SHAHIHKAH “PERLAKUKAN ANAK SEPERTI RAJA DI 7 TAHUN PERTAMA, SEBAGAI TAWANAN DI 7 TAHUN KEDUA, DAN SEBAGAI SAHABAT DI 7 TAHUN KETIGA”

 Jan, 15 - 2022   no comments   ParentingSorotan


SHAHIHKAH “PERLAKUKAN ANAK SEPERTI RAJA DI 7 TAHUN PERTAMA, SEBAGAI TAWANAN DI 7 TAHUN KEDUA, DAN SEBAGAI SAHABAT DI 7 TAHUN KETIGA”

Banyak yang bertanya kepada saya tentang quote yang disandarkan kepada Nabi ﷺ dan Sayyidina ‘Ali radiyallâhu ‘anhu, yang seringkali disingkat dengan rumus mendidik 7×3, apakah shahih atau tidak?

PERTAMA : PENYANDARAN KEPADA NABI ﷺ

Dari hasil penelusuran saya, setidaknya ada 3 riwayat yang disebutkan dari Nabi ﷺ :

RIWAYAT PERTAMA

Diriwayatkan dalam Kitab al-Iyâl karya Ibnu Abid Dunya, hadits 431, Bâb al-Ightibâthu biqillatil ‘Iyâl

Mengabarkan kepada kami ‘Ali bin Harb ath-Thâ’î, menceritakan kepada kami al-Mu’âfâ bin al-Minhâl, menceritakan kepada kami al-Walid bin Sa’id ar-Raba’î, dari Abî Jabîroh, dari ayahnya, dari kakeknya Abî Jabîroh bin adh-Dhahhak yang berkata : Nabi ﷺ bersabda :

الْوَلِيدُ سَيِّدٌ سَبْعَ سِنِينَ وَعَبْدٌ سَبْعَ سِنِينَ وَوَزِيرٌ سَبْعَ سِنِينَ

“Anak itu adalah tuan (raja) di usia 7 tahun (pertama), dan hamba (pelayan) di usia 7 tahun (kedua) dan wazir (penasehat) di usia 7 tahun (ketiga).”

STATUS PERAWI :

Abû Jabîroh bin adh-Dhahhak diperselisihkan status sahabatnya.

Ayah Abû Jabîroh statusnya majhûl (tidak dikenal)

Abû Jabîroh sendiri statusnya matrukul hadîts

Al-Walîd bin Sa’îd ar-Robâ’î statusnya dho’îful hadîts.

Al-Mu’âfâ bin al-Minhâl statusnya majhûl al-hâl.

KESIMPULAN : hadits ini maudhu’ (palsu)

RIWAYAT KEDUA

Diriwayatkan oleh ath-Thabrani dalam al-Mu’jam al-Awsath no 6270

Menceritakan kepada kami Abdus al-Hâsyimî. Dia berkata, menceritakan kepada kami ‘Alî bin Harb al-Maushulî. Dia berkata : menceritakan kepada kami al-Mu’âfâ bin al-Minhâl al-Armanî. Telah menceritakan al-Walîd bin Sa’îd ar-Roba’î dari Sa’îd bin Jabîrah bin Mahmûd bin Abî Jabîrah al-Anshôrî, dari ayahnya, dari kakeknya Abî Jabîrah, yang berkata : Rasulullah ﷺ bersabda :

الْوَلَدُ سَيِّدٌ سَبْعَ سِنِينَ ، وَعَبْدٌ سَبْعَ سِنِينَ ، وَوَزِيرٌ سَبْعَ سِنِينَ

“Anak itu adalah tuan (raja) di usia 7 tahun (pertama), dan hamba (pelayan) di usia 7 tahun (kedua) dan wazir (penasehat) di usia 7 tahun (ketiga).”

STATUS PERAWI :

Abû Jabîroh bin adh-Dhahhak diperselisihkan status sahabatnya.

Ayah Abû Jabîroh statusnya majhûl (tidak dikenal)

Zaid bin Jabîroh bin Mahmûd bin Abî Jabîroh statusnya adalah matrûkul hadits.

Al-Walîd bin Sa’îd ar-Robâ’î statusnya dho’îful hadîts.

Al-Mu’âfâ bin al-Minhâl statusnya majhûl al-hâl.

KESIMPULAN : hadits ini maudhu’ (palsu)

RIWAYAT KETIGA

Dirwayatkan oleh Abu Nu’aim di dalam Ma’rifatus Shahabah no 6221

Menceritakan kepada kami Abdullâh bin Muhammad bin Ja’far, menceritakan Muhammad bin ‘Umar, menceritakan Ishâq bin al-Faidh, menceritakan al-Qâsim bin al-Hakam al-Uronî, dari Mujâsyi’ bin ‘Amr bin Hassân al-Azdî, dari al-Muâfâ bin al-Minhâl, dari Zaid bin Jabîroh bin Mahmûd, dari ayahnya, dari kakeknya Abî Jabîroh berkata : Rasulullah ﷺ bersabda :

الْوَلَدُ سَبْعَ سِنِينَ سَيِّدٌ أَمِيرٌ ، وَسَبْعَ سِنِينَ عَبْدٌ أَسِيرٌ ، وَسَبْعَ سِنِينَ أَخٌ وَزِيرٌ

“Anak itu di usia 7 tahun (pertama) adalah tuan raja, dan usia 7 tahun (kedua) adalah pelayan dan tawanan, dan di usia 7 tahun (ketiga) adalah saudara dan wazir (penasehat).”

