BENARKAH IMAM BUKHARI & AHLI HADITS SUNNI MENGAMBIL PERIWAYATAN DARI KAUM SYIAH??? 1
BENARKAH IMAM BUKHARI & AHLI HADITS SUNNI MENGAMBIL PERIWAYATAN DARI KAUM SYIAH???
Tanggapan dan Jawaban terhadap Saudara Ridho
Bagian 1 : Pengantar dan Beberapa Kaidah Ilmiah
Saudara Ridho yang cukup aktif memberikan komen di blog ini, telah menuliskan beberapa perawi syiah yang diklaimnya diambil oleh Imam Bukhari dan ahli hadits sunni. Beliau memberikan nama-nama perawi ini untuk membuktikan kepada saya bahwa para ahli hadits sunni juga meriwayatkan hadits dari kaum syiah. Diskusi ini bermula ketika saya menyebutkan bahwa kaum syiah yang gemar mencela para sahabat –bahkan sampai mengkafirkan mereka ridhwanullah ‘alaihim ajma’in– adalah kafir menurut pendapat yang terpilih.
Seorang syi’i atau shufi yang bernama Rifa’i, yang cukup aktif memberikan komen-komen ‘ngawur’ yang -jujur saja- malas saya komentari karena tidak bernilai ilmiah, menyatakan bahwa takfir itu bukan ciri khas umat Muhammad. Sekarang bukan waktunya lagi mempermasalahkan perbedaan sunni – syi’i, karena ummat Islam sedang dibantai di Palestina. Tidaklah mengapa perselisihan ini terjadi selama yang berselisih masih bersyahadat, sholat dan menegakkan pilar Islam. Si Rifai ini juga menyatakan tidak mengapa –biarkan- kaum syiah mencela sahabat, karena yang menanggung dosanya ‘kan mereka sendiri.
Kemudian saya jawab bahwa faham seperti ini seperti faham Yahudi yang meninggalkan amar ma’ruf nahi munkar. Saya juga menjelaskan bahwa takfir itu ada di dalam syariat Islam, namun tentu saja takfir yang syar’i, yaitu siapa saja yang dikafirkan Alloh dan Rasul-Nya maka telah kafir, dan siapa saja yang tidak dikafirkan Alloh dan Rasul-Nya maka tidak kafir. Lalu saya menyebutkan diantaranya bahwa orang yang sujud kepada kuburan, atau mencela Alloh dan Rasul-Nya, atau menghina Al-Qur’an atau syariat Islam, atau mengkafirkan para shahabat Nabi yang mulia bahkan sampai melecehkan Ummul Mu’minin Aisyah, atau yang semisalnya –yang kesemuanya ini ada dalilnya yang tegas-… maka semuanya ini kafir murtad dari Islam.
Lalu saudara Ridho memperingatkan saya supaya berhati-hati di dalam masalah takfir/pengkafiran. Maka saya katakan, Jazzakallohu khoyr atas nasehat antum, namun saya juga mengingatkan jangan sampai salah faham… takfir itu ada di dalam syariat Islam dan takfir yang dilakukan oleh ahlus sunnah adalah takfir yang syar’i dan selamat, karena ahlus sunnah membedakan antara takfir muthlaq dengan takfir mu’ayan, pun masalah takfir ini juga harus memenuhi syarat-syaratnya dan menghilangkan mawani’ (penghalang-penghalangnya), dan kesemua ini bukanlah hak setiap muslim namun haknya para ulama yang mutamakkin.
Anehnya di sini, saudara Ridho beristidlal bahwa apabila saya mengkafirkan kaum Syiah maka otomatis saya harus menolak hadits-hadits Bukhari Muslim dan ahli hadits sunni lainnya, karena Imam Bukhari dan muhadditsin sunni ini –rahimahumullahu– juga mengambil periwayatan dari kaum Syi’ah. Lalu, sebagai amanat dan tanggung jawab ilmiah, saya minta kepada saudara Ridho untuk menyebutkan para perawi tersebut, dan akhirnya beliau menyebutkannya dan sekarang ini saya klarifikasi dan jawab, sekaligus sebagai penghormatan atas jerih payah beliau di dalam mempertanggungjawabkan ucapannya. Wabillahi taufiq wal hidaayah.
