penerbit Dâr al-Kutub al-Mishriyah, Kairo. Cet. II, 1384/1964]
* Syaikh Ibnu ‘Utsaimîn (w. 1421 H.) rahimahullâhu berkata :
( إننا في عصر كثُر فيه المتكلمون بغير علم ، ولهذا يجب على الإنسان ألا يعتمد على أي فتيا إلا من شخص معروف موثوق ).
“Sesungguhnya kita berada di suatu zaman yang banyak orang berbicara tanpa ilmu. Karena itulah wajib bagi setiap orang untuk tidak bersandar kepada suatu fatwa apapun melainkan dari orang yang sudah dikenal lagi dipercaya.”
[Liqô al-Bâb al-Maftûh 16/32]
* Syaikh al-Albânî (w. 1420 H) rahimahullâhu berkata ketika memberikan sanggahan kepada sebagian orang yang memplagiat jerih payah beliau di dalam melakukan tahqîq (penelitian) dan takhrîj tanpa menyandarkannya kepada beliau :
“ولعل الشيخ……….يذكر قول العلماء : ( من بركة العلم عزو كل قول إلى قائله .!لأنّ في ذلك ترفّعا عن التزوير الذي أشار إليه النبيّ صلّى الله عليه وسلّم في قوله : “المتشبّع بما لم يعط كلابس ثوبي زور ” متفق عليه…” انتهى .
“Mungkin Syaikh [yang melalukan plagiat, pent]…. Menyebutkan perkataan ulama, “diantara keberkahan ilmu adalah menyandarkan segala ucapan kepada pengucapnya”, karena di dalam perbuatannya ini mengandung sikap meremehkan terhadap penipuan sebagaimana yang telah diisyaratkan Nabi ﷺ di dalam sabdanya : “orang-orang yang mengaku-ngaku memiliki sesuatu yang tidak dimilikinya, seperti orang yang mengenakan dua lembar pakaian kedustaan” Muttafaq alaihi…”
[Muqoddimah Tahqîq al-Kalim ath-Thayyib hal. 11]
Dialihbahasakan oleh @abinyasalma