Benarkah Umar dan Hamzah Berdemonstrasi?
Sebuah Studi Riwayah dan Dirayah Hadits
Oleh : Syaikh al-Muhaddits ‘Alî Hasyîsy
Pada bahasan ini para pembaca akan disuguhi bahasan ilmiah tentang hadits kisah demonstrasi yang dipimpin Hamzah dan Umar rahimahullâhu, agar mengerti benar akan hakekat kisah yang mashur ini, dimana mereka yang gemar demostrasi menjadikan hadits ini sebagai dalil disyariatkan demonstrasi.
Pertama : Matan (teks) kisah
رُوِيَ عَنْ عُمَرَ بْنِ الْخَطَّابِ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ : “شَرَحَ اللهُ صَدْرِي لِلإِِسْلاَمِ، فَقُلْتُ: اللهُ لاَ إِلَهَ إِلاَّ هُوَ لَهُ اْلأَسْمَاءُ الْحُسْنَى، فَمَا فِي اْلأَرْضِ نَسَمَةٌ أَحَبُّ إِلَيَّ مِنْ نَسَمَةِ رَسُوْلِ اللهِ صلى الله عليه وسلم، قُلْتُ : أَيْنَ رَسُوْلُ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم ؟ قَالَتْ أُخْتِي: هُوَ فِي دَارِ اْلأَرْقَم بْنِ أَبِي اْلأَرْقَم عِنْدَ الصَّفَا، فَأَتَيْتُ الدَّارَ وَحَمْزَةُ فِي أَصْحَابِهِ جُلُوْس فِي الدَّارِ، وَرَسُوْلُ اللهِ صلى الله عليه وسلم فِي الْبَيْتِ، فَضَرَبْتُ الْبَابَ فَاسْتَجْمَعَ الْقَوْمُ جُلُوْسًا فِي الدَّارِ، وَرَسُوْلُ اللهِ صلى الله عليه وسلم فِي الْبَيْتِ، فَضَرَبْتُ الْبَابَ فَاسْتَجْمَعَ الْقَوْمُ فَقَالَ لَهُمْ حَمْزَة : مَا لَكُمْ؟ قَالُوْا : عُمَرُ، قَالَ : فَخَرَجَ رَسُوْلُ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم فَأَخَذَ بِمَجَامع ثِيَابِهِ ثُمَّ نَثَرَهُ نَثْرَةً فَمَا تَمَالَكَ أَنْ وَقَعَ عَلَى رُكْبَتِهِ، فَقَالَ : “ماَ أَنْتَ بِمِنَّتِهِ يَا عُمَرُ؟”. فَقُلْتُ : أَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ الله وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ، وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ، فَكَبَّرَ أَهْلُ الدَّارِ تَكْبِيْرَةً سَمِعَهَا أَهْلُ الْمَسْجِدِ. فَقُلْتُ : ياَ رَسُوْلَ اللهِ، أَلَسْنَا عَلَى الْحَقِّ إِنْ مِتْنَا وَإِنْ حَيَّيْنَا؟ قَالَ : “بَلَى، وَالَّذِي نَفْسِي بِيَدِهِ إِنَّكُمْ عَلَى الْحَقِّ إِنْ مِتُّمْ وَإِنْ حَيَّيْتُمْ”. فَقُلْتُ : فَفِيْمَ اْلاِخْتِفَاءُ؟ وَالَّذِي بَعَثَكَ باِلْحَقِّ لَنَخْرُجَنَّ فَأَخْرَجْنَا فِي صَفَّيْنِ حَمْزَة فِي أَحَدِهِمَا وَأَنَا فِي الآخِرِ لَنَا كَدِيْدٌ كَكَدِيْدِ الطَّحِيْنِ حَتىَّ دَخَلْنَا الْمَسْجِدَ، فَنَظَرَتْ إِليَّ قُرَيْشٌ وَإِلَى حَمْزَة فَأَصَابَتْهُمْ كَأْبَة لَمْ يُصِبْهُمْ مِثْلَهَا.
Diriwayatkan dari Umar bin al-Khattab radhiyallâhu ‘anhu, beliau berkata : “Allah melapangkan hatiku untuk memeluk agama Islam, lalu aku mengatakan : ”Allah, tiada sesembahan yang berhak disembah kecuali Dia, Dia memiliki al-Asmâ` al–Husnâ (nama-nama yang baik), tidak ada di bumi seseorang yang lebih aku cintai melebihi Rasûlullâh Shallallâhu ‘alaihi wa Sallam”. Aku bertanya : “Dimana Rasûlullâh Shallallâhu ‘alaihi wa Sallam?” Saudara perempuanku menjawab : “Dia berada di rumah al-Arqam bin Abi al-Arqam di as-Shofa”. Lalu aku mendatangi rumah itu, pada waktu itu Hamzah bin Abdul Muthalib duduk bersama para sahabat Nabi lainnya di lingkungan rumah, sedangkan Nabi berada di dalam rumah, lalu aku ketuk pintu rumah. Tatkala para sahabat Nabi mengetahui kedatanganku mereka pun datang bergerombol, lalu Hamzah bertanya kepada para sahabat Nabi : “Apa yang terjadi dengan kalian?” mereka menjawab : “Ada Umar bin Khattab”. Kemudian Umar melanjutkan ceritanya : “Lalu Rasûlullâh Shallallâhu ‘alaihi wa Sallam datang, dan memegang baju Umar dan mendorongnya, maka Umar pun terjatuh di atas kedua lututnya, lalu Nabi bersabda : “Wahai Umar apa yang kamu inginkan.?” Lalu aku menjawab : “Saya bersaksi bahwa tiada sesembahan yang berhak disembah selain Allah semata, tiada sekutu baginya, dan saya bersaksi bahwa Muhammad adalah hamba dan Rasul-Nya”. Mendengar hal ini para sahabat Nabi yang berkumpul bertakbir dengan takbir yang didengar orang-orang yang berada di Masjidil Haram. Aku pun berkata pada Nabi : “Bukankah kita berada di atas kebenaran baik kita mati atau hidup?” beliau Shallallâhu ‘alaihi wa Sallam menjawab : “Benar, wahai Umar, demi Dzat yang jiwaku berada di tangan-Nya, sesungguhnya kalian di atas kebenaran baik kalian mati atau hidup”. Aku menyahut : “Lalu mengapa kita bersembunyi, demi Allah yang telah mengutusmu dengan kebenaran kita akan keluar (terang-terangan menampakkan ke-Islaman)”. Lalu kamipun keluar dalam dua barisan, Hamzah pada salah satu barisan dan saya pada barisan lainnya. Hingga kami memasuki Masjidil Haram (Ka’bah). Maka orang-orang dari suku Quraisy melihat kepadaku dan kepada Hamzah, lalu merekapun bersedih hati dengan hal ini dengan kesedihan yang tidak pernah mereka alami sebelumnya.”
