ADAB KHILAF

 Jan, 12 - 2007   no comments   Adab & Fikih Islami

ADAB KHILAF

Oleh :

Al-Imam Muhammad bin Shalih al-Utsaimin

 

Kesalahan bisa saja terjadi pada manusia termasuk para imam ketika memahami hukum-hukum Islam. Hal ini disebabkan karena manusia itu bersifat lemah sebagaimana firman Allah ,” …dan manusia itu diciptakan bersifat lemah.“ (An-Nisaa`: 28).

Kelemahan manusia dari segi ilmu dan pengetahuannya, karena dari awal Allah mengingatkan bahwa ilmu manusia itu terbatas, sebagaimana firman-Nya,” dan tidaklah kamu diberi pengetahuan melainkan sedikit”. (QS. 17:85). Setidaknya ada enam hal yang membuat orang salah dan khilaf dalam memahami Islam diantaranya:

1. Dalil belum sampai padanya.

2. Dalil sudah sampai padanya tetapi ia lupa.

3. Dalil sudah sampai padanya tetapi ia memahaminya lain dengan yang dimaksud dalil itu.

4. Hadits telah sampai padanya namun telah dihapus hukumnya sedang ia belum tahu.

5. Ia yakin bahwa dalil itu bertentangan dengan nash atau ijma` yang lebih kuat.

6. Orang alim itu memegangi hadits dha`if atau mengambil hujjah dengan hujjah yang lemah.

Sebab Pertama:

Bila dalil belum sampai pada orang yang keliru, yang salah dalam menentukan hukum ini, atau dalil itu sampai namun dalam bentuk yang tidak meyakinkannya.

Pertama, yaitu adanya dalil belum sampai pada pembicara. Kami ketahui hal itu dalam hadits shahih di Shahih Bukhari dan lainnya ketika Amirul Mu`minin Umar bin Khathab RA pergi ke Syam, dan di tengah jalan, disebutkan padanya bahwa di sana ada wabah penyakit yaitu tho`un (wabah sakit sampar/ pes). Maka dia (Umar) berhenti dan mulai minta petunjuk pada para sahabat RA. Ia minta petunjuk pada para sahabat Muhajirin dan Anshar, dan mereka berselisih dalam hal itu atas dua pendapat…Dan yang lebih kuat adalah pendapat yang mengatakan agar pulang. Dan di tengah perbincangan dan musyawarah ini datanglah Abdur Rahman bin Auf, yang tadinya ia tidak hadir karena ada keperluan, lalu ia berkata: Sesungguhnya aku punya pengetahuan tentang hal itu, aku telah mendengar Rasulullah SAW bersabda: “Apabila kamu sekalian mendengar tentangnya (tho`un, wabah sakit) pada suatu tempat di bumi maka kalian jangan datang padanya. Dan apabila telah terjadi sedang kalian ada di dalamnya maka janganlah kalian keluar lari darinya.“

Jadi hukum ini adalah samar bagi para pembesar sahabat dari Muhajirin dan Anshar, sampai datangnya Abdur Rahman yang kemudian mengkhabarkan kepada mereka tentang hadits ini.

Contoh yang lain:

Ali bin Abi Thalib RA dan Abdullah bin Abbas RA berpendapat bahwa wanita hamil apabila suaminya meninggal maka si wanita itu ber`iddah (masa tunggu, tidak boleh nikah selama masa itu) dengan waktu yang terpanjang dari dua masa, yaitu 4 bulan 10 hari, atau sampai waktu melahirkan kandungan. Apabila ia melahirkan kandungan sebelum 4 bulan 10 hari, maka iddahnya belum gugur, dan masih tersisa sampai habisnya masa 4 bulan sepuluh hari. Sedang kalau telah selesai masa 4 bulan 10 hari namun belum lahir kandungannya, maka ia tetap masih dalam `iddahnya sampai lahirnya kandungan. Karena Allah Ta`ala berfirman;

“ Dan perempuan-perempuan yang hamil, waktu `iddah mereka itu ialah sampai mereka melahirkan kandungannya.“ (At-Thalaq: 4).

Dan Allah berfirman:

“Dan orang-orang yang meninggal dunia di antara kamu sekalian dengan meninggalkan isteri-isteri (hendaklah para isteri itu) menangguhkan diri mereka (ber`iddah) 4 bulan 10 hari.“ (Al-Baqarah: 234).

Dua ayat itu ada yang umum dan ada yang khusus arahnya. Jalan mengumpulkan antara kedua ayat, umum dan khusus arahnya itu dipegangi dengan bentuk pengumpulan (menjama`) keduanya. Tidak ada jalan ke arah itu kecuali yang ditempuh oleh Ali dan Ibnu Abbas RA; tetapi As-Sunnah adalah di atas yang demikian itu. Sungguh telah ditetapkan dari Rasulullah SAW dalam Hadits Sabi`ah Al-Aslamiyah bahwa ia nifas setelah meninggal suaminya dalam beberapa malam, maka Nabi SAW mengizinkan padanya untuk menikah/ bersuami“. Yang demikian itu artinya kita memegangi ayat Surat At-Thalaq yang dinamai Surat An-Nisaa` As-Shughraa, yaitu keumuman firman-Nya: “ Dan perempuan-perempuan yang hamil, waktu `iddah mereka itu ialah sampai mereka melahirkan kandungannya.“ (At-Thalaq: 4).