Sebenarnya, saya tidak pernah mengingkari adanya perawi ahli bid’ah, bukan hanya syiah, namun juga perawi khowarij, qodariyah, murji’ah, dan selainnya yang diterima periwayatannya oleh ulama hadits ahlus sunnah dengan beberapa persyaratan yang ketat. Kesemuanya ini merupakan ciri khas ahlus sunnah yang wasath dan adil. Saya sengaja menuntut Saudara Ridha untuk membuktikan hal ini sebagai pertanggungjawaban ilmiah dan sekaligus menjelaskan kepada umat tentang hakikat masalah ini, agar tidak tertipu dengan slogan ahli bid’ah, terutama kaum syiah yang sedang gencar-gencarnya menyerang ahlus sunnah dan menipu kaum awam muslimin dengan propaganda taqiyah dan taqrib (persatuan) sunni syi’i. Diantara bentuknya ada dengan cara ini, yaitu menyatakan bahwa kalangan ahli hadits sunni menerima periwayatan dari kalangan syiah.
Oleh karena itulah, saya pandang masalah ini urgen untuk dibahas dan dijelaskan hakikatnya kepada umat, agar umat ini faham dan tidak mudah tertipu dengan manipulasi dan propaganda kaum syiah. Sebelum saya menurunkan pembahasan –yang sedikit agak panjang-, saya akan menurunkan beberapa kaidah ilmiah haditsiyah, agar semakin sempurna faidah dan agar frame berfikir kita bisa terbentuk secara ilmiah.
Pertama : Yang Masyhur –khususnya di zaman belakangan ini-, apabila dikatakan Syiah secara mutlak maka yang dimaksudkan adalah Syiah Rafidhah atau Syiah Imamiyah atau Syiah Itsna Asyariyah
Ini adalah masalah pertama yang perlu difahami. Adalah suatu hal yang tidak bisa dipungkiri, bahwa istilah Syiah pada generasi pertama dengan generasi-generasi berikutnya memiliki makna yang jauh berbeda. Terutama semenjak konflik yang terjadi antara Imam ‘Ali bin Abi Thalib dan Imam Mu’awiyah bin Abi Sufyan radhiyallahu ‘anhuma. Dikatakan pada zaman itu ada dua Syi’ah, yaitu Syi’ah ‘Ali dan Syi’ah Mu’awiyah. Jadi, Syi’ah pada generasi pertama itu bermakna sebagai ‘pembela/pendukung’ dan kedua syi’ah (pendukung Ali dan Mu’awiyah) ini adalah sama-sama ahlus sunnah karena ushul mereka adalah sama dan perbedaan yang terjadi diantara mereka adalah hanya dalam ranah ijtihadiyah. [Baca Minhajus Sunnah juz V hal. 142 dst].
Kemudian istilah Syi’ah ini mulai bergeser, terutama ketika kaum zindiq dan munafiq masuk ke dalamnya dan mengembuskan pemikiran-pemikiran sesat. Yang terkemuka diantara zindiq itu adalah Abdullah bin Saba’ al-Aswad yang terkenal akan faham Saba’iyah-nya yang menuhankan Ali. Kemudian Syi’ah ini mulai berkembang sampai dikatakan oleh al-Miqrizi mencapai 300 sekte yang kesesatan mereka bertingkat. Namun sekte terbesar dan terkenal adalah sekte rafidhah atau itsna asyariyah (dua belas imam) yang meyakini hak wilayah ’Ali, mengkafirkan para shahabat Nabi aih-alih hanya beberapa saja dan berkeyakinan bahwa para a`immah mereka adalah ma’shum. Jadi, ketika disebutkan oleh para ulama kata Syiah secara mutlak, maka seringkali yang dimaksudkan adalah Rafidhah, dan apabila mereka tidak memaksudkan Rafidhah, maka mereka biasa menyebutkan nama sekte tersebut, seperti Isma’iliyah, Zaidiyah atau selainnya. [Lihat : ”Hakikat Syiah” Muhammad Dawam Anwar, hal. 4].
Dus, ketika saya menyebutkan Syiah, maka tentu saja yang dimaksud adalah Syiah yang berfaham : para sahabat selain ’Ali dan beberapa orang sahabat lainnya adalah kafir murtad, bahkan juga layak dilaknat –sebagaimana dalam do’a Shonamayn Qurasy-nya Ayatu… Khomeini-, berkeyakinan akan raj’ah, taqiyyah, imamah dan wilayah ’Ali serta terkenal akan mut’ah-nya. Oleh karena itu tidak salah apabila saya menyebutkan bahwa Syi’ah menurut pendapat terpilih adalah kaafir(!) secara umum, namun saya tidak mengkafirkan orang perorang, semisal saya katakan Jalaludin Rahmat itu kafir(!), atau fulan dan fulan kafir(!), namun saya katakan bahwa pada fulan terdapat ucapan-ucapan kafir(!) yang dapat menyebabkannya menjadi kafir apabila ia terus dalam kesesatannya ini. Masalah takfir ini telah banyak berlalu penjelasannya dalam risalah-risalah saya sebelumnya di blog ini. Jadi, kami tidak merasa heran apabila kaum syiah menuduh kami Jama’ah takfiriyah, karena tentu saja mereka berupaya untuk membela diri mereka dari tuduhan kekafiran padahal kami tidak pernah mengkafirkan mereka secara mu’ayan.
