MENGAPA KITA MENOLAK DEMOKRASI? (bagian 3)

 Mar, 19 - 2009   6 comments   Aqidah & ManhajGhazwul FikriSiyasah

لمذا نرفض الديمقراطية

(Bagian 3)

Diringkas dan disarikan dari Mushtholahât wa Mafâhîm karya Syaikh ‘Abdul Âkhir Hammâd al-Ghunaimî hafizhahullâhu

Ketiga : Kesetaraan (al-Musâwâh)

Termasuk perkara yang sudah ma’rûf di dalam sistem demokrasi barat adalah, warga satu negara memiliki hak dan kewajiban yang sama, tanpa ada perbedaan antara orang yang satu dengan lainnya oleh sebab warna kulit, suku ataupun aqidah. Hal inilah yang bertentangan dengan Islam, sebab Islam adalah agama yang adil secara mutlak, tidak menganggap semua manusia itu setara dan sama secara total dan mutlak. Ada banyak hukum-hukum yang bersifat qoth’î (pasti) di dalam Islam yang tidak menyamakan antara muslim dengan non muslim. Alloh Ta’âlâ berfirman :

Maka apakah patut kami menjadikan orang-orang Islam itu sama dengan orang-orang yang berdosa (orang kafir)”? (QS al-Qolâm : 35)

Ayat ini tidak khusus membicarakan perkara akhirat sebagaimana yang difahami oleh sebagian orang. Namun, sesungguhnya ayat ini –walaupun siyâq (konteks) permbicaraannya mengenai akhirat- namun lafazhnya umum, yaitu Alloh tidak menjadikan kaum muslimin itu seperti kaum mujrimîn (pendosa) baik di dunia maupun di akhirat. Masih banyak hukum-hukum yang menyatakan ketidaksamaan antara kaum muslimin dengan non muslim. Tidakkah Anda mengetahui bahwa seorang muslim pria boleh menikahi wanita ahli kitab sementara pria ahli kitab tidak boleh menikahi wanita muslimah. Di dalam hadits yang shahih dikatakan, “seorang muslim tidak boleh dibunuh oleh sebab seorang kafir” (HR Bukhârî : 111, at-Turmudzî : 1412, an-Nasâ`î VIII:23, dan Ibnu Mâjah : 2658 dari ‘Alî secara marfû’).

Saya akan berikan satu contoh di sini yang berkaitan dengan masalah yang sedang kita diskusikan. Yaitu, di dalam sistem demokrasi, setiap warga negara berhak untuk mencalonkan diri menjadi presiden selama memenuhi beberapa persyaratan, dimana agama tidak termasuk persyaratan tersebut. Di Mesir, Undang-Undang pasal 30 menyatakan, bahwa “persyaratan orang yang mencalonkan diri di dalam pemilu sebagai presiden, haruslah berkewarganegaraan Mesir dan berasal dari kedua orang tua yang juga dari Mesir”. Tidak ada persyaratan dia haruslah seorang yang beragama Islam. Berdasarkan pasal tersebut, bisa jadi seorang Yahudi atau Nasrani terpilih menjadi presiden Mesir, selama kedua orang tuanya adalah berasal dari Mesir. Senegal, pernah dipimpin oleh seorang Nasrani, (Leopold Sedar) Senghor (سنجور), padahal Senegal adalah negeri Islam. Kaum muslimin di Eritria dipimpin oleh seorang Nasrani, Isaias Afewerki ( أفورقي أسياسي). Dan semua hal ini berada di bawah slogan demokrasi.

Adapun di dalam sistem Islam, suatu hal yang sudah kita ketahui bersama dan tidak perlu lagi dijelaskan, bahwa tidak boleh negeri Islam dipimpin oleh non muslim. Dalil-dalil syar’î tentang hal ini begitu jelasnya. Alloh Ta’âlâ berfirman :

Taatilah Allah dan taatilah Rasul (nya), dan ulil amri di antara kamu.” (QS an-Nisâ` : 59)

Yang dimaksud dengan Ulil Amri haruslah dari kalangan kita sendiri, yaitu kaum muslimin. Bahkan sudah merupakan suatu ijmâ’ (kesepakatan) ummat tentang hal ini, dan kami tidak mengira ada seorangpun yang memperdebatkannya. Sayangnya, kami temukan masih ada saja orang yang memperdebatkan masalah ini. Yaitu al-Ustâdz Fahmî Huwaidî dalam artikel dan tulisan lainnya yang dipublikasikan sekitar dua atau tiga tahun yang lalu.

