Apakah Istilah “Bunda” Adalah Syiar Nasrani dan Salah Satu Elemen Trinitas?

Tanggapan atas BC Yang berjudul “SYIAR NASRANI YANG TIDAK DISADARI KAUM MUSLIMIN

Telah masuk pertanyaan kepada saya tentang BC yang berisi larangan menggunakan sebutan “Bunda” di tengah kaum muslimin. Apakah benar bahwa menggunakan kata “Bunda” itu adalah syiar Nasrani dan elemen Trinitas, sehingga menggunakannya adalah buruk dan bahkan dianggap syiarnya orang kafir??

Berikut adalah isi BC yang dimaksud :

?MUTIARA NASEHAT?
¤———————–¤
SYIAR NASRANI YANG TIDAK DISADARI MUSLIMIN
———–

1⃣ ISTILAH “BUNDA” ADALAH SALAH SATU ELEMEN TRINITAS KATOLIK
❓PERTANYAAN:

Bolehkah menggunakan istilah “bunda” sebagai panggilan bagi seorang muslimah?

✏ JAWABAN:

⛔ Tidak diragukan lagi, hal ini termasuk salah satu dari syiar nasrani yang seringkali tidak kita sadari.

? Saat ini, di berbagai tempat sudah lazim penggunaan istilah “bunda”.

? Hingga di toko-toko yang para pegawainya muslim pun terbiasa menyapa pembeli dengan salam khas, “Beli apa, Bunda?”

✅ Masih bisa dimaklumi bila hal ini menimpa orang-orang awam yang kurang pemahaman.

❗Namun bagi para penuntut ilmu, sungguh, ini suatu PETAKA.

❎ Istilah “bunda” adalah salah satu elemen TRINITAS umat KATOLIK :

1. Tuhan bapak.
2. Tuhan anak/yesus.
3. Bunda Maria, dengan patung wanita menggendong anak.

⚠ Istilah BUNDA Maria MASYHUR di negara Indonesia.

❌ Oleh karena itu, janganlah menggunakan istilah tersebut. Akan lebih baik bagi syiar Islam bila kita membiasakan diri menyebut saudari kita yang muslimah dengan panggilan “ummu” [selesai]

TANGGAPAN

Berikut adalah sekelumit tanggapan dari saya, agar kita lebih berhati² di dalam menghukumi sesuatu termasuk menyebar²kan BC seperti ini…

1⃣ Agama kita berdiri di atas ilmu dan ilmu itu tidaklah lepas dari Kitabullâh dan Sunnah Rasulillâh. Oleh karena itu tidak boleh kita berkata dan berbuat melainkan harus dengan ilmu.
Imam Bukhari sendiri membuat bab di dalam Shahih-nya, Bab al-Ilmu qoblal Qouli Wal Amali (BERILMU SEBELUM BERBICARA DAN BERAMAL).

2⃣ Masalah halal dan haram adalah hak Allah dan Rasul-Nya. Tidak boleh seseorang menetapkan ini halal dan ini haram tanpa ilmu.
Allah berfirman dalam surat an-Nahl :

(وَلَا تَقُولُوا لِمَا تَصِفُ أَلْسِنَتُكُمُ الْكَذِبَ هَٰذَا حَلَالٌ وَهَٰذَا حَرَامٌ لِتَفْتَرُوا عَلَى اللَّهِ الْكَذِبَ ۚ إِنَّ الَّذِينَ يَفْتَرُونَ عَلَى اللَّهِ الْكَذِبَ لَا يُفْلِحُونَ)
Dan janganlah kamu mengatakan terhadap apa yang disebut-sebut oleh lidahmu secara dusta “ini halal dan ini haram”, untuk mengada-adakan kebohongan terhadap Allah. Sesungguhnya orang-orang yang mengada-adakan kebohongan terhadap Allah tiadalah beruntung.
[Surat An-Nahl 116]

3⃣ Al-‘Allâmah as-Sa’di dalam menafsirkan ayat di atas mengatakan :
أي: لا تحرموا وتحللوا من تلقاء أنفسكم، كذبا وافتراء على الله وتقولا عليه.
Yaitu, janganlah kamu mengharamkan dan menghalalkan dg cara mendatangkan dari dirimu sendiri secara dusta dan mengada² serta membuat² atas nama Allah.” [Via QuranDroid]