Kedua, Syiah (Rafidhah) adalah kaum yang paling pendusta
Dalam risalah saya yang membantah seorang Syi’i yang mendha’ifkan hadits ’Irbadh bin Sariyah radhiyallahu ’anhu tentang berpegang dengan Sunnah Khulafaur Rasyidin, saya telah mengemukakan beberapa nukilan bahwa kaum Syi’ah itu adalah kaum paling pendusta [ingat : tidak mutlak semuanya demikian, namun aghlabahum (mayoritas mereka) adalah pendusta]. Oleh karena itu para ulama ahlus sunnah salafan wa kholafan telah menyebut mereka sebagai kaum paling pendusta. Untuk itu tidak ada salahnya apabila saya menukilkannya kembali:
قال أبوحاتم الرازي: سمعت يونس بن عبدالأعلى يقول: قال أشهب بن عبدالعزيز: سئل مالك عن الرافضة؟ فقال: لا تكلمهم ولا ترو عنهم، فإنّهم يكذبون.
Abu Hatim ar-Razi berkata : Aku mendengar Yunus bin ‘Abdil A’la berkata, Berkata Asyah bin ‘Abdil ‘Aziz, Malik ditanya tentang kelompok Rafidhah, maka beliau menjawab : ”Jangan berbicara dengan mereka dan jangan pula menerima pandangan mereka, karena mereka adalah para pendusta.” [Lihat : al-Muntaqo karya Imam adz-Dzahabi, hal. 21].
وقال أبوحاتم: حدثنا حرملة. قال: سمعت الشافعي يقول: لم أر أحدًا أشهد بالزور من الرافضة.
Berkata Abu Hatim : mengabarkan kepada kami Harmalah, beliau berkata : Aku mendengar asy-Syafi’i berkata : ”Aku belum pernah melihat seorang yang bersaksi palsu lebih parah dari Rafidhah.” [Lihat : al-Kifayah fi ’Ilmi ar-Riwayah karya Imam Khathib al-Baghdadi hal. 202].
وقال مؤمل بن إهاب: سمعت يزيد بن هارون يقول: نكتب عن كل صاحب بدعة إذا لم يكن داعية، إلا الرافضة فإنّهم يكذبون.
Berkata Mu`ammil bin Ihab : Aku mendengar Yazid bin Harun berkata : ”Kami menulis setiap (khobar) yang datang dari ahli bid’ah selama ia bukan seorang yang menyeru (kepada bid’ahnya), kecuali Rafidhah karena mereka adalah para pendusta.” [Lihat : Minhajus Sunnah karya Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah Juz I, hal. 16]
وقال محمد بن سعيد الأصبهاني: سمعت شريكًا يقول: أحمل العلم عن كل من لقيت إلا الرافضة فإنّهم يضعون الحديث ويتخذونه دينًا
Berkata Muhammad bin Sa’id al-Ashbahani : Aku mendengar Syarik berkata : ”Ambillah ilmu dari siapa saja yang kamu temui kecuali Rafidhah, karena mereka ini gemar memalsukan hadits dan menjadikan hal ini sebagai bagian agama mereka.” [Lihat : al-Muntaqo karya Imam adz-Dzahabi, hal. 22]
Dan masih banyak lagi ucapan para Imam Ahlis Sunnah tentang karakter pendusta dan pembohong kaum Syiah, bahkan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullahu sendiri sampai berkata :
وقد اتفق أهل العلم بالنقل والرواية والإسناد على أن الرافضة أكذب الطوائف، والكذب فيهم قديم، ولهذا كان أئمة الإسلام يعلمون امتيازهم بكثرة الكذب
”Para ulama telah bersepakat dengan naql, riwayat dan isnad bahwa Rafidhah itu adalah kelompok yang paling pendusta diantara kelompok-kelompok lainnya dan kedustaan pada mereka mulai dari dulu, oleh karena itulah para imam kaum muslimin mengetahui bahwa ciri khas utama kelompok Syiah ini adalah banyaknya kedustaan.” [Lihat : Minhajus Sunnah, juz I, hal. 59].
