KEWAJIBAN KITA TERHADAP PERISTIWA PEMBANTAIAN DI GAZA
Syaikh Muhammad ‘Umar Bazmûl
Saudara-saudaraku sekalian. Assalamu’alaikum Warahmatullâhi Wabarokâtuh
Berikut ini adalah penjelasan yang penting yang disampaikan oleh guru kami, Syaikh Muhammad ‘Umar Bazmûl hafizhahullâhu yang memberikan jawaban berkenaan tentang kewajiban kita terhadap peristiwa yang berlangsung di Gaza. Ceramah ini beliau sampaikan pada hari Senin 9 Muharram 1430 di dalam pelajaran beliau Syarh Fadhlul Islâm. Saya mentranskrip jawaban beliau ini dan telah saya sodorkan kepada Syaikh dan beliau memberikan izin kepadaku untuk disebarkan. Kami memohon kepada Allôh agar membalas kebaikan bagi guru kami di dunia dan akhirat, dan men jadikan ucapan beliau ini bermanfaat bagi setiap orang yang membacanya. Sesungguhnya Allôh Maha Berkemampuan atas hal ini. Saya persembahkan kepada kalian semua ucapan beliau ini.
Abû Munîr ‘Izzuddîn Muhammad
Transkrip Ucapan Syaikh Muhammad Bazmûl Seputar Peristiwa Gaza (9 Muharram 1430 H.)
Syaikh ditanya di dalam pelajaran beliau Syarh Fadhlil Islâm dengan pertanyaan berikut : “Apa kewajiban kita berkenaan dengan perstiwa yang tengah berlangsung terhadap saudara-saudara kita di Gaza?”
Syaikh hafizhahullâhu menjawab :
Kewajiban kita menyangkut peristiwa yang menimpa saudara-saudara kita kaum muslimin di Gaza, saya ringkaskan dalam beberapa poin sebagai berikut :
Poin Pertama :
Turut merasakan begitu besarnya kehormatan darah seorang muslim. Di dalam hadits yang diriwayatkan oleh Ibnu Mâjah dari ‘Abdullâh bin ‘Umar, beliau berkata : Saya melihat Rasûlullâh Shallallâhu ‘alaihi wa Sallam tengah berthowaf di Ka’bah sembari mengatakan :
مَا أَطْيَبَكِ وَأَطْيَبَ رِيحَكِ مَا أَعْظَمَكِ وَأَعْظَمَ حُرْمَتَكِ، وَالَّذِي نَفْسُ مُحَمَّدٍ بِيَدِهِ لَحُرْمَةُ الْمُؤْمِنِ أَعْظَمُ عِنْدَ اللهِ حُرْمَةً مِنْكِ مَالِهِ وَدَمِهِ
“Alangkah bagus dan wanginya dirimu, dan alangkah agung dan besarnya kehormatanmu. Namun, demi Dzat yang jiwa Muhammad berada di tangan-Nya, sungguh kehormatan seorang mukmin adalah lebih besar di sisi Allôh daripada kehormatan yang ada padamu, baik harta maupun darahnya.”
Di dalam lafazh at-Turmudzî dari Ibnu ‘Umar beliau berkata : “Rasûlullâh Shallallâhu ‘alaihi wa Sallam naik ke atas mimbar dan berseru dengan suara keras, kemudian beliau berkata :
يا معشر من قد أسلم بلسانه ولم يفض الإيمان إلى قلبه لا تؤذوا المسلمين ولا تعيروهم ولا تتبعوا عوراتهم فإنه من تتبع عورة أخيه المسلم تتبع الله عورته ومن تتبع الله عورته يفضحه ولو في جوف رحلة
“Wahai sekalian orang yang telah masuk Islam dengan lisannya namun keimanannya belum menancap ke dalam lubuk hatinya. Janganlah kalian menyakiti kaum muslimin, jangan mencela mereka serta jangan pula kalian mencari-cari kesalahan mereka. Sesungguhnya, siapa saja yang mencari-cari kesalahan saudaranya se-Islam niscaya Allôh akan membuka kesalahannya, dan siapa saja yang Allôh buka kesalahannya niscaya akan diumbar kesalahannya walaupun ia bersembunyi di tengah kamarnya.”
