KAWIN KONTRAK : TRADISI KAUM SYIAH
KAWIN KONTRAK : TRADISI KAUM SYI’AH
Dalam urusan nikah mut’ah Syi’ah memiliki banyak keburukan, kekejian, hal-hal yang menjijikkan dan kebodohan terhadap Islam. Mereka mengangkat nilai setiap keburukan dan meninggikan setiap yang kotor. Mereka menghalalkan apa yang diharamkan Allah (berupa zina) atas nama agama dan dusta terhadap para Imam. Mereka membolehkan semua yang mereka mau, mereka membiarkan nafsu tenggelam dalam kelezatan yang menipu dan kemungkaran-kemungkaran. Mut’ah adalah sebaik-baik saksi dan bukti, mereka telah menghiasi mut’ah dengan segala kesucian, keagungan dan keanggunan, hingga mereka menjadikan balasan pelakunya adalah surga -Naudzubillah-, mereka memperbanyak keutamaan-keutamaan mut’ah dan keistimewaannya, seraya menyesatkan -sebagaimana lazimnya- orang-orang yang mereka jadikan sebagai tawanan bagi ucapan-ucapan mereka yang dusta. Di antaranya ialah:
Al-Kasyani dalam tafsirnya, berbohong atas Rasulullah Shallallahu’alaihi wasallam, mereka mengatakan bahwa beliau bersabda, Telah datang kepadaku Jibril darl sisi Tuhanku, membawa sebuah hadiah. Kepadaku hadiah itu adalah menikmati wanita-wanita mukminah (dengan kawin kontrak). Allah belum pernah memberikan hadiah kepada para nabipun sebelumku, Ketahuilah mut’ah adalah keistimewaan yang dikhususkan oleh Allah untukku, karena keutamaanku melebihi semua para nabi terdahulu. Barangsiapa melakukan mut’ah sekali dalam umurnya, la menjadi ahli surga. Jika laki-laki dan wanita yang melakukan mut’ah berter di suatu tempat, maka satu malaikat turun kepadanya untuk menjaga hingga mereka berpisah. Apabila mereka bercengkerama maka obrolan mereka adalah berdzikir dan tasbih. Apabila yang satu memegang tangan pasangannya maka dosa-dosa dan kesalahan-kesalahan bercucuran keluar dari jemari keduanya. Apabila yang satu mencium yang lain maka ditulis pahala mereka setiap ciuman seperti pahala haji dan umrah. Dan ditulis dalam jima’ (persetubuhan) mereka, setiap syahwat dan kelezatan satu kebajikan bagaikan gunung-gunung yang menjulang ke langit. Jika mereka berdua asyik dengan mandi dan air berjatuhan, maka Allah menciptakan dengan setiap tetesan itu satu malaikat yang bertasbih dan menyucikan Allah, sedang pahala tasbih dan taqdisnya ditulis untuk keduanya hingga hari Kiamat.” (Tafsir Manhaj Asshadiqin Fathullah Al-Kasyani)
Mereka juga berdusta atas nama Ja’far Ash-Shadiq, alim yang menjadi lautan ilmu ini! dikatakan oleh mereka telah bersabda: “Mut’ah itu adalah agamaku dan agama bapak-bapakku. Yang mengamalkannya, mengamalkan agama kami dan yang mengingkarinya mengingkari agama kami, bahkan ia memeluk agama selain agama kami. Dan anak dari mut’ah lebih utama dari pada anak istri yang langgeng. Dan yang mengingkari mut’ah adalah kafir murtad.” (Tafsir Manhaj Asshadiqin Fathullah Al-Kasyani hal.356)
Mereka juga berbohong atas nama Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wasallam, mereka mengatakan bahwa beliau bersabda: “’Barangsiapa melakukan mut’ah sekali dimerdekakan sepertiganya dari api neraka, yang mut’ah dua kali dimerdekakan dua pertiganya dari api neraka dan yang melakukan mut’ah tiga kali dimerdekakan dirinya dari neraka.”
Mereka menambah tingkat kejahatan dn kesesatan merea dengan meriwayatkan atas nama Rasulullah Shallallhu‘alihi wasallam: “Barangsiapa melakukan mut’ah dengan seorang wanita Mukminah, maka seoloh-olah dia telah berziarah ke Ka’bah (berhaji sebanyak 70 kali).(‘Ujalah Hasanah Tarjamah Risalah Al Mut’ah oleh Al-Majlisi Hal.16).