Kaidah Haditsiyah yang harus difahami
Sebelum menginjak ke ta’qib atas uraian saudara Ridho, izinkan saya menguraikan dan menurunkan sebuah kaidah emas haditsiyah yang hanya dimiliki oleh ahlus sunnah, tidak selainnya. Perlu diketahui, ilmu dan metode hadits antara ahlus sunnah dengan syi’ah sangatlah jauh berbeda, karena ushul (prinsip) dan keyakinan sunni dan syi’i jauh berbeda. Misalnya, syi’i berkeyakinan bahwa para sahabat selain sejumlah orang telah kafir, maka tentu saja periwayatan selain yang sedikit itu tertolak. Syi’ah juga meyakini bahwa para a’immah mereka ma’shum sehingga statusnya sama dengan hadits Nabi dengan demikian tidak perlu mengisnadkannya kepada Rasulullah Shallallahu ’alaihi wa Salam. Bahkan landasan ’adalah (keadilan) seorang rawi menurut syi’ah jauh berbeda dengan sunni, selama perawi itu adalah seorang syi’i maka ia pasti adalah seorang yang ’adil. [lihat al-Kafi lil Kulaini, al-Fihris, al-Waafi, al-Bihaar dll dari kalangan syi’i; lihat Dawam Anwar, op.cit].
Apabila kita membaca sejarah tadwin al-Hadits, jarh wa ta’dil dan selainnya, maka kita akan mendapatkan keterangan para ulama bahwa kaum yang paling banyak memalsu hadits adalah kaum Syi’ah. Al-Mughirah bin Sa’id, seorang rawi hadits kalangan Syi’ah berkata : ”Aku palsukan ke dalam hadits kalian sekitar seribu hadits… (Tanqiihul Maqool I/174). Kesaksian ulama ahlis sunnah –sebagaimana telah berlalu di atas- menunjukkan akan hal ini.
Baiklah, sekarang mari kita menginjak ke kaidah haditsiyah sebagai pendahulu ilmiyah sebelum memasuki pembahasan terhadap para rawi hadits yang dibawakan oleh saudara Ridha sebagai para perawi Syi’ah.
Marhalah-Marhalah (Tahapan) Studi Sanad
Syaikh ’Amru ’Abdul Mun’im Salim al-Mishri dalam buku beliau yang bermanfaat, Taysiiru Diroosatil Asaaniid lil Mubtadi`iin (Cet. 1/1421/Daar adh-Dhiyaa’, Thantha, hal. 9-10) mengatakan bahwa ada 5 tahapan di dalam studi sanad, yaitu:
-
Meneliti sanad hadits dan membedakan antara yang marfu’ (terangkat sampai ke Nabi) dan yang mauquf (berhenti tidak sampai kepada Nabi).
-
Meneliti thuruq (jalur-jalur periwayatan) hadits dan menjama’ (menghimpun) riwayat-riwayatnya.
-
Mempelajari as-Sanad al-Ashli (sanad pokoknya).
-
Mempelajari sanad-sanad lainnya yang merupakan mutaba’ah (penyerta) atau syawahid (penguat).
-
Menghukumi secara keseluruhan yang dibangun di atas studi menyeluruh dari jalur-jalur hadits tadi.
Dan studi marhalah sanad yang dibangun untuk menghukumi status suatu hadits ini, sesungguhnya berangkat dari pengembangn studi empat syarat shahihnya hadits, yaitu:
-
Bersambungnya suatu sanad
-
Keadilan Rawi dan kedhabitannya
-
Tidak adanya keganjilan (syudzudz) dan kemungkaran (nakaroh)
-
Tidak adanya illat (penyakit yang samar dapat melemahkan status hadits).
Perincian masalah ini bisa dirujuk di dalam ilmu mushtholahul hadits dan ilmu dirosatul asaaniid, dan sekarang bukan tempatnya memperinci masalah ini –insya Alloh- di lain waktu pada pembahasannya.
Namun di sini saya hanya akan menekankan pada syarat no.2 di atas, yaitu ”Keadilan Rawi dan kedhabitannya” (al-’Adalah wadh Dhabt), dan yang akan saya uraikan secara khusus adalah masalah al-’Adalah, karena ini berkaitan dengan pembahasan kita ini..