Suatu hari, Ibnu ‘Umar Radhiyallâhu ‘anhu memandang ke arah Baitullâh atau Ka’bah, kemudian beliau berkata :
: ما أعظمك وأعظم حرمتك والمؤمن أعظم حرمة عند الله منك
“Betapa agung dan besarnya kehormatanmu, namun kehormatan seorang mukmin lebih besar di sisi Allôh daripada kehormatanmu.”
Hadits di atas dinilai sebagai hadits hasan yang gharib oleh at-Turmudzî dan dishahihkan oleh al-Albânî di dalam Shahih Sunan at-Tirmidzî.
Tatkala seorang muslim melihat darah muslim lainnya ditumpahkan, jiwanya dibunuh dan hati kaum muslimin ditakuti, tidak ragu lagi seharusnya ia menganggap perkara ini sebagai perkara yang besar demi memuliakan darah kaum muslimin dan mengagungkan hak mereka. Tidakkah kalian perhatikan, jika ada seorang muslim melihat ada orang yang hendak menghancurkan, merobohkan dan mempermainkan Ka’bah, bagaimana mereka menganggap masalah ini sebagai masalah yang besar?! Padahal Rasûlullâh Shallallâhu ‘alaihi wa Sallam bersabda : “Demi Dzat yang jiwa Muhammad berada di tangan-Nya, sungguh kehormatan seorang mukmin adalah lebih besar di sisi Allôh daripada kehormatan yang ada padamu (Ka’bah), baik harta maupun darahnya.”
Oleh karena itu, sepatutnya hal pertama yang wajib kita lakukan adalah, merasakan betapa besarnya kehormatan darah seorang mukmin yang tidak bersalah dan tidak berdosa, sebagai bentuk peneladanan terhadap sunnah Rasûlullâh Shallallâhu ‘alaihi wa Sallam yang senantiasa berjalan di atas Islam. Kita katakan, darah kaum muslimin ini, memiliki kehormatan yang besar di dalam hati kita, dan kami tidak akan selamanya rela, demi Allôh, setetespun darah seorang mukmin ditumpahkan tanpa alasan yang benar. Lantas, bagaimana kiranya kebengisan dan gambaran kejadian yang dilakukan oleh para ekstrimis dan penindas yang mencaplok negeri dan tanah muqoddasah (Palestina) dan wilayah sekitarnya?! Innâ lillâhi wa inna ilayhi Râji’ûn.
Jadi, tidak boleh bagi seorangpun mengabaikan hak dan kehormatan darah kaum muslimin dan kehormatan negeri Palestina serta kehormatan seluruh kaum muslimin di dunia ini, berupa penindasan yang dilakukan oleh kaum kafir yang penuh dosa, yang melakukan agresi dan penjajahan secara zhalim seperti peristiwa (yang terjadi di Gaza) ini, walaupun kurang dari itu.
Poin Kedua :
Menolong saudara-saudara kita (di Palestina). Bentuk pertolongan terhadap saudara-saudara kita ini ada memiliki beberapa cara syar’i yang dapat diringkas ke dalam beberapa bentuk sebagai berikut :
Menolong mereka dengan cara mendoakan mereka. Kita doakan mereka di waktu sahur, sujud ataupun di waktu qunut (nâzilah) di dalam sholat apabila diizinkan dan diperbolehkan oleh ulil amri. Kalian jangan heran dengan perkataan saya, “di waktu qunut (nâzilah) di dalam sholat apabila diizinkan dan diperbolehkan oleh ulil amri”. Sebab, umat Islam telah melalui waktu semenjak zaman sahabat dengan berbagai bentuk musibah, namun tidak ada satupun yang menukil bahwa para sahabat melakukan qunût di masjid-masjid tanpa ada perintah dari imam.