4⃣ Para ulama menjelaskan bahwa hukum asal dalam hal adat (kebiasaan) adalah MUBAH dan TIDAK TERLARANG, sampai ada dalil yang menunjukkan larangannya.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullâhu mengatakan :
أَنَّ العاداتِ الأَصْلُ فيهَا الإِباحةُ، فلا يحرمُ منهَا إلاَّ مَا وردَ تحريمُهُ.
Bahwa perkara adat/kebiasaan itu secara asal hukumnya adalah MUBAH, maka tidak boleh dihukumi HARAM kecuali apabila ada dalil yang mengharamkannya.”
فالعاداتُ هيَ: مَا اعتادَ النَّاسُ من المآكلِ والمشاربِ وأصنافِ الملابسِ، والذَّهابِ والمجيءِ، والكلامِ، وسائرِ التَّصرُّفاتِ المعتادةِ،
Yang dimaksud dengan adat adalah segala bentuk kebiasaan yang biasa dikerjakan manusia baik itu berupa makanan, minuman, jenis² pakaian, hal yang berkaitan dengan bepergian dan kedatangan, UCAPAN, dan seluruh perbuatan yang biasa dilakukan.”
فلا يحرمُ منها إلاَّ ما حرَّمهُ اللهُ ورسولُهُ، إِمَّا نَصًّا صريحاً أوْ يدخلُ في عمومٍ أَوْ قياسٍ صحيحٍ، وَإلاَّ فسائرُ العاداتِ حلالٌ.
Maka tidak boleh dihukumi haram kecuali yang Allah dan Rasul-Nya haramkan, baik itu secara nash (tekstual) yang tegas lagi terang, atau yang masuk di dalam keumuman ataupun qiyas (analogi) yang tepat. Jika tidak ada maka semua bentuk adat/kebiasaan itu adalah halal.”
(dikutip dari situs ahlalhdeeth)

5⃣ Dalam ilmu Bahasa (linguistik), suatu kata itu memiliki makna hakiki (denotatif) dan majazi/kinayah (konotatif), tergantung konteks dan maksud pembicaraan.
Jika kita bicara tentang suatu lafazh/redaksi, maka secara asal ia memiliki makna hakiki (denotatif), yang tidak boleh dipalingkan maknanya kecuali jika ada indikasinya.
Dalam ilmu bahasa Arab (termasuk juga Indonesia dan lainnya), lafazh/redaksi hakiki itu ada 4 macam :
Haqiqi Lughowi (denotatif literal/etimologis).
?? misal kata bid’ah secara etimologis bermakna segala hal baru yang tdk ada contohnya.
Haqiqi Syar’i (denotatif syara’), yaitu mengembalikan maknanya kepada terminologi syariat (Dan ini hanya ada dalam Islam)
?? contohnya sholat. Secara etimologi bermakna doa, namun secara syara’ bermakna suatu ritual ibadah khusus yang dimulai dari takbir hingga salam…
Hakiki Urfi (denotatif berdasarkan urf/kebiasaan yg dipahami). Ada dua macam :
? Urfi Khas (yang difahami oleh kebiasaan orang khusus/tertentu).
? Urfi Am (yang difahami oleh kebiasaan orang umum/kebanyakan).

Nah, sekarang kata “Bunda” itu adalah redaksi yang umum digunakan masyarakat Indonesia…
?? Secara hakiki Lughowi, makna Bunda (singkatan dari Ibunda) adalah bermakna “ibu kandung”

??Lihat KBBI
bunda/bun·da/ n kependekan  ibunda; orang tua perempuan

?? Secara hakiki Urfi, kata bunda dipakai secara umum utk sebutan pada kaum ibu, baik secara khusus maupun umum. Dan tidak menjadi ciri khas suatu komunitas tertentu.

6⃣ Dalam kaidah disebutkan
الاعتبار في المعاني لا في الألفاظ
Yang dianggap itu adalah makna, bukan sekedar lafazh nya saja.
Atau dalam kaidah lain dikatakan
العبرة في الحقيقة والمعاني ليست في الألفاظ والمباني.
Yang menjadi acuan itu adalah hakikat dan maknanya, bukanlah sekedar lafazh dan bentuknya belaka.
Karena itu, lafazh “Bunda” haruslah difahami penggunaan nya sesuai dengan maknanya dan maksudnya, tidak bisa hanya sekedar karena digunakan lafazh nya oleh suatu kaum, maka lafazh ini dianggap sebagai bagian kekhususan kaum tersebut ..
Jika seperti ini kaidahnya, maka akan rusak dan betapa banyak istilah yang harus kita buang…

Misal :
Jika kata Bunda dilarang karena dianggap elemen Trinitas.
Pertanyaan saya adalah sebagian Nasrani meyakini bahwa salah satu elemen Trinitas bukanlah Bunda Maria. Tapi Jibril yang mereka sebut dengan Ruhul Qudus.
Pertanyaannya sekarang, apakah Ruhul Qudus itu terlarang??
Perhatikan firman Allah di bawah ini :
قُلْ نَزَّلَهُ رُوحُ الْقُدُسِ مِنْ رَبِّكَ بِالْحَقِّ لِيُثَبِّتَ الَّذِينَ آمَنُوا وَهُدًى وَبُشْرَىٰ لِلْمُسْلِمِينَ
Katakanlah: “Ruhul Qudus (Jibril) menurunkan Al Quran itu dari Tuhanmu dengan benar, untuk meneguhkan (hati) orang-orang yang telah beriman, dan menjadi petunjuk serta kabar gembira bagi orang-orang yang berserah diri (kepada Allah)”. (QS an-Nahl : 102)
Apakah sekarang anda mengatakan bahwa menyebut Jibril dengan Ruhul Qudus itu terlarang, karena tmsk elemen Trinitas??