DR. Mahmud Thahhan rahimahullahu dalam Ushul at-Takhriij wa Diroosah al-Asaaniid (Maktabah Al-Ma’arif, Riyadh, tanpa tahun, hal. 140-142) berkata dalam bab Ma Yahtaaju min ’ilmil Jarhi wat Ta’diili wa Taroojimir Ruwaat (Hal yang diperlukan di dalam ilmu jarh dan ta’dil dan biografi para perawi) :
”Syarat-syarat diterimanya (riwayat) seorang Rawi : Mayoritas imam ahli hadits dan fikih bersepakat bahwa disyaratkan bagi orang yang dijadikan hujjah periwayatannya ada dua syarat asasi (pokok), yaitu :
-
al-’Adalah (keadilan), dan yang dimaksud dengannya adalah seorang perawi itu haruslah : Muslim, baligh, berakal, selamat dari sebab-sebab kefasikan dan selamat dari muru`ah (perangai/kebiasaan) yang buruk.,/span>
-
Adh-Dhobthu, dan yang dimaksud dengannya adalah seorang perawi itu haruslah : tidak buruk hafalannya, tidak kacau ingatannya, tidak menyelisihi yang lebih tsiqot, tidak banyak awhaam (salah) dan tidak ghofil (lalai).
Dengan apa seorang rawi ditetapkan ke’adalahan-nya? Ditetapkan sifat ’adalah-nya dengan salah satu dari dua hal ini :
-
Dengan tanshish (penegasan) para mu’addil (penta’dil) atasnya, yaitu apabila para ulama atau salah seorang ulama jarh wa ta’dil menyebutkannya di dalam buku-buku Jarh wa Ta’dil.
-
Dengan Istifadhoh (tersiarnya) dan syuhroh (masyhur/ketenaran), yaitu dengan tersiarnya/tersebarnya berita akan ke’adalahan seorang perawi dan kemasyhurannya akan sifat shidiq (jujur)-nya, seperti Imam Malik bin Anas, Dua Sufyan (yaitu Sufyan ats-Tsauri dan Uyainah), Auza’i, Laits bin Sa’d dan selain mereka. Orang-orang yang seperti mereka ini tidak perlu lagi untuk menta’dil mereka atau bertanya kepada ulama Jarh wa Ta’dil akan perihal mereka.
[Saya katakan] Termasuk yang dapat mencacat ke-’adalah-an seorang perawi adalah : al-Bid’ah. Bid’ah ini bermacam-macam, ada yang mukaffir (mengkafirkan pelakunya) dan ada yang mufassiq (menfasikkan pelakunya).
Al-Hafizh Ibnu Hajar al-Asqolani rahimahullahu di dalam Nuzhatu an-Nazhor fi Taudhiihi Nukhbatil Fikar, menjelaskan bahwa termasuk celaan kesembilan bagi seorang perawi adalah : ”Bid’ah, baik yang mengkafirkan maupun yang menfasikkan. Bid’ah yang pertama tadi (yaitu mukaffir) tidak diterima (riwayat) perawinya menurut jumhur. Adapun bid’ah yang kedua (yaitu mufassiq), tidak diterima apabila ia bukan orang yang menyeru (kepada bid’ahnya) dan ini pendapat terkuat, kecuali apabila ia meriwayatkan apa yang memperkuat bid’ahnya maka ditolak (periwayatannya) menurut pendapat terpilih. Pendapat ini ditegaskan secara terang oleh al-Juuzajaani gurunya an-Nasa`i.” [Ucapan Syaikh ini akan diterangkan oleh Syaikh ’Ali Hasan dalam pembahasannya sebentar lagi]
Siapakah yang dimaksud dengan ahli bid’ah? Syaikh Abu Lubabah Husain dalam kitab beliau yang berjudul al-Jarh wat Ta’dil yang merupakan tesis magister yang dimunaqosyahkan di Fakultas Ushulud Dien, Universitas al-Azhar tahun 1493 (cet. 1, 1399, Darul Liwa’ lin Nasyri wat Tauzi’, Riyadh, hal. 111-112) berkata : ”Yang termasuk ke dalam bid’ah adalah para penganut kelompok-kelompok yang keluar dari ijma’ salaf dari kaum zanadiqoh, Saba’iyyah, Khowarij, Nawaashib, Qodariyah, Jahmiyah, Syiah, Hasyawiyah, mereka yang mencela para sahabat, Murji’ah, Bathiniyah, Mujassamah, Waaqifu fil Qur’an (orang yang tidak berpendapat tentang al-Qur’an, maksudnya tidak menetapkan dan menolak bahwa al-Qur’an itu makhluq) dan orang-orang yang sibuk dengan filsafat…”
[saya berkata] Para ulama telah memperingatkan dari keburukan mereka dan berhati-hati dari periwayatan mereka serta kebid’ahan mereka. Diantara mereka adalah :
Imam Hasan al-Bashri rahimahullahu berkata :
لا تجالس أهل الأهواء ولا تجادلهم ولا تسمعوا منهم
”Janganlah kamu bemajelis dengan ahli ahwa dan berdebat dengan mereka dan jangan pula mendengarkan mereka.” [Jami’ Bayanil ’Ilmi wa Fadhlihi II/118].
