MENGAPA KITA MENOLAK DEMOKRASI? (bagian 2)

 Mar, 16 - 2009   1 comment   Aqidah & ManhajGhazwul FikriSiyasah

لمذا نرفض الديمقراطية

(Bagian 2)

Diringkas dan disarikan dari Mushtholahât wa Mafâhîm karya Syaikh ‘Abdul Âkhir Hammâd al-Ghunaimî hafizhahullâhu

Kedua : Berbilangnya Partai (Multi Partai)

Poin kedua dari demokrasi yang kita tolak adalah fenomena multi partai, yaitu leluasanya dan bolehnya siapa saja yang berkeinginan untuk mendirikan partai. Walaupun poin pertama sebelumnya sudah cukup untuk meruntuhkan bangunan demokrasi -oleh sebab poin pertama tersebut termasuk ranah aqidah-, hanya saja poin kedua tentang multi partai ini tidak boleh dilupakan begitu saja ketika berbicara tentang demokrasi. Kita mengetahui bahwa pembentukan partai-partai ini merupakan sifat mendasar dari sistem demokrasi barat. Kecuali, pada bentuk demokrasi secara langsung yang telah berakhir dan tidak ada wujudnya, melainkan pada sejumlah propinsi di Swiss dan sejumlah kota kecil di New-England Amerika. (Lihat buku Musykilât fî al-‘Ulûmi as-Siyâsiyah karya DR. Ahmad Jamâl Zhâhir II:40).

Apabila kebebasan untuk mendirikan partai dijamin oleh sistem demokrasi, maka pertanyaan yang ingin kami arahkan kepada aktivis Islam yang pro demokrasi adalah : apakah Anda menyetujui pembentukan partai berhaluan Marxisme dan Sekuler di negeri Islam yang menggunakan sistem demokrasi yang tengah Anda dengang-dengungkan?

Saya menduga bahwa jawaban dari pertanyaan saya yang sederhana dan mudah ini bagi para aktivis muslim -dan tidak ada lagi alasan bagi mereka untuk mengelak-, untuk menjawab bahwa Islam tidak membolehkan pembentukan partai seperti ini. Karena bagaimana mungkin diperbolehkan di tengah masyarakat muslim didirikan partai yang mengajak kepada riddah (murtad) dari agama Alloh? Saya harap jangan ada yang merasa heran dengan ucapan saya ini, pasalnya yang diserukan oleh kaum Marxis dan Sekuler itu tidak lain dan tidak bukan adalah murtad dari syariat Alloh. Kami telah menjelaskan sebelumya bahwa siapa saja yang menyeru kepada penolakan syariat Alloh dan lebih memilih berhukum dengan hawa nafsu manusia, maka ia telah mengajak kepada kekufuran, dan barang siapa mengajak seorang muslim untuk kufur maka ia telah menyeru kepada kemurtadan dari agama Alloh.

Walaupun kami tidak mengkafirkan setiap muslim yang berafiliasi kepada partai-partai kufur ini, biasa jadi oleh sebab adanya penghalang (kekafiran) seperti kebodohan dan semisalnya, namun kami mengatakan : tidak boleh bagi kita meragukan hukum atas pemikiran dan ucapan mereka yang membatalkan syariat Islam bahwa pemikiran dan ucapan mereka ini adalah kufur. Sebagaimana dijelaskan oleh para ulama tentang pemilahan antara vonis/hukum atas perbuatan bahwa perbuatan ini adalah kufur, dengan vonis kafir terhadap person tertentu secara spesifik yang melakukan perbuatan (kufur) tersebut, dimana tidak boleh mengkafirkan person tertentu secara spesifik kecuali setelah dipenuhi syarat-syaratnya dan dihilangkannya penghalang-penghalangnya. (Lihat kaidah ini di dalam Majmû’ Fatâwâ Ibnu Taimiyah (12:484) dan Syarh ath-Thahâwiyah karya Ibnu Abîl Izz hal. 437).

Suatu hal yang wajib di negeri kaum muslimin, untuk membantah mereka yang melakukan atau mengatakan kekufuran dan menjelaskan hakikat (kekufuran ini) kepada mereka. Apabila mereka bersikeras dan menolak setelah ditegakkan hujjah dan penjelasan atas mereka, maka hukum bagi kemurtadan yang sudah ma’rûf (diketahui) adalah : “barangsiapa yang merubah agamanya maka bunuhlah!” (HR al-Bukhârî : 3017, 6922, Abû Dâwud : 4351, Turmudzî : 1458, an-Nasâ`î VII:104 dan Ibnu Mâjah : 2535 dari hadits Ibnu ‘Abbâs secara marfû’).