Mut’ah, Rukun, Syarat dan Hukumnya
Fathullah Al-Kasyani menukil di dalam tafsirnya sebagai berikut, “Supaya diketahui bahwa rukun akad mut’ah itu ada lima: Suami, istri, mahar, pembatasan waktu (Taukit) dan shighat ijab qabul.” (Tafsir Manhaj Asshadiqin Fathullah Al-Kasyani hal.357)
Dia menjelaskan, “Bilangan pasangan mut’ah itu tidak terbatas, dan pasangan laki-laki tidak berkewajiban memberi nama, tempat tinggal, dan sandang serta tidak saling mewarisi antara suami-istri dan dua pasangan mut’ah ini. Semua ini hanya ada dalam akad nikah yang langgeng,” (Tafsir Manhaj Asshadiqin Fathullah Al-Kasyani hal.352)
Syarat-syarat Mut’ah
-
Perkawinan ini cukup dengan akad (teransaksi) antara dua orang yang ingin bersenang-senang (mut’ah) tanpa ada para saksi!
-
Laki-laki terbebas dari beban nafkah!
-
Boleh bersenang-senang (tamattu’) dengan para wanita tanpa bilangan tertentu, sekalipun dengan seribu wanita!
-
Istri atau pasangan wanita tidak memiliki hak waris!
-
Tidak disyaratkan adanya ijin bapak atau wali perempuan!
-
Lamanya kontrak kawin mut’ah bisa beberapa detik saja atau lebih dari itu!
-
Wanita yang dinikmati (dimut’ah) statusnya sama dengan wanita sewaan atau budak!
Abu Ja’far Ath-Thusi menukil bahwa Abu Abdillah Alaihis-Salam (Imam mereka yang di anggap suci) ditanya tentang mut’ah apakah hanya dengan empat wanita?
Dia menjawab, “Tidak, juga tidak hanya tujuh puluh.”
Sebagaimana dia juga pernah ditanya apakah hanya dengan empat wanita?
Dia menjawab, “Kawinlah (secara mut’ah) dengan seribu orang dari mereka karena mereka adalah wanita sewaan, tidak ada talak dan tidak ada waris dia hanya wanita sewaan.”(At-Tahdzif oleh Abu Ja’far Aht-Thusi, Juz III/188)
Mereka menisbatkan kepada imam keenam. yang ma’shum dia bersabda, “Tidak mengapa mengawini gadis jika dia rela tanpa ijin bapaknya.” (At-Tahdzif Al-Ahkam juz VII/256)
Mereka menisbatkan kepada Ja’far Ash-Shadiq, dia ditanya, “Apa yang harus, saya katakan jika saya telah berduaan dengannya?” Dia berkata, engkau cukup mengatakan ,aku mengawinimu secara mut’ah (untuk bersenang-senang saja) berdasarkan kitab Allah dan sunnah Rasul-Nya, tidak ada yang mewarisi dan tidak ada yang diwarisi, selama sekian! hari.Jika kamu mau, sekian tahun, Dan kamu sebutkan upahnya, sesuatu yang kalian sepakati sedikit atau banyak.(Al-Furu’ Min Al Kafi Juz V/455)
Demikianlah kawin mut’ah dalam agama Syi’ah yang dengannya mereka menipu orang-orang bodoh dari kalangan orang-orang yang awam, seraya menyihir mata mereka dengan berbagai macam atraksi sulap dan sihir serta, mengada-ada ucapan dusta, atas nama Allah dan Rasul-Nya.
Bantahan terhadap Kebolehan Mut’ah
Sesungguhnya nikah mut’ah pernah dibolehkan pada awal Islam untuk kebutuhan dan darurat waktu itu kemudian Rasulullah Shallallahu’alaihi wasallam mengharamkannya untuk selama-lamanya hingga hari Kiamat. Beliau malah mengharamkan dua kali, pertama pada waktu Perang Khaibar tahun 7 H, dan yang kedua pada Fathu Makkah, tahun 8 H.
Mereka [Syi’ah sendiri] meriwayatkan bahwa Ali berkata, “Rasullullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam telah mengharamkan pada Perang Khaibar daging himar jinak dan nikah mut’ah.” (At-Tahdzif Juz II/186) Riwayat inipun terdapat dalam sahih Bukhari. Maka semakin jelas tentang agama mereka yang dibangun atas dasar rekayasa, ucapan mereka bertentangan satu sama lain. Maka kami membantah kalian wahai Syi’ah !!, dengan kitab-kitab kalian sendiri.