Imam Malik rahimahullahu berkata :
لا يؤخذ العلم من صاحب هوى يدعو الناس إلى هواه
”Ilmu tidaklah diambil dari pengekor hawa nafsu yang menyeru manusia kepada hawa nafsunya.” [Ma’rifatu ’Ulumil Hadits 135]
Dan masih banyak ucapan para imam ahlus sunnah lainnya yang memperingatkan dari mengambil periwayatan ahli bid’ah.
Bagaimana hukum periwayatan ahli bid’ah
Syaikh Abu Lubabah berkata (op.cit, hal. 113-115) : ”Para ulama berupaya dengan sungguh-sungguh di dalam menjaga hadits Rasulullah Shallallahu ’alaihi wa Salam dan meyakini bahwa jiwa manusia bagaimanapun terjatuh pada suatu penyimpangan terkadang masih menyimpan sifat shidq (jujur), waro’ (berhati-hati) dan nazahah (kepolosan). Karena itulah para ulama tidak tergesa-gesa menghukumi setiap ahli bid’ah dengan menolak dan tidak menerima (periwayatannya) begitu saja dan mereka meletakkan suatu kaidah dan dhowabith (kriteria) di dalamnya agar hadits tetap dapat murni dari kebid’ahan dan kesesatan penganut bid’ah.
Bid’ah itu ada yang mukaffirah dan ada yang mufassiqoh. Dan disyaratkan di dalam (status bid’ah) yang mukaffiroh itu haruslah pengkafiran yang disepakati di atasnya kaidah-kaidah keseluruhan oleh para imam, karena mengingkari ahli bid’ah itu merupakan perkara yang mutawatir dari syara’ yang telah maklum (diketahui) dari agama secara dhoruri (pasti), maka periwayatannya (mubtadi’ mukaffir) ditolak berdasarkan ijma’.
Adapun yang tidak diingkari secara dhoruri syar’i dan ia memiliki sifat wara’ dan taqwa, maka riwayatnya diterima menurut sebagian ulama. Mereka berdalil akan hal ini dengan ’atsar mengenai ucapan ’Umar : ”Janganlah kamu berburuk sangka dengan ucapan yang dilontarkan oleh seseorang sedangkan kamu dapat membawanya kepada pemahaman yang baik.” adapun orang yang tidak waro’ dan ia menghalalkan kedustaan, maka ditolak riwayatnya.
Adapun bid’ah mufassiqoh seperti bid’ahnya khowarij atau rafidhah yang tidak ekstrim atau selain mereka dari kelompok-kelompok yang menyelisihi pokok sunnah secara nyata akan tetapi penyelisihan ini berangkat dari penakwilan, maka perlu diperinci :
-
Apabila salah seorangnya menghalalkan dusta, maka ditolak riwayatnya. [menurut kesepakatan, pent.]
-
Apabila ia seorang yang waro’, shodiq (jujur) dan muta’abbid (ahli ibadah), maka diterima riwayatnya oleh sebagian kalangan ulama seperti Syafi’i yang tidak membedakan perawi tersebut sebagai orang yang menyeru kepada bid’ahnya ataukah tidak, namun beliau membedakan perawi berdasarkan (cela di dalam) agamanya, (seperti) beliau berkata : ”telah menceritakan kepada kami seorang tsiqoh di dalam haditsnya orang yang tertuduh agamanya”, dan adapula sebagian ulama yang menolak (perawi semisal ini) seperti Malik.
-
Pendapat ketiga, yang membedakan antara perawi yang menyeru kepada bid’ahnya dan yang tidak. Perawi yang tidak menyeru kepada bid’ahnya maka diterima periwayatannya sedangkan yang menyeru ditolak. Ini adalah pendapat yang lebih adil dan para imam banyak yang berpendapat dengan pendapat ini.