Alasan kami menolak demokrasi pada bentuk asalnya, adalah oleh sebab demokrasi tidak menganggap perbedaan agama dan menyamakan semuanya pada seluruh aspeknya. Terlebih lagi, kita dapati di dalam sistem demokrasi kita yang pincang ini, tanpa pandang bulu memperbolehkan semua orang untuk mendirikan partai kecuali partai Islam. Kita dapati, banyak penulis sekuler dan demokrasi menyokong hal ini, bahkan mereka menyerukan untuk lebih bersikap represif terhadap aktivis muslim.

Wahîd Ra`afat–ketika dia masih menjabat sebagai wakil ketua partai Wafd, dan partai Wafd ini adalah partai tertua yang berideologi demokrasi sekuler di Mesir- pernah berkata : “Sesungguhnya keselamatan umat itu tergantung pada konstitusinya”. Tokoh-tokoh mereka, berdalih dengan ucapan tersebut untuk melegalkan perbuatan mereka di dalam melakukan tindakan represif terhadap gerakan Islam di Mesir, walaupun nash-nash syari’at dan ijmâ’ ulama baik salaf (terdahulu) maupun kholaf (kontemporer) menyelisihi konstitusi atau undang-undang mereka. Mudah-mudahan hal ini bisa menafsirkan apa yang dikatakan oleh pendahulu mereka bahwa demokrasi yang mereka adopsi ini memiliki ‘taring’.

Keempat : Kebebasan (al-Hurriyât)

Ini adalah poin terakhir yang akan kami diskusikan berkenaan dengan hukum demokrasi di dalam Islam. Kami melihat bahwa demokrasi barat membuka kebebasan seluas-luasnya kepada masyarakat, bahkan hampir-hampir tak terkendalikan. Tidak diragukan lagi bahwa Islam adalah agama ‘kebebasan’ dalam maknanya yang shahih, yang meletakkan kontrol secara optimal di dalam pelaksanaan kebebasan tersebut. Inilah hal yang tidak diridhai oleh aktivis pro demokrasi.

Saya berikan satu contoh di sini, yaitu kebebasan dalam berkeyakinan di dalam sistem demokrasi, bahwa seseorang berhak untuk memperoleh kebebasan dalam berkeyakinan, dan berhak untuk merubah aqidahnya dan menanggalkan agamanya kepada agama baru atau kepada atheisme (tidak beragama). Adapun kebebasan berkeyakinan di dalam Islam berbeda bentuknya. Seorang Nasrani contohnya, diperbolehkan untuk menetap di negeri Islam dan ia tetap boleh berpegang dengan agamanya dalam keadaan dilindungi jiwa dan hartanya, dengan syarat ia mau untuk memenuhi kewajiban undang-undang Islami yang menaunginya.

Adapun seorang muslim, tidak boleh dia merubah agamanya kemudian murtad menjadi seorang Nasrani –misalnya- dengan slogan kebebasan berkeyakinan. Barang siapa melakukan hal ini, maka hukumnya telah ma’rûf di dalam syariat, yaitu ia diminta untuk bertaubat atau diberi hukuman mati. Kami dapati ada seorang penyeru sekulerisme di Mesir, menyerukan untuk melakukan tindakan revolusioner (pemberontakan) hanya karena permasalahan ini –yaitu permasalahan riddah (kemurtadan)-. Mereka beranggapan bahwa hal ini merupakan bentuk pengekangan terhadap kebebasan, sampai-sampai salah seorang dari mereka (yaitu ‘Abdus Sattar ath-Thawîlah, penulis haluan kiri di dalam bukunya “Umarâ` wal Irhâb” hal. 34) menganggap permasalahan untuk merubah agama wajib untuk disamaratakan bagi seluruh rakyat dan menolak hak bagi kaum Qibthî (kristen koptik) untuk mengganti keyakinannya sedangkan di sisi lain menolak hak ini bagi muslim. Dia berkata :