Kedua : Takhrij hadits
Kisah ini dinukil Abu Nu’aim dalam kitab “al-Hilyah (1-40)”, ia berkata : “Telah bercerita pada kami Muhammad bin Ahmad bin al-Hasan, telah bercerita pada kami Muhammad bin Utsman bin Abi Syaibah, telah bercerita pada kami Abdul Hamid bin Shalih, telah bercerita pada kami Muhammad bin Aban dari Ishâq bin Abdullâh dari Aban bin Shalih dari Mujahid dari Ibnu Abbas dari Umar bin al-Khattab.
Aku berkata : “Dengan sanad inilah Abu Nuaim mencantumkan dalam kitab “ad-Dalâ`il” hal. 194.
Ketiga : Tahqiq (verifikasi)
Kisah ini adalah kisah tidak benar, di dalamnya terdapat perawi yang tidak bisa diterima periwayatannya (cacat) yaitu : “Ishâq bin Abdullâh”.
1. Al-Imam al-Mizzi menyebutkan namanya dalam kitab “Tahdzîbul Kamâl” (2-57-362) dan ia berkata : “Ishâq bin ‘Abdullâh bin Abi Farwah meriwayatkan dari Abân bin Shâlih dst”.
2. Al-Imam an-Nasâ`î berkata dalam kitab “Ad-Dhu`afâ’ wal Matrûkîn” tentang riwayat hidup perawi ke (50) : “Perawi ini tidak diambil periwayatan haditsnya”. Komentar saya : “Ini adalah istilah al-Imam an-Nasâ`î, makna istilahnya itu adalah sebagaimana dijelaskan Ibnu Hajar dalam kitab “Syarh an-Nukhbah” hal (69) : “Madzhab/metode an-Nasâ`î adalah ia tidak meninggalkan hadits (tidak mengambilnya) sampai benar-benar para ulama bersepakat untuk tidak diambil (hadits tersebut)”.
3. Al-Imam al-Bukhârî berkata dalam kitab “Ad-Dhu`afâ’ al-Kabîr” tentang riwayat hidup perawi ke (20) : “Ishâq bin ‘Abdullâh bin Abi Farwah, para ulama hadits meninggalkannya”.
4. Al-Imam ad-Dâraquthnî berkata dalam kitab “Ad-Dhu`afâ’ wal Matrûkîn” nomor (94) : “Ia perawi yang tidak diambil haditsnya”.
5. ‘Alî bin al-Hasan al-Hasnajânî berkata dari Yahyâ dia berkata : “Ia (Ishâq bin ‘Abdullâh) pendusta”. Demikianlah disebutkan dalam kitab “Tahdzîbul Kamâl” (2-61)
6. Ibnu Hibbân berkata dalam kitab “al-Majrûhîn” (1-131) : “Ia sering membalikkan riwayat hadits dan sering menjadikan riwayat yang mursal (dari tabi’in) menjadi marfû’ (sampai kepada Nabi) dan Ahmad bin Hanbal melarang dari mengambil haditsnya”.
7. Ibnu Abî Hâtim berkata dalam kitab “al-Jarh wat Ta’dîl” (2-228) nomor (792) : “Saya mendengar ayahku berkata : “Ishâq bin ‘Abdullâh bin Abi Farwah adalah perawi yang haditsnya tidak diambil”. Kemudian Ibnu Abî Hâtim menyebutkan dengan sanadnya dari Yahyâ bin Ma’în, ia berkata : “Ishâq bin Abi Farwah adalah pendusta’. Dan dengan sanad lainnya dari Yahyâ, bahwasanya ia berkata : “Ishâq bin Abi Farwah adalah pembohong besar. Kemudian Ibnu Abî Hâtim berkata : Saya mendengar Abû Zur’ah berkata : “Ishâq bin ‘Abdullâh bin Abi Farwah adalah seorang perawi yang haditsnya tidak diambil”. Kemudian Ibnu Abî Hâtim menyebutkan dengan sanadnya sampai kepada ‘Amrû bin ‘Alî asy-Syirâfî, bahwasanya ia menceritakan bahwa Ishâq bin ‘Abdullâh bin Abi Farwah adalah perawi yang tidak diambil haditsnya”.