Dan kami mengetahui secara ilmul yaqin bahwa hadits ini kalau telah sampai pada Ali dan Ibnu Abbas pasti keduanya berpegang padanya secara pasti, dan mereka berdua tidak menggunakan pendapatnya.

Kedua, kadang hadits telah sampai pada orang alim tetapi penyampaian kutipan/ riwayatnya tidak tsiqqoh (terpercaya) dan orang alim itu berpendapat bahwa hadits itu menyelisihi dalil yang lebih kuat , maka ia memegangi dalil yang dipandang lebih kuat. Kami mencontohkan juga, bukan dalam kalangan orang setelah sahabat tetapi di dalam sahabat sendiri.

Fathimah binti Qois RA ditalak suaminya pada talak tiga yang terakhir, lalu suaminya mengirimkan padanya (Fathimah) –sejumlah gandum—sebagai nafakah baginya selama `iddah., tetapi ia marah dan tidak mau mengambil gandum itu, lalu keduanya mengangkat (masalah itu) kepada nabi SAW, maka Nabi mengkhabarkan padanya: Bahwasanya tidak ada nafakah baginya dan tidak ada tempat tinggal (dari bekas suami). Hal itu karena ia (suami) mentalak ba`in (talak yang ketiga kalinya), sedangkan talak ba`in itu tidak ada padanya nafakah dan tempat tinggal yang diwajibkan atas suaminya kecuali kalau yang ditalak itu dalam keadaan hamil. Karena firman Allah Ta`ala:

“Dan jika mereka (isteri-isteri yang sudah ditalak) itu sedang hamil, maka berikanlah kepada mereka nafkahnya hingga mereka bersalin…“ (At-Thalaq:6).

Umar RA atas sunnah ini ia samar, maka ia berpendapat bahwa bagi wanita tertalak ba`in itu memperoleh nafakah dan tempat tinggal, dan ia menolak hadits Fathimah karena memungkinkan bahwa Fathimah telah lupa, maka Umar berkata: Apakah kita akan meninggalkan firman Tuhan kita karena perkataan seorang perempuan yang kita tidak tahu apakah ia ingat atau lupa? Ini artinya bahwa Amirul Mu`minin Umar bin Khathab RA tidak yakin terhadap dalil ini, dan ini seperti yang terjadi pada Umar dan orang selainnya dari para sahabat dan lainnya dari Tabi`in (generasi setelah sahabat Nabi SAW), terjadi pula bagi orang setelah mereka dari para pengikut Tabi`in. Dan demikian seterusnya sampai hari ini bahkan sampai hari Qiyamat, akan ada orang yang tidak yakin terhadap sahihnya dalil.

Betapa banyak kita lihat pendapat ahli ilmu, di dalamnya ada hadirts-hadits, lalu sebagian ahli ilmu memandang bahwa itu shahih maka mereka memeganginya, dan sebagian ahli yang lain memandangnya dha`if (lemah) maka mereka tidak memeganginya dengan memandang karena tidak adanya keterpercayaan pada penukilannya (periwayatan) dari Rasulillah SAW.

Sebab kedua:

Hadits telah datang pada sang ahli ilmu tetapi ia lupa.

Maha Agung, Allah yang tidak pernah lupa. Betapa banyak manusia yang lupa suatu hadits, bahkan kadang lupa suatu ayat. Rasulullah SAW “Beliau shalat pada suatu hari di dalam (mengimami) sahabat-sahabatnya maka ia gugur suatu ayat dalam keaadaan lupa“. Dan beliau itu bersama Ubay bin Ka`ab RA. Maka ketika beliau telah beranjak dari shalatnya, Ubay berkata: “Tidakkah engkau yang telah mengingatkanku tentang ayat“, sedangkan beliaulah yang diituruni wahyu, dan sungguh Allah telah berfirman kepada beliau:

“Kami akan membacakan (Al-Quran) kepadamu (Muhammad) maka kamu tidak akan lupa, kecuali kalau Allah menghendaki. Sesungguhnya Dia mengetahui yang terang dan yang tersembunyi.“ (Al-A`laa: 6-7).

Dari sini—yakni hadits telah sampai pada seseorang tetapi ia lupa—ada satu kisah, Umar bin Khathab bersama Ammar bin Yasir RA ketika keduanya diutus oleh Rasulullah SAW dalam suatu keperluan, lalu dua-duanya, Amar dan Umar semuanya junub (berhadats besar). Adapun Ammar maka ia berijtihad dan berpendapat bahwa bersuci dengan debu itu seperti bersuci dengan air. Maka ia berguling-guling di atas tanah seperti bergulingnya binatang melata, agar supaya debu meratai badannya, seperti air meratai badannya, dan ia shalat. Adapun Umar RA maka ia belum shalat.. Kemudian keduanya datang kepada Rasulullah Saw maka beliau menunjuki keduanya kepada yang benar. Dan beliau bersabda kepada Ammar: “Sesungguhnya kamu cukup hanya menepukkan kedua tapak tanganmu begini—dan beliau memukulkan kedua tapak tangannya ke bumi satu kali—kemudian yang kiri mengusap atas yang kanan—dan luar dua tapak tangannya dan wajahnya.