[saya berkata*] Inilah pendapat yang diperpegangi oleh mayoritas ahli hadits salafan wa kholafan.
* Catatan : Tolong dimaafkan apabila saya terkadang menyebutkan tanda di dalam kurung [saya berkata]. Ini saya lakukan hanya untuk memisahkan antara penukilan dan ucapan saya sendiri agar tidak rancu dan mukhtalith (tercampur) antara ucapan saya dengan penukilan. Jadi harap dimaklumi dan diperhatikan.
Diantaranya adalah apa yang dipaparkan oleh Syaikhuna ’Ali Hasan al-Halabi hafizhahullahu dalam an-Nukat ’ala Nuzhatin Nazhor (cet. 4, 1419, Daar Ibnul Jauzi) mensyarh ucapan al-Hafizh Ibnu Hajar rahimahullahu yang telah berlalu penyebutannya. Beliau hafizhahullahu berkata (hal. 136-138) :
”Kemudian al-Bid’ah, ia merupakan sebab kesembilan diantara sebab-sebab celaan kepada seorang perawi. Dan bid’ah ini bisa berupa bid’ah mukaffirah seperti keyakinan yang dapat menyebabkannya kafir, atau bisa juga mufassiq.
Bid’ah yang pertama (mukaffirah) tidak diterima (periwayatannya) oleh jumhur ulama, ada pula yang berpendapat : diterima secara mutlak, ada lagi yang berpendapat : Apabila perawi itu tidak berkeyakinan halalnya kedustaan untuk menyokong pendapatnya, maka diterima (periwayatannya).
Yang kuat : adalah tidak ditolak semua (periwayatan) orang yang melakukan bid’ah mukaffirah. Karena setiap kelompok mengklaim bahwa penyelisihnya adalah mubtadi’ dan terkadang sampai mengkafirkan penyelisihnya itu. Apabila seandainya diterima pendapat ini secara mutlak, maka mengharuskan pengkafiran terhadap semua kelompok.
Yang diperpegangi yaitu, kelompok yang ditolak periwayatannya adalah mereka yang mengingkari perkara yang mutawatir dari syara’ yang diketahui dari agama secara dhoruri, dan demikian pula bagi yang berkeyakinan dengan kebalikannya.
Adapun mereka yang tidak memiliki sifat semisal ini, dan terhimpun pada mereka sifat kedhabitan mereka terhadap yang mereka riwayatkan, disertai dengan sifat wara’ dan taqwa, maka tidak ada penghalang untuk menerimanya.
Kedua : Perawi yang kebid’ahannya tidak sampai kepada kekafiran secara asal. Diperselisihkan juga dalam menerima atau menolak periwayatannya.
Ada yang berpendapat : ditolak –riwayatnya- secara mutlak –dan ini pendapat yang jauh (dari kebenaran). Mayoritas mereka (yang berpendapat yang pendapat ini) meng’ilal (mencacat) perawi ini dikarenakan periwayatan darinya akan mempromosikan kebid’ahannya dan termasuk pujian kepadanya ketika menyebutkannya. Oleh karena itu, selayaknya tidak meriwayatkan dari seorang mubtadi’ sesuatupun yang berserikat di dalamnya orang-orang bukan ahli bid’ah.
Ada pula yang berpendapat : Diterima (periwayatannya) secara mutlak kecuali apabila ia berkeyakinan kehalalan dusta, sebagaimana telah berlalu –penyebutannya-.
Ada yang berpendapat : Diterima apabila ia tidak menyeru kepada bid’ahnya, dikarenakan merupakan penghiasan terhadap bid’ahnya yang bisa jadi membawanya kepada tahrif (menyelewengkan) riwayat atau menyepadankannya dengan madzhabnya, dan pendapat ini yang paling benar. Dan sungguh sulit dimengeri Ibnu Hibban ketika beliau mendakwakan diterimanya (riwayat) orang yang tidak menyeru kepada bid’ahnya tanpa perincian.
Na’am, secara garis besar diterima periwayatan orang yang tidak menyeru kepada bid’ahnya, kecuali apabila ia meriwayatkan apa yang memperkuat bid’ahnya maka ditolak (periwayatannya) menurut madzhab yang terpilih, dan pendapat ini ditegaskan secara terang oleh al-Hafizh Abu Ishaq Ibrohim bin Ya’qub al-Juuzajaani, gurunya Abu Dawud dan an-Nasa`i di dalam buku beliau, Ma’rifatur Rijaal. Beliau berkata di dalam mensifati seorang perawi : ”Diantaranya adalah seorang yang menyeleweng dari al-Haq –yaitu dari Sunnah- orang yang shodiq (benar) lahjah (dialek)-nya dan tidak ada didalamnya suatu tipu muslihat, maka diambil haditsnya yang tidak mungkar, selama tidak menyokong kebid’ahannya.” [Selesai Ucapan Syaikh ’Ali. Catatan : kata yang digarismiringkan (italic) adalah matan (ucapan al-Hafizh Ibnu Hajar] sedangkan yang tidak italic adalah ucapan syarh/ penjelasan Syaikh ’Ali].
