SHALAT GHOIB BAGI ORANG YANG TIDAK PERNAH SHALAT
❓ Pertanyaan :
Ustadz, mau tanya td ada karyawan nestle yg meninggal dunia jam 21:00 an, biasanya di pabrik melaksanakan sholat ghoib utk jenazah tsb ba’da solat dhuhur berjamaah atau ba’da solat jumat klo pas hr jumat meninggalnya, trus apabila yg meninggal tsb tdk pernah melakukan sholat fardhu sama sekali bgmna hukumnya klo kita mengerjakan sholat ghoib tsb? Jazakalloh khaer, dari Uki di PT Nestle Pasuruan.
📌 Jawaban :
Barokallahu fik akhuna uki di Pasuruan jawa timur semoga istiqamah selalu..sebenarnya terkait pertanyaan dari antum ada dua masalah global yg harus di jelaskan walau secara sungkat :
Pertama : tentang hukum shalat ghoib bagi jenazah yang sudah di shalatkan.
kedua : tentang hukum menshalatkan jenazah yg ketika hidupnya tdak pernah shalat.
Shalat ghaib maksudnya adalah shalat atas jenazah dimana jenazahnya tidak ada ditempat.
Maka atas pertolongan dan izin Allah kita katakan :
(1). Ada khilaf dikalangan para ulama tentang hukum shalat ghaib kepada beberapa pendapat :
<1> Disyari’atkan shalat ghaib : Madzhab Syafi’i dan Hanbali mensyari’atkan adanya shalat ghaib secara mutlak. (Al-Um 1/308, al-Mughni 2/382, al-Majmu’ 5/252)
<2> Tidak disyari’atkan shalat ghaib : Madzhab Maliki dan hanafi berpendapat tidak disyari’atkan shalat ghaib secara mutlak (Hasyiyah ibnu Abidin 2/209, Multaqal Abhur 1/161), Dalam madzhab maliki sendiri berbeda hukumnya antara makhruh atau haram.
<3> Disyari’atkan shalat ghaib bagi jenazah muslim yang belum dishalati oleh kaum muslimin, yang berpendapat ini dari kalangan para ulama diantaranya, Imam Abu Dawud, Imam Al-Khathabi, syaikhul Islam ,Imam Ibnu Qayyim, Ar-Ruyani darinkalangan ulama syafi’iyyah, Syaikh Al-Albani, Syaikh Muhammad al-Utsaimin rahimahumullah (Aunul ma’bud 9/5, Ma’alimus Sunan 1/270, Ahkamul Jnaiz hal. 89, Fatawa Islamiyah 2/18).
<4> Boleh shalat ghaib kalau pada waktu hari wafatnya atau masih belum lama waktunya, kalau sudah lama maka tidak boleh, Dibawakan pendapat ini oleh Imam Ibnu Abdil Barr dari sebagian para ulama (Fathul Bari 3/431, Subulus Salam 2/209, Nailul Authar 4/56).
<5> Boleh shalat ghaib bagi mayit yang arah nya di kiblat, kalau mayyit bukan berada diarah kiblat maka tidak perlu shalat ghaib. Ini pendapat yang menyendiri dari Ibnu Hibban (Shahih Ibnu Hibban 7/366).
Dalil-dalil dari masing-masing pendapat bisa dilihat di kitab
Kesimpulanya yang kuat dalam masalah ini adalah pendapat yang menyatakan bahwa Tidak di syari’atkan shalat ghoib terhadap jenazah yg sudah di shalatkan oleh kaum muslimin di tempat lain, karena tidak ada dalil yg shahih dari Nabi shalallahu alaihi wasallam bahwa beliau shalallahu alaihi wasallam menshalatkan ghaib para sahabatnya yg meninggal di tempat lain, kecuali shalat ghaibnya terhadap najasyi penguasa habasyah.
Demikian juga para khulafaur Rasyidin tidak pernah ada riwayat menshalatkan ghaib terhadap jenazah para sahabat yang lain, padahal pada masa itu banyak orang-orang yang meninggal akan tetapi tidak ada yang melakukan shalat ghaib , sementara Hukum asal ibadah adalah Tauqifiyyah sehingga tegak padanya dalil yg mencontohkannya. (Fatawa Islamiyah 2/18)
Memang ada beberapa riwayat yang menunjukan Rasulullah shalallahu alaihi wasalam shalat ghaib, akan tetapi tidak luput dari kelemahan, sehingga tidak bisacdijadikan hujjah, diantaranya :
▪Beliau menshalatkan ghaib terhadap jenazah Mu’awiyyah bin mu’awiyyah al-Laitsi atau al-Muzani (sunan al-Baihaqie 4/50-51, akan tetapi riwayat ini lemah karena dalam sanadnya ada rawi al ‘ala abu muhammad as-Tsaqafi, ia munkarul hadits, Al-Majmu’ syarah al muhadzab 5/253)
Nama sahabat yang di shalatkan ghaib oleh Nabi shalallahu alaihi wasallam sendiri ghorib (asing). Imam Syaukani menukil perkataan al-Imam ad-Dzahabi : Kita tidak mengetahui ada sahabat yang bernama Mu’awiyah bin Mu’awiyyah (Nailul Authar 4/57)
▪Beliau menshalatkan ghaib terhadap jenazah Zaid bin Haritsah dan Ja’far bin Abi Thalib (Nashbur Rãyah 2/284), Hadits ini mursal dan didalam sanad nya ada al-Waqidi, ia dha’ifun jiddan (Aunul Ma’bud 9/15).