Dan Ammar RA menceritakan hadits ini dalam masa kekhalifahan Umar, dan masa sebelumnya, tetapi Umar mengundangya pada suatu hari dan berkata padanya (Ammar): Hadits apakah yang kamu ceritakan ini? Lalu Ammar mengabarinya dan berkata: Apakah Engkau tidak ingat ketika Rasulullah SAW mengutus kita (berdua) dalam suatu keperluan, lalu kita berdua junub, maka adapun engkau belum shalat, sedangkan aku maka berguling-guling di atas tanah, maka Nabi SAW bersabda: “Sesungguhnya cukup kamu hanya menepuk begini dan begini“. Tetapi Umar tidak ingat yang demikian itu, dan ia berkata: Bertaqwalah kamu kepada Allah wahai Ammar. Lalu Ammar berkata kepada Umar: “Kalau kamu menghendaki orang yang dijadikan Allah untuk taat padamu ini agar tidak menceritakannya (hal itu tadi) maka kerjakanlah.“ Lalu Umar berkata kepadanya: “Kami kuasakan padamu apa yang kamu kuasai—artinya maka ceritakanlah hal itu pada orang-orang–“ Maka kalian melihat sekarang bahwa Umar lupa kalau Nabi SAW menjadikan tayammum di dalam keadaan jinabat itu seperti dalam keadaan hadats kecil.

Dalam hal ini Abdullah bin Mas`ud telah mengikuti Umar. Dan terjadi tukar pendapat (munadharah) antara dia (ibnu Mas`ud) dan Abu Musa Al-Asy`ari RA dalam perkara ini, maka Abu Musa mengemukakan kepada Ibnu Mas`ud ucapan Ammar kepada Umar. Lalu Ibnu Mas`ud berkata, apakah kamu tidak memandang bahwa Umar tidak puas dengan perkataan Ammar. Lalu Abu Musa berkata: Kita tinggalkan perkataan Ammar, lantas apa yang kamu katakan dalam hal ayat ini, yakni ayat Al-Maaidah: 6 (“….dan jika kamu junub maka mandilah, dan jika kamu sakit atau dalam perjalanan atau kembali dari tempat buang air (kakus) atau menyentuh perempuan, lalu kamu tidak memperoleh air, maka bertayamumlah dengan tanah yang baik (bersih); sapulah mukamu dan tanganmu dengan tanah itu.“) Maka Ibnu Mas`ud tidak mengatakan sesuatupun, tetapi tidak diragukan lagi bahwa yang benar itu adalah yang bersama jama`ah yang mengatakan bahwa junub itu bertayamum, sebagaimana orang yang berhadats kecil bertayamum. Dan yang dimaksud itu adalah bahwa manusia itu kadang lupa maka ia samar terhadap hukum syar`i. Lalu bila ia mengatakan suatu perkataan maka pendapatnya itu ma`dzur (tidak bisa dijadikan hujjah). Tetapi orang yang mengetahui dalil maka dia kuat. Inilah pembicaraan mengenai dua sebab terjadinya perbedaan pendapat.

 

Sebab yang ketiga:

Dalil telah sampai padanya (ahli ilmu) tetapi ia memahaminya berbeda dengan yang dimaksud dalil itu.

Kami akan mengambil dua contoh untuk masalah ini, pertama dari Al-Quran, dan yang kedua dari As-Sunnah.

1. Dari Al-Quran: Firman Allah Ta`ala:

“Dan jika kamu sakit atau sedang dalam musafir atau kembali dari tempat buang air atau kamu telah menyentuh perempuan, kemudian kamu tidak mendapat air, maka bertayamumlah kamu dengan tanah yang baik (suci)…“(An-Nisaa`: 43).

Para ulama rahimahumullah berbeda pendapat dalam makna “au laamastumun nisaa`“ (An-Nisaa`:43). Sebagian mereka memahami bahwa yang dimaksud itu adalah mutlaknya menyentuh, sedang yang lain memahami bahwa yang dimaksud lafal itu adalah menyentuh yang membangkitkan syahwat, dan ulama yang lain lagi memahami bahwa yang dimaksud lafal itu adalah jima` (bersetubuh), dan pendapat ini adalah pendapat Ibnu Abbas RA.

Jika Anda renungkan ayat itu maka Anda dapati bahwa yang benar itu adalah orang yang berpendapat bahwa lafal `laamastum` itu artinya jima` (bersetubuh). Karena Allah Tabaraka wa Ta`ala menyebutkan dua macam dalam bersuci pakai air, yaitu bersuci dari hadats kecil dan besar. Dalam hal hadats kecil, firman-Nya: “…maka basuhlah mukamu dan tanganmu sampai dengan siku, dan sapulah kepalamu dan (basuh) kakimu sampai dengan kedua mata kaki..“ (Al-Maaidah:6).

Adapun hadats besar maka firman-Nya: “..dan jika kamu junub maka mandilah..(Al-Maaidah: 6).

