Hadits Ahad dalam Shahih Bukhari

 Oct, 05 - 2006   6 comments   Hadits

CONTOH-CONTOH HADITS AHAD DALAM SHAHIH BUKHARI
SEBAGAI HUJJAH ATAS AMAL, AQIDAH DAN AKHLAK

Tanya Jawab bersama
Al-Ustadz Abdul Hakim bin Amir Abdat حفظه الله


MUKADDIMAH

Pembahasan mengenai hadits ahad dan hubungannya dangan aqidah, atau hukum dan aqidah, itu tidak pernah dibicarakan oleh generasi pertama, kedua maupun ketiga. Khususnya para sahabat tidak pemah memilah atau membagi-bagi hadits, seperti pembagian yang dilakukan oleh sebagian ahli bid’ah bahwa hadits ahad hanya terbatas untuk hukum, sedangkan hadits mutawatir dapat dipakai untuk aqidah. Pembagian seperti ini tidak pernah dikenal, kecuali oleh ahli bid’ah, seperti Mu’tazilah. Dan fikrah ini terus berkembang sampai pada awal abad kedua puluh, hingga timbul Mu’tazilah gaya baru, atau yang kita kenal dangan Hizbut Tahrir.  

KECEROBOHAN HIZBUT TAHRIR

Hizbut Tahrir membagi, hadits mutawatir untuk aqidah dan ahkam, sedangkan hadits ahad dikhususkan untuk masalah hukum. Adapun para sahabat, tabiin dan tabiut tabi’in menerima hadits, jika hadits tersebut sah dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Salam, mereka tidak membaginya sebagaimana yang dilakukan oleh mu’tazilah dan yang sepaham dangannya. Jadi, para sahabat melihatnya, sah atau tidak, jika sesuai dangan kaidah-kaidah ilmu hadits, maka diterima baik untuk masalah hukum ataupun aqidah.

Jadi pembagian yang dilakukan oleh Hizbut Tahrir, bahwa hadits ahad tidak bisa dipakai dalam aqidah, merupakan pembagian yang muhdats (bidah). Ini bisa dilihat dari beberapa segi. Berdasarkan nash Al Qur’an, banyak ayat (firman Allah) yang dijadikan dalil oleh Imam Syafi’i. Diantaranya tersebut dalam kitab Ar Risalah, bahwa khabar ahad itu diterima. Demikian juga dari hadits-hadits yang akan kita lihat. Diantaranya, bahwa Rasulullah mengutus sebagian sahabat orang per orang untuk menyampaikan Is­lam.

Pembagian yang dilakukan Hizbut Tahrir tersebut bertentangan dangan Ijma’ para sahabat. Para sahabat tidak pernah menolak hadits yang disampaikan oleh satu sahabat yang lain yang berkenaan dangan aqidah dan contoh tentang ini banyak sekali. Bertentangan dangan kaidah ilmu hadits, yang dapat menunjukkan kebodohan mereka. Memang, perlu diketahui bahwa ahlul bid’ah itu menegakkan manhaj mereka atas dasar kebodohan dan hawa nafsu. Sedangkan Ahlus Sunnah menegakkan manhaj di atas dasar ilmu dan keadilan.

Tampak sangat jelas kebodohan HT yang menolak khabar ahad untuk aqidah, karena hadits Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Salam berbicara tentang Islam. Allah Subhanahu wa Ta’ala memerintahkan Beliau Shallallahu ‘alaihi wa Salam untuk menjelaskan Al Qur’an. Tentunya, yang dimaksudkan dalam hal ini adalah dinul Islam. Alloh berfirman :

وَأَنْزَلْنَا إِلَيْكَ الذِّكْرَ لِتُبَيِّنَ لِلنَّاسِ مَا نُزِّلَ إِلَيْهِمْ وَلَعَلَّهُمْ يَتَفَكَّرُوْنَ

Dan Kami turunkan kepadamu Al Qur’an, agar kamu menerangkan kepada ummat manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka dan supaya mereka memikirkan. (QS An Nahl : 44).

Ayat yang mulia ini, memberkan sejumlah faidah, hukum dan qawaid. Diantaranya, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Salam diperintahkan oleh Allah untuk menjelaskan Al Qur’an. Penjelasan Beliau tentang Al Qur’an ini, agar manusia faham dangan apa yang dimaksudkan oleh AllahPenjelasan Beliau Shallallahu ‘alaihi wa Salam sangat luas, meliputi apa yang ada dalam Al Qur’an, bahkan yang tidak disebutkan secara terperinci di dalamnya, meskipun secara mujmal (global) terdapat di dalam Al Qur’an. Karena itu, ulama membagi Sunnah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Salam menjadi beberapa bagian. Pendapat ini disampaikan oleh ulama, diantaranya Imam Syafi’i, kemudian dinukil Imam Baihaqi di dalam kitabnya Al Madkhal, dan Imam Suyuthi di dalam kitab Miftahul Jannah.

1. Bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Salam mengamalkan atau memerintahkan apa yang diperintahkan oleh Al­lah. Misalnya, Allah memerintahkan shalat, maka Beliaupun ikut memerintahkan shalat. Allah mengancam orang yang meninggalkan shalat, Beliupun ikut mengancam. Dan begitu seterusnya.
2. Beliau Shallallahu ‘alaihi wa Salam, menjelaskan apa yang mujmal di dalam Al Qur’an atau Beliau memberikan tambahan­tambahan, seperti wudhu, tentang makanan yang diharamkan yang tidak disebutkan di dalam Al Qur’an kecuali beberapa macam, dan lain-lain.
3. Beliau Shallallahu ‘alaihi wa Salam memerintahkan atau melarang sesuatu yang sama sekali tidak ada keterangannya di dalam Al Qur’an, tetapi secara mujmal atau mutlak terdapat dalam Al Qur’an, yakni perintah Allah Subhanahu wa Ta’ala agar taat kepada Beliau. Allah memerntahkan agar kita taat kepada Allah dan Rasul Shallallahu ‘alaihi wa Salam, disebutkan di dalam Al Qur’an kurang lebih di 44 tempat. Diantaranya:

وَمَا ءَاتَكُوُ الرَسُوْلُ فَخُذُوهُ وَمَا نَهَاكُمْ عَنْهُ فَانْتَهُوْا وَاتَّقُو اللهَ إِنَّ اللهَ شَدِيْدُ العِقَابِ

Dan Apa yang diberikan Rasul kepadamu, maka terimalah dia. Dan apa yang dilarangnya bagimu, maka tinggalkanlah, dan bertaqwalah kepada Al­lah. Sesungguhnya, Allah sangat keras hukumanNya. (QS Al Hasyr : 7).

Ayat ini bersifat mutlak, memerintahkan kita untuk menerima yang datang dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Salam, walaupun tidak tertulis di dalam Al Qur’an. Misalnya, seperti haramnya cincin emas serta kain sutera bagi kaum pria, dan lain sebagainya.Ini merupakan Sunnah dan penjelasan Beliau terhadap Al Qur’an. Dari sini, kita mengetahui bahwa Sunnah Beliau Shallallahu ‘alaihi wa Salam tidak hanya berbicara tentang satu hukum. Jika Beliau Shallallahu ‘alaihi wa Salam berbicara tentang satu hal -misalnya tentang shalat, zakat, jual beli- tidak hanya terbatas pada hukum tersebut, tetapi mencakup hukum yang lain, karena ini merupakan penjelasan Beliau terhadap Al Qur’an dan Islam secara keseluruhan. Karena itu, Al Qur’an sangat membutuhkan kepada hadits, dan tidak sebaliknya.

Nanti kita akan melihat contoh, bahwa dalam satu hadits kadang berbicara tentang aqidah, akhlak, kisah, hukum dan lain-lain. Sehingga dari satu hadits, kita dapat mengambil faidah yang banyak, puluhan bahkan ratusan. Sehingga, jika kita katakan bahwa hadits ahad tidak dipakai untuk aqidah, maka sebagian besar aqidah akan tertolak.

Kita lihat lagi kejahilan Hizbut Tahrir. Mereka hanya mengikuti hawa nafsu. Diantara kebodohannya, mereka tidak bisa mengetahui adanya keterikatan antara aqidah dan hukum. Padahal keterikatan antara keduanya sangat erat, tak terpisahkan. Karena, kalau memisahkannya, berarti kita menetapkan sesuatu tanpa iman. Misalnya hukum haramnya khamr. Dan menetapkan keharaman khamr itu dangan keyakinan, yang demikian ini merupakan aqidah. Mustahil kita menetapkan hukum tanpa keyakinan bahwa itu telah ditetapkan keharamannya oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala. Jadi, pemisahan antara aqidah dan hukum merupakan satu kerancuan dalam beragama, jauh dari nur Al Qur’an dan Sunnah.

Hizbut Tahrir dan kawan-kawannya juga tidak istiqamah dalam menjalankan ajaran mereka. Ada sesuatu yang lucu. Kalau mereka mengatakan bahwa hadits ahad tidak bisa diterima dalam aqidah, maka konsekwensinya, jika mereka menyampaikan materi dalam ta’lim, atau manakala menulis kitab, dan khabarnya wajib mutawatir maka tidak boleh satu orang. Ini sesuai dangan teori mereka. Akan tetapi, kenyataannya ustadz-ustadz mereka menyampaikan materi aqidah seorang diri, begitu juga ketika menulis.