Akan sama pula jawaban (mereka) apabila pertanyaannya ditujukan bagi partai Nasrani –misalnya-. Karena tidak mungkin mereka akan menjadikan partai ini dan menuntutnya untuk menghukumi kaum muslimin, sebab tidak boleh bagi non muslim menghukumi kaum muslimin. Biar bagaimanapun, mereka (partai nasrani ini) tetap berhak menyerahkan program-program partai mereka yang selaras dengan keyakinan mereka yang batil, kemudian mereka meminta rakyat untuk memilih mereka di pemilu dan menuntut pengakuan atas kebatilan mereka ini.

Seorang kafir asli, walaupun ia menetapkan kekufurannya, dia tetap memiliki jaminan perlindungan yang wajib kita lindungi dan jaga, selama ia masih memenuhi kewajiban-kewajibannya yang ditetapkan dalam (kontrak) jaminan perlindungannya. Namun, ia tidak memiliki hak untuk menuntut bahwa dirinya memiliki hukum di negeri kaum muslimin.

Jawaban ini, saya tidak mengira akan ada perbedaan pendapat di dalamnya bagi orang yang mau berhukum secara totalitas kepada nash-nash syariat. Bertolak dari sini, saya mengatakan sebagaimana yang telah saya uraikan pada poin pertama : dus, jika demikian keadaannya, maka demokrasi yang Anda serukan bukanlah demokrasi yang telah diketahui bersama hakikatnya. Demikianlah asumsi saya, akan tetapi Ustadz Fahmî Huwaidî telah mempublikasikan seputar masalah ini –secara ringkas- mengenai simposium yang diadakan di Kairo, yang dihadiri oleh sejumlah tokoh Islam. Saya benar-benar sangat kecewa dengan uraian beliau.

Di dalam simposium tersebut, ada yang mengatakan :

“Kita tidak mampu mencegah kecenderungan politik dari partai-partai yang ada di zaman ini, baik yang berhaluan sekuler ataupun marxisme, hanya karena ia bertentangan dengan apa yang digambarkan oleh beberapa orang terhadap kerangka Islam. Hendaklah yang menjadi penghukum diantara kita adalah kotak pemilu.” (Harian al-Ahrâm 25/8/1992).

Demikianlah yang dikatakannya. Seakan-akan perbedaan antara Islam dengan Marxisme itu menurut mereka seperti perbedaan antara madzhab Syâfi’iyah dengan Hanâbilah.

Ada pula yang mengatakan :

“Selama semua fihak tetap berpegang dengan nash-nash syariat yang qath’î (pasti) terutama masalah aqidah, maka tidak mengapa munculnya multi partai yang berbeda-beda, baik yang berhaluan sekuler, nasionalis maupun marxis, dan hendaknya kesemua partai ini saling berkompetisi untuk meraih kemaslahatan publik.” (Ibid)

Penulis ini beranggapan bahwa sudah cukup hanya dengan berpegang dengan aqidah semata. Dia membedakan kaum sekuler dan marxis menjadi dua golongan, yaitu golongan yang memusuhi agama dan aqidah, maka mereka ini tidak memiliki kedudukan dan tempat, dan golongan yang masih beriman dan mentauhidkan Alloh, akan tetapi mereka terlalu berhati-hati (tidak mau menampakkan) berkenaan dengan korelasi antara agama dengan politik. Diantara mereka ini ada orang-orang yang jujur, yang menunjukkan sikap mereka dengan kejujuran dengan membela kebebasan (al-hurriyah), demokrasi dan kesetaraan (al-musâwah). Mereka semua ini, di dalam pandangan penulis, sepatutnya diterima sebagai bagian dari peta politik dan diakui eksistensi, legitimasi dan hak mereka untuk berpartisipasi (di dalam politik). (Ibid)

Parahnya lagi, beliau berpendapat di dalam artikelnya yang lain, bahwa apabila aktivis muslim telah meraih kekuasaan di suatu negeri, kemudian pada pemilu berikutnya suara dominan dimenangkan oleh partai yang condong kepada sekulerisme yang memisahkan antara agama dengan politik, lantas apa yang wajib dilakukan oleh para aktivis muslim pada saat itu? Dia menjawab dengan tergesa-gesa bahwa wajib bagi para aktivis muslim tersebut untuk menyerahkan kekuasaan kepada partai yang telah dipilih oleh rakyat (yang menang pemilu). Kemudian dia menyebutkan bahwa dirinya pernah meminta fatwa kepada Syaikh al-Qaradhâwî tentang hal ini dan Syaikh menjawab :

“Sepanjang aktivis muslim telah meraih kekuasaan dan menguasai instrumen pemerintahan, kemudian kehilangan kepercayaan rakyat. Maka hal ini berarti menunjukkan adanya kekurangan serius di dalam kinerja pemerintahan di dalam memenuhi (kebutuhan dan hak) rakyat. Oleh karena itu sudah sepatutnya mereka melepaskan tanggung jawabnya dan meninggalkan kekuasaannya kepada partai lain yang lebih dipercaya oleh rakyat.” (Harian al-Ahrâm 8/9/1992)

Seluruh ucapan di atas tersebut, semuanya tidak berlandaskan dalil shahih baik dari al-Qur`ân, Sunnah maupun ijmâ’. Wajib bagi pelakunya untuk mengintrospeksi diri dan tidak membiarkan kerasnya realitas yang pahit mempengaruhi pandangan syar’î. Inilah kewajiban pertama kali dan sebelum segala sesuatunya untuk melandaskan semuanya kepada dalil syar’î.

