BENARKAH IMAM BUKHARI & AHLI HADITS SUNNI MENGAMBIL PERIWAYATAN DARI KAUM SYIAH??? 2

 Apr, 25 - 2007   2 comments   Agama SyiahTahdzir

BENARKAH IMAM BUKHARI & AHLI HADITS SUNNI MENGAMBIL PERIWAYATAN DARI KAUM SYIAH???

Tanggapan dan Jawaban terhadap Saudara Ridho

Bagian 2 : Klarifikasi dan Tabayyun I

 

Setelah kita mengetahui prinsip dan kaidah di risalah sebelumnya, maka mari kita sekarang menelaah penukilan-penukilan saudara Ridha, tentang para perawi yang tertuduh syiah atau diklaim sebagai penganut madzhab syiah. Sebagai amanat ilmiah, saya menyebut jarh wa ta’dil dan tarajim para perawi ini menukil dari Maktabah Syaamilah (versi 2), setelah minggu kemarin berhasil menginstall-nya yang sekian lama selalu gagal. Alhamdulillah wa kullun min fadhlillah.

1. Thawus bin Kiisan al-Yamani

Saudara Ridha berkata :

 

afwan……

seperti janji saya untuk memberikan perawi2 syiah yg diambil oleh para ahli hadits sunni, diantaranya..:

1.Thawus ibn Kisah al-Yamani = Dalam at-Tahdzib, Ibn Hajar menyatakan bahwa Thawus sempat bertemu lima puluh orang sahabat. Ulama hadits juga sepakat bahwa Thawus adalah seorang yang jujur, adil, tsiqat, dzabit, taqwa, zuhud, dan banyak ibadahnya. Mereka menerima hadits Thawus yang bersumber dari ‘A’isyah, ‘Umar dan ‘Ali. Karena itulah, ulama hadits, Ashabus-Sittah meriwayatkan haditsnya.

 

Tanggapan :

Biografi Perawi Secara Global :

Nama : Thawus bin Kiisan al-Yamani, Abu ’Abdirrahman al-Humairi maula mereka, al-Farisi. Ada yang mengatakan nama beliau adalah Dzakwan sedangkan Thawus adalah laqob (julukan).

Thobaqoh : Ke-3 dari pertengahan tabi’in.

Wafat : Tahun 106 H dan ada yang berpendapat setelahnya

Ulama yang meriwatkan darinya : Bukhari, Muslim, Abu Dawud, Turmudzi, Nasa`i dan Ibnu Majah.

Derajatnya menurut Ibnu Hajar : tsiqoh (kredibel) faqiih (orang yang fakih) faadhil (orang yang memiliki keutamaan)

Derajatnya menurut Dzahabi : Berkata ‘Amru bin Dinar : ”Tidak pernah kulihat ada seorang yang seperti beliau sedikitpun.”

 

Biografi secara rinci :

Berkata al-Imam al-Mizzi rahimahullahu di dalam Tahdzibul Kamal :

( خ م د ت س ق ) : طاووس بن كيسان اليمانى ، أبو عبد الرحمن الحميرى ، مولى بحير بن ريسان الحميرى ، من أبناء الفرس ، كان ينزل الجند ، كذا قال الواقدى فى ولائه . و قال أبو نعيم و غيره : هو مولى لهمدان . و قال عبد المنعم بن إدريس : هو مولى لابن هوذة الهمدانى ، و كان أبوه كيسان طرأ من أهل فارس ، و ليس من الأبناء ، فوالى أهل هذا البيت . و قال أبو حاتم بن حبان ، و أبو بكر بن منجويه : كانت أمه من أبناء فارس ، و أبوه من النمر بن قاسط . و قال غيرهما : اسمه ذكوان ، و طاووس لقب . و روى عن يحيى بن معين قال : سمى طاووسا ، لأنه كان طاووس القراء.

[Catatan : Di dalam kitab Tahdzibul Kamal, apabila disebut huruf خ maka maksudnya adalah Bukhari, م Muslim, د Abu Dawud, ت Tirmidzi, س Nasa`i, ق Ibnu Majah; lihat Taysiir Dirosatul Asaaniid karya Syaikh ‘Amru ‘Abdul Mun’im Salim, cet. 1, Dar adh-Dhiya’, hal. 136-137]