Dan yang dikehendaki oleh ilmu balaghah dan bayan (ilmu sastra Arab) hendaknya disebutkan pula kewajiban bersuci dua hadats dalam bersuci pakai tanah/ dengan tayammum. Maka firman Allah Ta`ala :“atau kembali dari tempat buang air“ itu menunjukkan kepada kewajiban bersuci hadats kecil. Dan firman-Nya:“atau kamu telah menyentuh perempuan“ (al-Maaidah:6) menunjukkan kepada kewajiban bersuci dari hadats besar.. Kalau kita jadikan “almulaamasah“ (saling bersentuhan) di sini dengan arti “allams“ (menyentuh), maka pastilah dalam ayat itu disebutkan dua kewajiban bersuci, dari hadats kecil dan besar. Sedangkan di sini tidak disebutkan sama sekali tentang kewajiban bersuci dari hadats besar, maka pemahaman ini menyelisihi apa yang dituntut oleh balaghahnya (kejelasan makna) Al-Quran. Maka orang-orang yang memahami ayat itu bahwa maksudnya adalah mutlaknya menyentuh, mereka mengatakan: kalau lelaki menyentuh kulit wanita maka batallah wudhu`nya, atau jika menyentuhnya karena syahwat maka batal, sedang tanpa syahwat maka tidak batal. Yang benar adalah tidak batal dalam dua keadaan itu (menyentuh ataupun menyentuh dengan syahwat). Sungguh telah diriwayatkan bahwa Rasulullah SAW mencium salah satu isterinya, kemudian beliau pergi ke shalat dan tidak berwudhu. Riwayat itu datang dari berbagai jalan yang saling kuat menguatkan.

2. Dari As-Sunnah: Ketika Rasulullah SAW pulang dari perang Ahzab, dan beliau meletakkan beberapa tombak maka didatangi Jibril lalu berkata pada beliau: Sesungguhnya kami belum meletakkan senjata maka keluarlah ke Bani Quraidhah. Lalu Rasulullah SAW memerintahkan para sahabatnya untuk keluar, dan bersabda:

لا يصلين أحد العصر إلا في بني قريظة

“Janganlah sekali-kali seseorang shalat ashar kecuali di dalam Bani Quraidhah“. (al-Hadits). Maka telah terjadi perbedaan para sahabat dalam memahaminya. Sebagian mereka ada yang memahami bahwa maksud Rasul agar cepat-cepat untuk keluar sehingga tidak datang waktu `Ashar kecuali mereka telah berada di Bani Quraidhah. Maka ketika masuk waktu `Ashar sedang mereka di tengah jalan, maka mereka shalat `Ashar dan tidak mengakhirkannya sampai keluar waktunya.

Sebagian lainnya ada yang memahami bahwa maksud Rasulullah agar mereka tidak shalat kecuali jika mereka telah sampai di Bani Quraidhah, maka mereka mengakhirkan shalat hingga mereka sampai di Bani Quraidhah, maka mereka mengeluarkan shlat dari waktunya.

Tidak diragukan lagi bahwa kebenaran di pihak orang-orang yang shalat `Ashar pada waktunya, karena nash-nash (teks) dalam hal wajibnya shalat pada waktunya itu muhkamah (jelas hukumnya), sedangkan sabda beliau ini tadi nashnya musytabihah (samar). Jalan ilmu (yang benar) adalah membawa yang mutasyaabih (samar) ke muhkam (yang jelas hukumnya). Jadi, termasuk faktor penyebab perbedaan adalah kalau memahami dalil tidak sesuai dengan yang dimaksud oleh Allah dan Rasul-Nya, dan ini adalah sebab yang ketiga.

 

Sebab keempat :

Hadits telah sampai tetapi dimansukh (hukumnya dibatalkan) sedang si ahli ilmu belum tahu pembatalan itu, maka hadits itu sendiri shahih tetapi dibatalkan isinya, sedangkan si orang alim itu tidak tahu pembatalannya.

Maka dalam keadaan ini ada kemaafan bagi si alim, karena hukum asalnya adalah tidak adanya pembatalan sehingga ia tahu pembatalannya.

Dari sini Ibnu Mas`ud RA berpendapat… apa yang orang perbuat dengan tangannya ketika ia rukuk? Dulu pada awal Islam, disyari`atkan bagi orang yang shalat agar melipat kedua tangannya (tathbiiq baina yadaihi) dan meletakkan keduanya di antara dua lututnya. Ini adalah syari`at di awal Islam, kemudian dihapus. Dan jadilah yang disyari`atkan adalah meletakkan kedua tangan di dua lutut.

Penghapusan itu telah ditetapkan, ada di shahih Al-Bukhari, sedangkan Ibnu Mas`ud RA dulu belum tahu naskh/ penghapusan hukum itu, maka ia melipat dua tangannya (yuthobbiqu baina yadaihi), lalu ia shalat di sisi `Alqomah dan Aswad, kedua orang itu meletakkan dua tangan mereka di lutut mereka, tetapi Ibnu Mas`ud RA melarang mereka berdua dari yang demikian, dan menyuruhnya untuk melipat…. kenapa? Karena ia (Ibnu Mas`ud) belum tahu penghapusan hukum itu, sedangkan manusia itu tidak dibebani kecuali sekadar usaha dirinya… Allah Ta`ala berfirman:“Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya. Ia mendapat pahala (dari kebajikan) yang diusahakannya dan ia mendapat siksa (dari kejahatan) yang dikerjakannya.“ (Al-Baqarah: 286).

