“JAZÂKALLÔHU KHOYRON”
Islam adalah agama yang sarat dengan keindahan akhlaq, sampai-sampai Rasûlullâh Shallallâhu ‘alaihi wa Sallam menyatakan tentang diantara alasan diutusnya beliau adalah untuk menyempurnakan akhlaq.
إنما بعثت لأتمم صالح الأخلاق
“Sesungguhnya saya diutus untuk menyempurnakan akhlaq yang baik” [HR Ahmad]
Rasûlullâh Shallallâhu ‘alaihi wa Sallam juga bersabda :
أَكْمَلُ الْمُؤْمِنِيْنَ إِيْمَانًا أَحْسَنُهُمْ خُلُقًا
“Orang mukmin yang paling sempurna imannya adalah yang paling bagus akhlaknya.” (HR At-Tirmidzi)
Diantara akhlaq terpuji adalah tatkala mendapatkan kebaikan dari saudaranya, ia membalasnya dengan kebaikan yang serupa atau lebih, sebagaimana dalam firman Allôh Ta’âlâ :
هَلْ جَزَاء الْإِحْسَانِ إِلَّا الْإِحْسَانُ
“Tidaklah balasan kebaikan itu melainkan dengan kebaikan yang serupa” (QS ar-Rahmân : 60)
Juga sebagaimana dalam sabda Nabî Shallallâhu ‘alaihi wa Sallam :
مَن صَنَعَ إِليكُم مَعرُوفًا فَكَافِئُوه ، فَإِن لَم تَجِدُوا مَا تُكَافِئُوا بِهِ فَادعُوا لَهُ حَتَّى تَرَوا أَنَّكُم قَد كَافَأتُمُوهُ
“Barangsiapa yang berlaku baik padamu maka balaslah dengan kebaikan yang sama. Apabila kalian tidak dapat membalasnya dengan kebaikan yang sama, maka doakan kebaikan baginya sampai kalian pandang cukup untuk membalas kebaikannya.” (HR Abu Dawud dishahihkan oleh Imam Albani)
Nah, diantara doa yang sering kita ucapkan ketika mendapatkan kebaikan dari saudara kita adalah ucapan “Jazâkallôhu khoyron”, yang artinya “semoga Allôh membalas Anda dengan kebaikan.”
Adakah Sunnah mengucapkan kalimat ini?
عن أسامة بن زيد رضي الله عنهما قال : قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : مَنْ صُنِعَ إِلَيْهِ مَعْرُوفٌ فَقَالَ لِفَاعِلِهِ : جَزَاكَ اللَّهُ خَيْرًا . فَقَدْ أَبْلَغَ فِي الثَّنَاءِ
Dari Usâmah bin Zaid Radhiyallâhu ‘anhumâ beliau berkata, Rasulullâh Shallallâhu ‘alaihi wa Sallam bersabda : “Barangsiapa yang telah diperlakukan dengan kebaikan, maka hendaklah dia mengucapkan kepada pelakunya dengan ucapan “jazâkallohu khoyro”, karena ucapan ini sudah mencukupi dalam menyatakan rasa syukur.” (HR Turmudzi dan dishahihkan oleh Imam Albani)
قال عمر بن الخطاب رضي الله عنه : لو يعلم أحدكم ما له في قوله لأخيه : جزاك الله خيرا ، لأَكثَرَ منها بعضكم لبعض
‘Umar Radhiyallâhu ‘anhu berkata : “Sekiranya kalian mengetahui apa yang terkandung di dalam ucapan “jazakallohu khoyron” yang disampaikan oleh seseorang kepada saudaranya, niscaya kalian akan memperbanyak mengucapkannya di antara kalian.” (Riwayat terdapat dalam Mushonnaf Ibnu Abî Syaibah)
أسيد بن الحضير رضي الله عنه يقول لعائشة رضي الله عنها : ( جزاك الله خيرا ، فوالله ما نزل بك أمر قط إلا جعل الله لك منه مخرجا ، وجعل للمسلمين فيه بركة
Asyad bin al-Khudair Radhiyallâhu ‘anhu berkata kepada ‘Aisyah Radhiyallâhu ‘anhâ : “Jazakillâhu khoyron! Demi Alloh tidaklah segala sesuatu yang menimpa Anda melainkan Allôh telah berikan jalan keluarnya dan menjadikannya keberkahan bagi kaum muslimin.” (HR Bukhari dan Muslim)
Lantas, bagaimana menjawab “jazâkallohu khoyron”?