(2). Adapun shalat Ghaib Rasulullah shalallahu alaihi wasallam terhadap Ash-Hamah raja najasyi di negeri habasyah (etiopia) dan memerintahkan para sahabat untuk ikut menyalatkannya bersama Rasulullah, beliau bersabda, “pada hari ini telah wafat seorang laki2 yg shalih dari negeri habasyah, marilah kita menshalatkannya”. Dalam lafadz lain , “bangkitlah kalian lalu shalatkanlah saudara kalian ash-Hamah” (Bukhari : 1317, Muslim : 952).
(3). Demikian juga Rasulullah shalallahu alaihi wasallam pernah menshalatkan ghaib dikuburannya seorang wanita kulit hitam dalam riwayat lain seorang lelaki yg biasa membersihkan masjid, Karena saat meninggalnya perempuan tersebut pada waktu malam, para sahabat tdak memberitahukan Rasulullah shalallahu alaihi wasallam, karena dikhawatirkan mengganggu beliau, mereka juga menganggap remeh urusan perempuan ini, sehingga beliau bersabda, “tunjukan kepadaku dimana kuburannya?”, maka ditunjukanlah kuburnya lalu beliau pun menshalatinya, lalu bersabda, “sesungguhnya kubur ini penuh dengan kegelapan bagi para penghuninya, dan Allah meneranginya dengan sebab shalat (doa) ku atas mereka”. (HR Bukhari : 1336, Muslim : 956).
(3). Tentang shalat ghaib Nabi shalallahu alaihi wasallam terhadap jenazah Penguasa Habasyah ( najasyi ) , tidak jadi dalil bolehnya kita shalat ghaib atas semua orang jenazah muslim, karena nabi shalalahu ‘alaihi wasallam hanya shalat ghaib terhadap raja najasyi saja, adapun terhadap para sahabat yg lain tdak ada dalil yg shahih bahwa beliau melakukannya. Ada beberapa riwayat bahwa Nabi shalallahu alaihi wasallam menshalatkan ghaib kepada sahabat
(4). Sebab Rasulullah shalallahu alaihi wasallam shalat ghaib terhadap Najasyi ada beberapa pendapat dari para ulama diantaranya, bisa jadi karena raja najasyi ketika wafat tidak ada yg menshalatkan, karena ia masuk islam dan merahasiakan keislamannya, atau bisa jadi karena ia adalah orang khusus, yg besar manfaatnya bagi islam, atau bisa jadi ini adalah kekhususan bagi Nabi saja untuk melakukannya.
(5). Yang lebih mendekati kebenaran adalah bahwa shalat ghaib boleh dilakukan apabila dalam 2 ( dua) kondisi :
▪ jenazah meninggal di suatu daerah yg tidak ada seorangpun yg menyalatinya.
▪jenazah tersebut membawa manfaat yg besar bagi kaum muslimin seperti ulama atau pemimpin yang jasanya banyak bermanfaat bagi bangsa, agama, dan negara.
(6). Demikian juga shalatnya Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam dikuburan jenazah wanita hitam, tidak jadi dalil tentang bolehnya kita shalat ghaib terhadap setiap jenazah kaum muslimin, karena ini hanya khusus bagi mereka yg merasa perlu untuk menyalatkan tapi tidak sempat karena jenazah sudah di kuburkan, dan shalatnya harus di kuburan buktinya Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam sampai bela-belain datang ke kuburnya.
(7) Imam Ibnu Qudamah rahimahullah berkata, “secara garis besar bagi siapa yg tertinggal melakukan shalat jenazah, maka boleh ia menshalatinya selama belum dikubur, namun jika telah dikubur, maka boleh ia shalat dikuburnya selama belum satu bulan. Ini adalah pendapat mayoritas ulama dari kalangan sahabat Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam dan yg lainnya…..” (Al-Mughni 3/444).
(8). Hukum menshalatkan jenazah yg tidak pernah shalat ktka hidupnya. Ini perlu dirinci dulu tentang hukum meninggalkan shalat.
Meninggalkan shalat itu ada 2 (dua) macam :
pertama : meninggalkan karena juhud (mengingkari kewajiaban shalat), dan ini sepakat para ulama bahwa pelakunya kafir.
kedua : meninggalkan karena tahawun (meremehkan, malas sambil meyakini kewajiban shalat), disini ada khilaf kpada kafir dan tidak kafir, tetapi pendapat yg kuat adalah yg merinci sebagai mana di jelaskan oleh syaikh al-Utsaimin rahimahullah, bahwa tentang orang yg meninggalkan shalat bukan karena juhud (mengingkari kewajibannya) adalah dirinci, kalau tdak shalat lebih banyak dari pada shalatnya maka ia kafir, tapi kalau shalat lebih banyak dari tidak shalatnya maka ia tidak dihukumi kafir, tapi fasiq yg kalau mati tetap di shalatkan.
Dalam kasus ini teman antum itu kalau seumur-umur tidak shalat, tidak jum’atan, kalaupun shalat paling-paling hanya shalat tahuan saja, shalat idul fitri atau idul adha, maka kalau mati tidak perlu di shalatkan. Wallahu a’lam.
✒ Abu Ghozie As-Sundawie.
Ma’had As-Sunnah Pasuruan.
Hari jum’at yg mubarokah 19 rojab 1436 H/8 mei 2015 M.
Posted from WordPress for Android