FATWA SYAIKH ‘UBAILAN TENTANG MENGUJI MANUSIA
Fadhilatusy Syaikh ‘Abdullâh bin Shalih al-Ubailân ditanya :
ما رأيكم في امتحان الناس وإلزام طلبة العلم بقول العلماء في تجريح الأشخاص أو غيرها من القضايا الخلافية بين أهل السنة؟
Apa pendapat Anda tentang menguji manusia dan mengharuskan para penuntut ilmu untuk berpegang dengan pendapat ulama di dalam men-jarh individu-individu tertentu atau selainnya yang termasuk permasalahan khilafiyah diantara kalangan ahlus sunnah?
Fadhilatusy Syaikh menjawab :
هذا فيه تفصيل أما إن كان المتكلم فيه من أئمة البدع والذي لايختلف أهل السنة فيه فيجب على المسلم أن يعتقد فيه ما اعتقده أهل السنة وإلا خرج عن سبيلهم إن كان عنده علم
Masalah ini ada perinciannya. Adapun jika orang yang diperbincangan di sini adalah para pembesar ahli bid’ah yang tidak diperselisihkan oleh ahlus sunah (atas kebid’ahannya), maka wajib bagi seorang muslim untuk meyakininya sebagaimana yang diyakini oleh Ahlus Sunnah. Jika tidak, ia dapat keluar dari jalan ahlus sunnah apabila ia memiliki ilmu.
وأما إن كان المتكلم فيه من أهل السنة ووقع في خطأ في العلم يعتقد بعض أهل العلم أنه مخرج له من السنة فهذا لايلزم من لم يتبين له ذلك أو رأى خلافه أن يقلد فيه غيره
Adapun jika yang diperbincangkan adalah termasuk kalangan ahlus sunnah yang terjatuh kepada kesalahan ilmiah, dan sebagian ulama meyakini ia telah keluar dari (ahlu) sunnah, maka hal ini tidak mengharuskan (ulama lainnya) yang belum tampak padanya kesalahan ini atau memiliki pandangan yang berlainan dengannya untuk bertaklid kepadanya.
ومن اعتقد لزوم ذلك لكل مسلم فقد شاق الله ورسوله فإن الحق المطلق والولاء المطلق لايكون إلا لرسول الله صلى الله عليه والسلام
Barangsiapa yang berkeyakinan bahwa setiap muslim harus demikian (yaitu bertaklid dengan pendapat ulama), maka sungguh ia telah menentang Alloh dan Rasul-Nya. Sebab hak dan loyalitas (walâ`) yang mutlak itu hanya diberikan kepada Rasulullâh Shallallâhu ‘alaihi wa Salam.
قيل لابن عباس انت على ملة علي او عثمان فقال بل أنا على ملة رسول الله صلى الله عليه والسلام وهو سبيل للوقوع فيما وقعت فيه اليهود والنصارى قال تعالى
Suatu ketika ada yang bertanya kepada Ibnu ‘Abbâs (Radhiyallâhu ‘anhu), “Anda berada di atas millah (baca : ajaran) ‘Ali atau ‘Utsmân?” Ibnu ‘Abbâs (Radhiyallâhu ‘anhu) menjawab : “Bahkan aku berada di atas millah Rasûlullâh Shallallâhu ‘alaihi wa Salam.” Hal ini (yaitu bertaklid dan menentang Rasulullah) adalah jalan ditimpakannya (kita) sebagaimana yang terjadi kepada Yahudi dan Nasrani. Alloh Ta’ala berfirman :
وَقَالَتِ الْيَهُودُ لَيْسَتِ النَّصَارَى عَلَىَ شَيْءٍ وَقَالَتِ النَّصَارَى لَيْسَتِ الْيَهُودُ عَلَى شَيْءٍ وَهُمْ يَتْلُونَ الْكِتَابَ كَذَلِكَ قَالَ الَّذِينَ لاَ يَعْلَمُونَ مِثْلَ قَوْلِهِمْ فَاللّهُ يَحْكُمُ بَيْنَهُمْ يَوْمَ الْقِيَامَةِ فِيمَا كَانُواْ فِيهِ يَخْتَلِفُونَ
“Dan orang-orang Yahudi berkata: “Orang-orang Nasrani itu tidak mempunyai suatu pegangan”, dan orang-orang Nasrani berkata: “Orang-orang Yahudi tidak mempunyai sesuatu pegangan,” padahal mereka (sama-sama) membaca Al Kitab. demikian pula orang-orang yang tidak mengetahui, mengatakan seperti ucapan mereka itu. Maka Allah akan mengadili diantara mereka pada hari kiamat, tentang apa-apa yang mereka berselisih padanya.” (QS al-Baqoroh : 113)
Sumber : Forum Kula as-Salafiyîn