CONTOH-CONTOH HADITS AHAD

Sering terjadi, apa yang disangka oleh Hizbut Tahrir sebagal hadits ahad, ternyata bukan ahad. Sebagai contoh tentang adzab kubur. Bahkan mereka sering menyampaikan pengingkarannya terhadap adzab kubur. Padahal hadits tentang masalah ini mutawatir maknawi. Dan masih banyak contoh lainnya.

Hadits apa saja yang mereka tolak? Ini harus diteliti terlebih dahulu, apakah termasuk khabar ahad ataukah mutawatir? Demikian jika kita mengikuti teori mereka. Tetapi ternyata mereka tidak paham yang dimaksud dangan ahad dan mutawatir.

Di depan sudah disampaikan, jika kita menerima teori mereka, maka sebagian besar aqidah akan tertolak. Contoh-contoh hadits ahad yang diterima, disepakati dan dijadikan dalil oleh para ulama dari zaman ke zaman, yang di dalamnya disamping berbicara tentang aqidah, tetapi juga hukum, atau yang lainnya. Karena keduanya berkaitan. Contohnya, kita lihat satu per satu.Contoh pertama, hadits 1 yang kami bawakan dan Shahih Bukhari, yaitu sebuah hadits ahad dan gharib.

إنما الأعمال بالنيات وإنما لكل امريء ما نوى ، فمن كانت هجرته إلى الله ورسوله فهجرته إلى الله ورسوله ، ومن كانت هجرته لدنيا يصيبها أو امرأة ينكحها فهجرته إلى ما هاجر إليه

 

Sesungguhnya amal itu dangan niat, dan sesungguhnya bagi masing-masing orang apa yang dia niatkan. Barangsiapa yang hijrahnya kepada dunia yang akan ia dapatkan atau kepada perempuan yang akan dia nikahi maka (hasil) hijrahnya adalah apa yang dia niatkan (Muttafaqun ‘alaih).

Apakah hadits ini tidak berbicara tentang aqidah? Bahkan hadits ini berbicara tentang salah satu diterimanya amal, tentang ikhlas yang merupakan syarat diterimanya amal seseorang. Hadits ini, jelas merupakan hadits ahad, dan termasuk ke dalam bagian hadits gharib, karena tidak diriwayatkan, kecuali dari jalan Umar bin Khaththab. Dan tidak ada yang meriwayatkan darinya, kecuali Al Qamah bin Waqqash Al Laitsi. Dan tidak ada yang meriwayatkan darinya kecuali Muhammad bin Ibrahim At Taimi. Dan tidak ada yang meriwayatkan darinya kecuali Yahya bin Sa’id Al Anshari. Kemudian dari beliau ini diriwayatkan oleh puluhan perawi, bahkan mungkin ratusan. Awalnya mutawatir, akhirnya ahad dan gharib. Ini salah satu contoh hadits yang diterima oleh para ulama, bahkan hampir sebagian besar ulama.Contoh kedua, yaitu hadits nomor 7, yang diriwayatkan juga oleh Imam Bukhari. Hadits yang panjang, berbicara tentang hukum, aqidah, adab dan lain-lain. Yaitu hadits tentang kisah Hiraklius. Hadits ini telah diterima oleh para ulama. Di dalamnya diceritakan, Hiraklius bertanya kepada Abu Sufyan, yang ketika itu ia masih musyrik, berkaitan dengan dakwah Rasulullah. Diantaranya, Hiraklius bertanya kepada Abu Sufyan

ماذا يأمركم قلت يقول اعبدوا الله وحده ولا تشركوا به شيئا واتركوا ما يقول آباؤكم ويأمرنا بالصلاة والصدق والعفاف والصلة

Apa yang diperintahkan oleh Muhammad kepada kalian? Aku (Abu Sufyan) menjawab, ‘Muhammad mengatakan. ‘Sembahlah Allah semata dan janganlah kalian menyekutukan-Nya dangan sesuatu apapun, tinggalkanlah apa yang dikatakan (diyakini) oleh bapak-bapak (nenek moyang) kalian’. Muhammad (juga) menyuruh kami untuk shalat, zakat, jujur, menjaga harga diri dan menyambung tali silaturrahim…

Apakah yang dimaksudkan dalam hadits ini bukan aqidah? Demikian ini aqidah, dan hadits ini juga merupakan hadits ahad dan bukan mutawatir. Bahkan dalam hadits yang mulia ini tercapat surat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Salam, yaitu:

بسم الله الرحمن الرحيم من محمد عبد الله ورسوله إلى هرقل عظيم الروم سلام على من اتبع الهدى أما بعد فإني أدعوك بدعاية الإسلام أسلم تسلم يؤتك الله أجرك مرتين فإن توليت فإن عليك إثم الأريسيين و يا أهل الكتاب تعالوا إلى كلمة سواء بيننا وبينكم أن لا نعبد إلا الله ولا نشرك به شيئا ولا يتخذ بعضنا بعضا أربابا من دون الله فإن تولوا فقولوا اشهدوا بأنا مسلمون