 

Sebab kelima:

Si `alim meyakini bahwa dalil itu bertentangan dengan dalil yang lebih kuat berupa nash atau ijma` (teks ayat/ hadits atau kesepakatan ulama).

Artinya, dalil itu sudah sampai pada si alim yang mencari dalil, tetapi ia memandang bahwa dalil itu bertentangan dengan nash atau ijma` yang lebih kuat. Dan ini banyak dalam hal perbedaan para imam. Betapa seringnya kita dengar orang yang menukil ijma` tetapi dia jika merenungkannya sebenarnya bukan ijma`.

Di antara yang paling aneh, apa yang dinukil dalam hal ijma`, bahwa sebagian mereka berkata: Mereka telah sepakat atas diterimanya kesaksian budak.. sedang orang-orang yang lain berkata: Telah mereka sepakati bahwa kesaksian budak itu tidak diterima. Ini di antara yang aneh penukilannya, karena sebagian manusia apabila orang di sekitarnya telah sepakat atas suatu pendapat maka ia mengira bahwa tidak ada perbedaan bagi mereka, karena keyakinannya bahwa hal itu sesuai kehendak nash, maka terkumpul dalam perasaannya dua dalil, nash dan ijma`. Dan kadang ia memandangnya sebagai telah sesuai tuntutan qiyas/ analogi yang benar dan teori yang benar, maka ia menghukumi bahwa hal itu tidak ada perbedaan. Dia yakin tidak ada perbedaan terhadap nash yang tegak di sisinya ini dengan qiyas shahih di sisinya, padahal sebenarnya perkara itu bertentangan.

Bisa kami contohkan hal itu dengan pendapat Ibnu Abbas RA dalam masalah riba fadhl (tambahan).

Telah ada ketetapan/ shahih dari Rasulullah SAW bahwa beliau bersabda:

إنما الربا في النسيئة

Sesungguhnya riba itu hanyalah dalam hal nasii`ah (lipat ganda).“

Dan telah tetap dari Nabi SAW dalam hadits Ubadah bin Shamit dan lainnya:

أن الربا يكون في النسيئة وفي الزيادة

“Bahwa riba itu ada dalam nasii`ah dan dalam ziyadah (penambahan).“

Dan telah sepakat para ulama setelah Ibnu Abbas bahwa riba itu ada dua bagian: riba fadhl dan riba nasii`ah. Adapun Ibnu Abbas maka ia menolak kecuali riba dalam nasii`ah saja. Contohnya, kalau kamu menjual satu sho`a (kati) gandum (dibeli) dengan dua kati dari tangan ke tangan (seketika langsung) maka bagi Ibnu Abbas tidak apa-apa. Karena ia memandang bahwa riba itu hanya nasii`ah saja. Dan jika kamu jual –misalnya– satu mitsqol emas (dibeli orang) dengan dua mitsqol emas secara langsung tangan dengan tangan maka bagi Ibnu Abbas itu bukan riba. Tetapi jika pengambilannya itu ditunda, kamu memberiku satu mitsqol sedangkan aku belum memberikan gantinya kecuali setelah berpisah maka itu riba. Karena Ibnu Abbas RA memandang bahwa pembatasan ini mencegah jatuhnya riba dalam hal selainnya. Dan sudah diketahui bahwa: “innamaa“ itu memberi pengertian batasan (hashr) maka menunjukkan bahwa selain itu berarti bukan riba. Tetapi sebenarnya apa yang ditunjuk oleh Hadits Ubadah itu menunjukkan bahwa fadhl (kelebihan dari penukaran barang yang sama) itu termasuk riba. Karena Rasulullah SAW bersabda:

من زاد أو استزاد فقد أربى

“Barangsiapa menambah atau minta tambah maka sungguh ia telah meribakan.“

Jadi, bagaimana sikap kita terhadap hadits yang dijadikan dalil oleh Ibnu Abbas? Sikap kita hendaknya membawa hadits itu ke arah yang bisa untuk dicocokkan dengan hadits lain yang menunjukkan bahwa riba itu ada juga dalam hal fadhl (kelebihan), dengan kita katakan: Sesungguhnya riba yang keras itu yang disandarkan padanya ahli jahiliyah dan yang terdapat dalam firman Allah Ta`ala: “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memakan riba dengan berlipat ganda.“ (Ali Imran: 130). Sesungguhnya itu hanyalah riba nasii`ah. Adapun riba fadhl maka ia bukan riba yang keras lagi besar. Oleh karena itu Ibnu Qoyyim berpendapat dalam kitabnya I`laamul Muwaqqi`ien bahwa pengharaman riba fadhl itu termasuk bab pengharaman sarana, bukan dari bab pengharaman tujuan.

