IJMA HAJR AHLUL BIDAH?



IJMA HAJR AHLUL BIDAH?

Oleh: Abdullah Zaen

Metode menyikapi orang yang menyimpang dari ajaran Islam ada dua. Yaitu: metode talîf dan metode hajr. Dua metode ini dibenarkan di dalam syariat Islam dan pernah diterapkan kedua-duanya oleh Rasulullah shallallahu alaihi wasallam.

Metode talîf adalah: pendekatan terhadap orang yang bersalah. Dengan bermuka manis, berkunjung, menjawab salam, menasehati dengan lemah lembut dan sikap-sikap simpatik lainnya yang mendekatkan orang yang bersalah terhadap diri orang yang akan menasehati. Sehingga dia menerima nasehat yang disampaikan.(1)

Metode hajr adalah: Memutus hubungan dengan orang yang bersalah. Tidak salam, tidak senyum, tidak mengunjunginya dan sikap-sikap keras lainnya yang diharapkan bisa memberikan pelajaran terhadap orang yang bersalah. Sehingga dia kembali kepada al-haq.(2)

Para ulama telah menjelaskan bahwa dua metode ini sama-sama disyariatkan di dalam agama Islam dan pernah diterapkan kedua-duanya oleh Nabi shallallahu alaihi wasallam.(3)

? Ijma Hajr Ahlul Bidah

Setelah kita mengetahui bahwa dua metode ini sama-sama dibenarkan syariat; karena keduanya pernah diterapkan Nabi shallallahu alahi wasallam, mungkin akan timbul pertanyaan dari sebagian kita, “Apa maksud dari atsar-atsar ulama salaf yang menerangkan telah terjadinya ijmâ atas penghajran ahlul bidah?”.(4)

Jawabannya: maksud para ulama salaf berijmâ untuk hajr ahlul bidah adalah: bahwa mereka sepakat hajr ahlul bidah dibenarkan di dalam agama Islam, karena hal tersebut berlandaskan dalil-dalil yang shahih.(5)

Bukan maksudnya bahwa seluruh individu ahlul bidah tanpa terkecuali harus dihajr.

Sebab:

1⃣ Kalau ditafsirkan demikian maka akan bertabrakan dengan hadits-hadits shahih yang jelas-jelas menunjukkan bahwa Nabi shallallahu alaihi wasallam pun pernah mentalîf orang-orang yang memiliki penyimpangan-penyimpangan yang tidak ringan. Dan ijmâ tidak mungkin bertabrakan dengan dalil.

2⃣ Para salafus shâlih dan ulama Ahlus Sunnah -dari dulu hingga sekarang- tidak memahami dari atsar-atsar tersebut kewajiban untuk menghajr seluruh individu ahlul bidah tanpa terkecuali. Buktinya mereka sendiri -termasuk yang menukil ijma tersebut- terkadang mentalîf sebagian ahlul bidah, atau memerintahkan dan mengizinkan orang lain untuk mentalîf ahlul bidah, atau membedakan antara ahlul bidah yang berhak dihajr dengan ahlul bidah yang tidak berhak dihajr.

Di bawah ini praktek nyata dari penjelasan di atas:

➖Ibnu Abbâs radhiyallahuanhuma (w. 68 H) pernah mentalîf ahlul bidah dari kalangan pengikut sekte Khawârij. Ceritanya: setelah beliau meminta izin kepada khalifah Ali bin Abî Thâlib radhiyallahu anhu, beliau pulang ke rumahnya untuk berganti pakaian dengan baju paling indah yang ia miliki dan menyisir rambutnya, lalu beliau menuju ke rumah orang-orang Khawârij. Sesampainya di sana beliau mengucapkan salam lalu mengajak mereka untuk berdiskusi dengan kata-kata yang lemah lembut. Hingga akhirnya dua puluh ribu orang di antara mereka sadar dan kembali kepada al-haq, sedangkan empat ribu di antara mereka tetap di dalam keyakinan yang sesat.(6)

➖Imam Abdurrahmân al-Auzâî rahimahullâh (w. 157 H) membedakan antara ahlul bidah yang yang terang-terangan memamerkan bidahnya, dengan ahlul bidah yang sembunyi-sembunyi dalam melakukan bidahnya. Menurut beliau ahlul bidah model pertama berhak untuk disikapi dengan keras, sedang model kedua tidak seyogyanya untuk disikapi demikian.(7)