 

Bismillahirrahmanirrahim, dari Muhammad hamba Allah dan Rasul-Nya kepada Hirakla (Hiraklius) pembesar Romawi, keselamatan atas orang yang mengikuti petunjuk, amma ba’du. Sesungguhnya aku mengajakmu dangan ajakan Islam, islamlah! Engkau pasti akan selamat dan Allah akan memberikan kepadamu balasan dua kali lipat. Jika engkau berpaling, maka engkau akan menanggung dosa-dosa rakyatmu. (Kemudian Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Salam membawakan ayat, yang artinya.) Katakanlah. “Hai Ahli Kitab, marilah (berpegang) kepada suatu kalimat (ketetapan) yang tidak ada perselisihan antara kami dan kamu, bahwa tidak kita sembah kecuali Allah dan tidak kita persekutukan Dia dangan sesuatupun dan tidak (pula) sebagian kita menjadikan sebagian yang lain sebagal llah selain Allah. Jika mereka berpaling maka katakanlah kepada mereka . “Saksikanlah, bahwa kami adalah orang-orang yang berserah diri (kepada Allah)”. (QS Ali Imran:64).

Surat ini mengajak Hiraklius untuk masuk Islam, kembali ke agama tauhid. Apakah seperti ini bukan aqidah? Demikian ini adalah masalah aqidah. Bahkan dalam hadits ini terkumpul masalah akhlak, hukum, aqidah dan sebagainya. Kalau hadits ahad tidak bisa dijadikan sebagal hujjah dalam masalah aqidah, maka hadits yang mulia ini tertolak.Contoh ke tiga, hadits nomor 8 di dalam Shahih Bukhari. Hadits ini juga diriwayatkan oleh Imam Muslim dan yang lainnya. Hadits ini ahad. Tetapi sepengetahuan kami, hadits ini masyhur, yaitu dari jalan Ibnu Umar,

قال رسول الله صلى الله عليه وآل وسلم : بني الإسلام على خمس : شهادة أن لا إله إلا الله وأن محمد ا رسول الله ، وإقام الصلاة ، وإيتاء الزكاة ، وحج البيت ، وصوم رمضان

 

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Salam bersabda, ‘Islam dibangun di atas lima asas (yaitu) syahadat (persaksian) bahwa tidak ada ilah yang berhak disembah kecuali Allah dan syahadat bahwa Muhammad itu Rasulullah, mendirikan sholat, menunaikan zakat, haji dan puasa ramadhan (dalam riwayat lain puasa ramadhan baru haji).

Bukankah hadits ini telah disepakati oleh para ulama dan diterima dari zaman ke zaman? Hadits ini menjelaskan tentang rukun-rukun Islam, dan diawali dangan syahadat. Apakah ini bukan masalah aqidah? Di sini kita melihat lagi bahwa satu hadits, selain berbicara masalah aqidah, juga masalah hukum.Contoh ke empat, yaitu hadits nomor 9, di dalam Shahih Bukhari. Hadits ini juga diriwayatkan oleh Imam Muslim dan yang lainnya. Hadits ini, selain ahad juga gharib, dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu

عن النبي صلى الله عليه وسلم قال الإيمان بضع وستون شعبة والحياء شعبة من الإيمان

 

Dari Nabi Beliau Shallallahu ‘alaihi wa Salam bersabda, ‘iman itu ada enam puluh cabang lebih dan rasa malu merupakan salah satu cabang iman.

Hadits ini menjelaskan tentang cabang keimanan, Yakni, iman itu mempunyai enam puluh cabang lebih. Dan di riwayat Imam Muslim,

الإيمان بضع و سبعون أو بضع وستون شعبة فأفضلها قول لا إله إلا الله وأدناها إماطة الأذى عن الطريق والحياء شعبة من الإيمان

 

iman itu tujuh puluh cabang lebih, Yang paling tinggi adalah ucapan laailaha illallaah, dan, yang paling rendah ialah menyingkirkan, gangguan dari jalan, dan malu merupakan, salah satu cabang iman.

Hadits ini juga berbicara tentang aqidah, hukum, akhlak dan adab, seperti menghilangkan gangguan dari jalan. Padahal ini merupakan hadits ahad dan gharib. Jikalau kita menerima kaidah mereka (Hizbut Tahrir), maka tertolaklah hadits ini, karena tidak diriwayatkan secara mutawatir.Contoh ke lima, hadits yang ke 14 dan 15. Ini juga merupakan hadits ahad, berbicara tentang aqidah. Yaitu kecintaan kepada Rasulullah dan cara mencapai kesempurnaan cinta kepadanya. Diriwayatkan dari jalan Abu Hurairah

أن رسول الله صلى الله عليه وسلم قال فوالذي نفسي بيده لا يؤمن أحدكم حتى أكون أحب إليه من والده وولده

 

Sesungguhnya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Salam bersabda, Demi Dzat yang jiwaku berada di tanganNya, tidak akan beriman (sempurna keimanan) salah seorang diantara kalian sampal aku lebih dicintal daripada bapak dan anaknya.