Sebab keenam:

Si alim memegangi hadits dha`if atau mengambil hujjah dengan dalil yang lemah.

Ini banyak sekali. Di antara contoh berdalil dengan hadits dha`if adalah pendapat sebagian ulama tentang disunatkannya shalat tasbih. Yaitu agar manusia shalat dua raka`at, membaca Al-Fatihah di dalamnya, dan bertasbih 15 kali. Demikian pula dalam ruku` dan sujud sampai akhir shalat. Itu yang tidak saya lakukan, karena saya tidak meyakininya dari segi syara`. Ulama lain memandang bahwa shalat tasbih itu bid“ah yang dibenci/ makruh, dan haditsnya pun tidak sahih. Termasuk yang berpendapat demikian itu Imam Ahmad Rahimahullah, dan ia berkata: Sesungguhnya shalat tasbih itu tidak benar dari Nabi SAW. Dan Syeikh Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata, sesungguhnya haditsnya (tentang shalat tasbih) itu berdusta atas nama Rasulullah.

Sebenarnya orang yang merenungkannya akan mendapati bahwa di dalamnya ada keanehan-keanahan (syudzudz) hingga pada penisbatannya pada syara`. Karena sesungguhnya ibadah itu, kalau itu ada manfaatnya untuk hati, –dan pastilah di antaranya untuk memperbaiki hati– maka disyari`atkan di setiap waktu dan tempat. Ataupun kalau tidak ada manfaatnya maka tidak disyari`atkan. Tetapi ini dalam hadits tentang shalat tasbih yang dilakukan orang itu shalatnya tiap hari atau tiap minggu atau tiap bulan atau sekali dalam sepanjang hidupnya. Ini tidak ada yang setara dengannya dalam syara`, maka itu menunjukkan atas keganjilan-keganjilannya sacara matan (teks hadits) dan sanad (pertalian riwayat).

Sesungguhnya orang yang mengatakan bahwa shalat tasbih itu bohong, seperti perkataan Syeikh Islam Ibnu Taimiyyah maka dia itu betul. Oleh karena itu Syeikh Islam berkata: Sesungguhnya tidak ada satu imampun yang mensunnatkannya.

Saya mencontohkan shalat tasbih ini hanyalah karena banyaknya pertanyaan tentang itu, maka aku takut kalau bid`ah ini menjadi perkara yang disyari`atkan. Dan sesungguhnya aku hanyalah mengatakan bid`ah. Tetap aku katakannya (bahwa shalat tasbih itu bid`ah) walaupun sebenarnya berat bagi sebagian manusia. Karena kami yakin bahwa setiap orang yang mendekati Allah SWT dari jalan yang tidak ada di dalam Kitabullah atau sunnah Rasulillah maka sesungguhnya adalah bid`ah.

Demikian pula orang yang memegangi dalil yang dha`if/ lemah dari segi dijadikan hujjah –dalil itu kuat tetapi dari segi kehujjahannya dia lemah, seperti yang dipegangi sebagian ulama mengenai hadits “Sembelihan janin (kandungan) adalah sembelihan ibunya…“ Maka yang dikenal oleh ahli ilmu dari makna hadits itu bahwa ibu janin apabila disembelih maka penyembelihan ibunya itu adalah penyembelihan bagi janin itu pula — artinya tidak perlu penyembelihan lagi bila janin itu dikeluarkan dari induknya seteleh penyembelihan. Karena janin itu telah mati dan tidak ada gunanya penyembelihan setelah mati.

Sebagian ulama ada yang memahami bahwa maksud hadits ini… penyembelihan janin itu seperti penyembelihan ibunya, yaitu dengan memotong dua urat leher dan mengalirkan darah –tetapi ini jauh, dan yang menjauhkannya adalah tidak mendapati pengaliran darah setelah mati.

Rasulullah Saw bersabda:

ما أنهر الدم وذكر اسم الله عليه فكل

“Apa (sembelihan) yang mengalirkan darah dan disebut nama Allah atasnya maka makanlah“. Dan telah maklum bahwa tidak mungkin mengalirkan darah setelah mati. Inilah sebab-sebab yang aku senang untuk mengingatkannya di samping banyaknya hal yang lain, bagai lautan tak bertepi… tetapi setelah pembicaraan ini semua, apa sikap kita ?

Manusia lantaran banyaknya sarana informasi audio visual (didengar dan dilihat) dan bacaan, dan berbeda-bedanya ulama atau perselisihan antara ahli-hali kalam (teologi) dalam media-media ini maka para manusia ragu-ragu dan berkata, siapakah yang akan kita ikuti?

Ketika hal itu terjadi maka kami katakan sikap kita terhadap perbedaan ini- maksud saya perbedaan para ulama yang kami ketahui mereka itu terpercaya secara agama dan keilmuannya, bukan orang yang dianggap berilmu padahal mereka bukan ahlinya, karena kami tidak menganggap mereka itu ulama, dan tidak menganggap ucapan mereka itu termasuk yang dikategorikan perkataan ahli ilmu.. tetapi kami maksudkan dalam hal ini adalah ulama yang dikenal karena ketulusannya pada ummat, Islam, dan ilmu; maka sikap kami terhadap mereka itu ada dua arah:

1. Bagaimana mereka para imam itu menyelisihi apa yang dikehendaki Kitab Allah dan sunnah Rasul-Nya? Dan ini bisa diketahui jawabnya dengan apa yang telah kami sebutkan tadi berupa sebab-sebab terjadinya perbedaan, dan yang tidak kami sebutkan. Sebab-sebab itu banyak, dan akan tampak bagi penuntut ilmu walaupun tidak sampai luas ilmunya.