Thowus bin Kisan al-Yamani, Abu ‘Abdirrahman al-Humairi, maula (mantan budak) Buhair (ada yang membaca Bahir) bin Risan al-Humairi yang termasuk anak-anak keturunan al-Fars. Beliau dulu tinggal di Najd, demikianlah yang dikatakan oleh al-Waaqidi dalam Wala`-nya. Abu Nu’aim dan selain beliau berkata : “Beliau (Thowus) adalah maula-nya Hamdan.” Abdul Mun’im bin Idris berkata : “Beliau adalah maula Ibnu Haudzah al-Hamdani dan dahulunya ayahanda beliau adalah Kisan yang merupakan pendatang dari keluarga Faris, bukan termasuk anak-anaknya, lalu keluarga ini memberikan perlindungan padanya.” Abu Hatim bin Hibban dan Abu Bakr bin Manjawaih berkata : “Ibundanya termasuk keturunan Faris dan bapaknya keturunan dari Nimr bin Qosith.” Berkata ulama selain mereka : “namanya (asli) adalah Dzakwan dan Thowus adalah laqob (gelar)”. Diriwayatkan dari Yahya bin Ma’in beliau berkata : “Dinamakan Thowus dikarenakan beliau adalah Thowus al-Quro’ (penghafal Qur’an yang tampan).”

 

Pandangan Para Ulama terhadap beliau

قال الأعمش ، عن عبد الملك بن ميسرة ، عن طاووس : أدركت خمسين من أصحاب رسول الله لى الله عليه وسلم

Masih ucapan al-Mizzi : Berkata al-A’masy dari Abdul Malik bin Maisarah dari Thowus (berkata) : “Aku bertemu dengan 50 sahabat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Salam.”

. و قال ابن جريج ، عن عطاء ، عن ابن عباس : إنى لأظن طاووسا من أهل الجنة

Ibnu Juraij berkata dari Atho’ dari Ibnu ‘Abbas : “Sungguh aku menduga bahwa Thowus termasuk dari ahli surga.”

. و قال جعفر بن برقان ، عن عمرو بن دينار : حدثنا طاووس ، و لا تحسبن فينا أحدا أصدق لهجة من طاووس .

Berkata Ja’far bin Burqon dari ‘Amru bin Dinar (berkata) : “Thowus menceritakan kepada kami, dan janganlah kamu sekali-kali menyangka bahwa menurut kami ada seseorang yang lebih benar aksen/dialeknya (lahjah) melebihi Thawus.”

و قال حبيب بن الشهيد : كنت عند عمرو بن دينار ، فذكر طاووس فقال : ما رأيت أحدا قط مثل طاووس .

Berkata Habib (ada yang membaca Hubaib) bin asy-Syahid : Aku berada di sisi ‘Amru bin Dinar lalu beliau menyebut tentang Thawus dan berkata : “Aku belum pernah melihat ada seseorang yang seperti Thawus.”

و قال الزهرى : لو رأيت طاووسا علمت أنه لا يكذب

Berkata az-Zuhri : “Sekiranya aku melihat Thowus aku tahu bahwa ia tidak berdusta.”

و قال عمرو بن دينار : ما رأيت أحدا أعف عما فى أيدى الناس من طاووس .

Amru bin Dinar berkata : “Aku tidak pernah melihat orang yang paling menjauhkan diri dari apa yang ada pada manusia melebihi daripada Thawus.”

و قال ابن عيينة : متجنبو السلطان ثلاثة : أبو ذر فى زمانه ، و طاووس فى زمانه ، و الثورى فى زمانه . اهـ

Ibnu ‘Uyainah berkata : “Orang-orang yang menjauhi penguasa ada tiga, yaitu Abu Dzar pada zaman beliau, Thowus pada zaman beliau dan Tsauri pada zaman beliau.”

[Saya berkata] Dan masih banyak pujian ulama yang apabila disebutkan semua niscaya akan benar-benar panjang dan memerlukan halaman tersendiri. Saya rasa sekelumit penukilan di atas bisa mewakili. Di sini saya hanya sedikit menambahkah masalah bertemu dan sima’-nya Thawus dengan beberapa shahabat untuk meluruskan perkataan Saudara Ridho yang membawakan penukilan yang sayangnya tanpa menyebutkan referensinya. Saudara Ridho berkata :

Mereka menerima hadits Thawus yang bersumber dari ‘A’isyah, ‘Umar dan ‘Ali.

[Saya katakan] Ucapan saudara Ridho ini perlu dicrosscheck kembali dan diteliti.

Al-Hafizh Ibnu Hajar rahimahullahu berkata di dalam Tahdzibut Tahdzib (V/10):

قال ابن أبى حاتم فى المراسيل ” : كتب إلى عبد الله بن أحمد قال : قلت لابن معين : سمع طاووس من عائشة ؟ قال : لا أراه

Ibnu Abu Hatim di dalam al-Marasil menuliskan kepada ‘Abdullah bin Ahmad yang berkata : Aku berkata kepada Ibnu Ma’in : “Apakah Thowus mendengar dari ‘A`isyah?” beliau (Ibnu Ma’in) menjawab : “Aku tidak berpendapat dia (mendengar dari ‘A`isyah).”