Oleh karena itulah saya katakan, marilah kita menolong saudara-saudara kita dengan berdoa di waktu sahur, di waktu sujud dan di setiap dzikir kita serta di kala kita bersimpuh menghadap Allôh, agar Allôh menolong kaum muslimin yang lemah…
أحل الكفر بالإسلام ضيما # يطول عليه للدين النحيب
Kekufuran telah merebut Islam dengan kezhaliman
Ratapan tangis yang panjang untuk agama ini
Kami memohon kepada Allôh supaya mengangkat cengkeraman kezhaliman dari mereka dan supaya meneguhkan mereka dengan ucapan yang hak serta menolong mereka dari musuh-musuh kita, musuh-musuh mereka, musuh-musuh Allôh dan musuh kaum mukminin.
Poin Ketiga dan Keempat yang berkaitan dengan sikap kita terhadap peristiwa Gaza :
Kita hendaknya berhati-hati dengan orang-orang yang bermaksud memancing di air keruh dan menyerukan propaganda-propaganda yang penuh dengan semangat meluap dan emosional, yang seringkali menyebabkan kita semakin terjerumus ke dalam problematika. Kalian mengetahui bahwa Rasûlullâh Shallallâhu ‘alaihi wa Sallam ketika di Makkah dan berada di fase Makkah, kaum kuffar ketika itu menimpakan berbagai siksa keji terhadap kaum muslimin, sampai-sampai kaum muslimin meminta kepada Rasûlullâh agar beliau sudi memberikan izin untuk berperang. Lantas Nabi memberikan izin kepada sebagian sahabat untuk berhijrah dan sebagian sahabat lainnya yang tersisa tetap memohon kepada Nabi agar diizinkan untuk berperang dan jihad.
Di dalam sebuah hadits dari Khobbâb bin al-Arat beliau berkata : “Kami mengeluhkan keadaan kami kepada Rasûlullâh Shallallâhu ‘alaihi wa Sallam dan beliau ketika iu sedang berselimutkan burdah (syal) di bawah naungan Ka’bah. Kami berkata kepada beliau : “Tidakkah Anda memohonkan pertolongan dan berdoa untuk kami?” Rasûlullâh menjawab :
كَانَ الرَّجُلُ فِيمَنْ قَبْلَكُمْ يُحْفَرُ لَهُ فِي الْأَرْضِ فَيُجْعَلُ فِيهِ فَيُجَاءُ بِالْمِنْشَارِ فَيُوضَعُ عَلَى رَأْسِهِ فَيُشَقُّ بِاثْنَتَيْنِ وَمَا يَصُدُّهُ ذَلِكَ عَنْ دِينِهِ وَيُمْشَطُ بِأَمْشَاطِ الْحَدِيدِ مَا دُونَ لَحْمِهِ مِنْ عَظْمٍ أَوْ عَصَبٍ وَمَا يَصُدُّهُ ذَلِكَ عَنْ دِينِهِ وَاللَّهِ لَيُتِمَّنَّ هَذَا الْأَمْرَ حَتَّى يَسِيرَ الرَّاكِبُ مِنْ صَنْعَاءَ إِلَى حَضْرَمَوْتَ لَا يَخَافُ إِلَّا اللَّهَ أَوْ الذِّئْبَ عَلَى غَنَمِهِ وَلَكِنَّكُمْ تَسْتَعْجِلُونَ
“Dahulu ada seorang pria dari kaum sebelum kalian, digalikan lubang baginya di tanah lalu ia dilemparkan ke dalamnya dan didatangkan kepadanya sebuah gergaji yang diletakkan di atas kepadanya, lalu dipotong tubuhnya menjadi dua bagian, namun dia tetap bersikukuh tidak mau keluar dari agamanya. Adapula yang disisir dengan sisir dari besi, yang menyebabkan tulang belulangnya terlepas dari dagingnya, namun dia tetap bersikukuh tidak mau keluar dari agamanya. Demi Allôh, sungguh akan sempurna keadaan ini, sampai-sampai ada seseorang yang berkendara dari Shan’â` sampai Hadhramaut, dia tidak takut akan satupun kecuali Allôh, ataupun dia khawatir serigala akan menerkam kambingnya. Namun kalian ini adalah kaum yang terlalu tergesa-gesa.” (HR Bukhârî)
Demikianlah keadaan Rasûlullâh Shallallâhu ‘alaihi wa Sallam dalam fase Makkah yang berlangsung selama 13 tahun. Namun tatkala beliau tiba di Madinah dan menetap di sana selama dua tahun, maka Allôh menurunkan firman-Nya :