Adapun ucapannya yang mengatakan, “Selama semua fihak tetap berpegang dengan nash-nash syariat yang qath’î (pasti) terutama masalah aqidah, maka tidak mengapa munculnya multi partai yang berbeda-beda… dst”. Maka saya katakan kepada pengucapnya : Sesungguhnya kaum komunis, sekuler atau selainnya, selama mereka berpegang dengan aqidah dan nash-nash syari’at yang qath’î, maka mereka bukanlah komunis atau sekuler. Karena mereka telah berpegang dengan Islam sebagai way of life (manhajan lil hayah), dan inilah yang ditetapkan oleh aqidah dan nash-nash syariat. Bahkan saya katakan, sesungguhnya anggota partai ini tetap akan menjadi Islam yang memang kadang kala berbeda pendapat dengan saudaranya yang lain di dalam sejumlah perkara furû’, akan tetapi tidak mungkin sama sekali orang tersebut disebut dengan komunis atau sekuler.

Adapun ucapannya bahwa “mereka sudah cukup hanya dengan berpegang dengan aqidah semata”, maka yang ingin saya tanyakan kepada pengucap ini adalah : Apa makna aqidah menurut pandangan Anda? Apakah aqidah itu –menurut Anda- adalah cukup manusia mengakui adanya Rabb yang menciptakan alam semesta ini dan Dialah yang maha memberikan rezeki baik kepada yang masih hidup maupun yang telah meninggal? Jika ini yang Anda maksudkan, maka sesungguhnya kaum musyrikin ‘Arab juga turut mengakui hal ini, sebagaimana firman Alloh Ta’âlâ :

Dan sungguh jika kamu tanyakan kepada mereka: “Siapakah yang menciptakan langit dan bumi?”, niscaya mereka akan menjawab: “Semuanya diciptakan oleh yang Maha Perkasa lagi Maha Mengetahui”.” (QS az-Zukhrûf : 9)

Adapun aqidah menurut artinya yang shahih, maka telah tercakup dalam tauhid al-Ulûhiyah yang diantara kosakatanya adalah “tidak ada hukum melainkan milik Alloh semata”. Kami telah menjelaskan sebelumnya bagaimana Alloh meniadakan keimanan seseorang yang tidak mau berhukum dengan syariat Alloh, dan kami juga telah menukilkan ijmâ’ atas kafirnya orang yang lebih memilih untuk berhukum dengan selain syariat Alloh. Kapan saja seorang aktivis partai tertentu yang meyakini tidak ada hukum melainkan hanya milik Alloh, maka ia telah keluar dari sebutan sekuler atau komunis dan ia adalah seorang muslim.

Adapun pembagian golongan sekuler antara yang menolak syariat dan golongan yang disebut oleh penulis sebagai orang-orang beriman yang muwahhid (mentauhidkan Alloh), akan tetapi mereka masih menjaga sebagian syariat, maka kami jawab : Apabila mereka itu adalah kaum yang beriman dan muwahhid, lantas kenapa mereka harus takut untuk menerapkan syariat Alloh? Seorang mukmin dan muwahhid sejati, tidak mungkin selama-lamanya merasa takut dan enggan dengan syariat Alloh Azza wa Jalla.

Kehati-hatian mereka (di dalam menunjukkan sikap) berkenaan dengan korelasi antara agama dan politik, dikhawatirkan hal ini berarti mereka merasa takut/enggan dengan hukum Alloh dan Rasul-Nya. Hal ini termasuk sikap berat hati yang Alloh meniadakan iman seseorang, sebagaimana di dalam firman-Nya Ta’âlâ :

Maka demi Tuhanmu, mereka (pada hakekatnya) tidak beriman hingga mereka menjadikan kamu hakim terhadap perkara yang mereka perselisihkan, kemudian mereka tidak merasa dalam hati mereka sesuatu keberatan terhadap putusan yang kamu berikan, dan mereka menerima dengan sepenuhnya.” (QS an-Nisâ` : 65)

Bagaimanapun juga, pembicaraan kita di sini bukanlah tentang person-person tertentu secara spesifik. Akan tetapi lebih ditujukan kepada partai-partai, program dan pemikirannya. Mereka, kaum sekuler dan marxis, apa isi program-program mereka? Apakah mereka mau menerima untuk berhukum dengan syariat Alloh ataukah tidak? Dari jawaban mereka ini kita akan bisa menimbang dan menghukuminya. Adapun sikap kehati-hatian dan ketidakjelasan mereka akan tampak pada program-program mereka. Padahal program-program itu seharusnya jelas dan terang, dan syariat Alloh tidaklah menerima sikap tamyî’ (lunak) dan setengah-setengah. Seharusnya mereka mengumumkan sikap mereka yang jelas tentang masalah al-hâkimiyah dan tasyrî’ (legislasi) sehingga dapat ditetapkan hukum yang shahih kepada mereka.