و قال الآجرى ، عن أبى داود : ما أعلمه سمع منها

Al-Ajurri berkata dari Abi Dawud : “Aku tidak mengetahui dia mendengar dari ‘A`isyah.”

و قال أبو زرعة ، و يعقوب ابن شيبة : حديثه عن عمر و عن على مرسل

Abu Zur’ah dan Ya’qub bin Syaibah berkata : “haditsnya dari ‘Umar dan ‘Ali statusnya mursal.”

و قال أبو حاتم : حديثه عن عثمان مرسل

Berkata Abu Hatim : “Haditsnya dari ‘Utsman mursal”.

 

Faidah : Al-‘Allamah Al-Muhaddits ‘Abdul Muhsin al-‘Abbad al-Badr hafizhahullahu menyebutkan di dalam Ithaaful ‘ibaad (op.cit, hal. 80) bahwa Thowus tidak bertemu dengan ‘Umar bin al-Khaththab radhiyallahu ‘anhu dan riwayatnya dari ‘Umar adalah mursal. Syaikh al-Umaisan, penyusun buku Ithaaful ‘Ibaad ini memberikan catatan kaki untuk merujuk kepada al-Maraasiil karya Abi Hatim (hal. 100) dan Tahdzibut Tahdzib.

 

Catatan dan Tambahan Faidah :

Saya akan sedikit menurunkan penjelasan tentang apa itu hadits mursal, macam-macamnya dan bagaimana statusnya agar para pembaca yang masih asing dengan istilah mursal dapat sedikit mudeng (faham). Banyak sekali kitab Mushtholahul Hadits yang dapat dipetik faidahnya tentang hal ini. Namun saya rasa buku Taysiir Mushtholahil Hadits karya DR. Mahmud Thahhan rahimahullahu (cet. Darul Fikr) telah mencukupi. Beliau menjelaskan (hal. 59-60) sebagai berikut :

Mursal secara etimologi/bahasa merupakan ism maf’ul (obyek penderita) dari predikat arsala yang bermakna athlaqo (melepaskan/ membebaskan/ memutlakkan), seakan-akan al-Mursil (pelaku/orang yang melakukan mursal) melepaskan/ memutlakkan isnad dan tidak mengikat/mentaqyidnya dengan seorang perawi yang ma’ruf/dikenal.

Secara terminologi/istilah, mursal itu bermakna menggugurkan sanad terakhir hadits setelah tabi’iy [Nuzhatun Nazhor hal. 43 dan tabi’iy adalah orang yang bertemu dengan sahabat dalam keadaan muslimd dan mati juga dalam kedaan Islam].

Gambarannya : misalnya seorang tabi’iy baik tabi’iy kecil atau besar mengatakan bahwa Rasulullah Shallallahu ’alaihi wa Salam berkata demikian, atau melakukan demikian atau ada yang melakukan perbuatan di hadapan beliau demikian. Ini merupakan gambaran mursal menurut ulama hadits.

Misalnya : hadits yang dikeluarkan oleh Muslim di dalam Shahih-nya dalam Kitabul Buyu’ berkata : ”Menceritakan padaku Muhammad bin Rafi’, menceritakan kami Hujain, menceritakan kami al-Laits dari ’Uqoil dari Ibnu Syihab dari Sa’id bin Musayyib bahwasanya Rasulullah Shallallahu ’alaihi wa Salam melarang dari jual beli muzanabah.”

Di sini, Sa’id bin Musayyib adalah seorang tabi’in besar, beliau meriwayatkan hadits ini dari Nabi Shallallahu ’alaihi wa Salam tanpa menyebut perantara antara beliau dengan Nabi Shallallahu ’alaihi wa Salam. Maka telah gugur/ hilang sanad hadits ini pada posisi akhirnya yaitu perawi setelah tabi’iy, perawi yang gugur ini setidak-tidaknya bisa jadi seorang sahabat, dan bisa jadi pula mengandung kemungkinan selain sahabat seperti tabi’iy lainnya misalnya.

Apa yang disebutkan di atas adalah gambaran mursal menurut ulama hadits. Adapun mursal menurut fuqoha’ dan ushuliyyun maka lebih umum dari gambaran ini. Menurut mereka bahwa setiap hadits yang munqothi’ (terputus sanadnya) itu mursal ditinjau dari aspek manapun akan keterputusannya. Ini juga merupakan madzhabnya al-Khathib (al-Baghdadi).