“Saya telah bertanya kepada al-‘Âlim al-Jalîl (seorang yang alim lagi mulia), DR. Farhûd, mantan Rektor Universitas al-Azhar: Wahai Syaikh, mengapa Anda menuntut untuk mengeksekusi kaum muslimin yang merubah agamanya dengan alasan apapun? Beliau menjawab : Karena jika seseorang telah memilih Islam sebagai agamanya, maka dia layak untuk diberikan sanksi apabila ia meninggalkannya. Saya berkata : barangsiapa mengatakan bahwa 90% kaum muslimin telah memilih untuk menjadi muslim, maka kami tidak menjadi kafir sampai kami masuk ke dalam Islam. Ketika kami dilahirkan, telah kami dapati bahwa diri kami ini telah menjadi muslim dengan akta kelahiran orang tua kami, demikian pula dengan orang kristen dan yahudi. Apabila Anda beranggapan bahwa saya berhak untuk menjadi seorang muslim, lantas kenapa Anda tidak memperbolehkan seorang manusia untuk memilih selain Islam? (Ibid, hal. 34-35).

Kebatilan yang diucapkan oleh penulis ini dan orang semisalnya, disebabkan karena ia sudah sering meneguk pemahaman yang kacau balau. Dia tidak memahami agama kecuali hanya sekedar hubungan antara seorang hamba dengan tuhannya, sehingga seseorang berhak memilih gambaran tuhannya semaunya. Kemudian ia memahami kebebasan secara mutlak, setidak-tidaknya di dalam masalah keyakinan. Ia membangun di atas asumsi kebebasan mutlak ini, bahwa setiap orang berhak untuk merubah pilihannya kapan saja dia mau dan tidaklah boleh seorangpun mengekang hak pilihnya ini. Apalagi pemahaman mereka tentang kesetaraan (al-Musâwah) diantara agama-agama dan keyakinan, yang menganggap tidak ada bedanya antara agama yang haq dengan agama-agama bathil yang tidak diridhai oleh Alloh Azza wa Jalla. Ini hanyalah satu contoh saja tentang perbedaan antara Islam dan demokrasi di dalam memandang kebebasan. Contoh selain ini masih banyak lagi.

Inilah diskusi singkat kami tentang alasan kami menolak demokrasi dengan penjelasan hakikat dan keadaannya yang kami ketahui. Perlu kami utarakan di sini, bahwa keempat hal di atas yang kami tolak dari sistem demokrasi, tidaklah otomatis pada tingkatan yang sama dan harus ada pada bentuk-bentuk demokrasi lainnya. Perlu juga kami jelaskan di sini, bahwa ketika kami menolak sistem demokrasi ini, bukanlah ini artinya kami menerima sistem diktatorisme, dan tidak pula sistem sosialisme komunisme. Kami tegaskan : kami tidak mau sistem ini dan itu, yang kami kehendaki hanyalah asy-Syûrâ al-Islâmiyah, yaitu sistem Islâm. Dan demokrasi itu tidaklah sama dengan syûrâ Islam.

-Selesai ringkasan ini dan apabila ada waktu luang akan bersambung pada bab selanjutnya yang masih berkaitan dengan demokrasi-


Related articles

 Comments 6 comments

  • abuabyan says:

    Assalamualaikum, tumben nih ngambil pendapat dari ahlul bid’ah, hati2 akhi ntar antum diboikot