Syaikh Abdul Muhsin al-Abbâd –semoga Allôh memperpanjang usia beliau di atas ketaatan- ditanya:
السؤال: هل هناك دليل على أن الرد يكون بصيغة (وإياكم)؟
“Apakah ada dalilnya membalas ucapan dengan lafal “waiyyâkum”?”
فأجاب: لا , الذي ينبغي أن يقول :(وجزاكم الله خيرا) يعنى يدعى كما دعا, وإن قال (وإياكم) مثلا عطف على جزاكم ,يعني قول (وإياكم) يعني كما يحصل لنا يحصل لكم .لكن إذا قال: أنتم جزاكم الله خيرا ونص على الدعاء هذا لا شك أنها أوضح وأولى
Syaikh menjawab : “Tidak ada. Sepatutnya mengucapkan “jazaakumullâhu khoyron”, yaitu mendoakannya dengan doa yang sama. Apabila ia mengatakan “wa iyyâkum” misalnya, maka ucapan “iyyâkum” itu bermakna “semoga kami dan anda mendapatkan hal yang sama.” Namun apabila mengatakan “antum, jazâkumullâhu khoyron”, ini menegaskan ucapan doa dan lafal ini tdk ragu lagi adalah lebih jelas dan lebih utama.” [Kajian Syarh Sunan at-Turmudzî, Kitâb al-Bir wash Shilah no 222]
Tambahan “katsîron” atau “jazîlan” apakah diperbolehkan?
Saya pribadi belum mendapati ada penjelasan para ulama yang melarang (mengharamkan) secara mutlak penambahan kata “katsîron” atau semisalnya di dalam lafal doa tersebut, seperti ucapan “jazakallohu khoyrol jazaa'” atau “jazakallohu kulla khoyrin” atau “jazaakallohu khoyron katsiiron” dan yang semisal, selama tambahan tersebut tdk dianggap sebagai bagian dari sunnah atau yg disyariatkan, dan tidak disenantiasakan atau dilazimkan penggunaannya secara terus menerus…
Namun, tetaplah yang lebih utama adalah mencukupkan dengan apa yang datang dari Nabî Shallallâhu ‘alaihi wa Sallam dan para sahabatnya, bahwa ucapan “jazâkallôhu khoyron” adalah “ablagho fits tsanâ’” (sudah lebih dari cukup di dalam mengungkapkan rasa syukur).
Apakah ucapan “Jazâkallôh” saja sudah mencukupi?
Ini adalah kekeliruan yang sering terjadi, sebab mengucapkan lafal “jazâkallôh” saja secara bahasa dan makna adalah kurang dan tidak tepat.
Secara Bahasa, kata “jazâ” (جزا) itu adalah kata kerja (fi’l) transitif (muta’addi) yang memerlukan dua obyek (maf’ûl bih), seperti contoh pada kata berikut ini :
اعطيت الفقير طعاما (A’thoitu al-Faqîro tho’âman) = Saya memberi seorang fakir makanan
Kata “a’thô” adalah “fi’l muta’addî” (kata kerja transitif) yang memerlukan dua obyek (maf’ûl bih), yaitu :
1. Kata ganti (dhâmir) “-tu” adalah subyek (fâ’il) yang menunjukkan orang pertama (saya)
2. “Al-Faqîro” (orang fakir) adalah obyek (maf’ûl bih) pertama.
3. “Tho’âman” (makanan) adalah obyek (maf’ûl bihi) kedua.
Jadi, maknanya adalah, “saya (S) memberi (P) orang miskin (O1) makanan (O2)”.
[Keterangan : S = Subyek, P = Predikat/kata kerja, O1 = Obyek 1, O2 = Obyek 2]
Apabila tidak disebutkan Obyek kedua (mafûl bihi tsâni), maka kalimat akan terasa kurang, sebab tidak jelas apakah yang diberikan kepada orang miskin tersebut.