8. Saya (Syaikh Hasyîsy) berkata : “Ibnu ‘Adî telah menjelaskan hal ini (pendapat para ulama hadits tentang tidak diambilnya riwayat Ishâq bin ‘Abdullâh bin Abi Farwah dalam kitab “al-Kâmil” (1-326) (154-154) dalam biografi yang mencapai lebih dari 80 baris, ia menutupnya dengan ucapan : “Dan Ishâq bin Abi Farwah ini saya tidak menyebutkan hadits-haditsnya dalam kitab ini dengan sanad-sanad yang telah aku sebutkan, karena tidak seorangpun menukil sanad-sanadnya dan tidak pula matannya, dan seluruh hadits-haditsnya yang tidak aku sebutkan menyerupai berita-berita yang aku sebutkannya, dan ia telah menerangkannya dalam kitab “ad-Dhuafâ`”.
Komentar saya :
Dengan penjelasan ini telah jelas hal-hal berikuti ini :
1. Bahwa metode an-Nasâ`î adalah tidak meninggalkan hadits seorang perawi sampai sepakat para ulama untuk meninggalkannya.
2. Jelaslah hakekat riwayat Ishâq bin ‘Abdullâh bin Abi Farwah, tidak ada dari kalangan ulama yang mengambil sanad dan matan hadits darinya.
3. Berdasarkan hal ini, maka kisah di atas tidak berdasar, dan sanad hadits ini cacat, dan riwayat ini palsu.
Keempat : Hal-hal yang mendukung akan tidak benarnya riwayat kisah ini
1. Al-Imam al-Bukhârî telah membuat bab dalam Shahîh-nya kitab “Manâqib al-Anshâr” bab nomor 35 : “Islamnya Umar bin Khattab Radhiyallâhu ‘anhu“, dan ia menyebutkan di dalamnya hadits ke 3865 dari hadits Abdullâh bin Umar Radhiyallâhu ‘anhumâ ia berkata :
لَمَّا أَسْلَمَ عُمَرُ، اجْتَمَعَ النَّاسُ عِنْدَ دَارِهِ وَقاَلُوْا : صَبَأَ عُمَرُ- وَأَنَا غُلاَمٌ فَوْقَ ظَهْرِ بَيْتِي- فَجَاءَ رَجُلٌ عَلَيْهِ قُبَاء مِنْ دِيْبَاج، فَقَالَ: قَدْ صَبَأَ عُمَرُ، فَمَا ذَاكَ فَأَنَا لَهُ جَارٌ؟. قَالَ: فَرَأَيْتُ النَّاسَ تَصَدَّعُوْا عَنْهُ، فَقُلْتُ: مَنْ هَذَا؟ فَقَالُوْا: العَاصُ بْنُ وَائِل
“Tatkala Umar bin Khattâb masuk Islam, orang-orang berkumpul di rumahnya, dan berkata : “Umar telah menjadi pengikut agama Shobi`î – dan pada waktu itu saya masih kecil, saya berada di atap rumah – lalu datanglah seorang laki-laki memiliki sapu tangan besar terbuat dari sutera, dan berkata : “Tidak mengapa Umar memeluk agama Shobi`i (ia tidak akan dibunuh atau dihalangi), dan saya melindunginya dari orang yang berbuat zalim terhadapnya)”. Ibnu Umar berkata : (setelah mendengar ucapan tokoh Quraisy itu) aku melihat orang-orang bubar”. lalu aku pun bertanya : “Siapa orang itu?” mereka menjawab : “Al-‘Ash bin Wail (tokoh Quraisy)”.
2. Al-Hâfizh Ibnu Katsîr menyebutkan dalam kitab “al-Bidâyah wan Nihâyah”(3-81) tentang Islamnya ‘Umar bin Khaththâb : Ibnu Ishâq berkata : “Nâfi’ hamba sahaya Ibnu ‘Umar telah bercerita padaku dari Ibnu Umar, ia berkata :
لَمَّا أَسْلَمَ عُمَرُ قَالَ: أَيُّ قُرَيْشٍ أَنْقَلُ لِلْحَدِيْثِ؟ فَقِيْلَ لَهُ : جَمِيْل بْنُ مَعْمَرٍ الجُمَحِي. فَغَدَا عَلَيْهِ. قَالَ عَبْدُ اللهِ : وَغَدَوْتُ أَتْبَعُ أَثَرَهُ، وَأَنْظُرُ مَا يَفْعَلُ وَأَنَا غُلاَم أَعْقَلَ كُلَّ مَا رَأَيْتُ، حَتىَّ جَاءَهُ فَقَالَ لَهُ : أَعْلَمْتُ ياَ جَمِيْل أَنِّي أَسْلَمْتُ وَدَخَلْتُ فِي دِيْنِ مُحَمَّدٍ صلى الله عليه وسلم ؟ قاَلَ : فَوَاللهِ، مَا رَاجَعَهُ حَتىَّ قَامَ يُجِرُّ رِدَاءَهُ، وَاتَّبَعَهُ عُمَرُ، وَاتَّبَعْتُهُ أَنَا، حَتَّى إِذَا قَامَ عَلىَ بَابِ الْمَسْجِدِ صَرَخَ بِأَعْلَى صَوْتِهِ: يَا مَعْشَر قُرَيْشٍ، وَهُمْ فِي أَنْدِيَتِهِمْ حَوْلَ الْكَعْبَةِ، أَلاَ إِنَّ ابْنَ الْخَطَّابِ قَدْ صَبَأَ. قَالَ : يَقُوْلُ عُمَرُ مِنْ خَلْفِهِ: كَذَب، وَلَكِنِّي قَدْ أَسْلَمْتُ، وَشَهِدَ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ الله وَأَنَّ مُحَمَّدًا رَسُوْلُ اللهِ، وَثاَرُوْا إِلَيْهِ فَمَا بَرِحَ يُقَاتِلُهُمْ وَيُقَاتِلُوْنَهُ حَتىَّ قَامَتِ الشَّمْسُ عَلَى رُؤُوْسِهِمْ. قاَلَ: وَطَلَحَ فَقَعَدَ، وَقَامُوْا عَلَى رَأْسِهِ وَهُوَ يَقُوْلُ : افْعَلُوْا مَا بَدَا لَكُمْ، فَأَحْلَفَ بِاللهِ أَنْ لَوْ قَدْ كُنَّا ثَلاَثُمِائَة رَجُلٍ لَقَدْ تَرَكْنَاهَا لَكُمْ، أَوْ تَرَكْتُمُوْهَا لَنَا. قاَلَ: فَبَيْنَمَا هُمْ عَلَى ذَلِكَ؛ إِذْ أَقْبَلَ شَيْخٌ مِنْ قُرَيْشٍ عَلَيْهِ حُلَّة حَبَرَة وَقَمِيْصُ مُوْشَى، حَتَّى وَقَفَ عَلَيْهِمْ، فَقَالَ: مَا شَأْنُكُمْ؟ فَقَالُوْا: صَبَأَ عُمَرُ. قَالَ: فَمَه؛ رَجُلٌ اخْتَارَ لِنَفْسِهِ أَمْرًا، فَمَاذَا تُرِيْدُوْنَ؟ أَتَرْوْنَ بَنِي عَدِي يُسْلِمُوْنَ لَكُمْ صَاحِبَكُمْ هَكَذَا؟ خَلُّوْا عَنِ الرَّجُلِ. قَالَ: فَوَاللهِ، لَكَأَنَّمَا كَانُوْا ثَوْبًا كُشِطَ عَنْهُ. قَالَ : فَقُلْتُ لأَبِي بَعْدَ أَنْ هَاجَرَ إِلَى الْمَدِيْنَةِ: يَا أَبَتِ، مَنِ الرَّجُلِ الَّذِي زَجَرَ الْقَوْمَ عَنْكَ بِمَكَّةَ يَوْم أَسْلَمْتَ وَهُمْ يُقَاتِلُوْنَكَ؟ قَالَ : ذَاكَ أَيْ بُنَيَّ، العَاصُ بْنُ وَائِل السهمي.
“Tatkala Umar masuk Islam, ia berkata : “Siapa dari kalangan suku Quraisy yang cepat dalam menyampaikan berita?” Lalu dikatakan padanya : “Jamil bin Ma’mar al-Jumahi”. Lalu ia pergi menemuinya. Abdullâh bin Umar berkata : “Akupun ikut pergi mengikuti ayahku, untuk melihat apa yang akan ia lakukan dan aku adalah seorang anak (kecil) yang memahami apa saja yang aku lihat, hingga sampailah Umar ke tempat Jamil bin Ma’mar al-Jumahi, maka ia berkata padanya : “Aku memberitahukan padamu wahai Jamil, bahwa aku masuk Islam dan memeluk agama Muhammad Shallallâhu ‘alaihi wa Sallam. Abdullâh bin Umar berkata : “Demi Allah, Jamil pun segera menyingsingkan selendangnya berangkat menuju masjid dan Umar mengikutinya, akupun mengikutinya, hingga tatkala Jamil sampai di pintu masjid ia berteriak dengan teriakan lantang : “Wahai kaum Quraisy, pada saat itu kaum Quraisy sedang duduk-duduk dalam majelis mereka disekitar Ka’bah, ketauhilah bahwa Umar bin Khattab telah memeluk agama Shobi-i.
Abdullâh bin Umar melanjutkan ceritanya : “Saat itu pula Umar menyahut dari belakang Jamil : “Jamil telah berdusta”, aku tidak memeluk agama Shobi-i tapi aku telah memeluk agama Islam”. Dan Umar pun mengucapkan syahadat laa ilaa ha illallah wa anna muhammadan Rasûlullâh, maka segeralah orang-orang Quraisy menganiaya Umar dan Umar melawan mereka hingga siang hari. Abdullâh bin Umar berkata : “Umar pun kecapekan lalu duduk, dan orang-orang Quraisy mengerumuninya sedang Umar berkata : “Lakukanlah apa saja, aku bersumpah demi Allah kalau kami berjumlah tiga ratus orang laki-laki, kami pasti akan melawan, kami menang atau kalian yang menang (sekarang saya sendirian tidak dapat berbuat apa-apa, pent)”.
Abdullâh bin Umar berkata : “Di saat suasana seperti itu, tiba-tiba datang seorang tokoh Quraisy berpakaian bagus berdiri dihadapan mereka, lalu berkata : “Ada apa dengannya?” Mereka menjawab : “Umar bin Khattab telah memeluk agama Shobi-i”. Ia pun berkata : “Seseorang bebas memilih urusannya sendiri, lalu apa yang kalian inginkan? Apakah kalian mengira bahwa Bani Adi (suku Umar bin Khattab) akan membiarkan tindakan kalian ini? Tinggalkanlah laki-laki ini”. Abdullâh bin Umar melanjutkan : “Demi Allah, setelah mendengar ucapan tokoh Quraisy itu seolah-olah mereka adalah pakaian yang dilipat olehnya. Abdullâh bin Umar berkata : “Maka akupun bertanya kepada ayahku setelah hijrah ke Madinah : “Wahai ayah, siapakah laki-laki yang membubarkan orang-orang darimu di Makkah pada hari engkau masuk Islam dimana mereka ingin membunuhmu?” Umar menjawab : “Wahai anakku, itu adalah al-Ash bin Wail as-Sahmi”.