﴿أُذِنَ لِلَّذِينَ يُقَاتَلُونَ بِأَنَّهُمْ ظُلِمُوا وَإِنَّ اللَّهَ عَلَى نَصْرِهِمْ لَقَدِيرٌ﴾
“Telah diizinkan bagi orang-orang yang diperangi disebabkan diri mereka dianiaya dan sesungguhnya Allôh itu Maha Berkuasa untuk menolong mereka.” (QS al-Hajj : 39)
Ketika itu, mereka diizinkan untuk berperang. Kemudian datang ayat selanjutnya :
﴿وَقَاتِلُوا فِي سَبِيلِ اللَّهِ الَّذِينَ يُقَاتِلُونَكُمْ وَلا تَعْتَدُوا إِنَّ اللَّهَ لا يُحِبُّ الْمُعْتَدِينَ﴾
“Dan perangilah di jalan Allôh orang-orang yang memerangi kalian namun janganlah kalian melampaui batas, karena sesungguhnya Ia tidak menyukai orang-orang yang melampaui batas.” (QS al-Baqoroh : 190)
Kemudian turun lagi ayat :
﴿فَقَاتِلُوا أَئِمَّةَ الْكُفْرِ إِنَّهُمْ لا أَيْمَانَ لَهُمْ لَعَلَّهُمْ يَنْتَهُونَ﴾
“Dan perangilah para pemimpin kafir itu karena mereka tidak bisa memegang janji supaya mereka berhenti” (QS at-Taubah : 12)
Dan firman-Nya :
﴿قَاتِلُوا الَّذِينَ لا يُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَلا بِالْيَوْمِ الْآخِرِ﴾
“Perangilah orang-orang yang tidak mau beriman kepada Allôh dan hari akhir.” (QS at-Taubah : 29)
Bisa kami katakan di sini : sesungguhnya berita gembira untuk berjihad datang pada tahun ke-16 atau ke-17 semenjak permulaan bi’tsah (pengutusan sebagai Rasul). Jadi, apabila zaman dakwah Rasûlullâh adalah 23 tahun, maka 17 tahun darinya adalah perintah untuk bersabar. Lantas mengapa kita mesti tergesa-gesa?!
Jika ada yang mengatakan : “Wahai saudaraku, kita ini telah dikepung! Wahai saudaraku, kita di Gaza telah ditindas! Maka kita jawab : Bersabarlah dan janganlah kalian tergesa-gesa sehingga kalian makin memperuncing masalah. Janganlah kalian mengalihkan perintah untuk bersabar dan menahan diri kepada perintah untuk melakukan perlawanan yang nantinya akan berakibat pada tertumpahnya darah!
Wahai saudara-saudaraku sekalian, semenjak aku keluar untuk menemui kalian di pengajian ini, jumlah korban yang meninggal sudah mencapai 537 orang dan terluka mencapai 2.500 orang. [sekarang telah mencapai lebih dari 1000 korban meninggal dunia dan ribuan lainnya terluka, pent.]. Apa-apaan ini?! Bagaimana bisa kalian menganggap enteng perkara ini? Dimana kesabaran kalian? Dimana sikap ketenangan kalian? Sabar itu juga ibadah sebagaimana jihad adalah ibadah. Bahkan kesabaran itu, difirmankan Allôh tentangnya :
﴿إِنَّمَا يُوَفَّى الصَّابِرُونَ أَجْرَهُمْ بِغَيْرِ حِسَابٍ﴾
“Sesungguhnya hanya orang-orang bersabar sajalah yang dicukupkan pahala mereka tanpa perhitungan.” (QS az-Zumar : 10)
Jadi, sabar itu termasuk ibadah, dan kita pun beribadah kepada Allôh dengan kesabaran.
Lantas, kenapa kalian memalingkan manusia dari kondisi sabar atas pengepungan yang terjadi kepada kondisi perlawanan dan pertumpahan darah?! Kenapa kalian menjadikan orang-orang sipil yang berada dalam situasi aman yang tidak memiliki keahlian berperang baik teknik maupun prinsip berperang, kalian jadikan mereka sebagai sasaran siksaan, serangan dan hantaman mereka, sedangkan kalian sendiri malah pergi keluar ke Beirut dan Libanon?! Kalian timpakan bencana kepada mereka sedangkan kalian pergi keluar!
