BERHARIRAYA DENGAN PEMERINTAH BUKAN ORMAS

 Aug, 21 - 2008   11 comments   InformasiRamadhan

Oleh : Ustadz Mubarak Bamuallim

(Dosen Mahad Ali bin Abi Thalib/Mahad Ali Al-Irsyad As-Salafi Surabaya)

Perlu diketahui oleh segenap kaum muslimin; sejak zaman Rasulullah shallallahualaihi wasallam , Khulafaur Rasyidin; Abu Bakar, Umar, Utsman dan Ali radhiyallahu anhum serta penguasa-penguasa kaum muslimin lainnya bahwa idul fitri(1) selalu ditetapkan oleh para Waliyyul Amr (penguasa kaum muslimin). Mengapa demikian? karena Idul fitri– demikian pula puasa Ramadhan dan ‘Idul Adha– adalah ibadah yang bersifat kolektif bersama seluruh kaum muslimin. Nabi shallallahualaihi wasallam bersabda :

الصَّوْمُ يَوْمَ تَصُومُونَ وَالْفِطْرُ يَوْمَ تُفْطِرُونَ وَاْلأَضْحَى يَوْمَ تُضَحُّونَ

Puasa itu pada hari (ketika) kalian semua berpuasa, Idul fitri pada hari ketika kalian semua beridulfitri dan Idul Adha ketika kalian semua beriduladha” (Hadits Riwayat Tirmidzi dalam “Sunannya no : 633 dan dishahihkan oleh al-Albani dalam “Silsilah ash-shahihah no : 224).

Aisyah radhiyallahu anha berkata :

النَّحْرُ يَوْمَ يَنْحَرُ النَّاسُ ، وَ اْلفِطْرُ يَوْمَ يُفْطِرُ النَّاسُ

Hari Raya Kurban ketika manusia berkorban dan hari Idul Fitri ketika manusia beridulfitri”.

Demikian pula sejak zaman Nabi shallallahualaihi wasallam sampai hari ini seluruh Negara muslim menetapkan permulaan puasa Ramadhan, Idul Fitri dan Idul Adha berdasarkan hilal, kecuali salah satu organisasi di negeri kita yang katanya; mengajak umat kepada al-Qur’an dan as-Sunnah tetapi dalam masalah ini meleset dari ajaran keduanya, hanya kepada Allah kita mengadu.

Setelah membawakan hadits di atas, Imam Tirmidzi berkata :

فَسَّرَ بَعْضُ أَهْلِ الْعِلْمِ هَذَا الْحَدِيثَ فَقَالَ إِنَّمَا مَعْنَى هَذَا أَنَّ الصَّوْمَ وَالْفِطْرَ مَعَ الْجَمَاعَةِ وَمُعْظَمِ النَّاسِ

Sebagian ulama mentafsirkan hadits ini dengan mengatakan, makna hadits ini bahwasanya puasa dan Idul Fitri dilaksanakan bersama jama’ah dan mayoritas umat Islam”.

Ash-Shan’ani berkata :

فِيهِ دَلِيلٌ عَلَى أَنَّهُ يُعْتَبَرُ فِي ثُبُوتِ الْعِيدِ الْمُوَافَقَةُ لِلنَّاسِ ، وَأَنَّ الْمُنْفَرِدَ بِمَعْرِفَةِ يَوْمِ الْعِيدِ بِالرُّؤْيَةِ يَجِبُ عَلَيْهِ مُوَافَقَةُ غَيْرِهِ ، وَيَلْزَمُهُ حُكْمُهُمْ فِي الصَّلاَةِ ، وَاْلإِفْطَارِ ، وَاْلأُضْحِيَّةِ

(Dalam) hadits ini terdapat dalil bahwasanya ketetapan Id akan dianggap, jika sesuai dengan seluruh kaum muslimin dan bahwasanya seorang yang secara sendirian mengetahui hari Id dengan melihat (hilal), wajib baginya menyesuaikan dengan yang lainnya, dan merupakan kelaziman baginya hukum mereka dalam shalat, berbuka dan berkorban (Subulussalam 2/462).

Dalam “Tahdziibus Sunan”, Ibnul Qayyim berkata : “Dan dikatakan bahwa dalam hadits ini terdapat bantahan terhadap orang yang berpendapat bahwa seseorang yang mengetahui terbitnya bulan (munculnya hilal) dengan hisab (perhitungan) manaazil qamar, boleh baginya berpuasa dan berbuka sementara yang tidak mengetahui tidak boleh”.( Tahdziib as-Sunan 3/214).