Riwayat ini sanadnya kuat, dan kisah ini menunjukkan bahwa Umar bin Khattab bukan kalangan sahabat yang masuk Islam pertama kali. Karena ketika Ibnu Umar mengajukan diri untuk ikut perang Uhud, saat itu usianya 14 tahun, dan perang Uhud terjadi pada tahun 3 hijriyah, sedangkan saat ayahnya masuk Islam Ibnu Umar adalah anak kecil yang baligh. Maka masuk Islamnya Umar adalah sekitar 4 tahun sebelum hijrah, yang demikian itu 9 tahun setelah kenabian. Wallahu ‘alam.
Komentar saya : “al-Hâfizh Ibnu Katsîr juga mengutip kisah ini dalam kitab “as-Sîroh an-Nabawiyyah” menukil dari Ibnu Ishâq lalu menyebutkan tahqiq ini. Demikian pula, Ibnu Hisyam menjelaskan dalam kitab “as-Sîrah an-Nabawiyyah” (1-437) (334) juga menukil dari Ibnu Ishâq, demikian pula Ibnu al-Atsîr menyebutkan dalam kitab “Asad al-Ghâbah” (4-150) menukil dari Ibnu Ishâq, lalu al-Hâkim menyebutkan dalam kitabnya (3/85) dari jalan Ibnu Ishâq, dan ia berkata : “Riwayat ini Shahîh dengan syarat Muslim”. Dan adz-Dzahabî menyepakatinya sebagaimana yang telah kami jelaskan di atas, dan Ibnu Katsîr berkata : “Dan sanad riwayat ini adalah kuat”.
Komentar saya : “Sanad riwayat ini bertambah kuat, dengan pencantuman riwayat ini oleh al-Bukhârî (3864) dari jalan lain dari Zaid bin Abdullâh bin Umar dari ayahnya, ia berkata : “Ketika Umar di rumah dalam keadaan takut ….” Hadits dengan lafadnya sebagaimana di atas.
Kelima : Sabar dan tegar saat terjadi kesulitan dan bukannya malah demonstrasi
Diriwayatkan oleh Bukhârî dalam Shahîh Bukhârî (hadits ke 3852) dari hadits Khobâb bin al-Arat, ia berkata : “Saya pernah menemui Nabi, saat itu beliau mengenakan selimut di Ka’bah – dan saat itu kami mendapatkan gangguan yang sangat dari kaum musyrikin- lalu aku berkata : “Wahai Rasûlullâh, tidakkah engkau mendoakan kami kemenangan?” lalu beliau duduk dan wajahnya memerah, lalu berkata : “Sungguh orang-orang yang beriman sebelum kalian ada yang disiksa dengan sisir besi hingga terkelupas kulit dan dagingnya dari tulang, namun siksaan itu tidak membuat mereka murtad. Dan ada juga yang digergaji dari kepala hingga terbelah menjadi dua, namun hal ini tidak membuat mereka murtad. “Sungguh Allah akan menyempurnakan urusan ini, hingga seorang pengendara tidak merasakan takut kecuali takut kepada Allah tatkala melakukan perjalanan dari Shan’a ke Hadramaut”.
Komentar saya : Imam Bukhârî juga menyebutkan hadits ini pada nomor 3612 dari hadits Khobab, Rasûlullâh Shallallâhu ‘alaihi wa Sallam bersabda :
وَاللهِ ليَتِمَّن هَذَا الأَمْرُ حَتَّى يَسِيْرَ الرَّاكِبُ مِنْ صَنْعَاء إِلَى حَضَرَمَوْت لاَ يَخَافُ إِلاَّ الله أَوْ الذِّئْب عَلَى غَنَمِهِ وَلَكِنَّكُمْ تَسْتَعْجِلُوْنَ
“Demi Allah, sungguh Allah akan menyempurnakan urusan ini hingga seorang pengendara dari Shan’a ke Hadramaut tidak merasakan ketakutan dalam perjalanannya kecuali hanya takut kepada Allah atau seperti ketakutan seseorang atas kambingnya dari serigala, akan tetapi kalian terburu-buru”.
Komentar saya : “Hadits ini menerangkan kepada kita bagaimana pendidikan Nabi Shallallâhu ‘alaihi wa Sallam kepada para sahabatnya tatkala tertimpa musibah berat yaitu bersabar, kokoh dan yakin akan janji Allah dan tidak terburu-buru ingin sukses, dalam rangka mengamalkan firman Allah ta’ala :
“Dan Bersabarlah kamu, Sesungguhnya janji Allah adalah benar dan sekali-kali janganlah orang-orang yang tidak meyakini (kebenaran ayat-ayat Allah) itu menggelisahkan kamu.” (QS. Ar-Rum : 60)
“Maka Bersabarlah kamu seperti orang-orang yang mempunyai keteguhan hati dari rasul-rasul Telah bersabar”. (QS. Al-Ahqaf : 35)
Keenam : Berdoa ketika tertimpa kesulitan dan bukannya malah Demonstrasi
Pertama, Nabi Shallallâhu ‘alaihi wa Sallam berdoa ketika dilempari kotoran.