Ini adalah salah satu sebab yang membuat mereka berakidah taqiyah (berbohong). Padahal perlu diketahui bahwa dalam agama Syi’ah tidak boleh melakukan taqiyah dalam mut’ah, la taqiyyata fi al-mut’ah (tidak ada taqiyah dalam mut’ah).
Ali, Umar dan Ibnu Abbas Berlepas Diri
Kemudian, Umar tidak pernah mengatakan, “Mut’ah halal pada zaman Nabi dan saya melarangnya!” Tetapi mut’ah dulu halal dan kini Umar menegaskan dan menegakkan hukum keharamannya. Yang demikian itu karena masih ada orang yang melakukannya. Adapun dia mengisyaratkan bahwa dulu memang pernah halal, ya, akan tetapi beberapa waktu setelah itu diharamkan. Di antara yang menguatkan lagi adalah pelarangan ‘Ali ketika menjadi khalifah.
Syi’ah tidak memiliki bukti dari Salaf Shalih kecuali dari Ibnu Abbas Radhiallahu ‘anhu, akan tetapi Ibnu abbas sendiri telah rujuk dan mencabut kembali kebolehannya kembali kepada pengharamannya, ketika di mengetahui larangan dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Dia (Ibnu Abbas) telah berkata : “Sesungguhnya hal ini perlu saya jelaskan agar sebagian Syi’ah Rafidhoh tidak berhasil mengelabui sebagian kaum Muslimin.” (Sunan Al-Baihaqi 318 100 ; muhammad Al-Ahdal, hal. 251-252)
Sebagaimana kitab Syi’ah sendiri menyebutkan keharamannya, dan Imam Syi’ah ke-enam [yang diangap suci dari kesalahan] telah berkata kepada sebagian sahabatnya : “Telah aku haramkan mut’ah atas kalian berdua” (Al-Furu’ min Al-Kafi 2 48).
Adapun dalil mereka dengan sebagian hadits-hadits yang ada pada kitab Shahih Ahlussunnah maka hadits-hadits tersebut telah dinasakh [dihapus hukumnya]. Hal ini menjadi jelas dari hadits-hadits yang datang mengharamkan setelahnya. Di antara yang menunjukkan mut’ah bukan nikah adalah mereka [syi’ah] memandang bahwa mut’ah boleh dengan berapa saja sekalipun seribu wanita. Ini adalah menyalahi Syari’at yang hanya membolehkan [paling banyak] empat wanita.
Syaikh Mamduh Farhan Al-Buhairi “Asy-Syi’ah minhum ‘alaihim”
[Al-Hujjah Risalah No: 48 / Thn IV / Shafar / 1423H]
Asalamu’alaikum
Maaf, pengen nanya aja.
Mut’ah pernah dihalalkan dengan alasan apa yah?
padahal kan jelas tindakan ini sama aja dengan zina.
Assalamualaikum,
Dulu mut’ah dihalalkan An Nisaa’ 24. dan (diharamkan juga kamu mengawini) wanita yang bersuami, kecuali budak-budak yang kamu miliki[282] (Allah telah menetapkan hukum itu) sebagai ketetapan-Nya atas kamu. Dan dihalalkan bagi kamu selain yang demikian[283] (yaitu) mencari wanita-wanita dengan hartamu untuk dikawini bukan untuk berzina. Maka wanita-wanita yang telah kamu nikmati (campuri) di antara mereka, berikanlah kepada mereka maharnya (dengan sempurna), sebagai suatu kewajiban; dan tiadalah mengapa bagi kamu terhadap sesuatu yang kamu telah saling merelakannya, sesudah menentukan mahar itu[284]. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.
Tetapi menurut ustadz abu salma nikah mut’ah itu sama saja dengan pelacuran, saya koq bingung, mungkinkah Allah swt dan Rasulullah saaw, keliru dalam membolehkan nikah mut’ah, karena ternyata (menurut ustadz abu salma) sama dengan pelacuran..!!!!
Ada seorang ibu/janda sopir taxi dengan 3 putra yang masih kecil2, ada 4 opsi yang kita bisa lakukan untuknya:
1. Nikahi yang langgeng dg syarat harus berlaku adil.
2. Nikahi secara mutah,dlm waktu 1jam/1hari/1bulan/1tahun/1abad.
3. Disantuni/dicukupi kebutuhan keuangannya (padahal istri kita sendiri dicukupi dg uang saja pasti tidak mau).
4. Biarkan aja.(yang ke 4 ini perilaku orang yg tidak beriman).
Kelihatannya ustadz abu salma memilih opsi yang ke 4 ya……
anda menutup mata terhadap muslimah2 kita yang dizinai oleh orang2 kafir, musyriq. termasuk kyai2 di MUI, umat muslimahnya diperlakukan spt itu koq diam aja..piye to!!!!