Untuk itulah saya katakan, sepatutnya jangan sampai ada seorang pun yang bisa menggiring kita dengan luapan emosi dan semangat sampai-sampai realita berbalik (malah menyudutkan kita).
Kita katakan, wajib bagi kita untuk tetap bersabar, menahan diri dan tidak tergesa-gesa. Sabar itu ibadah. Rasûlullâh Shallallâhu ‘alaihi wa Sallam sendiri begitu sabarnya di dalam menghadapi gangguan kaum Quraisy dan Kafir, kaum muslimin (sahabat) yang bersama beliau juga turut bersabar. Apabila dakwah Rasûlullâh Shallallâhu ‘alaihi wa Sallam yang selama 23 tahun dan 17 tahun darinya beliau isi dengan kesabaran, lantas mengapa kita melalaikan aspek sabar ini?! Dua atau tiga tahun aksi blokade (Yahudi terhadap Gaza)! Kita bersabar dan jangan sampai kita menyebabkan mereka ditimpa musibah, pembantaian, kesulitan dan kesusahan! Kita jangan sampai tergesa-gesa beralih kepada perlawanan militer!
Wahai saudaraku, bertakwalah kepada Allôh! Apabila Rasûlullâh Shallallâhu ‘alaihi wa Sallam saja memiliki belas kasih terhadap umatnya di dalam masalah sholat, padahal sholat termasuk rukun kedua dari rukun Islam. Beliau berkata kepada Mu’âdz :
“أفتان أنت يا معاذ”
“Apakah engkau hendak menjadi tukang fitnah wahai Mu’âdz?”
Oleh sebab Mu’âdz memanjangkan sholatnya. Lantas, bagaimana menurut kalian dengan orang-orang yang dengan luapan emosi dan semangat belaka, menyebabkan kaum muslimin tertumpah darahnya dan melakukan konfrontasi padahal mereka belum memiliki kemampuan, bahkan sepersepuluh saja mereka belum mampu untuk melakukan konfrontasi. Tidakkah lebih tepat jika dikatakan : “Apakah kalian hendak membuat fitnah terhadap manusia dengan konfrontasi semacam ini, padahal mereka sendiri belum memiliki kemampuan.”
Tatkala kaum kafir Quraisy dan Yahudi berupaya untuk mengalahkan Rasûlullâh Shallallâhu ‘alaihi wa Sallam di peperangan Ahzâb setelah sebulan penuh mereka diblokade, apa yang dilakukan Rasûlullâh Shallallâhu ‘alaihi wa Sallam kepada mereka? Beliau mengutus seseorang kepada Bani Ghathfân sembari berkata :
أنا أعطيكم شطر تمر المدينة من أجل ألا يساعدوا الكفار علينا
“Saya memberikan kepada kalian separuh hasil perkebunan kurma Madinah supaya mereka tidak menolong kaum kafir di dalam memerangi kita.”
Beliau juga mengutus para pembesar Anshâr dan merekapun menemui beliu kemudian Rasûlullâh Shallallâhu ‘alaihi wa Sallam menginformasikan kepada mereka bahwa beliau telah melakukan begini dan begitu kemudian berkata : “Kalian lihat kondisi yang telah menimpa manusia berupa kesulitan dan kesusahan.” Beliau tidak meremehkan kesulitan dan kesusahan yang dialami manusia. Karena itulah Rasûlullâh Shallallâhu ‘alaihi wa Sallam tidak meridhai apabila mereka melakukan konfrontasi dan perlawanan militer yang mana mereka belum memiliki kemampuan dan kekuatan saat itu. Beliau pun lebih mengambil ide pembuatan parit Salmân al-Fârisî. Beginilah Rasûlullâh Shallallâhu ‘alaihi wa Sallam dan para sahabat ada bersama beliau saat itu. Apakah kita merasa lebih besar keimanannya dibandingkan Rasûlullâh? apakah kita lebih bagus agamanya dibandingkan Rasûlullâh? Apakah kita merasa lebih mencintai Allôh dan Rasûl-Nya dibandingkan para sahabat dan Rasûlullâh?