    Wa’alaikumus Salam Warohmatullahi Wabarokatuh
    Ada prinsip penting di dalam kaidah ahlus sunnah yang banyak tdk difahami oleh sebagian rekan2 kita. Yaitu, menukil itu tidak melazimkan tazkiyah (memuji) dan ada perbedaan antara menerima al-haq darimanapun datangnya walaupun dari ahli bid’ah atau orang kafir, dengan mencari kebenaran dari ahli bid’ah atau orang kafir. Menerima kebenaran dari siapapun wajib hukumnya, adapun mencari kebenaran dari siapapun adalah tidak benar. Falhamdulillah, kita belajar untuk mencari kebenaran dari ahlinya dan menerima kebenaran dari siapapun. Kita tidak mencari pembenaran suatu hal yg kita tersalah, ataupun mencari2 kesalahan suatu hal yang benar.
    Jika ana diboikot hanya karena masalah ini, ya silakan saja. Karena toh yg memboikot ana adl org yg tdk ana kenal dan dia tdk kenal ana. Dan, alhamdulillah, ana belajar beraqidah dan bermanhaj salaf tdk takut akan ilzam2 bid’iyah hizbiyah, yg beranggapan : in lam yakun ma’ana fa’alaina (jika tdk sepakat dg kami, maka menjadi musuh kami), atau anggapan : man dafa’a saaqith fahuwa saaqith (barangsiapa membela org yg jatuh pd kesalahan maka ia juga org yg salah) atau man lam yubbaddi’ man badda’na fahuwa mubtadi’ (barangsiapa tdk menvonis bid’ah org yang kita vonis bid’ah maka ia adl ahli bid’ah), atau kaidah man naqola ‘an mubtadi’ fahuwa mubtadi’ (barangsiapa menukil dari mubtadi’ maka ia adl mubtadi’), atau kaidah2 yg semisal yg diterapkan secara mutak…
    Wal ‘Ilmu indallohi Ta’alaa….

  • endifkuns says:

    Assalamu ‘alaikum akhy abu salma semoga senantiasa Allah menjaga Anda dan keluarga…
    ana ingin tanya mohon penjelasan maslah ini
    jazzakaAllahu khoir…
    Afwan ana benar… benar kurang paham jd mohon penjelasannya
    Ana dapati di majalah Fatawa edisi tentang Pelecehan Al-Qur’an..(afwan lupa edisi brpa)
    Ada beberapa fatwa ulama tentang hukum masuk parlemen …berikut satu contohnya…
    Mohon penjelasan
    Fatwa Syaikh Muhammad bin Sholih Al-Utsaimin rahimahullah
    tentang Pemilu dan Parlemen
    • Pertanyaan kepada Syaikh Muhammad bin Sholih Al-Utsaimin rahimahullah :
    Syaikh yang mulia –semoga Allah senantiasa menjaga Anda-. Tentang masuk ke dalam majelis legislatif suatu negara yang tidak menerapkan syariat Allah dengan sempurna. Bagaimana pandangan Anda tentang hal ini? Semoga Allah senantiasa menjaga anda.
    • Jawaban Syaikh Muhammad bin Sholih Al-Utsaimin rahimahullah :
    Kami telah pernah menjawab pertanyaan serupa beberapa waktu lalu. Sudah seharusnya ( ada yang) masuk dan turut serta dalam pemerintahan. Hendaknya seseorang dengan masuk kedalam pemerintahan meniatkannya untuk melakukan perbaikan, bukan untuk menyetujui setiap keputusan yang dikeluarkan. Dalam kondisi seperti ini, bila ditemukan sesuatu yang menyelisihi syari’at, maka ia berusaha menolak dan membantahnya . Walaupun pada kali pertama tidak banyak yang mengikuti dan mendukungnya, maka ( ia harus mencoba terus ) untuk kedua kalinya, atau (bila tidak berhasil pada) bulan pertama, (maka ia mencoba lagi) pada kedua atau ketiga, atau ( bila tidak berhasil) pada tahun pertama (maka ia mencoba lagi) pada tahun kedua. Di masa yang akan datang akan ada pengaruh yang baik.
    Sementara jika (pemerintahan) dibiarkan lalu kesempatan itu diambil oleh orang-orang yang jauh dari (cita-cita) penerapan syariat adalah sebuah kelalaian besar yang seharusnya tidak terjadi.
    Fatwa Dimuat dalam majalah Al-Furqon Kuwait edisi 42 Rabi’al-Tsani 1414 H /Oktober 1993