➖Imam Abdul Azîz bin Yahyâ al-Kinânî asy-Syâfiî rahimahullâh (w. 240 H) ketika beliau mentalîf gembong sekte Jahmiyyah: Bisyr al-Mirrîsî, di saat beliau mengajaknya berdiskusi di depan khalifah al-Mamûn di istana kerajaannya.(8)

➖Imam Ahmad bin Hanbal rahimahullâh (w. 241 H) ketika beliau membolehkan untuk menjawab salam pengikut sekte Murjiah.(9) Juga ketika beliau menerima kedatangan Abdurrahmân bin Shâlih al-Azdî, seorang pengikut sekte Râfidhah, ke rumahnya, lalu menyambutnya dengan ramah dan mengajak untuk berdiskusi.(10) Juga ketika beliau mengajak Abû Imrân Mûsâ bin Hizâm at-Tirmidzî seorang pengikut sekte Murjiah untuk berdiskusi, hingga dia kembali kepada al-haq dan hingga akhir wafatnya terus membela mazhab Ahlus Sunnah.(11) Padahal Imam Ahmad adalah salah satu ulama yang menukil ijmâ atas penghajran ahlul bidah.

➖Imam Ibn Abdil Bar al-Mâlikî rahimahullâh (w. 463 H) ketika beliau menjelaskan bahwa hajr itu tidak mutlak diterapkan kepada semua ahlul bidah, akan tetapi hanya diterapkan kepada orang-orang yang diharapkan akan jera akibat hajr tersebut atau jika kita merasa khawatir terpengaruh dengan bidahnya.(12)

➖Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullâh (w. 728) yang dengan gamblang menjelaskan bahwa kita memiliki dua metode dalam menyikapi ahlul bidah: metode talîf dan metode hajr.(13) Dan penerapan beliau metode talîf tatkala melayani ahlul bidah di zamannya untuk berdiskusi seputar kitab beliau al-Aqîdah al-Wâsithiyyah di depan Sultan al-Afram.(14) Juga ketika beliau mengajak diskusi para gembong tarekat Rifâiyah di desa al-Bathâih Irak.(15)

➖Syaikh al-Allâmah Abdul Azîz bin Bâz rahimahullâh (w. 1420 H) ketika beliau menjelaskan bahwa dalam pemilihan metode menyikapi ahlul bidah, kita melihat mana yang lebih cocok untuk mereka; jika yang lebih cocok adalah talîf maka kita memilih metode itu, jika tidak maka kita memilih metode hajr.(16)
➖Syaikh al-Muhaddits Muhammad Nâshiruddîn al-Albânî rahimahullâh (w. 1420 H) yang mewasiatkan kepada para salafiyyîn agar mereka mendakwahi musuh-musuh dakwah salafiyah dengan penuh hikmah.(17) Juga ketika beliau dengan penuh kesabaran melayani orang-orang takfîriyyîn (kelompok yang mudah mengkafirkan kaum muslimin seperti Surûriyyah dan Quthbiyyah) untuk berdiskusi selama berhari-hari. Terkadang beliau menjadi makmum di belakang mereka, bahkan terkadang beliau mengalah untuk mengunjungi rumah mereka.(18)

➖Syaikh al-Allâmah Muhammad bin Shâlih al-Utsaimîn rahimahullâh (w. 1421 H) ketika menjelaskan bahwa hajr atau talîf ahlul bidah kembalinya adalah kepada pertimbangan maslahat dan madharat.(19) Juga ketika beliau memotivasi kaum muslimin yang hidup berdampingan dengan orang-orang Râfidhah agar berusaha untuk menasehati mereka dan menerangkan al-haq.(20) Beliau juga melarang kita untuk mengusir orang-orang Râfidhah jika shalat di masjid Ahlus Sunnah, sambil kita terus berusaha menasehati mereka.(21) Beliau juga menasehati agar kita melihat siapa di antara pengikut sekte Râfidhah yang diprediksikan akan menerima al-haq, lalu kita undang dia ke rumah kita, kemudian dinasehati dengan penuh hikmah.(22) Beliau juga memberikan wejangan kepada para guru yang hidup di negeri yang di dalamnya Ahlus Sunnah berbaur dengan ahlul bidah, hendaknya mereka berusaha sekuat tenaga mentalîf murid-murid yang berasal dari keluarga ahlul bidah dan mengajak mereka kepada al-haq.(23) Bahkan beliau sendiri berusaha untuk mempraktekkan apa yang beliau nasehatkan kepada umat, dengan mentalîf tokoh-tokoh pengusung pemikiran Surûriyyah selama bertahun-tahun.(24)