Dalam “Hasyiyah Ibnu Majah” Abu Hasan as-Sindi berkata setelah menyebut hadits di atas : “Yang tampak dari makna hadits ini bahwasanya hal-hal seperti ini (penentuan awal puasa, Idul Fitri dan Idul Adha) bukan urusan perorangan dan mereka tidak bisa berbuat secara sendirian, akan tetapi urusannya diserahkan kepada penguasa/pemerintah dan jama’ah kaum muslimin dan wajib bagi perorangan mengikuti pemerintah dan jama’ah kaum muslimin”.

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah berkata :

فَإِنَّا نَعْلَمُ بِالاِضْطِرَارِ مِنْ دِينِ اْلإِسْلاَمِ أَنَّ الْعَمَلَ فِي رُؤْيَةِ هِلاَلِ الصَّوْمِ أَوْ الْحَجِّ أَوْ الْعِدَّةِ أَوْ اْلإِيْلاَءِ أَوْ غَيْرِ ذَلِكَ مِنْ اْلأَحْكَامِ الْمُعَلَّقَةِ بِالْهِلاَلِ بِخَبَرِ الْحَاسِبِ أَنَّهُ يُرَى أَوْ لاَ يُرَى لاَ يَجُوزُ . وَالنُّصُوصُ الْمُسْتَفِيضَةُ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِذَلِكَ كَثِيرَةٌ . وَقَدّ أَجْمَعَ الْمُسْلِمُونَ عَلَيْهِ . وَلاَ يُعْرَفُ فِيهِ خِلاَفٌ قَدِيمٌ أَصْلاً وَلاَ خِلاَفٌ حَدِيثٌ ؛ إلاَّ أَنَّ بَعْضَ الْمُتَأَخِّرِينَ مِنْ الْمُتَفَقِّهَةِ الحادثين بَعْدَ الْمِائَةِ الثَّالِثَةِ زَعَمَ أَنَّهُ إذَا غُمَّ الْهِلاَلُ جَازَ لِلْحَاسِبِ أَنْ يَعْمَلَ فِي حَقِّ نَفْسِهِ بِالْحِسَابِ فَإِنْ كَانَ الْحِسَابُ دَلَّ عَلَى الرُّؤْيَةِ صَامَ وَإِلاَّ فَلاَ . وَهَذَا الْقَوْلُ وَإِنْ كَانَ مُقَيَّدًا بِاْلإِغْمَامِ وَمُخْتَصًّا بِالْحَاسِبِ فَهُوَ شَاذٌّ مَسْبُوقٌ بِاْلإِجْمَاعِ عَلَى خِلاَفِهِ . فَأَمَّا اتِّبَاعُ ذَلِكَ فِي الصَّحْوِ أَوْ تَعْلِيقُ عُمُومِ الْحُكْمِ الْعَامِّ بِهِ فَمَا قَالَهُ مُسْلِمٌ

Sesungguhnya kita mengetahui secara pasti dari ajaran Islam bahwa pelaksanaan hal-hal yang berkaitan dengan hilal seperti puasa, haji, masa ‘iddah, ilaa’ (bersumpah untuk tidak mengumpuli isteri pada batas waktu tertentu) dan yang lainnya– pelaksanaan hal-hal tersebut – dengan berita seorang ahli hisab bahwa (hilal) bisa dilihat atau tidak bisa dilihat, tidak boleh.

Nash-nash dari Nabi shallallahualaihi wasallam dalam masalah terkait sangat banyak dan kaum muslimin telah sepakat tentangnya dan tidak pernah diketahui adanya khilaf sama sekali baik dahulu maupun sekarang. Hanya saja, sebagian orang yang belajar fikih yang datang kemudian setelah tiga abad pertama menganggap jika tidak kelihatan hilal, maka boleh bagi ahli hisab untuk mengamalkan hasil hisabnya untuk dirinya sendiri. Jika hisab menunjukan terlihatnya hilal, ia berpuasa dan jika tidak maka tidak boleh.

Pendapat ini, meskipun berkaitan dengan kondisi tertutupnya hilal oleh awan dan husus berlaku bagi ahli hisab, namun pendapat ini syadz (aneh) dan telah didahului oleh ijma’ kesepakatan kaum muslimin yang bertolakbelakang dengannya.

Adapun mengikuti hisab dalam kondisi cuaca cerah atau menggantungkan hukum yang bersifat umum dengannya (dengan hisab), maka tidak ada seorang muslimpun yang berpendapat demikian.( 2)

Perlu ditambahkan di sini, bahwa tidak ada dalil baik dari al-Qur’an, hadits Nabi shallallahualaihi wasallam, ijma’ ulama muslimin dan petunjuk para salaf yang shaleh dari kalangan Sahabat, Tabi’in dan Tabi’ Tabi’in bahwa penentuan awal puasa Ramadhan, idul Fitri dan Idul Adha di tangan pimpinan organisasi.