    Wa’alaikumus Salam Warohamtullahi Wabarokatuh.
    Pertama, Tidak diragukan lagi, bahwa demokrasi dan segala derivatnya, seperti PARLEMEN, PEMILU dll adalah bukan bagian dari Islam. Kami mengingkarinya dengan sebesar-besar pengingkaran, dan kami meyakini bahwa sistem demokrasi ini bukanlah sistem Islam, namun sistem kufur yang masuk ke negeri kaum muslimin, baik dipaksa maupun tidak. Tidak ada satupun ulama ahlus sunnah robbani yg berselisih tentang hal ini.
    Kedua, tidak diragukan lagi, bahwa fatawa para ulama berangkat dari ilmu dan pengetahuan. Para ulama tidaklah memberikan fatawa melainkan setelah mempelajari realita dan kondisi ril gambaran keadannya atau menerima penjelasan dari orang yang meminta fatwa. Sebab, tidak mungkin para ulama akan memberikan fatwa apabila tidak berangkat dari ilmu.Di dalam kaidah dikatakan, “al-Hukmu ‘ala syai’in far’un ‘an tashowwurihaa” (menghukumi sesuatu merupakan cabang dari gambaran realita keadannya).
    Contohnya, saudara kami, al-Ustadz Imam Wahyudi, Lc (alumni madinah) pernah menceritakan bahwa beliau pernah hadir di majelis al-‘Allamah al-Muhaddits ‘Abdul Muhsin al-‘Abbad. Ketika itu ada seorang penanya menanyakan tentang hukum mendirikan partai Islam di Indonesia, yg ia jelaskan berada di atas syariat Islam dan berupaya menegakkan syariat Islam, berpegang dengan sunnah, dst (dari hal2 yg baik2). Maka, syaikh menjawab -secara makna-, “jika demikian keadaannya maka hal ini boleh…”. Beberapa waktu kemudian, ada seorang yg menjelaskan ttg kiprah partai Islam tsb di Indonesia, yg diketuai oleh seorang doktor mantan “murid” syaikh al-‘Abbad di Madinah, dan partai ini sekarang bermanhaj ‘talawwun’ (plin plan) dan banyak menyelisihi syariat. Akhirnya, syaikh pun memberikan penjelasan utk meninggalkan partai ini…!!!
    Ketiga, berangkat dari penjelasan poin kedua di atas, ada kalanya fatawa para ulama berubah seiring dengan perubahan zaman, realita, tempat dan kondisi. Ada kalanya fatawa para ulama berubah setelah melihat adanya indikasi yg buruk dari realitas diterapkannya fatawa tersebut atau adanya keadaan mendesak utk memberikan solusi untuk memilih “akhafu dhararain” (keburukan yang paling ringan) yg hanya bisa diterapkan saat itu di lokasi itu, tdk di tempat lain.
    Contohnya, Syaikh al-Muhaddits Ali al-Halabi pernah ditanya oleh du’at salafiyyin di Iraq ttg pemilu di Iraq. Da’i ini menjelaskan keadaan di negerinya, yg saat ini bertarung antara rafidhah dg ahlus sunnah. Yang apabila rafidhah ini memang dan berkuasa, akan memberikan madharat besar bagi ahlus sunnah. Maka syaikh Ali pun bermusyawarah dg du’at salafiyyin di Iraq dan mencari tahu keadaan realitas di Iraq. Setelah mengetahui mashlahat dan madharatnya, maka syaikh Ali pun memperbolehkan utk ‘tashwit’ (memberikan hak suara) di dalam pemilu utk menghindarkan madharat yg lebih besar.
    Fatwa Syaikh Ali ini didukung oleh Syaikh ‘Ubaid al-Jabiri, dimana beliau memperbolehkan utk mengikuti pemilu di Iraq, untuk menghindarkan madharat yg lebih besar. Dan sungguh benar ucapan seseorang yang mengatakan, bahwa orang yang arif itu adalah orang yang lebih mengetahui yang paling baik diantara dua kebaikan dan yang paling buruk diantara dua keburukan…
    Namun, fatawa ulama ini tentu saja tdk bisa digeneralisir ke negeri2 lainnya, sebelum dicermati realita dan keadaannya, mashlahat dan madharatnya, dll…
    Demikian pula dg fatwa Faqihuz Zaman, al-‘Allamah al’Utsaimin di atas. Beliau menjawab tentu saja melihat konteks pertanyaan, penanya dan latar yang membelakangi fatawa beliau ini. Hal ini tampak bahwa beliau telah memberikan jawaban ttg hal ini pada beberapa kesempatan yg tentu saja dg persyaratan2 yg tdk ringan… diantara persyaratan tsb adl : memiliki pemahaman yg dalam ttg Islam, keimanan yg kuat dan terbenteng serta mampu mempengaruhi bukan malah dipengaruhi. Sedangkan, sungguh disayangkan… realitanya ternyata banyak mereka yg dulu vokal di dalam menerapkan syariat namun setelah duduk di kursi parlemen malah ‘melempem’ dan terpengaruh oleh sistem…
    Wallohu a’lam…
    Intinya, ada banyak persyaratan yg harus dipenuhi, perlunya bermusyawarah dg para ulama ahlus sunnah yg masih hidup saat ini utk meminta fatwa kepada mereka dan menjelasakan realita keadaan Indonesia kpd mereka, dan tidak mempolitisir fatawa para ulama utk mendukung sebuah partai tertentu sebagaimana yg saat ini tengah marak dilakukan oleh oknum2 tertentu… Wallohul Musta’an.