2. Bagaimana sikap kita terhadap pengikut-pengikut mereka? Lalu siapa yang akan kita ikuti dari para ulama itu? Apakah manusia akan mengikuti seorang imam dan tidak akan keluar dari pendapat imamnya walaupun kebenaran berada pada ulama lainnya, seperti kebiasaan orang-orang fanatik madzhab? Ataukah akan mengikuti yang dalilnya lebih kuat walaupun menyeleisihi apa yang dinisbatkan kepada para imam? Jawabnya adalah yang kedua itu. Wajib bagi orang yang mengetahui dalilnya untuk mengikuti dalil walaupun menyelisihi imam, apabila tidak menyelisihi ijma` (kesepakatan) ummat. Dan barangsiapa berkeyakinan bahwa seseorang selain Rasulullah SAW itu wajib dipegangi ucapannya, baik berbuatnya maupun tidak berbuatnya pada setiap keadaan dan setiap waktu, maka sungguh ia telah bersaksi kepada selain Rasul dengan ketentuann-ketentuan kerasulan. Karena seseorang tidak bisa perkataannya itu menjadi hukum kecuali Rasulullah SAW dan tidak ada seorangpun ucapannya wajib dipegangi dan larangannya harus ditinggalkan kecuali Rasulullah SAW.

Akan tetapi perkara itu masih menyisakan satu teori/ pandangan, karena kita masih tetap mempertanyakan siapa yang mampu untuk mengistinbatkan hukum (menarik kesimpulan) dari dalil-dalil? Ini suatu problema, karena setiap orang bisa mengatakan: Sayalah orangnya yang berhak. Dan ini sebenarnya tidak baik, dari segi tujuan maupun pokoknya. Yang baik yaitu kalau penuntun manusia itu kitab Allah dan Sunnah rasul-Nya, tetapi keadaan kita membuka pintu bagi setiap orang yang mengerti untuk berbicara dengan dalil. Kalau seseorang tidak tahu makna dan kandungan dalil, maka kita katakan: Kamu mujtahid (orang yang berijtihad/ mencurahkan pikiran untuk menentukan hukum) tetapi kamu berkata semaumu. Inilah yang mengakibatkan timbulnya kerusakan syari`at dan keruskan makhluk dan masyarakat. Sedangkan manusia dalam hal ini terbagi menjadi 3 golongan:

1. Orang alim yang Allah beri rizqi ilmu dan kefahaman.

2. Penuntut ilmu yang memiliki sebagian ilmu, tetapi ia belum sampai derajat yang mendalam itu.

3. Orang awam yang tidak tahu apapun.

Adapun yang pertama, ia berhak untuk berijtihad dan berkata, bahkan ia wajib mengatakan sesuatu yang dikehendaki oleh dalil sekalipun ia menyelisihi orang-orang yang menyelisihi dalil, karena ia diperintah untuk bersikap demikian. Allah Ta`ala berfirman:

لعلمه الذين يستنبطونه منهم.

“…tentulah orang-orang yang ingin mengetahui kebenarannya (akan dapat) mengetahui dari mereka (Rasul dan Ulil Amri). (An-Nisaa`: 83).

Dan ini adalah termasuk ahli istinbath yang mengetahui pengertian yang diitunjukkan oleh Al-Quran dan Sunnah.

Adapun yang kedua: Orang yang Allah beri rizqi ilmu dan kefahaman tetapi belum sampai derajat yang pertama itu maka dia tidak ada halangan apabila memegangi hal-hal yang umum, mutlak, dan yang telah sampai padanya. Tetapi ia wajib menjaga hal itu dan tidak boleh lengah untuk menanyakan kepada orang yang lebih tinggi darinya yaitu ahli ilmu, karena ia (si tingkat kedua ini) kadang-kadang salah, dan kadang ilmunya tidak sampai pada suatu ketentuan khusus dari yang umum, atau yang terikat (muqoyyad) dari yang mutlak, atau telah terhapusnya apa yang ia pandang muhkam (jelas hukumnya). Sedang ia tidak tahu tentang itu.

Adapun golongan yang ketiga: Yaitu orang yang tidak punya ilmu. Ia ini wajib bertanya kepada ahli ilmu. Karena Allah Ta`ala berfirman:“…maka tanyakanlah olehmu kepada orang-orang yang berilmu, jika kamu tiada mengetahui. (Al-Anbiyaa`/ 21: 7). Dan dalam ayat lain:“…maka tanyakanlah olehmu kepada orang-orang yang berilmu, jika kamu tidak mengetahui keterangan-keterangan (mu`jizat) dan kitab-kitab.“ (An-Nahl/ 16: 43-44).