Hukumnya : Status hadits mursal secara asal adalah dhaif mardud (tertolak), disebabkan oleh hilangnya syarat dari persyaratan diterimanya suatu hadits yaitu ittisholu as-Sanad (tersambungnya sanad, masalah ini telah disebut di awal, pent.) dan dikarenakan ketidaktahuan akan perihal perawi yang dihilangkan tersebut, yang mengandung kemungkinan bahwa perawi yang dihilangkan itu bisa jadi selain sahabat, dan dalam keadaan seperti ini maka bisa jadi hadits itu mengandung kemungkinan dha’if.

Akan tetapi, para ulama dari kalangan ahli hadits dan selainnya berselisih pendapat tentang hukum mursal dan kekuatan hujjahnya. Dikarenakan macam hadits ini merupakan bagian dari inqitha’ (keterputusan sanad) yang diperselisihkan tentang keterputusan di akhir sanad, oleh sebab perawi yang gugur di akhir sanad itu sangat besar kemungkinannya adalah seorang sahabat. Dan seluruh sahabat itu adalah adil serta tidaklah berpengaruh ketidaktahuan akan mereka.

Secara global pendapat ulama di dalam masalah ini ada tiga, yaitu :

  1.  
    1. Dha’if Mardud menurut mayoritas ahli hadis dan kebanyakan ahli ushul dan fikih. Hujjah mereka dalam hal ini adalah perawi yang dihilangkan pada akhir sanad tadi adalah orang yang tidak diketahui perihalnya, yang mengandung kemungkinan bahwa perawi tersebut bukanlah sahabat.

    2. Shahih Yuhtajja bihi (dapat berdalil dengannya) menurut imam yang tiga, yaitu Abu Hanifah, Malik dan Ahmad dari pendapat yang masyhur darinya serta sekelompok ulama, dengan syarat bahwa hadits yang mursal dari perawi tsiqoh, tidaklah perawi itu memursalkan melainkan dari yang tsiqoh pula. Hujjah mereka adalah : bahwasanya seorang tabi’i yang tsiqoh tidak mungkin akan mengatakan “Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Salam bersabda” melainkan apabila ia mendengarnya dari orang yang tsiqoh pula.

    3. Menerima dengan persyaratan, yaitu shahih dengan pesyaratan dan pendapat ini diperpegangi oleh Syafi’i dan sebagian ulama.

Persyaratan ini ada 4, yang tiga berkisar tentang perawi mursal dan yang satu tentang hadits mursal. Berikut ini adalah persyaratan tersebut :

  1. Al-Mursil (Perawi yang memursalkan) haruslah termasuk tabi’in senior.

  2. Apabila ia menyebutkan perawi yang dimursalkan maka ia menyebutkan perawi tsiqoh.

  3. Apabila besertanya adalah para huffazh al-Ma’munun (yang mantap) yang tidak menyelisihi (riwayat)-nya

  4. Apabila memiliki satu dari tiga syarat di bawah ini :

    1. Haditsnya diriwayatkan dari sisi lain secara musnad

    2. Atau diriwayatkan dari sisi lain secara mursal dengan memursalkan perawi yang mengambil ilmu dari selain perawi-perawi mursal pertama atau selaras dengan ucapan salah seorang sahabat

    3. Atau difatwakan oleh mayoritas ulama. [Lihat ar-Risalah karya Syafi’i, hal. 461].

Syaikh ath-Thohhan melanjutkan dengan menjelaskan Mursal Shohabiy (hal. 61) : ”Mursal Shohabiy adalah apa yang diberitakan oleh seorang sahabat dari sabda Rasulullah Shallallahu ’alaihi wa Salam atau perbuatannya, yang sahabat ini tidak mendengarnya atau menyaksikannya, bisa jadi karena umurnya yang masih muda atau masuk islamya belakangan atau karena ketidakhadirannya. Banyak sekali hadits macam ini oleh para sahabat kecil, seperti Ibnu ’Abbas, Ibnu Zubair dan selainnya.

Hukumnya : yang shahih dan masyhur adalah, jumhur ulama memastikannya bahwa hadits ini shahih dan dapat berhujjah dengannya, dikarenakan riwayat seorang sahabat dari tabi’in suatu yang sangat jarang, dan apabila mereka meriwayatkan dari tabi’in niscaya mereka akan menjelaskannya. Apabila mereka tidak menjelaskannya dan mengatakan, ”Rasulullah Shallallahu ’alaihi wa Salam bersabda” maka pada asalnya mereka mendengarkannya dari sahabat yang lain, maka penghilangan jati diri sahabat lainnya tidaklah berpengaruh, sebagaimana telah berlalu [yaitu seluruh sahabat seluruhnya adil, tidak sebagaimana tuduhan syiah yang mengkafirkan dan menfasikkan sebagian besar sahabat, pent.].