➖Syaikh al-Muhaddits Muqbil bin Hâdî al-Wâdi’î rahimahullâh (w. 1422 H) ketika mengharapkan agar ada sebagian ikhwah yang menta’lif Dr. Safar al-Hawâlî dengan harapan supaya dia rujuk kepada al-haq.(25)

? Ini Bukan Mudâhanah!

Perlu diketahui bahwa bermuka manis serta berlemah lembut kepada ahlul bidah dengan tujuan talîf sama sekali bukan termasuk mudâhanah, akan tetapi ini termasuk mudârâh yang diperbolehkan, bahkan terkadang disyariatkan dalam Islam.

Mudâhanah merupakan salah suatu sikap tercela yang dilarang di dalam agama Islam. Allah ta’âlâ berfirman,

(وَدُّوْا لَوْ تُدْهِنُ فَيُدْهِنُوْنَ(.

Artinya: “Mereka (orang-orang kafir) menginginkan supaya kamu (wahai Muhammad) bermudahanah, lalu mereka bermudahanah (pula kepadamu)”. QS. Al-Qalam: 9.

Sedangkan mudârâh adalah salah satu sikap terpuji(26), di mana Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam pun pernah menerapkannya. Dalam satu hadits yang diriwayatkan Imam Bukhârî dan Muslim disebutkan:

عَنْ عُرْوَةَ بْنَ الزُّبَيْر رحمه الله أَنَّ عَائِشَةَ أَخْبَرَتْهُ أَنَّهُ اسْتَأْذَنَ عَلَى النَّبِيِّ صلى الله عليه وسلم رَجُلٌ فَقَالَ: (ائْذَنُوْا لَهُ, بِئْسَ ابْن الْعَشِيْرَة أَوْ بِئْسَ أَخُو الْعَشِيْرَة), فَلَمَّا دَخَلَ أَلاَنَ لَهُ الْكَلاَمَ, فَقُلْتُ لَهُ: (يَا رَسُوْلَ اللهِ قُلْتَ مَا قُلْتَ ثُمَّ أَلَنْتَ لَهُ فِي الْقَوْلِ؟) فَقَالَ: (أَيْ عَائِشَة, إِنَّ شَرَّ النَّاسِ مَنْـزِلَةً عِنْدَ اللهِ مَنْ تَرَكَهُ أَوْ وَدَعَهُ النَّاسُ اتِّقَاءَ فُحْشِهِ).

Dari ‘Urwah bin Zubair rahimahullah, Aisyah bercerita padanya bahwa ada seorang pria minta izin untuk menemui Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, maka Nabi shallallahu alaihi wasallam berkata, “Izinkanlah dia, sesungguhnya ia adalah sejelek-jelek pria di kaumnya atau beliau shallallahu alaihi wasallam berkata, Ia adalah sejelek-jelek orang di kaumnya Kemudian tatkala orang itu masuk (menemui Nabi shallallahu alaihi wasallam) maka Nabi shallallahu alaihi wasallam pun berbicara kepadanya dengan lemah lembut. (Setelah laki-laki itu pulang) aku (Aisyah) pun berkata kepada beliau, Wahai Rasulullah, bukankah engkau telah mengatakan apa yang kau katakan, mengapa kemudian engkau berbicara kepadanya dengan lemah lembut? Rasulullah shallallahu alaihi wasallam menjawab, Wahai Aisyah, sesungguhnya manusia yang paling jelek kedudukannya di sisi Allah adalah orang yang ditinggalkan atau dijauhi masyarakat guna menghindari kejahatannya”.(27)

Imam al-Bukhârî rahimahullâh mengambil kesimpulan dari hadits di atas, “Bab (disyariatkannya) mudârâh dengan para manusia”.(28)

Adapun perbedaan antara mudârâh dengan mudâhanah sebagaimana yang diterangkan oleh Imam al-Qurthubî, Imam Ibn Hibbân dan Ibnu Baththâl rahimahumullâh:

1⃣ Mudârâh adalah mengorbankan kepentingan duniawi untuk meraih kemaslahatan yang berkaitan dengan dunia, agama atau keduanya. Seperti bersikap rendah hati di hadapan para manusia, berbicara dengan lemah lembut dan meninggalkan sikap keras kepada masyarakat.