Dan hadits nomor 15, dari jalan Anas:

قال النبي صلى الله عليه وسلم لا يؤمن أحدكم حتى أكون أحب إليه من والده وولده والناس أجمعين

 

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Salam bersabda, Tidak akan beriman (tidak akan sempurna keimanan) salah seorang diantara kalian sampal aku lebih dicintal daripada bapak dan anaknya dan semua orang.

Ini juga berbicara tentang aqidah.Contoh ke enam, hadits nomor 16, tentang kelezatan atau manisnya iman yang dapat dirasakan oleh seseorang.Diriwayatkan dari Anas dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Salam

ثلاث من كن فيه وجد حلاوة الإيمان أن يكون الله ورسوله أحب إليه مما سواهما وأن يحب المرء لا يحبه إلا لله وأن يكره أن يعود في الكفر كما يكره أن يقذف في النار

 

Ada tiga hal, jika ketiganya terkumpul pada diri seseorang maka ia akan mendapatkan manisnya iman; (yaitu) Allah dan Rasulnya lebih dicintal daripada selain keduanya, mencintal seseorang, ia tidak mencintainya kecuali karena Allah dan benci kembali kepada kekufuran sebagaimana dia benci dilempar kedalam api neraka.


Hadits ini juga berbicara tentang cinta kepada Allah, Rasul-Nya dan juga keimanan. Bahwa iman itu punya rasa. Demikian ini adalah masalah aqidah.Contoh tujuh, hadits nomor 26.

عن أبي هريرة أن رسول الله صلى الله عليه وسلم سئل أي العمل أفضل فقال إيمان بالله ورسوله قيل ثم ماذا قال الجهاد في سبيل الله قيل ثم ماذا قال حج مبرور

 

Dari Abu Hurairah, sesungguhnya Rasulullah pernah ditanya: “Amal apakah yang paling afdhal?” Beliau: menjawab, Iman kepada Allah dan RasulNya. ” Kemudian ditanya lagi, Lalu apa lagi ?’ Beliau Shallallahu ‘alaihi wa Salam menjawab, Jihad dl jalan Allah’. Kemudian ditanya lagi, ‘Lalu apa lagi ?’ Beliau menjawab, Haji yang mabrur ‘

Hadits yang mulia ini menjelaskan tentang iman. Bahwa iman itu masuk dalam bagian amal, dan amal itu masuk dalam bagian iman. Oleh karena itu, Imam Bukhari memberikan Bab : Man Qaala Annal Iman Huwal Amal, bahwa amal itu masuk dalam iman. Sehingga, ketika Nabi ditanya tentang amal yang paling afdhal, Beliau menjawab iman kepada Allah.Hadits ini telah diterima oleh semua ulama Ahlus Sunnah untuk menetapkan, bahwa amal itu masuk dalam bagian iman. Yang tentunya akan menjelaskan kepada kita, bila iman itu bisa bertambah karena perbuatan ta’at, dan bisa berkurang karena perbuatan maksiat.

Contoh ke delapan, hadits nomor 32, darijalan Abdullah bin Mas’ud.

لما نزلت { الذين آمنوا ولم يلبسوا إيمانهم بظلم } قال أصحاب رسول الله صلى الله عليه وسلم أينا لم يظلم فأنزل الله { إن الشرك لظلم عظيم }

 

Ketika turun firman Allah (yang artinya) Orang­-orang yang beriman dan tidak mencampuradukkan iman mereka dangan kezhaliman (syirik), mereka Itulah orang-orang yang mendapat keamanan dan mereka itu adalah orang-orang yang mendapat petunjuk. (OS. Al An’am 82), para shahabat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Salam berkata, Siapakah diantara klta yang tidak berbuat zhalim?’ lalu Allah menurunkan firman-Nya (yang artinya), sesungguhnya kesyirikan itu adalah kezhaliman yang besar.