Faidah : Al-’Allamah al-’Abbad dalam Ithaaful ’Ibaad (hal. 121) menjelaskan Ahkaamul Maraasiil (hukum hadits mursal). Beliau berkata :

Marasil (plural/jamak dari mursal)-nya tabi’in bukanlah hujjah, dikarenakan perawi yang gugur mengandung kemungkinan seorang sahabat atau seorang tabi’iy, perawi tabi’iy mengandung kemungkinan kedua yaitu bisa jadi seorang yang tsiqot dan bisa jadi seorang yang dho’if. Dengan demikian menjadi jelaslah atas kesalahan penulis Baiquniyah yang mengatakan :

ومرسل منه الصحابي سقط

Dan mursal adalah (hadits yang) dari (sanad)-nya gugur seorang sahabat.”

Dikarenakan ketidaktahuan akan seorang sahabat tidaklah berpengaruh, namun akanlah berpengaruh apabila selain sahabat yang tidak diketahui (majhul).”

[Saya berkata] Sungguh benar al-’Allamah al-’Abbad, karena definisi yang disebutkan oleh al-Imam Baiquni dalam Manzhumah al-Baiquniyah-nya keliru. Hal ini telah diisyaratkan oleh Syaikh ’Abdus Satar yang membuat manzhumah meluruskan manzhumah al-Baiquniyah. Beliau berkata :

ومرسل من فوق تابع سقط

Dan mursal adalah (hadits yang) perawi di atas tabi’in gugur.”

Kesimpulan : Apa yang disebutkan oleh Saudara Ridha di atas secara garis besar adalah benar. Namun saya memiliki beberapa catatan :

  1. Saudara Ridha tidak menyebut referensi penukilannya. Saya berbaik sangka mungkin beliau belum memiliki kelapangan untuk menyebutkannya

  2. Ucapannya bahwa Thowus rahimahullahu menerima hadits dari ’A`isyah, ’Umar dan ’Ali perlu diteliti kembali. Penjelasan al-Hafizh dan beberapa ulama -sebagaimana telah berlalu- menunjukkan bahwa haditsnya dari ketiga sahabat di atas berstatus mursal.

  3. Hadits mursal dari tabi’iy menurut pendapat yang paling rajih adalah dha’if statusnya, tanpa menafikan naiknya derajat hadits tersebut dengan jam’u thuruq (menghimpun jalur periwayatan lainnya) baik mutaba’ah atau syawahid-nya

  4. Yang terpenting lagi, saya belum menemukan ucapan ulama yang menyebut bahwa Thawus rahimahullahu adalah seorang syi’ah atau tasyayu’. Padahal pembahasan kita ini adalah tentang perawi tasyayu’ yang diterima periwayatannya oleh ahli hadits sunni. Maka untuk itu, saudara Ridha harus menunjukkan pendapat ulama hadits sunni yang menyebut bahwa Thawus adalah syi’ah. Jika saudara Ridha menukil dari kaum syi’ah, maka –maaf-maaf saja-, saya tidak bisa menerimanya, karena mereka kaum pendusta yang suka menyandarkan para ulama kepada madzhabnya padahal ini tidak benar.

 

2. ’Abdurrahman bin Shalih al-Azdi

2.Abdurahm’an ibn Shaleh al-Azdi al-Ataki = Diceritakan bahwa Ibn Shaleh akan menemui Ahmad ibn Hanbal. Dikatakan hal itu kepada Ahmad. Lalu Ahmad berkata: “Maha Suci Allah! ia seorang yang mencintai keluarga Nabi. Ia adil.”

Menurut Yahya ibn Mu’in, ia tsiqat, jujur, dan syi’ah. Bagi Ibn Shaleh, demikian Yahya, jatuh pingsan dari langit lebih ia sukai daripada berdusta walau hanya sepatah kata. Abu Hatim menilai Ibn Shaleh sebagai orang yang jujur. Musa ibn Harun berkata: “Ia tsiqat, yang bercerita tentang kekurangan-kekurangan para istri Rasulullah dan para sahabat:” Abu al-Qasim berkata: “Aku mendengar Ibn Shaleh berkata: “Orang paling utama setelah Nabi Muhammad adalah Abu Bakar dan ‘Umar.” Shaleh ibn Muhammad berkata: “Ia orang Kufah, yang mencerca ‘Utsman, tetapi ia jujur.”