Kalau ada orang yg menyalahgunakan kehalalan nikah mut’ah, bukan nikah mut’ahnya yang diharamkan, orangnyalah – yang menyalah gunakan itu yang dihukum.
Sebelum menulis itu mbok ya mohon hidayah Allah swt dulu spt Nabi Ibrahim,
Ash Shaaffat 99. Dan Ibrahim berkata:”Sesungguhnya aku pergi menghadap kepada Tuhanku, dan Dia akan memberi petunjuk kepadaku[1282].
Bukankah antum 5 kali sehari menghadap Allah swt…,makanya shalatnya jangan berbohong, menyatakan menghadap Allah swt ternyata hatinya melayang-layang.
Jangan sampai niatnya menulis mau beramal soleh malah jadinya beramal SALAH, ustadz kasihan banget antum.
Ngeri kalau membayangkan keyakinan antum ” berijtihad benar pahalanya 2, yang salah dapat 1 pahala ( salah yo dibakar to…piye iki). Salam
Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh.
Terimakasih-terimakasih balasan salam dan komentarnya ustad abu salma,
Ustad abu salma: Dulu memang nikah mut’ah sempat dibolehkan, lalu kemudian diharamkan dengan
kesepakatan para ulama ahlus sunnah. Adapun ahlul bid’ah, maka kesepakatan mereka tidaklah diterima.
Mualaf: Jadi benar ya ustad dulu nikah mut’ah itu di bolehkan berdasarkan surat An Nisaa’ 24: dan (diharamkan juga kamu mengawini) wanita yang bersuami, kecuali budak-budak
yang kamu miliki[282] (Allah telah menetapkan hukum itu) sebagai ketetapan-Nya atas kamu.
Dan dihalalkan bagi kamu selain yang demikian[283] (yaitu) mencari wanita-wanita dengan hartamu
untuk dikawini bukan untuk berzina.
Maka wanita-wanita yang telah kamu nikmati (campuri) di antara mereka, berikanlah kepada mereka maharnya
(dengan sempurna), sebagai suatu kewajiban; dan tiadalah mengapa bagi kamu terhadap sesuatu
yang kamu telah saling merelakannya, sesudah menentukan mahar itu[284].
Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.
[—truncated—]
syukron, jazakallah
Assalamualaikum,
Pak
Ustadz, ada sebuah kecamatan terdiri dari beberapa desa yang sebagian warganya melegalkan kawin kontrak, misalnya : Maharnya pakai mesin jahit atau uang satu juta di situ nikahnya juga ada wali dan saksi. Kalau sudah resmi jadi suami istri, bila dalam waktu 2 bulan si suami tidak pernah mengunjungi istri maka dianggap suami tersebut sudah menceraikan istri, dan si istri boleh menikah lagi.Pertanyaannya : misalnya temen ana mau nikah lagi dengan wanita di daerah tersebut (krn tdk rewel di poligami) tapi dengan niatan membina hidup selamanya dengan aturan-2 kontrak yang ada di daerah tersebut boleh ngga? syah ngga pernikahan tersebut
Bagi yang penasaran seperti apa itu nikah mut’ah coba baca disini:
http://kilasanku.wordpress.com/2008/09/25/nikah-mutah-dan-pelacuran/ dan http://kilasanku.wordpress.com/2008/09/25/indahnya-nikah-mutah/
Artikel ini saya ambil dari http://hakekat.com, tapi entah kenapa website itu down, tapi alhamdulillah, artikel – artikel disana sempat saya arsipkan di blog saya.
btw: saya tidak ada hub. dengan hakekat.com, hanya blogger yang copas artikel http://hakekat.com, tapi saya baca dulu kok.
Assalamu’alaykum wa rahmatullah…
@Akh Punulis Bebas :
Situs hekekat.com ndak down kok, akhy…
InsyaAllah akan terus eksis, demi tegaknya Islam.
iya, beberapa hari setelah menulis komentar diatas situs itu sudah aktif lagi. Sekarang sudah gak lagi. Tp gpp kan..