Semoga tulisan yang sederhana ini dapat membuka hati dan alam pikiran kita untuk lapang mengikuti kebenaran yang berdasarkan pada dalil dan bukan hawa nafsu. Dan semoga kita diberi petunjuk kepada kebenaran, amiin.

Foot Note :

  1. Juga penetapan puasa dan idul adha.

  2. Majmu’ Fatawa Syaikhul Islam Ibn Taimiyyah 25/132-133, Kami katakan: kecuali beberapa gelintir pemikir beberapa organisasi Islam di Indonesia, hanya kepada Allah kita mengadu keanehan mereka.

Courtesy of mahad.info : http://mahad.info/?pilih=lihat&id=47


Related articles

 Comments 11 comments

  • bopswave says:

    buat orang ‘biasa’ seperti saya ini, perbedaan idul fitri jadi bikin bingun…

    Please dibikin enak aja deh. Ikut pemerintah aja yooook. Nyaman

    (aku pertamaxxx ya… liat kanan kiri)

  • dwi Yanto says:

    Mau tanya wahai sahabat, Apakah sekiranya pemerintah memakai cara yang tidak dicontohkan nabi apakah kita juga harus ikuti dia, misalkan dalam penentuan 1 syawal dia menyelisih dari ajaran nabi apakah tetep kita ikuti.
    dan jika ada yg sesuai dengan contoh nabi apakah berdosa bila kita mengikuti-nya.

    Ketaatan adalah kepada hal yang ma’ruf. Dalam masalah penentuan 1 Syawwal, mrp bagian dr perkara yg ma’ruf, yaitu memelihara dan menjaga persatuan ummat. Dan hak menentukan 1 Syawwal adl hak pemerintah (umara’) bukan hak individu atau ormas. Penentuan 1 Syawwal dan bulan-2 Islam lainnya, pd prinsipnya adl dengan ru’yatul hilal, bukan dg hisab mutlak. Hisab hanyalah tool utk membantu ru’yatul hilal. Apabila tdk tampak, maka istikmal…

  • andisturbia says:

    saya sih manut pemerintah, dia yang punya alatnya

  • agorsiloku says:

    Pada jaman Nabi atau sahabat-sahabat setelahnya, tidak ada kan yang tetangga sedang sahur, terus yang lain itikaf di Mesjid menyambut 1 syawal. Saya merasa ini kezaliman, karena di satu er te, satu tetangga bahkan satu tempat tidur, bisa dipisahkan oleh pernyataan satu syawal yang berbeda.

    Saya merasa dizalimi oleh kesepakatan yang tidak sepakat di Indonesia ini. Apakah saya salah dengan ketidaknyamanan ini.

  • oiprayogi says:

    assalaamu`alaikum warahmatullaahiwabarakaatuh
    ana saat di banyumas jateng, sampai tahun kemarin, bersama-sama dengan ikhwan salaf di sana selalu shalat Ied bersama dengan ormas yang hari ini juga sudah berlebaran. itu sampai dengan tahun 2006.
    tahun ini ana sedang di jepang, terputus komunikasi dengan teman-teman. kaget juga bahwa tahun ini ikhwan salaf tidak sejalan dengan ormas tersebut. apakah dulu ketetapan pemerintah sama dengan ormas ini? sehingga dulu ikhwan salaf lebih sering berlebaran bersama ormas tersebut.
    sukron khoiron katsiron
    wassalaamu`alaikum warahmatullahiwabarakaatuh

  • agorsiloku says:

    Untuk tahun 2007 ini, dengan melihat peta garis tanggal kita jumpai hal-hal yang sebenarnya begitu jelas. Di Indonesia posisi 1 derajat di atas ufuk berada di wilayah Sumatera, Jawa, sampai NTT. Di wilayah 1 derajat di bawah garis Nol sebagian besar Kalimantan, Sulawesi (Utara, Gorontalo, Sulbar, dan sebagaian sulsel, Maluku, Papua).
    Ketika Muhammadiyah menetapkan satu Syawal untuk seluruh Indonesia, jelas kita tahu bahwa bulan di bawah 0 derajat sampai minus satu derajat. Artinya jelas bahwa posisi bulan baru belum tampak.
    T.Jamaluddin di Metro TV 12 Oktober 2007 menjelaskan bahwa teropong Boscha belum bisa melihat kemunculan bulan karena masih di bawah 1 derajat (akan tampak bulan baru pada posisi 2 derajat).
    Jadi jelas bahwa konsep melihat hilal yang diajarkan Nabi juga tidak dipenuhi pada Tanggal 12 Oktober 2007. Apalagi Papua, Maluku, sebagain Sulawesi, dan Kalimantan yang sangat nyata masih di minus. Hilal tak akan muncul. Pada posisi 0 – 1 derajat, jelas bulan baru tidak akan nampak. Kecuali, bumi ini benar-benar bulat, tidak ada halangan ketinggian, alias benar-benar bidang ekuipotensial bumi seperti bola.
    Jadi lucu dan sekaligus memprihatinkan keputusan yang terjadi. Dari segi syiar agama, apakah kita diajarkan untuk menetapkan waktu berdasarkan kelompok?.