Tugas orang awam ini adalah bertanya, tetapi siapakah yang akan ditanya? Di dalam negeri itu banyak ulama, masing-masing berkata, bahwa dirinya alim, atau masing-masing dikatakan alim, maka siapakah yang akan ditanya?

Ada yang berpendapat: Wajib atas orang awam untuk bertanya kepada ulama di negerinya yang paling terpercaya dalam hal keilmuannya. Karena sebagaimana orang yang tertimpa penyakit di badannya maka ia mencari dokter yang paling ahli, maka demikian pula hal ini, karena ilmu itu adalah obat hati. Sebagaimana kamu pilih dokter paling ahli untuk penyakitmu maka wajib pula kamu pilih ulama yang paling ahli ilmu, jadi tiada beda.

Ada yang berpendapat bahwa hal itu tidak wajib, karena orang yang paling ahli kadang tidak lebih tahu dalam setiap masalah secara sebenarnya. Pendapat ini menguatkan bahwa manusia pada zaman sahabat RA mereka bertanya kepada orang-orang. yang tidak unggul padahal ada orang yang unggul. (alfadhil).

Yang saya pandang dalam masalah ini bahwa bertanya kepada orang yang dipandang lebih utama dalam hal agama dan ilmunya itu tidak merupakan kewajiban, karena orang yang dirinya dipandang lebih utama itu kadang juga salah dalam masalah tertentu ini, sedangkan orang yang tidak diunggulkan kadang dia benar, maka dia justru merupakan prioritas/ yang didahulukan. Pendapat yang terkuat adalah: hendaknya bertanya kepada orang yang lebih dekat kepada kebenaran karena ilmunya, wara`nya (sikap hati-hatinya), dan agamanya.

Terakhir, aku nasihati diriku lebih dulu dan saudara-saudaraku kaum Muslimin, terutama para penuntut ilmu, apabila problema berupa masalah-masalah ilmu (agama) singgah pada manusia maka janganlah tergesa-gesa dan terburu-buru sebelum diketahui betul, lalu mengatakan, agar tidak mengatakan atas nama Allah tanpa ilmu

Karena manusia yang memberi fatwa itu adalah perantara antara manusia dan Allah, menyampaikan syari`at Allah sebagaimana telah disebutkan dalam hadits shahih dari Rasulullah SAW: (العلماء ورثة الأنبياء) “Ulama itu adalah para pewaris nabi-nabi.“. Dan Nabi SAW mengabarkan:

أن القضاة ثلاثة: قاض واحد في الجنة وهو من علم الحق فحكم به

“Bahwa hakim itu ada tiga: Hakim yang satu ada di dalam surga yaitu orang yang mengetahui kebenaran maka ia menghukumi dengannya.“

Demikian pula yang penting apabila terjadi problema padamu maka ikatkanlah hatimu kepada Allah dan bersikap butuh padaNya agar Dia memahamkanmu, memberimu ilmu, terutama dalam perkara-perkara besar yang samar bagi kebanyakan orang.

Sebagian guru-guru kami telah mengingatkan padaku bahwa sebaiknya orang yang ditanya tentang suatu masalah hendaknya memperbanyak istighfar, mengambil dalil dari firman Allah:“Sesungguhnya Kami telah menurunkan Kitab kepadamu dengan membawa kebenaran, suapaya kamu mengadili antara manusia dengan apa yang telah Allah wahyukan kepadamu, dan janganlah kamu menjadi penantang (orang yang tidak bersalah), karena (membela) orang-orang yang khianat.dan mohonlah ampun kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.“ (An-Nisaa`: 105-106).

Karena memperbanyak istighfar itu mengakibatkan hilangnya bekas-bekas dosa yang dosa itu menyebabkan lupanya ilmu dan timbulnya kebodohan. Seperti firman Allah Ta`ala: “(Tetapi) karena mereka melanggar janjinya, Kami kutuk mereka, dan Kami jadikan hati mereka keras membatu. Mereka suka merobah perkataan (Allah) dari tempat-tempatnya, dan mereka (sengaja) melupakan sebagian dari apa yang mereka telah diperingatkan dengannya…“ (Al-Maaidah: 13).

Disebutkan dari Imam As-Syafi`i bahwa ia berkata:

Aku mengeluhkan titik rendah buruknya hafalanku

Maka Dia menunjukiku agar meninggalkan maksiat-maksiat

Dan Dia berkata, ketahuilah bahwa ilmu itu bagai cahaya

Sedang cahaya Allah tidak diberikan kepada orang yang bermaksiat.“

Maka tidak diragukan lagi ketika itu hendaknya istighfar sebagai sebab untuk membukakan pintu Allah atas seseorang..

[Dinukiil dengan sedikit adaptasi dari Al-Khilaaf bainal `ulamaa` asbaabuhu.. wa mauqifunaa minhu, Al-Muhaadhorootu ats-Tsamiinah fiimaa yajibu an ya`rifahul muslimu `an diinih oleh As-Syaikh Muhammad As-Shalihh Al-`Utsaimin, Maktabah Daru Thabariyah, cetakan I, 1995/ 1415H).


Related articles

Leave a Reply

Your email address will not be published. Fields with * are mandatory.