  • abualya79 says:

    assalamu’alaikum
    mohon kiranya antum dapat membantah syubhat sbb: menta’aati ulil amri (presiden di negeri ini) berarti dapat dikatakan menerima hasil demokrasi, karena presiden didapat dari pemilu/demokrasi (meskipun kita menta’aatinya dalam hal yang ma’ruf ), begitu juga ketika kita bekerja di pemerintahan (PNS) atau menta’aati undang-undang (yang ma’ruf seperti taat pada peraturan lalu lintas) itupun juga dikatakan menerima hasil demokrasi.
    atas jawabannya, jazakallohu..

    Wa’alaikumus Salam Warohmatullahi Wabarokatuh
    Ini adalah logika yang keliru dan salah…
    Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam pernah bersabda : “Dengar dan taatlah, walaupun kalian diperintah oleh seorang budak habasyi (abessinia ethiopia)”
    Para ulama menjelaskan bahwa al-Imam/khalifah itu min Quraisy, dan ini adalah pendapat yg paling mu’tabar dan rajih. Seorang budak Habasyi tdk dapat menjadi seorang khalifah/pemimpin melainkan apabila ia melakukan kudeta. Dari sinilah para ulama salaf beristimbat utk tetap mendengar dan ta’at terhadap penguasa, walaupun mereka merebut kekuasaan dari jalan kudeta atau militer. Nah, ketika para ulama salaf memerintahkan untuk mendengar dan ta’at -sedangkan mendengar dan taat thd penguasa adl ushul ahlus sunnah- kepada seorang yg merebut kekuasaan dg jalur kudeta, maka ini bukan artinya mereka ridha dan mendukung cara2 kudeta atau merebut kekuasaan dg jalur militer/pedang…
    Demikian pula dengan seorang penguasa kaum muslimin, baik yg memperoleh kekuasaannya dari jalur pewarisan tahta, pemilihan umum, ditunjuk oleh penguasa sebelumnya, atau semisalnya, maka termasuk prinsip ahlus sunnah adalah tetap wajib mendengar dan ta’at di dalam hal yg ma’ruf, dan tidak boleh memberontak kpd mereka kecuali apabila melihat “kufron bawaahan” (kekufuran yang nyata)…
    Oleh karena itu, ahlus sunnah berlepas diri dari sistem demokrasi dan segala derivatnya, namun tetap memberikan ketaatan kpd penguasa yg terpilih dari sistem demokrasi atau sistem lainnya, di dalam hal yang ma’ruf… Mendengar dan ta’at adalah ashlun min ushuli ahlis sunnah, baik kepada penguasa yang baik maupun zhalim, di dalam hal yang ma’ruf, baik mereka mendapatkan kekuasaan dg cara kudeta merebut kekuasaan, pemilu, pewarisan tahta, dan lain sebagainya…
    Sebagaimana pula, para ulama yg mempebolehkan utk ikut dalam pemilu dengan berbagai SYARAT dan KONDISInya, utk memilih KEBURUKAN YANG RINGAN DARI KEBURUKAN YANG BESAR, dengan menimbang MASLAHAT DAN MADHARAT, maka ini bukan otomatis mereka MENDUKUNG DEMOKRASI…
    Jadi, menerima penguasa yang menang dari sistem demokrasi bukanlah artinya menerima sistem demokrasi tersebut!!!
    Wallohu a’lam bish showab.