[Saya berkata] Hal ini juga disepakati oleh al-’Allamah al-Muhaddits Madinah zaman ini, Syaikh ’Abdul Muhsin al-’Abbad hafizhahullahu. Beliau menjelaskan masalah ini di dalam buku Ithaaful ’Aabid bi Fawaa`idi Duruusi asy-Syaikh ’Abdil Muhsin bin Hamad al-’Abbad (cet. 1, 1425, Daar al-Imam Ahmad) yang disusun oleh murid beliau ’Abdurrahman bin Muhammad bin ’Abdullah al-’Umaisan hafizhahullahu. Beliau menjelaskan (hal. 128) bahwa riwayat dari ahli bid’ah memiliki perincian, yaitu ada dua sisi :
Pertama : perawi yang menyeru kepada bid’ahnya, maka tidak diriwayatkan darinya tanpa terkecuali.
Kedua : perawi yang mutalabbis (tercampur/terancukan) dengan kebid’ahan namun ia tidak menyeru kepada bid’ahnya. Maka hal ini dibolehkan oleh kaum salaf untuk meriwayatkannya.
[Saya berkata] Demikianlah apa yang dijelaskan oleh para ulama, yang mana ini merupakan suatu kaidah kuat yang dimiliki ahlus sunnah di dalam memelihara dan menjaga hadits Nabi yang mulia ’alaihi Sholatu wa Salam. Kaidah inilah yang membedakan ahlus sunnah dengan firqoh-firqoh lainnya.
Ahlus sunnah menerima periwayatan dari ahli bid’ah dengan syarat-syarat sebagaimana di atas. Maka tidak heran apabila kita pernah membaca bahwa Abu Darda’ Radhiyallahu ’anhu pernah berkata :
ليس في أهل أهواء أصج حديثا من الخوارج
”Tidak ada kelompok pengikut hawa nafsu yang paling shahih haditsnya selain daripada khowarij.” [Qowa’idu at-Tahdiits, 194-195].
Karena khowarij adalah kaum yang paling takut kepada Alloh melakukan kemaksiatan, sehingga mereka mengkafirkan para pelaku dosa besar. Mereka takut berdusta sehingga menjadikan mereka kafir. Walau demikian, mereka tetap dikatakan sebagai kelompok sesat, yang bahkan disebut oleh Nabi yang mulia Shallallahu ‘alaihi wa Salam sebagai Kilaabun Naar (anjing-anjing neraka). Akan tetapi, para ulama menerima kesaksian dan periwayatan mereka dengan persyaratan sebagaimana di atas.
Mengapa kita menerima periwayatan sebagian ahli bid’ah?
Cukuplah jawaban Syaikh Abu Lubabah yang menukil ucapan Imam Ibnu Hibban yang mengatakan : ”Mereka –ahli hadits- menerima periwayatan dari ahli bid’ah yang tidak menyeru kepada bid’ahnya adalah sebagai bentuk sifat waro’ (kehati-hatian) mereka di dalam memelihara sunnah Nabi, sekiranya mereka tinggalkan semua periwayatan orang-orang yang memeluk madzhab (ahli bid’ah), maka niscaya yang demikian ini (akan membuka) pintu kepada ditinggalkannya sunnah-sunnah seluruhnya sampai tidak tersisa di tangan kita kecuali sesuatu yang sedikit.” [Shahih Ibnu Hibban I/121, melalui al-Jarh wat Ta’dil, Abu Lubabah, op.cit., hal. 114].
[saya berkata] Dari sini jelaslah bahwa, menerima periwayatan seorang ahli bid’ah bukan berarti membenarkan atau merekomendasi madzhab bid’ahnya. Berita mereka diterima setelah memenuhi persyaratannya, yaitu mereka adalah orang yang tsiqqoh, dhabit, waro’, taqwa, tidak menyeru kepada bid’ahnya, tidak menghalalkan kedustaan dan tidak menyokong madzhabnya.
Bersambung Bagian 2