Peran Hawa Nafsu Dalam Menyulut Api Perselisihan

 Nov, 20 - 2009   1 comment   Aqidah & ManhajPembelaan

Berikut ini adalah sebuah artikel bermanfaat yang saya nukil dari situs yang sarat faidah www.direktori-islam.com. Artikel ini disusun oleh seorang penuntut ilmu senior di al-Jazair, beliau adalah Syaikh Mukhtar al-Akhdhar Thibawi hafizhahullahu. Bagi yang sering membaca forum ilmiah www.kulalsalafiyeen.com mungkin tidak akan asing dengan nama beliau. Beliau sangat aktif di dalam menulis artikel dan makalah-makalah yang bermanfaat, khususnya dalam masalah bantahan-bantahan dan klarifikasi bagi orang-orang yang ekstrem dan berlebih-lebihan di dalam beragama dengan kedok pembelaan manhaj salaf. Namun pada hakikatnya, aktivitas kaum yang ghuluw ini tidak lebih dari sikap hizbiyyah dan ashobiyyah jahiliyah.

Dan di bawah ini adalah salah satu tulisan beliau, yang telah diterjemahkan oleh tim direktori-muslim –Jazzahumullahu khayral jazaa’– yang penuh dengan faidah dan manfaat. Semoga Alloh membalas Syaikh dengan kebaikan yang berlimpah, memberkahi amal dan ilmu beliau serta memanjangkan usia beliau di dalam ketaatan kepada Alloh Azza wa Jalla. Syaikh hafizhahullahu berkata :

Puji syukur hanya bagi Allah. Sholawat dan salam semoga tercurah kepada Nabi Muhammad yang tidak ada nabi setelahnya. Amma badu..

Sebagian orang sering menuduh setiap orang yang menyelisihinya dengan tuduhan bid’ah, pengikut hawa nafsu, musuh sunnah dsb. Padahal sebagaimana diketahui  bahwa ahlul bid’ah adalah mereka pengikut hawa nafsu. Maka orang yang suka menuduh tadi seolah telah bersaksi untuk dirinya bahwa dia adalah orang yang selamat dari hawa nafsu. Atau seolah-olah dia telah mendapat jaminan dari Allah bahwa hatinya tidak akan pernah kemasukan hawa nafsu.

Perselisihan bisa jadi karena terdorong oleh hawa nafsu yang menyesatkan atau bisa jadi karena memang benar-benar ingin beritiba’.

Apabila hawa nafsu telah masuk kedalam hati seseorang maka akan menyebabkan orang tersebut gemar mengikuti sesuatu yang tidak jelas atau mutasyabih karena keinginannya  untuk mengalahkan orang yang menyelisihinya atau memenangkan perselisihan. Juga akan berakibat pada perpecahan dan permusuhan dikarenakan adanya perbedaan kepentingan dan tidak adanya kecocokan antara keduanya.

Sebagaimana yang telah diketahui bahwa syariat datang untuk memangkas peranan hawa nafsu secara mutlak. Ahlul bidah itu ada dua macam. Salah satunya adalah orang yang senantiasa mengikuti hawa nafsunya secara mutlak dan dia tidak membenarkan hukum-hukum syar’i secara kaseluruhan. Adapun orang yang membenarkan syariat dan berusaha untuk melaksanakannya sehingga sebagian besar perkataannya sesuai dengan kebenaran, maka tidaklah dikatakan bahwa ia pengikut hawa nafsu secara mutlak sehingga disifati sebagai ahlul bidah, sesat, musuh sunnah dsb. Sebagaimana dikatakan oleh sebagian orang yang merasa dirinya “selamat” dari mengikuti hawa nafsu !!

Taruhlah seandainya benar telah masuk hawa nafsu secara tersembunyi dalam perbuatan dan perkataan seseorang  maka apa hujjah mereka bahwa diri mereka sendiri terbebas dari hal tersebut sehingga mereka menuduh orang selain mereka dengan sifat itu. Kecuali apabila mereka punya dalil yang jelas menunjukkan bahwa mereka berada diatas kebenaran sedang yang lainnya menyelisihi kebenaran itu.

Padahal hakekatnya merekapun tidak pernah mendatangkan satu dalilpun dalam tuduhan-tuduhannya itu. Mereka hanyalah mengikuti sebagian persangkaan-persangkaan dusta, menipu diri sendiri dan fitnah sekitar tuduhan taqlid dsb.

Tatkala kita mengedepankan hawa nafsu dalam berdalil-sebagaimana mereka menjadikan taqlid mereka kepada syaikh sebagai hujjah, sedangkan taqlid adalah bagian dari hawa nafsu itu sendiri- maka dalil ini tidak akan menghasilkan sesuatu kecuali hanya sikap mengekor hawa nafsu dan ta’ashub (fanatik buta). Perbuatan seperti ini jelas menyelisihi syariat dari sisi ikhlas dan mutaaba’ah.

Orang yang menamakan pihak lain sebagai mubtadi’, musuh sunnah atau mengaburkan kebenaran, seharusnya mereka dapat bersatu apabila pihak lain tersebut mengikuti kebenaran. Sebaliknya mereka akan berpisah tatkala pihak lain itu menyelisihi kebenaran versi mereka. Akan tetapi ternyata orang tersebut hanya menyerukan perselisihan kepada pihak tersebut dalam semua keadaanya. Inilah bentuk dari mengikuti hawa nafsu itu sendiri.