Ketika ayat Al An’am 82 diturunkan, para sahabat merasa susah dan berat. Mereka mengatakan, siapakah diantara kita yang tidak menzhalimi dirinya? Maka Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Salam menjelaskan kepada mereka, bahwa bukan itu yang dimaksud; tidakkah kalian mendengar perkataan Luqman kepada anaknya? Jadi zhulm (kezhaliman) di sini, maksudnya adalah syirik. Ini juga berbicara tentang aqidah, antara tauhid dan syirik.Contoh ke sembilan, hadits no. 39, dari Abu Hurairah

إن الدين يسر

Sesungguhnya agama ltu adalah mudah

 

Ini juga berbicara tentang aqidah, bahkan berbicara tentang agama ini secara keseluruhan. Bahwa ajaran Islam, pengamalan dan dakwahnya adalah mudah. Apakah ini tidak berbicara aqidah? Hadits ini berbicara tentang Islam, dan tentunya kaffah. Sebagaimana Allah memerintahkan kepada kita untuk masuk Islam secara kaffah (menyeluruh).Contoh ke sepuluh, hadits nomor 50. Yaitu hadits tentang Jibril yang datang kepada Nabi lalu bertanya Islam, iman dan ihsan, dan di Shahih Bukhari diringkas.

ما الإيمان قال أن تؤمن بالله وملائكته وبلقائه ورسله وتؤمن بالبعث قال ما الإسلام قال الإسلام أن تعبد الله ولا تشرك به وتقيم الصلاة وتؤدي الزكاة المفروضة وتصوم رمضان قال ما الإحسان قال أن تعبد الله كأنك تراه فإن لم تكن تراه فإنه يراك

 

Apakah iman ? Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Salam bersabda, ‘iman adalah engkau beriman kepada Allah, malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, pertemuan dangan-Nya, para rasul-Nya dan beriman kepada harl kebangkitan.’ Jibril bertanya, Apakah Islam? Rasulullah bersabda, ‘Islam adalah engkau beribadah kepada Allah dan tidak menyekutukan sesuatupun dengan-Nya, mendirikan shalat, menunaikan zakat yang walib, puasa Ramadlan.’ Jibril bertanya, Apakah lhsan? Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Salam bersabda, ‘Ihsan adalah engkau beribadah kepada Allah seakan-­akan engkau melihat-Nya, jika engkau tidak bisa melihat-Nya maka sesungguhnya Dia melihatmu …

Hadits ini termasuk ahad.Contoh ke sebelas, hadits nomor 53, yaitu hadits tentang utusan Abdul Qais yang datang kepada Rasulullah, lalu menyambut mereka dan memerintahkan kepada mereka empat perkara dan melarang dari empat perkara.

أمرهم بالإيمان بالله وحده قال أتدرون ما الإيمان بالله وحده قالوا الله ورسوله أعلم قال شهادة أن لا إله إلا الله وأن محمدا رسول الله وإقام الصلاة وإيتاء الزكاة وصيام رمضان وأن تعطوا من المغنم الخمس

 

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Salam memerintah mereka agar beriman kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala semata, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Salam bertanya, ‘Tahukah kalian, apakah beriman kepada Allal semata itu? Mereka menjawab, Allah dan Rasul-Nya lebih tahu. Beliau menerangkan, syahadat (persaksian) bahwa tidak ilah yang haq kecuali Allah dan Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa Salam itu Rasulullah, menegakkan shalat, memberikan zakat, puasa Ramadlan dan memberikan seperlima dari ghanimah…

Ini juga berbicara tentang iman.Contoh ke duabelas, hadits nomor 1331, dan di beberapa tempat lainnya, dari jalan Ibnu Abbas Radhiallahu ‘anhu

أن النبي صلى الله عليه وسلم بعث معاذا رضى الله تعالى عنه إلى اليمن فقال ادعهم إلى شهادة أن لا إله إلا الله وأني رسول الله فإن هم أطاعوا لذلك فأعلمهم أن الله قد افترض عليهم خمس صلوات في كل يوم وليلة فإن هم أطاعوا لذلك فأعلمهم أن الله افترض عليهم صدقة في أموالهم تؤخذ من أغنيائهم وترد على فقرائهم

 

Bahwasanya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Salam mengutus Mu’adz Radhiallahu ‘anhu ke Yaman, lalu Rasulullah bersabda, ‘Serulah mereka kepada syahadat (persaksian) bahwa tidak ilah yang haq kecuali Allah dan bahwasanya aku Rasulullah. Jika mereka mentaatimu dalam hal itu, maka beritahukanlah kepada mereka bahwa Allah telah mewajibkan kepada mereka shalat lima kali sehari semalam. Jika mereka mentaatimu dalam hal itu, maka beritahukanlah kepada mereka bahwa Allah mewajibkan kepada mereka zakat dalam harta mereka yang diambil dari orang-orang kaya mereka dan diberikan kepada orang-orang fakir mereka.

Hadits yang mulia ini diterima oleh seluruh ulama. Apakah hadits ini bukan berbicara masalah aqidah? Bahkan ini merupakan asas dalam Islam. Tidak ada Islam tanpa syahadatContoh ketigabelas, dari selain Bukhari. Yaitu hadits yang masyhur dan telah diterima oleh para ulama.

