SILSILAH TAHDZÎR TIADA BERUJUNG : SETELAH SYAIKH MUHAMMAD AL-IMÂM, KINI SYAIKH ‘ABDURRAHMAN AL-MAR’I

 Nov, 17 - 2014   no comments   BantahanJarh wa Ta'dilTahdzir

Demikianlah silsilah tahdzîr yang  tiada ujungnya. Apabila setiap ulama yang jatuh pada satu kesalahan langsung di”sikat”, niscaya tidak ada seorangpun yang selamat.

Syaikh Muhammad al-Imâm adalah salah satu syaikh salafî di Ma’bar Yaman yang harus menerima vonis sesat dan disikat habis lantaran perjanjian damai beliau yang terpaksa dengan para penjahat hutsîyûn. Tidak ada udzûr bagi beliau, karena watsîqoh (perjanjian) beliau tersebut dianggap memiliki pemahaman sesat dan bahkan kufur. Adalah Syaikh ‘Ubaid al-Jâbirî saddadahullâhu yang paling lantang menyampaikan vonisnya ini, dan direstui oleh Syaikh Rabî’ bin Hâdî al-Madkhalî –semoga Allâh melindungi beliau dan menjaga beliau dari kejahatan para tukang fitnah-.

Sejumlah masyaikh Yamân pun angkat bicara melakukan “pembelaan” terhadap  Syaikh Muhammad al-Imâm dari tuduhan yang terlalu berlebihan. Diantaranya adalah Syaikh ‘Abdurrahman al-Mar’î al-‘Adnî hafizhahullâhu. Namun, apa dikata? Syaikh ‘Ubaid al-Jâbirî pun turut menghajar beliau dan mengeluarkan statement dengan jarh yang keras, bahkan terkesan merendahkan.

Berikut adalah ucapan Syaikh ‘Ubaid al-Jâbirî terhadap Syaikh ‘Abdurrahman al-‘Adnî :

بالنسبة للأخ عبد الرحمن بن عمر مرعي لا يصلح للدعوة ، أقل مايقال فيه أنه مغفل بناء على كلمات سمعتها منه ومن تلكم الكلمات قوله في الوثيقة الفاجرة الكافرة الظالمة التي وقعها محمد بن عبد الله الريمي ثم المعبري الملقب بالإمام قال في تلك الوثيقة أعني عبد الرحمن قال فيها باطل

“Berkenaan dengan al-Akh ‘Abdurrahman bin ‘Umar Mar’î, maka dia ini tidak layak untuk berdakwah. Paling sedikit sebutan yang cocok buat dia adalah orang yang bodoh (lugu) berdasarkan ucapan-ucapannya yang saya dengar. Diantara ucapannya adalah pendapatnya tentang perjanjian fâjir yang kafir lagi zhâlim yang dibuat oleh Muhammad bin ‘Abdillâh ar-Raimî al-Ma’barî yang bergelar al-Imâm. Dia berkata tentang perjanjian tersebut, maksud saya ‘Abdurrahman (al-Mar’î), dia mengatakan tentang perjanjian itu “di dalamnya (hanya) ada kebatilan”.

أقول قائل هذه المقولة كما أسلفت أقل ما يقال فيه أنه مغفل والمغفل لايصلح للدعوة ولايصلح للتدريس أبداً خير له أن يصلي مع المسلمين يحضر الجمعة والجماعة مع المسلمين

Saya berpendapat bahwa orang yang berkata dengan ucapan seperti itu, sebagaimana  telah kusebutkan sebelumnya, paling sedikit sebutan yang layak bagi orang tersebut adalah “orang yang bodoh”, sedangkan orang yang bodoh itu tidak layak selamanya untuk berdakwah apalagi mengajar. Lebih baik dia (sibukkan diri) dengan sholat bersama kaum muslimin dan menghadiri sholat jum’at berjama’ah bersama kaum muslimin. [maksudnya Syaikh jadi orang biasa saja, pent.]” [naskah ini didiktekan oleh Syaikh ‘’Ubaid pada Rabu malam, 11 Muharam 1436 H.]