Dan sekarang, kepada mereka yang berpendapat bolehnya pendirian partai marxis atau sekuler, dan (ucapannya bahwa) yang dijadikan pemisah antara kita dan mereka adalah kotak pemilu, demikian pula dengan fatwa khusus terhadap tokoh muslim yang memegang kekuasaan kemudian rakyat memilih selain mereka (pada pemilu berikutnya), (fatwa ini menyebutkan) supaya mereka meninggalkan kekuasaan kepada partai yang dipilih oleh rakyat. Maka saya katakan : Saya tidak akan mengulangi lagi apa yang telah saya paparkan berupa batilnya pembentukan partai semisal ini, akan tetapi saya hanya akan menyebutkan satu ayat saja dari Kitabullâh, yaitu firman-Nya :

Dan tidaklah patut bagi laki-laki yang mukmin dan tidak (pula) bagi perempuan yang mukmin, apabila Allah dan rasul-Nya telah menetapkan suatu ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan (yang lain) tentang urusan mereka. dan barangsiapa mendurhakai Allah dan rasul-Nya Maka sungguhlah dia Telah sesat, sesat yang nyata.

Sesungguhnya ayat di atas ini, secara terang dan nyata menjelaskan bahwa tidak ada pilihan (lain) bagi kaum muslimin di dalam pelaksanaan syariat Alloh, namun mereka wajib berpegang dan mengikuti tanpa menentang dan mendebat. Imam Ibnul Qoyyim rahimahullâhu menyebutkan bahwa termasuk kekufuran besar yang mengeluarkan dari agama adalah, seseorang yang berkeyakinan bahwa dirinya memiliki pilihan di dalam hukum Alloh (Madârijus Sâlikîn I/327), yaitu di dalam mengamalkan atau meninggalkan.

Pendapat yang menyatakan bahwa pemutus antara kita dengan mereka adalah kotak pemilu, maksudnya adalah, kita menawarkan kepada rakyat apakah mereka menginginkan untuk berhukum dengan syariat Alloh ataukah dengan marxisme, sekulerime ataupun ba’tsi. Yaitu, mereka boleh memilih setelah Alloh telah memutuskan syariat yang telah sah. Alloh Subhânahu wa Ta’âlâ berfirman : “Hukum itu hanyalah kepunyaan Allah.” (QS Yûsuf : 40)

Yang lebih bahaya lagi dari hal ini adalah ucapan : “Sesungguhnya aktivis muslim yang telah mencapai kekuasaan, wajib bagi mereka meninggalkan kekuasaannya apabila rakyat memilih selain mereka.” Hal ini berarti, seorang penguasa muslim yang telah Alloh anugerahkan kekuasaan padanya untuk menghukumi suatu negeri dengan syariat Alloh, namun wajib baginya menyerahkan kekuasaannya kepada orang yang akan mengatur negeri tersebut dengan syariat Syaithan.

Permasalahan yang tengah kita diskusikan ini bukanlah permasalahan personal, namun ini adalah permasalahan manhaj. Jika umat memandang bahwa penguasanya telah gagal di dalam memenuhi kewajiban Alloh dan tidak sesuai lagi dengan amanat, lalu ia diasingkan dan digantikan dengan selainnya yang mengikuti manhaj Ilâhî, maka tidak sah memberikan hak pilih kepada rakyat untuk mengikuti manhaj yang mereka kehendaki.

Ketika kami mengatakan bahwa demokrasi itu berarti kekuasaan rakyat, Anda malah murka kepada kami dan Anda mengatakan bahwa mendukung demokrasi itu tidaklah otomatis seperti itu. Cobalah Anda merujuk kembali kepada ulasan yang telah Anda tolak sebelumnya dimana Anda berikan hak kepada rakyat untuk memilih antara penguasa muslim yang berhukum dengan syariat Alloh atau kaum sekuler yang berhukum dengan selain hukum Alloh. Apakah adakah penerapan hukum dengan selain hukum Alloh yang lebih jelas daripada ini?

(bersambung)


Related articles

 Comments 1 comment

  • Syukron akh, atas artikelnya..

  • Leave a Reply

    Your email address will not be published. Fields with * are mandatory.