Abu Dawud berkata: “Aku tidak berminat untuk mendaftar hadits Ibn Shaleh. Ia menulis buku yang mengecam sahabat-sahabat Rasul” Ibn Hibban menyebut Ibn Shaleh dalam kitab ats-Tsiqat. Ibn Adi berkata: “Ibn Shaleh sangat dikenal di kalangan orang Kufah. Tidak ada orang yang menyatakan haditsnya dha’if. Hanya saja ia sangat menonjol dalam berpaham Syi’ahnya.

 

Tanggapan :

Baiklah mari kita cek penukilan saudara Ridho… untuk mempersingkat halaman dan waktu agar pembaca tidak bosan, maka saya ambil poin-poin penting saja dan menyebutkan hal-hal yang terkait saja dengan ulasan saudara Ridho di atas. Saya hanya akan menyebutkan biografi global dan penilaian ulama, lalu kesimpulan serta beberapa hal yang saya rasa penting dan perlu.

 

Biografi Global :

Nama : ’Abdurrahman bin Sholih al-Azdi al-’Ataki, Abu Sholih. Ada yang berpendapat kunyahnya adalah Abu Muhammad al-Kufi. Tinggal di Baghdad bertetangga dengan ’Ali bin Ja’d.

Thobaqoh : Ke-10 dari tabi’u tabi’ at-Tabi’in senior.

Wafat : 235 H.

Ulama Yang Meriwayatkan Darinya : Imam an-Nasa`i.

Tingkatannya Menurut Ibnu Hajar : Shoduq (jujur) yatasyayu’ (condong ke Syi’ah).

 

Pandangan Ulama Terhadapnya

Saudara Ridha berkata :

Diceritakan bahwa Ibn Shaleh akan menemui Ahmad ibn Hanbal. Dikatakan hal itu kepada Ahmad. Lalu Ahmad berkata: “Maha Suci Allah! ia seorang yang mencintai keluarga Nabi. Ia adil.”

Setelah saya periksa, demikian naskah aslinya sebagaimana disebutkan oleh al-Mizzi dalam Tahdzibul Kamal :

قال يعقوب بن يوسف المطوعى : كان عبد الرحمن بن صالح الأزدى رافضيا و كان يغشى أحمد بن حنبل ، فيقربه و يدنيه ، فقيل له : يا أبا عبد الله ، عبد الرحمن بن صالح رافضى . فقال : سبحان الله ، رجل أحب قوما من أهل بيت النبى صلى الله عليه وسلم نقول له ( لا ) تحبهم ! هو ثقة .

Berkata Ya’qub bin Yusuf al-Muthu’i : ”Adalah ’Abdurrahman bin Sholih al-’Azdi seorang Rafidhi dan ia hendak mendatangi Ahmad bin Hanbal maka ia mendekati Imam Ahmad. Seseorang berkata kepada Imam Ahmad : ”Wahai Aba Abdillah, ’Abdurrahman bin Shalih itu seorang Rafidhi.” Lantas Imam Ahmad menukas : ”Subhanalloh, (dia itu) seseorang yang mencintai kaum dari ahli bait (keluarga) Nabi Shallallahu ’alaihi wa Salam dan (mana mungkin) kami katakan padanya : janganlah kamu mencintai mereka (ahlu bait)! Dia itu tsiqoh.”

 

Saudara Ridha menukil :

Menurut Yahya ibn Mu’in, ia tsiqat, jujur, dan syi’ah. Bagi Ibn Shaleh, demikian Yahya, jatuh pingsan dari langit lebih ia sukai daripada berdusta walau hanya sepatah kata.

Masih dalam Tahdzibul Kamal, al-Mizzi membawakan pendapat Ibnu Ma’in yang cukup banyak. Diantaranya yang maknanya sama dengan yang disampaikan oleh saudara Ridha. Berikut ini teksnya :

و قال سهل بن على الدورى : سمعت يحيى بن معين يقول : يقدم عليكم رجل من أهل الكوفة ، يقال له : عبد الرحمن بن صالح ، ثقة ، صدوق ، شيعى ، لأن يخر من السماء أحب إليه من أن يكذب فى نصف حرف .

Berkata Sahl bin ’Ali ad-Duri : Aku mendengar Yahya bin Ma’in berkata : Ada orang terdepan di antara kalian dari penduduk Kufah, dikatakan tentangnya : ’Abdurrahman bin Sholih, seorang tsiqoh, shoduq, syi’i. Dikarenakan ia dijatuhkan dari langit lebih ia cintai daripada harus berdusta walau sepenggal huruf.