Imam Bukhârî menyebutkan hadits nomor 3854 dalam kitabnya “Shahîh Bukhârî” dari Abdullâh bin Mas’ud Radhiyallâhu ‘anhu, ia berkata :
بَيْنَا النَّبِي صلى الله عليه وسلم سَاجِدًا وَحَوْلَهُ نَاسٌ مِنْ قُرَيْشٍ، جَاءَ عُقْبَةُ بْنُ أَبِي مُعِيْط بسلى جَزُوْر فَقَذَفَهُ عَلَى ظَهْرِ النَّبِي صلى الله عليه وسلم فَلَمْ يَرْفَعْ رَأْسَهُ، فَجَاءَتْ فَاطِمَة عَلَيْهَا السَّلاَمُ فَأَخَذَتْهُ مِنْ ظَهْرِهِ وَدَعَتْ عَلَى مَنْ صَنَعَ، فَقَالَ النَّبِي صلى الله عليه وسلم : اللَّهُمَّ عَلَيْكَ الْمَلأ مِنْ قُرَيْشٍ، أَبَا جَهْلِ بْنِ هِشَام، وَعُتْبَة بْنُ أَبِي رَبِيْعَة، وَشَيْبَة بْنُ رَبِيْعَة، وَأُمَيَّة بْنُ خَلَف، فَرَأَيْتُهُمْ قَتْلَى يَوْم أُحُدٍ فَأُلْقُوْا فِي بِئْرٍ غَيْر أُمَيَّة بْنِ خَلَف تَقَطَّعَتْ أَوْصَالُهُ فَلَمْ يُلْقَى فِى الْبِئْرِ
“Ketika Nabi Shallallâhu ‘alaihi wa Sallam sujud dan disekitarnya ada orang-orang Quraisy, datang Uqbah bin Abi Muith membawa sekeranjang kotoran kambing lalu melemparkannya ke atas punggung Nabi Shallallâhu ‘alaihi wa Sallam. Namun beliau tidak mengangkat kepalanya dari sujud, hingga datanglah Fâtimah ‘alaihassalam membersihkan kotoran itu dari punggung beliau, kemudian ia mendoakan keburukan pada orang yang melakukannya. Maka Nabi Shallallâhu ‘alaihi wa Sallam berdo’a : “Ya Allah, Engkaulah yang membalas perbuatan orang-orang Quraisy, yaitu Abu Jahl bin Hisyam, Utbah bin Abi Rabi’ah, dan Syaibah bin Rabi’ah, dan Umayyah bin Khalaf. Saya melihat merekapun terbunuh pada hari uhud, lalu mereka dilempar di sumur, selain Umayyah bin Khalaf yang jasadnya terputus-putus, ia tidak dilempar di sumur.
Kedua, Nabi berdoa (qunut naazilah /kutukan) kemudian beliau tinggalkan.
رَعْل وذَكْوَان وَلِحْيَان وعُصَيَّة عَصَتِ اللهَ
“Suku Ra’lun, Dzakwan, Lihyan dan Ushaiyyah telah mendurhakai Allah”.
Anas bin Malik berkata : “Ayat di atas adalah ayat yang Allah turunkan kepada mereka yang terbunuh di sumur Maunah[1], kami membacanya hingga ayat itu mansukh/dihapus setelah ayat :
بَلِّغُوْا قَوْمَنَا أَنْ قَدْ لَقِيْنَا رَبَّنَا فَرِضِيَ عَنَّا وَرَضِيْنَا عَنْهُ.
“Sampaikanlah kepada kaum kami (kaum muslimin), kami telah bertemu dengan Rabb kami, dan Dia ridha terhadap kami, dan kami pun ridha terhadap-Nya”.[2]
Ketujuh : Seruan jihad bukanlah Demonstrasi
Imam Bukhârî menyebutkan dalam “Shahîh Bukhârî” hadits nomor 3077, demikian pula Muslim dalam hadits nomor 1353 dari hadits Ibnu Abbas, ia berkata : Nabi Shallallâhu ‘alaihi wa Sallam bersabda pada hari penaklukkan kota Makkah :
لاَ هِجْرَةَ بَعْدَ الْفَتْحِ وَلَكِنْ جِهَادٌ وَنِيَّةٌ وَإِذَا اسْتُنْفِرْتُمْ فَانْفِرُوْا
“Tidak ada hijrah lagi setelah ditaklukkannya kota Makkah, akan tetapi yang ada adalah jihad dan niat, dan jika kalian diperintah berjihad (oleh Ulil Amri) maka pergilah”.
Allah ta’ala berfirman :
“Hai orang-orang yang beriman, apakah sebabnya bila dikatakan kepadamu: “Berangkatlah (untuk berperang) pada jalan Allah” kamu merasa berat dan ingin tinggal di tempatmu? apakah kamu puas dengan kehidupan di dunia sebagai ganti kehidupan di akhirat? padahal kenikmatan hidup di dunia Ini (dibandingkan dengan kehidupan) diakhirat hanyalah sedikit.” (QS. At-Taubah : 38)
“Jika kamu tidak berangkat untuk berperang, niscaya Allah menyiksa kamu dengan siksa yang pedih dan digantinya (kamu) dengan kaum yang lain, dan kamu tidak akan dapat memberi kemudharatan kepada-Nya sedikitpun. Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu.” (QS. At-Taubah : 39)
Komentar saya : “Ini adalah sunnah di saat tertimpa musibah yang berat, yaitu : sabar, tegar dan yakin serta tidak tergesa-gesa, khususnya dalam kondisi lemah. Kemudian menyeru kepada jihad dalam kondisi umat sudah memiliki kekuatan dan selalu berdo’a pada setiap keadaan.