إن الرقى والتمائم والتولة شرك

 

Sesungguhnya mantera-mantera (yang bathil), jimat dan pelet termasuk bagian syirik.

Tentunya mantera-mantera yang dimaksudkan disini adalah mantera yang bathil. Karena ruqyah (pengobatan dangan bacaan) itu ada dua, ada yang syar’i dan yang tidak syar’i. Hadits ini juga ahad, dan masih banyak lagi contoh-contoh tentang hadits ahad yang berkaitan dangan aqidah, dan diterima oleh para ulama.PEMBAGIAN HADITS MENJADI MUTAWATIR DAN AHAD

Pembagian hadits menjadi mutawatir dan ahad, memang ada dalam kaidah ilmu hadits. Namun perlu diketahui, bahwa para ulama membagi hadits menjadi mutawatir dan ahad bukan untuk menolak hadits.

Pembagian itu merupakan tinjauan ilmiah, berdasarkan jumlah (banyak atau sedikitnya) perawi yang meriwayatkannya. Sebagian tinjauan mereka berdasarkan shahih dan lemahnya suatu riwayat.

Berdasarkan jumlah perawinya, jika perawi suatu hadits itu banyak, maka para ulama mengatakan bahwa hadits itu mutawatir, meskipun mereka masih berbeda pendapat tentang batasan banyak atau sedikit. Juga ada definisi lain tentang mutawatir ini, yaitu jika hadits tersebut diketahui keshahihannya dan diterima secara mutlak oleh para ulama. Definisi ini dari Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah.

Adapun hadits ahad, yaitu hadits di bawah mutawatir. Mereka membagi menjadi:

– Gharib, yaitu hadits yang hanya diriwayatkan oleh satu orang sahabat saja, sebagaimana hadits pada contoh pertama dan ke empat di atas.
– Aziz, yaitu hadits yang diriwayatkan oleh dua or­ang sahabat, walaupun lafazhnya agak berbeda.
– Masyhur, yaitu hadits yang diriwayatkan oleh tiga orang sahabat yang berbeda.

Ini semua termasuk dalam bagian hadits ahad. Maka disini ada pembagian hadits menjadi hadits shahih, hasan dan dha’if.
Jika perawinya lebih dari tiga, maka disebut mutawatir. Demikian jika mengumpulkan antara dua definisi diatas. Contoh hadits seperti ini sangat banyak. Misalnya:

من كذب علي فليتبوأ مقعده من النار

 

Barangsiapa yang berdusta atas namaku, maka hendaklah ia mempersiapkan tempat duduknya dari neraka.

Hadits tentang azab kubur ini juga mutawatir maknawi (secara makna). Begitu juga tentang turunnya Isa -di akhir zaman, munculnya Dajjal, haudh (telaga) Nabi, tentang bumi berlapis tujuh. Dan masih banyak lagi contohnya.Adapun berdasarkan difinisi Syaikhul Islam, yaitu hadits yang diketahui keshahihannya dan diterima secara mutlak oleh para ulama, bisa juga disebut mutawatir. Ini sangat banyak sekali, terutama hadits­-hadits yang berada di shahih Bukhari dan Muslim

(Majalah as-Sunnah Edisi Khusus/Tahun VIII/1425H/2004M)


Related articles

 Comments 6 comments

  • titok says:

    Assalamu’alaikum
    hadits ahad dlm ht tidak di tolak, selama shohih diamalkan, seperti hadits innamal a’maalu binniyat. Maksud dari tidak dijadikan hujjah dalam akidah lebih tegasnya adalah tidak digunakan sebagai hujjah untuk membuktikan kekafiran seseorang jika dia menolak hadits tersebut. Contoh konkretnya, kita mengamalkan hukum puasa sunah 6 hari pada bulan syawal. dasar hukumnya adalah riwayat yang tidak muttawaatir. Kita membenarkan hadits itu dan mengamalkannya, tidak menganggap puasa itu sebagai bid’ah yang diada-adakan, sebab memang secara shahih diriwayatkan dari Nabi Shalallau ‘alaihi wa sallam. Apa artinya menggamalkan tanpa membenarkan? Tapi jika ada orang yang tidak mengamalkannya dengan alasan menolak kebenaran hadits tersebut, dia tidak kita jatuhi had murtad, sebab dia tidak menolak hal yang qath’i. Ulama yang berpendapat demikian setahu saya bukan hanya dari HT, Al Amidi menganggap orang yang tidak mengamalkan hadits ahad dalam perkara halal-haram sebagai fasiq, belum sampai kafir. Lain halnya dengan menolak yang muttawatir, seperti menolak kewajiban sholat lima waktu. Maka dia kafir. Karena, sisi pembenaran bahwa sholat lima waktu adalah wajib itu merupakan bagian aqidah. Lain halnya dengan orang yang tidak mengamalkan sholat shubuh, tapi tidak mengamalkannya pada waktunya tanpa alasan yang benar, maka dia berdosa. wallaahu a’lam