Allah telah menjadikan perpecahan sebagai sesuatu yang dibenci dari diri kita. Dan telah memperingatkan dan melarang kita dari perselisihan.  Allah meridhoi ketaatan , kerukunan dan persatuan dalam diri kita. Sebagaimana dikatakan oleh Abdullah bin Mas’ud radhiallahu ‘anhu : “ Sesungguhnya apa yang kalian benci dalam jamaah (persatuan) dan ketaatan adalah lebih baik daripada apa yang kalian sukai akan tetapi dalam perpecahan “ persatuan itu rahmat dan perpecahan itu adzab.

Ibnu abdil barr berkata,” Dahulu dikatakan’tidak ada kebaikan dalam perpecahan dan tidak ada keburukan dalam persatuan.”

Allah tidak menjadikan sia-sia apa yang ada didalam kitabNya. Sehingga Allah menjadikan kitabNya  sebagai penjelasan atas segala sesuatu. Sementara terkadang kita mengatakan,” Perkataan seperti ini bersifat umum tentang persatuan.” Dan ini tidaklah benar.

Apabila Allah telah mengabarkan dalam kitabNya  bahwa Dia tidak menetapkan dan menuliskan perselisihan pada diri hamba-hambaNya dan kitapun telah mengetahui bahwa perselisihan itu telah tertanam pada tabiat dan telah tercetak pada penciptaan kita serta tidak mungkin kita untuk bisa terlepas atau menghilangkan tabiat ini, tidak akan hilang kecuali dengan datangnya kematian, maka sudah barang tentu Allah membimbing kita terkait hal-hal yang dapat menyelamatkan kita dari sejumlah keburukan yang ada pada perselisihan. Dengan bimbingan tersebut kita bisa mengatasi permasalahan kita. Diantara bimbingan Allah dalam hal ini adalah firmanNya :

{و تعاونوا على البر و التقوى ولا تتعاونوا على الإثم و العدوان}

Dan salinglah tolong menolong dalam kebajikan dan ketakwaan dan janganlah bertolong menolong dalam perbuatan dosa dan permusuhan…

Nabi shalallahu ‘alaihi wasalam bersabda ,” Bacalah al qur’an sehingga dapat menyatukan hati kalian, apabila kalian berselisih tentang maknanya maka hindarilah sehingga perselisihan itu tidak menjerumuskan kalian dalam keburukan.” ( fathul bari 9/101)

Nabi juga bersabda,” dan imam suatu kaum padahal kaum tersebut tidak menyukainya…..” terkadang para makmum itu berasal dari golongan para pengikut hawa nafsu dan sang imam adalah orang yang paling utama diantara mereka, hanya saja persatuan itu lebih utama.

Disebutkan dalam “kasyful qina” (1/484)  : Apabila antara imam dan makmum terjadi perselisihan maka tidak ada manfaat nya sang imam mengimami mereka karena tidak adanya kecocokan hati antara mereka sedangkan salah satu maksud dari sholat berjamaah adalah untuk menjaga persatuan umat.

Orang yang berakal akan selalu menjauhi kondisi-kondisi yang dapat memicu perdebatan seperti ucapan dengan istilah-istilah rumit yang tidak difahami oleh kebanyakan orang. Ucapan yang dapat memicu perdebatan , penolakan dan membuat orang lari dari kebenaran seperti itu tidaklah digunakan kecuali dalam kondisi-kondisi darurat. Dia harus membiasakan diri menggunakan kata-kata yang jelas dengan dasar-dasar umum yang diharapkan akan mendatangkan persatuan.

Agama itu terbentuk dari 2 hal: ikhlas dan mutaba’ah. Perselisihan yang timbul dalam rangka ittiba ini dapat disebabkan oleh hal-hal yang dapat ditoleransi dan hal-hal yang tidak dapat ditoleransi yang layak diberikan cap dosa dan kesesatan. Adapun sebab-sebab yang bisa ditoleransi maka tidak layak pelakunya disifati dengan sebutan sesat atau fasiq dsb.

Dengan demikian iktilaf dalam rangka mutaba’ah adalah hal yang mungkin, wajar dan dapat disaksikan. Akan tetapi tidak ada khilaf dalam hal keikhlasan karena hal itu hanya Allah yang mengetahuinya. Ikhlas dalam berdakwah dijalan Allah adalah ikhlas dalam mendakwakan islam dan sunnah. Abu Aliyah berkata dalam mentafsirkan firman Allah,”    ولا تفرقوا (Janganlah kalian saling bermusuhan). Beliau  berkata,” Dalam rangka keikhlasan kepada Allah, jadilah hamba-hamba Allah yang bersaudara.” (Qurtubi 4/32)

Wasssalamualaikum

Al Jazair 12-08-2009

Mukhtar Al Akhdhar Thibawy

===Sumber : direktori-islam ===


Related articles

 Comments 1 comment

  • shakitjiwa says:

    andai umat Islam bisa mengendalikan emosinya…
    tapi kenapa umat Islam ga bisa bersatu…faktor emosi,,,dan ketergesa-gesaan…kan ketergesa-gesaan adalah dari syetan…

    banyak pelajaran dalam masyarakat yang telah mengajarkan tanpa disadari,,,,

  • Leave a Reply

    Your email address will not be published. Fields with * are mandatory.