Tidak wahai saudaraku! Rasûlullâh tidak mendorong sahabatnya untuk melakukan perlawanan. Beliau tidak pula meremehkan kesulitan yang menimpa manusia, sampai-sampai beliau mengutus ke Bani Ghathfân untuk menawarkan separuh hasil kebun kurma Madinah. Allôh pun meneguhkan dua pembesar Anshâr, mereka berdua mengatakan : “Wahai Rasûlullâh, demi Allôh! Pada masa jahiliyah mereka tidak mau memakan pemberian dari kami, lantas apakah mereka mau memakan pemberian kami di saat kami telah Islam? Tidak, kami akan tetap bersabar!”
Lihatlah, mereka tidak mengatakan, “kami akan berperang”. Namun mereka mengatakan, “Kami akan bersabar”. Tatkala mereka bersabar dan mengikuti perintah Rasûl dan mereka pun ridha dengannya, maka datang pertolongan dari Allôh berupa hujan badai dan angin topan, dst. Bacalah cerita ini di dalam buku-buku sejarah tentang peperangan Ahzâb.
Jadi, perkara yang selalu saya peringatkan adalah, jangan sampai ada seseorang yang menggiring kalian dengan luapan emosi dan semangat belaka, yang malah akan membalik realita keadaan kalian. Saya pernah mendengarkan sebagian orang mengatakan : “Solusi problematika ini adalah jihad, dan sudah waktunya untuk menyeru jihad!” Saya tidak mengingkari jihad, yaitu jihad yang syar’î. Jihad yang syar’î itu memiliki dhowabith (kriteria) yang mana kriteria tersebut belum terpenuhi pada kita saat ini. Kita belum memiliki kriteria yang mengharuskan kita untuk berjihad di hari ini. Saat ini, kita tidak memiliki kekuatan untuk melakukan perlawanan, dan Allôh tidak membebani seseorang melainkan menurut kemampuannya.
Kelak di akhir zaman, penghulu kita, Isâ ‘alaihi ash-Sholâtu was Salâm akan berhukum dengan syariat Rasûlullâh Muhammad. Isâ adalah seorang nabi dan beliau akan disertai oleh kaum mukminin, Allôh mewahyukan kepada beliau : “Naiklah kalian ke gunung Thûr, karena Aku akan mengeluarkan sebuah kaum yang kalian tidak mampu menghadapinya” Siapakah mereka? Mereka adalah Ya’jûj dan Ma’jûj.
Ya’jûj dan Ma’jûj, yang notabene mereka adalah keturunan Adam, akan merampas negeri Syâm dan wilayah sekitarnya, sebagaimana kaum kafir dan ahli kebatilan merampas negeri-negeri kaum muslimin. Jadi, jihad mereka termasuk jihad defensif, padahal Allôh mewahyukan Isa –yang beliau saat itu berhukum dengan syariat Muhammad Shallallâhu ‘alaihi wa Sallam– supaya mereka naik ke atas gunung Thûr sebab Allôh akan mengeluarkan suatu kaum yang tidak mampu mereka lawan.
Perhatikanlah, Allôh tidak berfirman kepada beliau : “Pergilah lawan mereka!” Allôh juga tidak berfirman kepada beliau : “Bagaimana kamu biarkan mereka menguasai negeri dan penduduk Islam?” Tidak! Tapi Allôh mengatakan : “Naiklah ke gunung Thûr, sesungguhnya Aku akan mengeluarkan suatu kaum yang kalian tidak mampu menghadapinya.” Demikianlah hukum Allôh!