    Bisa anda buktikan ucapan anda ini dari referensi yang jelas. Padahal buku mutabanat HT telah sharih menjelaskan bahwa hadits ahad tidak boleh ditetapkan di dalam masalah i’tiqod.
    An-Nabhani rahimahullahu menyatakan di dalam kitab ad-Dusiyah hal. 3 : “Terdapat perbedaan antara hukum-hukum syariat dan perkara-perkara aqidah dari sisi dalil. Hukum-hukum syar’iyyah boleh ditetapkan dengan dalil dhonniy dan boleh dengan dalil qoth’iy kecuali aqidah, karena harus ditetapkan dengan dalil qoth’iy, tidak boleh ditetapkan dengan dalil dhonniy sedikitpun. Aqidah tidak boleh diambil melainkan harus dengan dalil yakin, apabila dalilnya qoth’iy maka wajib diimani dan mengingkarinya adalah kafir, namun jika dalilnya dhonniy maka haram bagi tiap muslim mengimaninya, maka wajib menetapkan aqidah dengan dalil qoth’iy”
    Sedangkan menurut HT hadits ahad itu dhanniy dan berdosa hukumnya menetapkan masalah i’tiqod dengan hadits ahad. Ini adalah masalah yang sudah diketahui secara terang dari buku-2 HT. Adapun ucapan anda di atas maka anda harus menunjukkan buktinya… Terima kasih.

  • titok says:

    Afwan, koreksi, kalimat terakhir saya salah, maksud saya, “lain halnya dengan orang yang meyakini bahwa sholat subuh adalah wajib, tapi suatu saat malas bangun hingga keluar dari waktunya, maka dia termasuk orang yang malas dan berdosa karena kemalasannya, bukan karena kekafiran”.

  • baim says:

    “sikap menerima hadist ahad sebagai dalil aqidah adalah tindakan kepala batu” inti pernyataan abduRahman al Bagdadi. saya adalah syabab ht yang selama 4 tahun aktif mendakwahkan ht dan pemahamannya, dan kini saya yakin tidak mengikuti mereka dan membenarkan segala ijtihad syaikh Nabhani adalah baik. dan telah benar apa yang tertulis di awal jika mereka melarang beriman dalam persoalan aqidah yang di dasarkan pada hadist ahad. tentunya Alloh semata yang Maha Tahu kebenaran persoalan ini.

  • baim says:

    adapun inti penolakan tersebut terletak pada pembagiannya menjadi dua yaitu tsubut dan dilalah. hanya hadist yang qat’i Tsubut dan dilalah yang sah dipakai hujjah dalam masalah aqidah. dan hadist yang memenuhi syarat ini menurut Imam Taqiyuddin hanya hadist mutawatir. bukti sejarah adalah pengumpulan sukuf al Quran menjadi kitab 30 jus yang kini sampai kepada kita. penolakan umar kepada putri beliau Hafshoh untuk menuliskan ayat yang dihafalnya karena katidak mampuan hafshoh menghadirkan saksi hingga derajat mutawatir adalah buktinya. juga ijma’ shabat yang tidak mengingkari syarat ketua pelaksana pengumpulan Mushaf Zaid bin Tsabit tentang wajibnya mutawatir periwatan setiap Ayat al Quran yang dituliskan dalam mushaf. jika tidak maka tanpa mapun akan ditolak hingga perowi tersebut mampu membuktikan kebenaran berita tersebut hingga derajat qot’i/mutawatir. lalu dimanakah kesalahan Para sahabat???… ataukah kita yang salah penafsiran?????…… dengan kata lain …..! kita salah faham atau faham kita yang salah. Alloh semata yang Maha Tahu.

    Masalah ini tmsk qiyas ma’al fariq yang tdk tepat dijadikan dalil dlm masalah penolakan khobar ahad dalam msl aqidah. Masalah yg antum sebutkan ini serupa dg apa yg dilontarkan oleh saudara titok dalam website Hanichi di hanichi.wordpress.com. Di situ ada pertanyaan dari saya yg belum terjawab, mungkin anda bisa menjawabnya. Setelah itu baru saya akan memberikan jawaban terperinci yg akan saya turunkan di dalam blog ini.

  • yahyalbuny says:

    Afwn boleh saya copy tulisan [antum] diatas untuk bahan kajian.. karena persyarikatan kami mulai Menolak Hadist Ahad dalam hal Aqidah…

    Tafadhdhol

  • abu farraas says:

    ustadz ijin share

  • Leave a Reply

    Your email address will not be published. Fields with * are mandatory.