Misal 2 :
Orang Nasrani sering menyebut Injil atau Bible mereka dengan sebutan AL-KITAB.
Maka, apakah kita juga menolak menyebut al-Qur’an dengan sebutan AL-KITAB, padahal Allah sendiri yang menyebut al-Qur’an ini dengan sebutan AL-KITAB????
(Lihat al-Baqoroh ayat 2)??

Penulis BC di atas menganjurkan untuk mengganti sebutan Bunda dengan “Ummu” saja, mungkin dengan anggap lebih Islami…
Lantas bagaimana menurut Anda dengan sebutan “Ummu Jamil” isteri Abu Lahab yang mereka berdua dicela oleh al-Qur’an?? Bukankah Ummu Jamil yang kafir juga menggunakan sebutan “Ummu“??
Dan bukannya kaum Nasrani Orthodox Suriah saat menyebut nama pendeta wanita mereka juga dengan sebutan ” al-Umm“, seperti panggilan mereka kepada Mother Theresa dengan sebutan أم تريزا (Ummu Tariza)??

KESIMPULAN :

Tidak terlarang dan juga tidak makruh menggunakan Bunda, ataupun kata lainnya semisal Bu, Nyonya, Mama, dan semisalnya…
Jangan takalluf (membebani diri) dan melarang apa² yang tidak pernah dilarang oleh Allah dan Rasul-Nya.
Wallahu a’lam.

✏ @abinyasalma


Related articles

 Comments 2 comments

  • Abid says:

    Di artikel lain antum, sepertinya nampak kontradiktif. Seperti artikel berikut yg ana kutip dari blog antum :

    ((Ini adalah adab seorang ulama yang patut ditiru, yaitu beliau berupaya menghindarkan diri dari tasyabbuh (menyerupai) kaum kafir dengan sering mengawali percakapan di telepon dengan kata “hallo”, dan lebih memilih untuk mengucapkan “iya”, pent.]))

    Sudahkah antum cek kata hallo di kbbi? di sisi lain antum meluruskan kata “bunda” dan disisi lain antum mengajak meninggalkan kata “halo”, padahal kedua maknanya tidak bermasalah dalam kbbi ?!?

    Jazakallahu khayran atas komentar antum. Sebenarnya tidak ada yang kontradiktif…
    1) Pengklaim kata Bunda itu sbg elemen trinitas, adalah tidak tepat dari sisi syara’ termasuk pula ‘urf. Karena Bunda itu adalah bahasa Indonesia yang berasal dari kata Ibunda. Sebagaimana kata Ayahanda, Kakanda, Adinda, dll.
    2) Penulis yang melarang penggunaan kata Bunda, tidak memiliki salaf atau ulama atau minimal orang berilmu di dalam klaimnya. Sedangkan penggalan yang antum sebutkan adalah berasal dari ulama (Syaikh al-Albani).
    2) Islam mengatur mu’amalat dan interaksi muslim sehari2, termasuk dalam hal sapa-menyapa. Tentunya menggunakan tahin’ah Islam adalah lebih baik deripada tahni’ah selainnya. Dan kata Halo sendiri bermakna “ucapan salam untuk menyapa (seseorang)” (dalam KBBI). Kata Halo bersifat universal, digunakan termasuk di negeri Arab. Karena itu orang Arab pun menggunakan kata “Hallo” saat menelpon, dan ini jelas suatu hal yang dibenci. Karena mengedepankan sapaan dg bahasa ajami dan non islami kepada muslim. Sedangkan kata Bunda hanya ada di bahasa Indonesia saja (atau Melayu), berbeda dengan kata “mama” yang lebih universal. Sedangkan pendapat kami menyebut orang tua kita adalah kembali kepada ‘urf masing2, mau panggil mama, mami (Belanda), mother (UK), nene (albania), um (arab), mayr (armenia), cici (azerbaijan), muqin (cina), mbok (jawa), indung (sunda), anne (Turki), dst… tidaklah terlarang…
    Coba diperhatikan kembali…

  • Abid says:

    Jazaakallahu khairan. Jadi saya bisa simpulkan bahwa ucapan salam sendiri telah di atur dalam Islam, sehingga memilih kata hallo sebagai salam adalah sesuatu yang dibenci. Berbeda dengan panggilan bunda, yang penggunaannya tidak ditetapkan secara khusus oleh syariat.

    Wajazakallahu khayran. Iya betul.

  • Leave a Reply

    Your email address will not be published. Fields with * are mandatory.