STATUS PERAWI :

Abû Jabîroh bin adh-Dhahhak diperselisihkan status sahabatnya.

Ayah Abû Jabîroh statusnya majhûl (tidak dikenal)

Zaid bin Jabîroh bin Mahmûd bin Abî Jabîroh statusnya adalah matrûkul hadits.

Al-Mu’âfâ bin al-Minhâl statusnya majhûl al-hâl.

Mujâsyi’ bin ‘Amr bin Hassân al-Azdî statusnya muttaham bil wadh’i (tertuduh memalsukan hadits)

KESIMPULAN : hadits ini maudhu’ (palsu)

Para ulama ahli hadits nyaris bersepakat tentang dhaifnya, bahkan palsunya hadits-hadits ini. Karena itu tidak boleh MENYANDARKANNYA kepada Nabi ﷺ.

KEDUA : PENYANDARAN KEPADA SAYYIDINA ‘ALI RADHIYALLAHU ANHU

Dari hasil penelusuran saya hampir semua riwayat yang disandarkan kepada Sayyidina Ali bermuara kepada sumber-sumber Syiah. Dan sebagaimana kita tahu bahwa periwayatan Syiah bagi ahli sunnah adalah tertolak, karena selain metodologi yang berbeda, juga karena Syiah dikenal sebagai kaum paling pendusta.

Karena itu tidak layak menyandarkan perkataan ini kepada Sayyidina ‘Ali radiyallâhu ‘anhu, terlebih tidak ada sumber dan sanad yang valid lagi kredibel.

HIKMAH TIBET (TIBETIAN WISDOM)

Ternyata, konsep 7×3 yang disandarkan kepada Sayyidina ‘Ali ini serupa dengan Tibetian Wisdom di dalam mendidik anak. Bedanya konsepnya adalah 5×4 :

  1. 5 tahun pertama = treating children like king/queen (memperlakukan anak seperti raja/ratu)
  2. 5 tahun kedua = treating them like slave (memperlakukan anak seperti budak/pelayan)
  3. 5 tahun ketiga = treating them equal to you (memperlakukan anak sama seperti anda/seperti teman/sahabat)
  4. 5 tahun keempat = treating them more respectful (memperlakukan mereka lebih hormat lagi)

Sumber : 4 Stages of Raising Children According to Tibetan Wisdom / Bright Side

MENEMPATKAN QUOTE MENDIDIK ANAK SEBAGAI RAJA, TAWANAN DAN KAWAN

Kaidah ini tidak boleh diterima secara mutlak dan juga tidak ditolak secara mutlak. Semua dikembalikan sesuai dengan perincian dan praktiknya.

Pertama, tidak boleh menyandarkan quote ini kepada Nabi ﷺ dan Sayyidina ‘Ali radhiyallahu ‘anhu kecuali bisa dibuktikan dengan sanad yang valid (shahih) dan otentik.

Kedua, quote ini boleh diambil dan ditolak, sebab tidak berasal dari Nabi ﷺ, dan tidak pula dari sahabat ataupun para salaf. Silakan diambil selama bermanfaat dan dipraktikkan dengan cara tidak bertentangan dengan Islam. Namun, harus ditolak apabila dalam praktiknya menyelisihi kaidah dan prinsip Islam.

Ketiga, memperlakukan anak sebagai raja, tawanan/pelayan dan sahabat, maka perlu diperhatikan apakah melanggar koridor syar’i tidak? Apakah sesuai dengan konsep hikmah atau tidak? Sesuai dengan perkembangan anak atau tidak? Batasan perlakuannya seperti apa? Dst. Ini semua harus jelas…

Sebab memperlakukan anak seperti raja itu bias, karena bisa mengandung unsur pemanjaan dan pembiaran. Demikian pula memperlakukan anak seperti tawanan juga bias, bisa mengandung unsur kezhaliman dan pemaksaan. Karena itu, tataran praktik quote ini yang krusial di dalam menilai kesesuaiannya dengan kaidah Islam atau tidak…

Keempat, quote yang lebih tepat dan sesuai dengan ilmu perkembangan anak adalah : la’ib ibnaka sab’an wa addibhu sab’an wa shoohibhu sab’an (bermain dengan anakmua di 7 tahun pertama, didik di 7 tahun kedua dan bersahabatlah di 7 tahun ketiga).

Kelima, Nabi sudah memberikan isyarat memperlakukan dan mendidik anak sesuai dengan usianya dalam hadits tentang perintah sholat. Maka, berpijak dan beranjak dari hadits ini tentunya lebih utama dan lebih baik.

Wallahu a’lam bish showab.

@abinyasalma


Related articles

Leave a Reply

Your email address will not be published. Fields with * are mandatory.