Adapun demonstrasi tidak lain hanyalah gemuruh hiruk pikuk suara saja.
Sekian makalah ini, dan sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk Muhammad Shallallâhu ‘alaihi wa Sallam.
Ini semua adalah petunjuk Allah, dan Dia lebih mengetahui apa yang ada dalam hati kita.
(Sumber : Situs Majalah at-Tauhid, Anshârus Sunnah al-Muhammadiyah Mesir)
[1] 70 orang ahli Qur’an dari sahabat Nabi terbunuh oleh kabilah Ra’lun, Dzakwan, dan Ushaiyyah karena dikhianati.
[2] Di dalam shahih Bukhari dari Anas :
دَعَا النَِّبيُّ عَلَى الَّذِيْنَ قَتَلُوْا أَصْحَابَهُ بِبِئْرِ مَعُوْنَة ثَلاَثِيْنَ صَبَاحًا، يَدْعُو فِي صَلاَةِ الْفَجْرِ عَلَى رَعْل وَذَكْوَان وَلِحْيَان وَعُصَيَّة، وَيَقُوْلُ : عُصَيَّة عَصَتِ اللهَ، فَأَنْزَلَ اللهُ تَعَالىَ عَلَى نَبِيِّهِ قُرْآنًا قَرَأْنَاهُ حَتَّى نُسِخَ بَعْدَ : بَلِّغُوْا قَوْمَنَا أَنَّا لَقِيْنَا رَبَّنَا فَرَضِيَ عَنَّا وَرَضِيْنَا عَنْهُ، فَتَرَكَ رَسُوْلُ اللهِ صَلىَّ اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قُنُوْتَهُ.
“Nabi berdoa qunut (kebinasaan) kepada mereka yang membunuh para sahabat beliau di sumur Ma’unah” selama tiga puluh hari. Beliau berdoa qunut (mendoakan kejelekan) tatkala shalat subuh atas suku Ra’lu, Dzakwan, Lihyan dan Ushaiyyah, beliau mengatakan : “Ushaiyyah telah durhaka kepada Allah”. Maka Allah turunkan kalimat itu sebagai ayat al-Qur’an kepada nabi-Nya, dan kami baca ayat itu hingga manshukh (dihapus), setelah ayat : “Sampaikanlah kepada kaum kami, bahwa kami telah bertemu Rabb kami, maka Dia meridhai kami dan kami pun ridha pada-Nya”, lalu Nabi tinggalkan doa jeleknya itu (setelah turun ayat yang melarang). (HR Bukhari 586)
[…] : “Ayat di atas adalah ayat yang Allah turunkan kepada mereka yang terbunuh di sumur Maunah[1], kami membacanya hingga ayat itu mansukh/dihapus setelah ayat […]
Pertanyaannya adalah bagaimanakah cara muhasabah kepada pemimpin atau presiden jika tidak dengan demontrasi?
Efek dari demontrasi adalah terbentuknya opini penegakkan syariah pada masyarakat dan penguasa akan tahu bahwa di negri ini masyarakat menginginkan penerapan syariah Islam. Ini terbukti dengan banyaknya survei yang dilakukan dan hasilnya hampir 70 % lebih masyarakat indonesia setuju dengan syariah.
Sedangkan adakah dalil yang mengharamkan demontrasi?
Jika tidak ada maka uslub ini bisa dipakai.
Quote:
“…Perhatikan pula sikap Abdulloh bin Umar terhadap Al Hajjaj bin Yusuf As Saqofi. Kita ketahui bersama bahwa Gubernur Irak ini dikenal sebagai penguasa yang zholim, represif, gampang membunuh orang, termasuk para ulama diantaranya Said bin Jubair dan dia juga akhirnya membunuh Abdulloh bin Zubair di Makkah. Namun lihatlah, Abdulloh bin Umar tidak mencabut bai’atnya……).”
===
Bukannya Abdullah bin Zubair telah men-declare sbg khalifah dan didukung oleh penduduk madinah yg mayoritas sahabat. Akan tetapi khalifah Marwan (kalo gak salah) memeranginya dan menunjuk Al Hajjaj sbg panglima perang. Al Hajjaj + pasukannya lah yg membunuh Abdullah bin Zubair dan memporak porandakan Makkah bahkan ka’bah. Setelah Abdullah bin Zubair terbunuh, barulah mereka yg dulunya berbai’at kepada Ibnu Zubair mengalihkan bai’atnya kepada Marwan sbg satu2 nya khalifah. CMIIW
Dan bagaimana dg kisah2 berikut:
1. “Dari Abu Al Yaqzhan, dia berkata: Said bin Jubeir pernah berkata ketika hari Dir Al Jamajim, saat itu dia sedang berperang (melawan pasukan Hajjaj): “Perangilah mereka karena kezaliman mereka dalam menjalankan pemerintahan, keluarnya mereka dari agama, kesombongan mereka terhadap hamba-hamba Allah, mereka mematikan shalat dan merendahkan kaum muslimin.” Ketika penduduk Dir Al Jamajim kalah, Said bin Jubeir melarikan diri ke Mekkah. Kemudian dia dijemput oleh Khalid bin Abdullah, lalu dbawanya kepada Hajjaj bersama Ismail bin Awsath Al Bajali.” (Imam Muhammad bin Sa’ad, Thabaqat Al Kubra, 6/265. Dar Al Mashadir, Beirut)
2. Imam Adz Dzahabi juga menceritakan, bahwa Imam Amr Asy Sya’bi telah mengkritik penguasa zalim, Hajjaj bin Yusuf dan membeberkan aibnya di depan banyak manusia. Dari Mujalid, bahwa Asy Sya’bi berkata: “Maka, para Qurra’ dari Kufah datang menemuiku. Mereka berkata: “Wahai Abu Amr, Anda adalah pemimpin para Qurra’.” Mereka senantiasa merayuku hingga aku keluar bersama mereka. Saat itu, aku berdiri di antara dua barisan (yang bertikai). Aku menyebutkan Al Hajaj dan aib-aib yang telah dilakukannya.” Maka sampai kepadaku (Mujalid), bahwa dia berkata: “Tidakkah kalian heran dengan keburukan ini?! Ada pun aku, kalaulah Allah mengizinkan mengalahkan mereka, niscaya dunia ini akan aku lipat lebih kecil dari kulit Unta membungkusnya.”