 

Saudara Ridha berkata :

Abu Hatim menilai Ibn Shaleh sebagai orang yang jujur. Musa ibn Harun berkata: “Ia tsiqat, yang bercerita tentang kekurangan-kekurangan para istri Rasulullah dan para sahabat:” Abu al-Qasim berkata: “Aku mendengar Ibn Shaleh berkata: “Orang paling utama setelah Nabi Muhammad adalah Abu Bakar dan ‘Umar.” Shaleh ibn Muhammad berkata: “Ia orang Kufah, yang mencerca ‘Utsman, tetapi ia jujur.”

Setelah dicek dikatakan :

و قال أبو حاتم : صدوق

Abu Hatim berkata : ”shoduq”.

و قال موسى بن هارون : شاعى محترق ، خرقت عامة ما سمعت منه ، يروى أحاديث سوء فى مثالب أصحاب رسول الله صلى الله عليه وسلم .

Musa bin Harun berkata : ”Penyebar kebingungan yang membingungkan orang banyak yang mendengarkan ucapannya. Ia meriwayatkan hadits buruk seputar kejelekan para sahabat Rasulullah Shallallahu ’alaihi wa salam.”

و قال فى موضع آخر : كان ثقة ، و كان يحدث بمثالب أزواج رسول الله صلى الله عليه وسلم و أصحابه .

Beliau (Musa bin Harun) berkata pada tempat yang lain : ”Dia orang yang tsiqoh dan menceritakan kejelekan isteri-isteri Rasullullah Shallallahu ’alaihi wa salam dan para sahabat.”

و قال على بن محمد بن حبيب المروزى ، عن صالح بن محمد الحافظ : صدوق .

Berkata ’Ali bin Muhammad bin Habib al-Maruzi (ada yang membaca al-Marwazi) dari Sholih bin Muhammad al-Hafizh (tentang Ibnu Sholih) : ”Shoduq”.

و قال عبد المؤمن بن خلف النسفى ، عن صالح بن محمد : كوفى صالح ، إلا أنه كان يقرض عثمان ! و

Berkata ’Abdul Mu`min bin Kholaf an-Nasafi dari Sholih bin Muhammad : ”Seorang penduduk Kufah yang shalih, hanya saja ia mencela ’Utsman!”

قال أبو القاسم البغوى : سمعت عبد الرحمن بن صالح الأزدى يقول : أفضل ، أو خير هذه الأمة بعد نبيها أبو بكر و عمر .

Berkata Abul Qosim al-Baghowi : Aku mendengar ’Abdurrahman bin Shalih al-Azdi berkata : ”Seutama-utama atau sebaik orang umat ini setelah Nabi adalah Abu Bakr dan ’Umar.”

 

Saudara Ridha berkata :

Abu Dawud berkata: “Aku tidak berminat untuk mendaftar hadits Ibn Shaleh. Ia menulis buku yang mengecam sahabat-sahabat Rasul” Ibn Hibban menyebut Ibn Shaleh dalam kitab ats-Tsiqat. Ibn Adi berkata: “Ibn Shaleh sangat dikenal di kalangan orang Kufah. Tidak ada orang yang menyatakan haditsnya dha’if. Hanya saja ia sangat menonjol dalam berpaham Syi’ahnya.

Setelah dicek demikian disebutkan :

و قال أبو عبيد الآجرى : سألت أبا داود عن عبد الرحمن بن صالح . فقال : لم أر أن أكتب عنه ، وضع كتاب مثالب فى أصحاب رسول الله صلى الله عليه وسلم . قال : و ذكره مرة أخرى فقال : كان رجل سوء

Berkata Abu ’Ubaid al-Ajurri : Aku bertanya kepada Abu Dawud tentang ’Abdurrahman bin Shalih, lantas beliau menjawab : ”Aku tidak berminat menulis (riwayat) darinya. Dia meletakkan kitab celaan-celaan terhadap sahabat Rasulullah Shallallahu ’alaihi wa salam.” Abu ’Ubaid berkata : Beliau menyebutkannya sekali lagi lalu berkata : ”Dia adalah orang yang jelek.”

و ذكره ابن حبان فى كتاب الثقات ” . و قال أبو أحمد بن عدى : معروف مشهور فى الكوفيين ، لم يذكر بالضعف فى الحديث و لا اتهم فيه ، إلا أنه محترق فيما كان فيه من التشيع

Ibnu Hibban menyebutkannya di dalam buku ats-Tsiqoot. Abu Ahmad bin ’Adi berkata : ”Terkenal dan Masyhur di kalangan penduduk Kufah. Belum ada yang menyebutkan kedhaifannya di dalam hadits dan tuduhan atasnya, hanya saja ia orang yang begitu bersemangat dengan apa yang ada dalam dirinya berupa faham syiah.”