Adapun mudâhanah adalah mengorbankan agama demi kemaslahatan dunia. Seperti bergaul dengan orang fasik dengan menampakkan keridhaan terhadap kefasikannya tanpa adanya pengingkaran.(29)

Perbedaan lain antara mudârâh dan mudâhanah sebagaimana yang diterangkan oleh al-‘Allâmah Ibn Utsaimîn rahimahullâh:

2⃣ Mudârâh adalah suatu bentuk mengakhirkan pengingkaran atas kemungkaran karena pertimbangan maslahat.

Adapun mudâhanah adalah: suatu bentuk keridhaan terhadap suatu kemungkaran, tanpa ada niat untuk mengingkarinya baik saat itu maupun di waktu lain.(30)

Kesimpulannya: mudârâh adalah sikap terpuji sedangkan mudâhanah adalah sikap tercela.

? Dua Kubu Keliru dalam Memahami Mudârâh dan Mudâhanah

Seyogyanya kita bisa membedakan antara kedua sikap ini. Karena sebagian orang mengira bahwa penerapan mudârâh yakni berlemah lembut dan ramah, merupakan bentuk kelembekan dalam beragama dan ketidaktegasan dalam bersikap (baca: mudâhanah).

Sebaliknya ada sebagian orang yang mengira bahwa diam dan ridha atas suatu kemungkaran adalah salah satu konsekwensi berlemah lembut dalam berdakwah.

Dua kelompok di atas keliru dalam pemahaman mereka. Waspadalah, karena banyak orang yang tergelincir dalam masalah ini. Kita tidak akan selamat, kecuali jika diberi taufiq dan hidayah oleh Allah ta’âlâ.(31)

Wallâhu taâlâ alam..

———————–
Footnote:

(1) Lihat: Al-Awâshim wa al-Qawâshim karya Imam Ibn al-Wazîr (I/228).

(2) Lihat: Syarh Lumah al-Itiqâd karya Syaikh al-Allâmah al-Utsaimîn (hal. 159).

(3) Majmû al-Fatâwâ (XXVIII/206), Minhâj as-Sunnah (I/63-65) karya Ibn Taimiyyah, Al-Awâshim wa al-Qawâshim (I/228-229), Majmû Fatâwâ wa Maqâlât Mutanawwiah karya Ibn Baz (IX/423-424) dan Nashîhah li asy-Syabâb (hal. 3).

(4) Nukilan ijma tersebut bisa dilihat di: Târîkh Ibn ‘Asâkir (VI/362), Masâil al-Imâm Ahmad karya putra beliau Shâlih (II/166-167) dan al-Ibânah, al-Juz ats-tsâlits, karya Ibn Baththah (II/472), al-Hujjah fî Bayân al-Mahajjah karya Abû al-Qâsim al-Ashbahânî (I/258-259), ‘Aqîdah as-Salaf Ashhâb al-Hadîts karya ash-Shabuniy (hal. 112), Al-Amr bi al-Marûf wa an-Nahy an al-Munkar karya Abu Yala (hal. 190), Syarh as-Sunnah karya al-Baghawiy (I/227), Al-Mufhim limâ Asykala min Talkhîsh Kitâb Muslim karya Abul Abbas al-Qurthubiy, (VI/534), Al-Itishâm karya asy-Syathibiy (I/188), Ad-Durar as-Saniyyah (VIII/443) dan Ijma al-Ulamâ alâ al-Hajr wa at-Tahdzîr min Ahl al-Ahwâ, karya Syaikh Khâlid bin Dhahawî azh-Zhufairî hafizhahullâh (hal. 89-153).

(5) Demikian keterangan dari Syaikh Abdul Mâlik Ramadhânî hafizhahullâh pada tanggal 11/1/1428 H bada Shubuh, ketika kami tanyakan permasalahan ini kepada beliau.