Nikah Mut’ah : Pengalaman Bersama Imam Khomeini[1]
Oleh : Al-Syeikh Al-Allamah Dr. Sayid Husain Al-Musawi Al-Husaini[2]
Ketika Imam Al-Khomeini tinggal di Iraq, kami berulang alik menemuinya dan menimba ilmu daripadanya sehingga hubungan kami dengannya menjadi rapat. Pernah sekali aku mendapat peluang musafir bersama beliau setelah beliau mendapat jemputan dari bandar Tal’afir, sebuah bandar yang terletak di barat Mausil2 yang jauh perjalanannya sekitar sejam setengah dengan menaiki kereta. Beliau telah mengajak ku untuk musafir bersamanya, maka aku pun bermusafir bersamanya. Mereka menyambut dan memuliakan kami selama tempoh kami tinggal bersama di salah sebuah keluarga Syiah di sana. Mereka berjanji akan menyampaikan ajaran Syiah di tempat tersebut dan mereka masih menyimpan gambar kenangan bersama kami yang diambil di rumah mereka.
Setelah selesai tempoh musafir, kami pulang. Ketika dalam perjalanan pulang ke Baghdad, Imam Al-Khomeini ingin berehat daripada keletihan musafir, lalu beliau menyuruh kami menuju ke kawasan Al ‘Atifiah yang merupakan tempat tinggal seorang lelaki berasal daripada Iran yang dikenali dengan Sayid Shahib, yang mempunyai hubungan yang rapat dengan beliau. Sayid Shahib sangat gembira dengan kedatangan kami. Kami tiba di tempatnya waktu Zuhur. Beliau menyediakan makan tengah hari yang istimewa kepada kami dan memaklumkan kepada saudara maranya tentang kedatangan kami. Mereka hadir dan memenuhi rumah beliau menyambut kedatangan kami dengan penuh penghormatan.
Sayid Shahib meminta kepada kami supaya bermalam di rumahnya pada malam tersebut. Imam pun bersetuju. Kemudian apabila tiba waktu Isyak kami disediakan dengan makan malam. Para hadirin yang hadir mencium tangan Imam dan bersoal jawab dengannya. Ketika hampir tiba waktu tidur para hadirin bersurai kecuali ahli rumah tersebut. Imam Al-Khomeini melihat kanak-kanak perempuan berumur empat atau lima tahun dan kanak-kanak tersebut sangat cantik. Imam meminta daripada ayahnya Sayid Shahib untuk bermut’ah dengannya dan ayahnya bersetuju dengan perasaan sangat gembira. Imam Al-Khomeini tidur dan kanak-kanak tersebut berada dalam dakapannya. Kami mendengar suara tangisan dan teriakan kanak-kanak tersebut.
Apa yang penting ialah Imam telah melalui malam tersebut. Apabila tiba waktu pagi, kami bersama-sama untuk sarapan pagi. Imam telah melihat kepada ku dan mendapati tanda-tanda tidak puas hati yang lahir secara jelas di wajah ku; Bagaimana pada waktu itu beliau sanggup bermut’ah dengan kanak-kanak perempuan tersebut sedangkan di dalam rumah tersebut terdapat ramai wanita-wanita muda, baligh, berakal yang tidak menjadi halangan kepada beliau untuk bermut’ah dengan salah seorang daripada mereka. Kenapa beliau tidak berbuat demikian?
Beliau berkata kepada ku: Sayid Husain, apa pendapat kamu tentang bermut’ah dengan kanak-kanak perempuan? Aku berkata kepadanya: Kata pemutus adalah kata-kata kamu, perbuatan yang benar adalah perbuatan mu dan kamu Imam Mujtahid. Mana mungkin orang seperti ku berpandangan atau berpendapat melainkan apa yang telah kamu lihat dan katakan , -dan seperti diketahui tidak mungkin aku bertentangan dengan kamu-.
Beliau berkata: Sayid Husain, sesungguhnya bermut’ah dengan kanak-kanak tersebut adalah harus tetapi dengan bercumbu-cumbuan, berciuman dan tafkhiz[3]. Adapun bersetubuh, dia (kanak-kanak) masih belum mampu untuk melakukannya.
Imam Al-Khomeini berpendapat harus bermut’ah walaupun dengan kanak-kanak yang masih menyusu. Beliau berkata: Tidak mengapa bermut’ah dengan kanak-kanak yang masih menyusu dengan memeluk dan tafkhiz – meletakkan zakarnya di antara dua pahanya- dan bercumbuan.