[Saya berkata] Terjadi silang pendapat di antara para ulama tentang Jarh dan Ta’dil pada dirinya. Kebanyakan jarh yang sampai padanya kembali ke masalah tasyayu’ yang ada pada dirinya dan haditsnya yang menceritakan cerita fitnah seputar isteri dan sahabat Rasulullah. Hanya saja ia seorang yang jujur tidak pernah berdusta. Berbeda dengan kaum syiah pada umumnya yang sangat gemar berdusta. Ia pun memuji sahabat Abu Bakr dan ’Umar sedangkan Rafidhah umumnya mengkafirkan kedua sahabat yang mulia ini. Namun ia mencela beberapa sahabat terutama sahabat ’Utsman Radhiyallahu ’anhu. Perawi ahlus sunnah yang meriwayatkan darinya tercatat hanya Imam an-Nasa`i, itupun beliau hanya meriwayatkan satu buah hadits saja. Sebagaimana dikatakan oleh al-Mizzi dalam Tahdzibul Kamal :

روى له النسائى فى كتاب الخصائص حديثا واحدا ، من رواية محمد بن كعب عن علقمة ، عن على

Nasai meriwayatkan darinya di dalam kitab al-Khasha`ish satu buah hadits saja, dari riwayat Muhammad bin Ka’ab ’Alqomah, dari ’Ali.”

Dalam pembahasan ini adalah beberapa komentar yang ingin saya berikan kepada Saudara Ridha :

  1. Anda benar bahwa Ibnu Shalih al-Azdi ini seorang yang terpengaruh dengan pemahaman Syi’ah. Namun ia dikatakan para ulama shoduq dan diriwayatkan tidak pernah berdusta. Berbeda dengan kaum syiah pada umumnya.

  2. Saya ’kan meminta anda untuk membawakan Rijal (perawi) Bukhari yang tasyayu’, sebagaimana anda sebutkan. Namun anda membawakan salah seorang rijal Nasa`i; dan itupun Nasa`i hanya meriwayatkan satu hadits saja darinya. Bahkan Abu Dawud tidak mau menuliskan haditsnya dan menyebut dirinya ”Rajulun Suu`”.

  3. Sebagaimana pendahuluan yang saya kemukakan dengan cukup panjang di atas, bahwa penerimaan riwayat dari ahli bid’ah itu tidak serta merta otomatis menunjukkan akan rekomandasi atas madzhabnya. Bahkan para ulama, walaupun menyebutkan sifatnya yang tsiqoh, shoduq dst… namun mereka juga menyebutkan jarh terhadapnya tentang kecenderungannya kepada madzhab bid’ah, yaitu madzhab syi’ah.

Bersambung Bagian 3


Related articles

 Comments 2 comments

  • Ibnu Ardhi says:

    Assalamu’alaikum wr wb
    Walau didahului dengan cacimaki dan stigma buruk serta kekanak-kanakkan atas Syi’ah, akhirnya abusalma tidak bisa mengelak lagi dan membenarkan orang2 Syi’ah tersebut memang terdapat dalam sanad-sanad hadis Ahlus Sunnah.
    Sebagai tambahan info, saudara abusalma bisa mendapatkan 100 nama orang Syi’ah yang diakui sendiri oleh ulama2 Ahlus Sunnah sebagai orang Syi’ah yang namanya terdapat dalam rangkaian sanad-sanad hadits Ahlus Sunnah, termasuk Kutubus Sittah yakni Bukhori, Muslim, Abu Daud, Turmudzi, Nasai dan Ibnu Majah, dalam kitab Dialog Sunnah Syi’ah.
    wass

    Wa’alaikumus salam warohmatullahi wabarokatuh
    Penyebutan perawi yang tsiqoh namun tasyayu’ itu adalah ta’dil dan jary sekaligus. Jarh akan kesyiahan perawi syiah namun apabila ia tsiqoh, adil, dhabit, waro’, taqwa dan persyaratan lainnya sebagaimana di atas, dipertimbangkan sebagai kehati-2an di dalam menerima periwayatannya yg menyokong kepada madzhab bid’ahnya. Ini bukan rekomendasi thd madzhab sesat syiah. Allohumma…

  • Abu Hannan says:

    syubhat2 mereka ini tentang para perawi biasa mereka kutip dari buku dialog sunni-syiah (Al Murajaat) karangan al musawi… sebuah dialog fiktif dan penuh talbis..yang mereka jelas tidak bisa membedakan antara orang yang berfaham tasyayu’ dengan orang-orang yang memang jelas2 syiah rafidhah..

  • Leave a Reply

    Your email address will not be published. Fields with * are mandatory.