  • abu az-zidan says:

    sikap menganggap seseorang yang membela orang yang salah atau tidak mau menyalahkan kesalahan orang yang salah/bid’ah [apalagi kesalahan orang tersebut nggak seberapa] adalah bagian dari orang yang salah tersebut, adalah sikap yang serupadengansikap jamaah takfir. dimana jamaah takir [pimpinan syukri musthafa] tersebut mengkairkan orang yang tidak mau mengkairkan kaum muslimin yang sudah murtad, dalam kasus ini seperti penguasa mesir seperti jamal nasser, dan anwar sadat.

  • hawruuba says:

    Akh, ini saya cuplikan dari sebuah blog :
    Apa yang dimaksud P*S dengan ‘objektivikasi Islam’ tersebut? Dalam perspektif PKS, objektivikasi nilai-nilai Islam adalah proses transposisi konsep atau ideologi dari wilayah personal-subjektif ke ranah publikobjektif; dari ranah internal merambah ke wilayah eksternal, agar bisa diterima secara luas oleh publik. Secara subjektif, setiap Muslim berkeinginan agar syariat Islam diterapkan oleh negara. Namun, keinginan subjektif tersebut agar dapat dimenangkan di wilayah publik mesti memenuhi kriteria-kriteria tertentu seperti: kesesuaian dengan konteks dari segi ruang dan waktu; mempunyai hubungan rasional-organik; memenuhi rule of the game; memenuhi prinsip pluralitas dan kehidupan bersama (non-diskriminatif) dan; resolusi konflik agar konsep dan ide tadi memenuhi prinsip keadilan publik.
    Bagaimana menurut antum?

    Islam adalah agama wasath (moderat) dan ‘adl (pertengahan), tidak ifrath (ekstrem) dan tidak tafrith (meremehkan). Sifat wasathiyah ini, merupakan obyektifitas Islam yang paling dalam. Seseorang yang memegang Islam dan prinsip2nya secara benar, sesuai dengan pemahaman Islam yang shahih, maka ini merupakan persona-obyektif yang dapat terefleksikan kpd publik-obyektif. Sedangkan, pemahaman Islam yang keliru dan terdeviasi, maka ini merupakan persona-subyektif yang apabila dipaksakan ke ranah publik, dapat menjadi publik-subyektif, dengan kata lain, dapat membentuk sikap partisanship (hizbiyyah) dan fanatisme (ashobiyyah).
    Islam adalah agama komprehensif, perfek dan sempurna. Prinsip2 di dalam Islam tidak berubah dan berganti seiring dengan perubahan zaman, waktu dan tempat. Seorang muslim yang lurus aqidahnya, secara subyektif dan obyektif, tentu saja menginginkan syariat Islam diterapkan secara sempurna. Tentu saja, metodologi untuk mengaplikasikan syariat Islam ini, haruslah mencontoh metodologi yang telah dibuktikan secara historis dan praktis keberhasilannya, yaitu metodologi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabatnya. Penerapan syariat Islam menurut metodologi nubuwwah, merupakan metodologi konstruktif bagi ummat dan memiliki nilai obyektivitas tertinggi. Sedangkan metodologi perubahan dengan menggunakan metodologi-metodologi hasil inovasi dan modifikasi manusia -apalagi diadopsi dari sistem kafir-, maka ini merupakan sikap subyektivitas tertinggi yg apabila dipaksakan kpd publik, maka akan membentuk publik-subyektivitas dan partisansip.
    Realitas saat ini menunjukkan, bagaimana P*S telah melunturkan prinsip2 Islam hanya untuk mengambil simpati publik dan rela berfusi dengan partai nasionalis sekuler dalam bingkai menjunjung pluralitas non diskrimintaif. Dalam hal ini, P*S telah mentransform nilai ‘obyektivitas’ Islam utk diimplementasikan kepada publik dengan cara2 subyektivitas dan self-thought oriented, dalam rangka mempenetrasi pemerintahan utk memperoleh kursi kekuasaan. Ini bukanlah keadilan publik yang direfleksikan oleh Islam, namun ini adalah keadilan komunitas utk komunitas yang direfleksikan oleh metodologi partisansip… Wallohu a’lam.

  • Syukron akh.. saya mendapat banyak manfa’at di sini..

  • Leave a Reply

    Your email address will not be published. Fields with * are mandatory.