    Semoga catatan judul postingan ini menjadi wacana untuk kebaikan semua, kebaikan ummat. Jangan kita bungkus dengan jawaban : ini soal keyakinan, ini soal ikhlas, ini soal ulil amri yang bukan pemerintahan islam, dan logika aneh lainnya, karena ini bukan pembelajaran ukhuwah yang dicita-citakan Nabi.
    Kalau memang, Pemerintah tidak mencontohkan apa yang disampaikan Nabi (komentar No. 3), mari kita uji dan buktikan. Masyarakat (ummat) perlu tahu. Yang jelas tahun lalu, ayah mertua dan ibu mertua berbeda hari Iednya, dan saya bengong-bengon karena ‘ketupat’ persaudaraan tidak senyaman jika keluarga besar dalam satu garis. Lalu, mengapa karena ini menjadi berbeda?, apakah salah saya sebagai ummat biasa mendapatkan kejadian begini?. Saya merasa tidak lengkap, ataukah nanti ke anak saya harus bilang : Nanti kalau mau menikah, tanya dulu isteri dari golongan mana, biar nanti hari rayanya bisa sama. Masa sih sekamar tidur berbeda hari raya. As a Result, it makes me sad…..

  • Ustadz,

    Apakah ilmu hisab falakiy yang dikenal dijaman Rasulullah itu kurang lebih sama dengan hitungan ilmu hisab yang dipakai sekarang?Ada bukunya gak,maksudnya rumus2 kalkulasinya yg bisa dipelajari

    Syukran

  • fithrawan says:

    Assalamua’laikum Wr.Wb. Salam Kenal semua. Sebelumnya saya minta maaf selaku orang awam ingin sharing. Saya pernah baca salah satu Hadits (maaf saya tidak hafal), intinya adalah bahwa pemimpin atau siapapun yang dhalim tidak patut diikuti. Saya tidak mengklaim pemimpin kita atau ormas tsb dhalim. Yang saya sayangkan juga, kenapa ikhtilaf dalam menentukan puasa, iedul fithri masih saja ada. Rujukan saya dalam hal ini adalah dalam satu hadits Rasulullah menegaskan bahwa berpuasalah 29 atau 30 hari. Mohon nasihat dari sodaraku seiman.
    Wassalam,
    Fithrawan

    Wa’alaikumus Salam warohmatullahi wabarokatuh
    Satu catatab mengenai ucapan anda di atas, yaitu “Saya pernah baca salah satu Hadits (maaf saya tidak hafal), intinya adalah bahwa pemimpin atau siapapun yang dhalim tidak patut diikuti” ada lebih baiknya ada telaah dan teliti kembali. Karena yang mu’tabar dari ahlus sunnah adalah menaati pemimpin walaupun zhalim dan fajir di dalam perkara yang ma’ruf, sedangkan perkara yang mungkar tidak boleh ditaati.

  • abu musa says:

    assalamu’alaikum, akhi, artikel antum yg berlink: http://abusalma.wordpress.com/2007/10/09/berhariraya-dengan-pemerintah-bukan-ormas/ . di mana pd artikel tsb, pada “(Dosen Mahad Ali bin Abi Thalib/Mahad Ali Al-Irsyad As-Salafi Surabaya)” dan link sumbernya: http://mahad.info/?pilih=lihat&id=47 klik tautannya msh aktif, harap dinonaktifkan ja, karena situs/link tsb sdh menjadi link/situs porno.

  • esap82 says:

    benar kata seorang ikhwah, blog ini tidak mau menerima kritik. jika ada komen yang menyelisihi pasti akan di hapus.
    ya Alloh hanya kepada Engkaulah hamba mengadu. kami di sesatkan dan dibidahkan, tapi ketika kami meminta tabayun tidak ada sedikitpun sambutan hangat. ya Alloh, kapankah “orang-orang sesat mendapat petunjuk”

  • Leave a Reply

    Your email address will not be published. Fields with * are mandatory.