Anyway, demonstrasi di indonesia sebenarnya tidak melulu menyerang pemerintah. Bahkan untuk membela pemerintah juga harus demonstrasi. Misalnya dalam pengesahan RUU APP kemarin. Para menteri + DPR banyak yg mendukung RUU tsb. Tapi beberapa kalangan liberal tidak suka dan mengadakan demonstrasi menolak RUU tsb. Agar berimbang, maka diadakanlah demonstrasi mendukung RUU tsb krn kalo nggak RUU tsb bisa batal. Kalo case yg begitu gimana ya?
Allahu yubaarik fiik sudah ditanggapi. Tambahan lagi ya…
Quote:
“sekiranya kaum liberal berdemonstrasi -yang mana mereka memang pendewa demokrasi sedangkan demonstrasi merupakan derivats dari demokrasi-, maka bukan artinya kaum muslimin juga membalas dengan demonstrasi dan turut menyemarakkan derivat sistem demokrasi yg kufur…”
Lalu jika kondisinya seperti RUU APP kemarin dimana kaum liberal demo habis2an nentang, apakah yg seharusnya dilakukan umat Islam? Atau katakanlah dalam demo menentang ahmadiyah kemarin. Apakah umat Islam harus diam saja. Bukankah demo tsb tidak menentang pemerintah apalagi memberontak akan tetapi mendukung salah satu program dan hukum positif dari pemerintah? Bahkan aktivitas tersebut adalah legal selama pendemo lapor ke polisi dahulu ttg aktivitasnya, mematuhi tata tertib yg ada, tidak anarkis, etc. Dan bukankah Khansa ra. (kalo gak salah) juga memprotes Umar bin Khattab ra. ttg masalah pembatasan mahar di depan publik?
Lantas bagaimana dg salah satu kabupaten di kalimantan yg bupatinya non-muslim padahal rakyatnya mayoritas muslim. Kira2 apakah tindakan preventif dan solutif thd hal2 tersebut agar tidak terjadi lagi di masa mendatang?
hmm, sebenarnya untuk demostrasi tidak memerlukan dalil khusus, karena demonstrasi adalah uslub dari ribuan uslub yang ada ketika kita ingin mengingatkan penguasa.
initinya adalah kita mengalkan hadist ketika kita melihat kemungkaran. apakah kita akan merubah dengan tangan kita (kekuatan/senjata),atau dengan lisan atau dengan pengingkaran dalam hati.
Harus dibedakan antara kondisi dimana Islam masih diterapkan walau masih banyak penyimpangan dengan kondisi sekarang dimana Islam tidak diterapkan sama sekali.sehingga mengingatkan penguasa dan mengajak mereka untuk menerapkan Islam adalah sebuah kewajiban.
padahal sholat juga bagian dari syariat islam, puasa juga bagian dari syari’at islam, begitu juga dengan zakat, haji, dan ibadah ibadah lainnya…
bagaimana bisa negara ini dikatakan sama sekali tidak menjalankan syari’at islam.adakah pemerintah pernah melarang umat islam untuk berhaji? adakah umat islam dilarang sholat jum’at?
ya akhi…
syari’at islam tidak melulu tentang rajam, hudud, dan qishos…
masih banyak syari’at islam lain yang bisa jadi belum kita jalankan…
sudahkah antum sholat berjama’ah 5 waktu di masjid?
sudah baikkah bacaan alquran antum?
sudahkah seluruh kitab para ulama antum baca? dll yang kesemuanya itu jauh lebih urgen dari sekedar mencaci memaki pemerintah
justru ketika antum mengadakan demonstrasi antum telah berbuat banyak kedholiman. antum mengabaikan hak pengguna jalan, menyia-nyiakan waktu -bahkan ketika masuk waktu sholat- yang sebenarnya bisa digunakan untuk hal2 yang lebih bermanfaat, dan tidak jarang menimbulkan aksi anarkis…
adakah imam ahmad bin hambal mengerahkan murid-muridnya untuk berdemonstrasi agar dirinya dibebaskan dari penjara?
adakah ibnu taimiyyah memboikot penguasa yang pernah memenjarakannya? TIDAK!!! beliau justru membantu berjihad melawan tentara tar-tar…
bayangkan akhi…
dengan banyaknya murid dari imam-imam tersebut, bukan sulit bagi mereka untuk melawan pemerintah kala itu. namun mereka justru tidak melakukannya… karena apa? karena mereka paham bahawa yang akan dilakukannya tersebut tidak dibenarkan oleh syari’at dan lebih bermudhorot!!