Lihat kitabnya { 2/241 : تحرير الوسيلة masalah nombor 12}
__________________
[1] Di petik daripada kitab “Pengakuan Ulama’ Syiah kepada Allah dan sejarah” dan kitab terjemahan bertajuk “Kenapa Aku Tinggalkan Syiah”. Buku ini sebenarnya satu lagi pendedahan secara akademik yang sekali gus membongkar beberapa perkara pokok pegangan Syiah Imamiah. Yang penting bagi setiap pembaca ialah dapat membezakan antara pegangan Imam-imam Dua Belas yang tulen dan penyelewengan yang dilakukan oleh beberapa orang tokoh Syiah khususnya selepas tahun 329 H.
[2] Seorang ulama Najaf. Berdasarkan proses pengajian dan pengalaman beliau mengajar di beberapa al-Hauzah Najaf, maka beliau berpeluang menjalinkan hubungan yang amat rapat dengan ulama-ulama dan tokohtokoh Syiah. Antaranya Kasyif al-Ghito’, Al-Khu’i, Al-Sadr , al-Khomeini, dan Abd Al-Husain Syarafuddin yang selalu berulang-alik ke Najaf. Tambahan pula ayah penulis juga merupakan antara ulama Syiah. Beliau kemudian meninggalkan Syiah
[3] Meletakkan zakar antara dua paha
Sumber : http://aburedza.wordpress.com/2009/11/11/nikah-mut%E2%80%99ah-pengalaman-bersama-imam-khomeini/
QS 4:24 bukan membicarakan nikah mut’ah, nikah mut’ah tidak pernah ada, coba pikir pake logika, apakah anda mau anak anda berpacaran, kemudian nikah mut’ah sama pacarnya, kemudian bunting, dan melahirkan bayi tanpa ada hubungan apa2 lagi antara bayi tersebut dan bapaknya
004,024 : wa lmuhshanaatu mina nnisaa-i illaa maa malakat aymaanukum kitaaba llahi ‘alaykum wa uhilla lakum mmaa waraa-a dzaalikum an tabtaghuu bi amwaalikum muhshiniina ghayra musaafihiina fa maa stamta’tum bihi min hunna fa –aatuu hunna ujuura hunna fariidhatan wa laa junaaha ‘alaykum fii maa taraadhaytum bihi min ba’di lfariidhati inna llaha kaana ‘aliiman hakiiman
Dan yang dibentengi dari wanita, kecuali apa yang dimiliki (dari) aymaan kamu (untuk melindungi mereka) sebagai tulisan Allah atas kamu. Dan dihalalkan bagi kamu apa yang dibelakang (tulisan). Demikian kamu untuk mencari dengan harta kamu benteng (nikah) selain (fitnah) yang melemahkan. Maka apa yang kamu senangi dengan nya(pernikahan) dari mereka, maka berikanlah mereka mahar mereka sebagai kewajiban, dan tiada pelanggaran atas kamu di dalam apa kamu saling ridha dengan nya(mahar) dari setelah kewajiban, sungguh Allah adalah maha mengetahui lagi maha bijaksana (an nisaa- 004,024).
ayat ini berbicara tentang kewajiban menunaikan membayar mahar pada istri yang sah, bagi mereka yang belum mampu menunaikannya ketika menikahi istrinya
tentang poligami pun sebenarnya tidak pernah ada, kecuali memberikan perlindungan dan menghindari fitnah, QS 4:3 juga bukan membicarakan tentang menikahi wanita lain dan menelantarkan wanita yatim
004,003 : wa in khiftum allaa tuqsithuu fii lyataamaa fa nkihuu maa thaaba lakum mmina nnisaa-i matsnaa wa tsulaatsa wa rubaa’a fa in khiftum allaa ta’diluu fa waahidatan aw maa malakat aymaanukum dzaalika adnaa allaa ta’uuluu
Dan jika khawatir kalian tidak ramah (ketika terjadi perang) terhadap yatim, maka nikahilah apa yang dipilih bagi kamu dari wanita (yatim), yang ke : dua dan tiga dan empat (lihat QS 4:127). Maka jika khawatir kalian tidak berlaku ‘adil maka (jangan mengambil istri tambahan, cukup) satu (lihat QS 4:129), atau (jika belum memiliki istri, cukup nikahi satu) apa yang dimiliki (dari) aymaan kamu (lihat QS 4:24), itu paling sedikit, tiada hitungan (ke dua, dan ke tiga, dan ke empat). (an nisaa- 004,003)
@abusalma, tukeran link yuk
mampir ya ke rumahku
perbuatan merendahkan kaum perempuan atas nama agama…