(6) Diriwayatkan oleh Abdurrazzâq dalam al-Mushannaf (X/157-160 no.18678) dan yang lain. Al-Haitsamî di dalam Majma az-Zawâid (VI/241) berkata: Atsar ini diriwayatkan oleh ath-Thabrânî dan sebagian oleh Ahmad, sedangkan para perawinya tsiqah. Al-Hâkim di dalam al-Mustadrak (II/150-152) berkata, Shahih sesuai syarat Muslim, dan adz-Dzahabî menyepakatinya. Ada riwayat lain yang mengatakan bahwa pengikut Khawârij yang rujuk kepada al-haq berjumlah dua ribu orang, riwayat lain lagi mengatakan empat ribu orang. Lihat: Jâmi Bayân al-Ilm wa Fadhlih karya Ibn Abdil Bar (II/148 no 1834) dan Musnad Ahmad (II/86 no 656 -cet Muassasah ar-Risâlah).

(7) Lihat: Kitâb al-Bida, karya Imam Ibn Wadhdhâh (hal. 7) dan dengarkan penjelasan atsar ini di kaset ad-Dîn ash-Shâfî, Talîq Mukhtashar alâ Kitâb al-Bida li Ibn Wadhdhâh, oleh Syaikh Abdurrahmân al-Hajjî (no 1 side A).

(8) Lihat kitab beliau: al-Haidah wa al-Itidzâr fi ar-Rad alâ Man Qâla bi Khalq al-Qurân (hal. 21-dst).

(9) Lihat: Masâil al-Imâm Ahmad, oleh Abû Dâwûd (hal. 276).

(10) Lihat: Tahdzîb at-Tahdzîb, karya Ibn Hajar (II/517).

(11) Lihat: Tahdzîb at-Tahdzîb (IV/173) dan ats-Tsiqât, karya Ibn Hibbân (IX/163).

(12) Lihat: At-Tamhîd (VI/119).

(13) Lihat: Majmû al-Fatâwâ (XXVIII/206) dan Minhâj as-Sunnah (I/63-65).

(14) Lihat: Majmûah ar-Rasâil al-Kubrâ (I/413-421) dan al-Bidâyah wa an-Nihâyah, karya Imam Ibn Katsîr (XVIII/53).

(15) Lihat: Majmûah ar-Rasâil wa al-Masâil (I/128-146).

(16) Lihat: Majmû Fatâwâ wa Maqâlât Mutanawwiah (IX/423-424).

(17) Lihat kitab Muhaddits al-Ashr Muhammad Nâshiruddîn al-Albânî, karya Samîr bin Amîn az-Zuhairî (hal. 74-75).

(18) Lihat: Maqâlât al-Albânî, oleh Nûruddîn Thâlib (hal 214-215) dan It-hâf an-Nufûs al-Muthmainnah, karya Ahmad Abû al-Ainain (hal. 11-13).

(19) Lihat: Al-Majmû ats-Tsamîn (I/31) dan Syarh Lumah al-Itiqâd (hal. 159)
Lihat: Liqâ al-Bâb al-Maftûh (I/25 pertanyaan no. 34).

(20) Lihat: Ibid (I/192 pertanyaan no. 313).

(21) Lihat: Ibid (I/231 pertanyaan no. 363).

(22) Lihat: Ibid (II/21-23 pertanyaan no. 774).

(23) Lihat: Khurafât Haraki, karya Syaikh Abdul Mâlik Ramadhânî (hal. 44).

(24) Lihat:Tuhfah al-Mujîb (hal 277).

(25) Lihat macam-macam mudârâh dalam kitab Mudârâh an-Nâs, karya Imam Ibn Abî ad-Dun-yâ.

(26) HR. Bukhârî (hal. 1282 no: 6032) dan Muslim (IV/2002 no. 2591)

(27) Lihat: Shahîh Bukhârî (hal. 1300 no. 6131).

(28) Lihat: Fath al-Bârî (X/558, 648-649) dan Shahîh Ibn Hibbân (II/218).

(29) Lihat: Syarh Hilyah Thâlib al-‘Ilm (hal. 199).

(30) Lihat: Nashîhah li asy-Syabâb (hal. 2-3).


Related articles

 Comments 1 comment

  • Zidan says:

    Notakaki (31) tertera di kitab yang mana admin ?

  • Leave a Reply

    Your email address will not be published. Fields with * are mandatory.