Demikian pula dengan kata, “jazâ-ka-llohu khoyron” :
1. “Jazâ” adalah kata kerja transitif (fi’il muta’addi) yang memerlukan dua obyek (maf’ûl bih)
2. “-ka” adalah kata ganti (dhâmir) untuk orang kedua tunggal (anda) yang berfungsi sebagai obyek (maf’ûl bih) pertama
3. Allôhu adalah subyek (fâ’il) atau pelaku.
4. “khoyron” adalah obyek (maf’ûl bih) kedua.
Jadi, maknanya adalah, “(Semoga) Allôh (S) membalas (P) Anda (O1) (dengan) Kebaikan (O2)”
Apabila tidak disebutkan kata “khoyron” sebagai obyek kedua (mafûl bihi tsâni), maka kalimat tersebut akan kurang maknanya, sebab tidak jelas apakah yang akan dibalas oleh Allôh, apakah kebaikan ataukah selainnya. Sehingga menyebutkan “khoyron” atau kata yang semakna adalah diperlukan.
Tambahan :
1. Jazâkallôhu khoyron = semoga Allôh membalas Anda (pria tunggal) dengan kebaikan
2. Jazâkillôhu khoyron = semoga Allôh membalas Anda (wanita tunggal) dengan kebaikan
3. Jazâkumâllôhu khoyron = semoga Allôh membalas Anda berdua dengan kebaikan
4. Jazâkumullôhu khoyron = semoga Allôh membalas Anda sekalian (plural/jamak) dengan kebaikan
5. Jazâhullôhu khoyron = semoga Allôh membalas dia (pria tunggal) dengan kebaikan
6. Jazâhâllôhu khoyron = semoga Allôh membalas dia (wanita tunggal) dengan kebaikan
7. Jazâhumâllôhu khoyron = semoga Allôh membalas mereka berdua dengan kebaikan
8. Jazâhumullôhu khoyron = semoga Allôh membalas mereka (pria jamak) dengan kebaikan
9. Jazâhunnallôhu khoyron = semoga Allôh membalas mereka (wanita jamak) dengan kebaikan
KONKLUSI & BEBERAPA FAWAID :
1. Ucapan “Jazâkallôhu khoyron” adalah salah satu akhlaq islâmî ketika membalas kebaikan saudara kita. Di dalamnya terkandung do’a yang sangat besar faidahnya dan lebih dari cukup untuk menyampaikan ucapan terima kasih.
2. Yang ada tuntunan dan sunnahnya adalah ucapan “Jazâkallôhu khoyron” saja, sebagaimana disebutkan di dalam hadits dan atsar sahabat.
3. Tidak mengapa menambahkan “katsiiron” atau semisalnya sebagai ta’kîd (penguat) atau penjelas, selama tidak dianggap bagian dari sunnah/syariah, dan tidak dilazimkan atau disenantiasakan. Namun yg lebih utama adalah mencukupkan dengan yang ada di dalam hadits dan riwayat di atas, yaitu ucapan “Jazâkallôhu khoyron” saja.
4. Balasan ucapan ” Jazâkallôhu khoyron ” yang lebih utama adalah dengan mengucapkan doa yang sama, sebagaimana dalam firman Alloh “dan tidaklah balasan kebaikan itu melainkan dengan kebaikan yg serupa” (QS Ar-Rahman : 60). Namun, menjawab dengan “waiyyâkum” tidaklah terlarang. Walau yg lebih utama adalah dengan membalas doa yang sama.
5. Kalimat “Jazâkallohu” saja adalah kurang, baik dari sisi bahasa maupun makna. Sebab kata kerja (fi’l) jazâ termasuk fi’l muta’addi (kata kerja transitif) yang menggunakan dua maf’ûl bih (obyek). Secara makna juga kurang, karena doa tersebut mendoakan untuk membalas dengan apa? Jadi yang lebih tepat harus diucapkan “jazakallohu khoyro” = semoga Alloh membalasmu dengan kebaikan
Wallôhu Ta’âlâ a’lam.
[Artikel ini berasal dari diskusi di salah satu grup di TG (Telegram) dan disusun kembali untuk lebih memperluas faidahnya.]
@abinyasalma
Posted from WordPress for Android