Kenapa saya memposting tahdzîr ini? Apakah saya menyetujui Syaikh ‘Ubaid al-Jâbirî ataukah membela Syaikh ‘Abdurrahman Mar’î? Saya tidak bermaksud untuk melakukan pembelaan atau bantaha …

Yang ingin saya sampaikan adalah :

Pertama, mereka semua ini : Syaikh ‘Ubaid al-Jâbirî, Syaikh Muhammad al-Imâm, Syaikh ‘Abdurrahman Mar’î  dan juga masyaikh lainnya adalah termasuk masyaikh ahlus Sunnah. Tidak ada diantara mereka yang ma’shûm (bebas dari kesalahan). Setiap ucapan mereka bisa diterima dan ditolak serta harus ditimbang berdasarkan dalil dan nash syar’î .

Kedua, menyikapi perselisihan diantara mereka, maka tidak boleh ada ilzam (pemaksaan pendapat) harus mengikuti salah satu dari pendapat ulama yang berselisih faham tersebut. Saya harus mengikuti pendapat Syaikh ‘Ubaid, jika tidak maka saya akan ikut ditahdzîr, atau sebaliknya. Selama ushul dan manhaj para masyaikh tersebut masih didominasi oleh Sunnah, maka perbedaan yang terjadi diantara para masyaikh tersebut tidak mewajibkan kita juga harus berbeda, bahkan sampai bertikai karenanya.

Ketiga, sebenarnya akar segala problematika di dunia ini adalah ghulû. Kesyirikan terjadi pertama kali adalah disebabkan oleh ghulû terhadap orang-orang yang shâlih. Semua bentuk sikap ghulû itu adalah jelek dan tercela, apalagi ghulû di dalam masalah takfîr, tabdî’ dan tafsîq. Karakter ghulû inilah yang memecah belah dakwah dan persatuan. Sikap terlalu ghulû di dalam memuji dan mencela, ghulû di dalam menyikapi kesalahan sahabat, ghulû di dalam menghormati ulama atau mencela ulama, dst.

Keempat, jangan ada lagi standar ganda… Maksud saya dengan standar ganda adalah :

  1. Apabila yang ditahdzîr itu kebetulan ulama yang dibelanya, maka kaidah yang senantiasa didengang-dengungkan, yaitu “al-Jarh muqoddam ‘alat Ta’dîl” menjadi tidak berlaku lagi. Misal, ketika Ahmad Bazmûl dijarh keras oleh Syaikh ‘Ubaid al-Jâbirî (termasuk Syaikh ‘Abdurrahman al-‘Adnî), maka mereka beralasan dan berapologi bahwa Syaikh Rabî’ mentazkiyah mereka. Sehingga, kaidah tersebut tidak berlaku untuk mereka, namun diberlakukan untuk orang lain. Alangkah benarnya seorang penyair yang mengatakan وعين الرضا عن كل عيب كليلة كما أن عين السخط تبدىالمساويا (pandangan simpati menutupi segala cela sebagaimana pandangan kebencian menampakkan segala kejelekan)
  2. Ketika yang ditahdzîr itu adalah ulama yang disukainya, maka ucapan “ini adalah ijtihad Syaikh ‘Ubaid, saya tidak wajib menerima ijihad beliau”menjadi apologi bagi mereka. Sedangkan syaikh lainnya yang tidak mereka senangi, tidak berlaku!!! Dan masalah khilâf tersebut dianggap bukan lagi ijtihâdî, namun tauqifî manhajî… Akhirnya muncul lah kaidah, “barangsiapa yang tidak menvonis bid’ah orang yang divonis Syaikh Fulan, maka dia termasuk ahli bid’ah”, atau slogan “wa in lam ma’anâ fa’alainâ” (jika tidak sepakat dengan kami, maka menjadi musuh kami), yang setali tiga uang dengan slogan Bush yang mengatakan “with us or against us!!!”… wallâhul musta’ân.
  3. Ketika Syaikh ‘Alî al-Halabî mengemukakan ucapan “ wa lâ naj’al khilâfanâ fî ghoirinâ sabab lil khilâf baininâ” (jangan lah kita jadikan perbedaan pendapat tentang orang lain menjadi sebab bagi kita berselisih) dianggap sebagai kaidah ahli bid’ah! Kaidah sesat dan menyesatkan!! Namun ketika khilâf terjadi di tengah-tengah ulama yang mereka puja-puji, maka kaidah ini berlaku bagi mereka… namun tidak bagi selainnya… احرام علي بلابله الوح حلال للطير من كل جنس (apakah pohon besar itu haram bagi burung bulbul dan halal bagi burung jenis lainnya?”

Wallâhu Ta’âlâ ‘alam bish showâb


Related articles

Leave a Reply

Your email address will not be published. Fields with * are mandatory.