Dus, sekalipun jihad defensif, kita tetap harus memperhatikan kekuatan kita. Jika kita sekiranya tetap diharuskan untuk melakukan perlawanan dalam berbagai bentuk dan kondisi, lantas apa artinya Islam mensyariatkan adanya perjanjian damai dan gencatan senjata antara kita dan kaum kafir? Allôh Ta’âlâ berfirman :
﴿وَإِنْ جَنَحُوا لِلسَّلْمِ فَاجْنَحْ لَهَا﴾
“Jika mereka (orang-orang kafir) lebih cenderung kepada perdamaian, maka condonglah kepadanya.” (QS al-Anfâl : 61)
Karena itulah, Samâhatu asy-Syaikh Ibnu Baz rahimahullâhu pernah menfatwakan bolehnya melakukan perjanjian damai dengan Yahudi, walaupun mereka telah mencaplok sebagian wilayah Palestina, sebagai bentuk penjagaan terhadap hak darah, harta dan jiwa manusia, tentunya dengan tetap melakukan i’dâd (persiapan) yang harus dipersiapkan untuk jihad. Dan persiapan jihad hendaklah diawali dengan i’dâd ma’nawi îmânî (persiapan spirituil keimanan) kemudian dengan persiapan fisik materil.
Jadi, kami katakan sekali lagi, kewajiban kita di dalam mensikapi musibah besar yang memilukan dan tengah menimpa kaum muslimin di negeri-negeri mereka, adalah hendaknya kita menolong mereka dengan doa menurut cara yang telah saya sebutkan sebelumnya. Kita agungkan kehormatan darah kaum muslimin dan tidak boleh kita meremehkannya. Kita tahu bahwa perkara ini adalah perkara besar yang tidak diridhai oleh Allôh, Rasul-Nya dan kaum mukminin. Kita juga harus berhati-hati dengan diri kita supaya tidak mudah digiring dengan luapan emosi dan semangat yang dapat menghantarkan kita kepada perkara yang menyelihi syariat Allôh Subhânahu wa Ta’âlâ.
Kita juga harus beribadah kepada Allôh Subhânahu wa Ta’âlâ dengan tetap senantiasa mengingatkan diri kita dan saudara-saudara kita untuk bersabar. Allôh Ta’âlâ berfirman :
﴿فَاصْبِرْ كَمَا صَبَرَ أُولُوا الْعَزْمِ مِنَ الرُّسُلِ﴾
“Bersabarlah sebagaimanya kesabaran para ulil azmi dari kalangan Rasûl.” (QS al-Ahqâf : 35)
Karena sesungguhnya kesabaran itu merupakan sebuah taktik yang bijaksana lagi terpuji di dalam situasi dan kondisi seperti ini. Kesabaran itu adalah obat. Kesabaran, ketenangan dan sikap tidak tergesa-gesa akan menyelesaikan segala problematika insyâ Allôh. Kami memohon kepada Allôh kelapangan dan taufiq-Nya. Adapun membangkitkan manusia kepada perkara-perkara yang riskan, maka ini menyelisihi syariat dan agama Allôh.
Poin Kelima :
Memberikan pertolongan materil melalui jalur resmi yaitu dari jalur pemerintah. Apabila penguasa senantiasa membuka pintu untuk memberikan pertolongan materil dan pertolongan lainnya, maka kita wajib mendengar dan ta’at kepada mereka. Setiap orang yang memiliki kemampuan dan lapang jiwanya untuk menolong maka hendaklah ia turut memberikan pertolongan. Namun, janganlah menyalurkan harta untuk memberikan pertolongan melainkan melalui jalur formal, agar lebih terjamin insyâ Allôh tersampaikannya harta tersebut ke daerah sasaran. Jangan sampai tertipu dengan nama besar suatu lembaga jika bukan merupakan jalur formal yang dapat dipertanggungjawabkan. Jangan menyalurkan bantuan dan sumbangan kalian kecuali melalui jalur-jalur formal.
Demikianlah yang bisa saya ringkaskan berkenaan tentang kewajiban kita di dalam menghadapi bencana yang menimpa saudara-saudara kita di Gaza. Saya memohon kepada Allôh Subhânahu wa Ta’âlâ agar memberikan pertolongan kepada mereka dan mengukuhkan kedudukan mereka serta menolong mereka dari musuh-musuh kami dan mereka dan mengangkat musibah ini dari mereka. Semoga Allôh pula mau menunjukkan keajaiban kekuasaan-Nya terhadap para agressor yang menindas dan menjajah dengan penuh kezhaliman dan kejahatan tersebut.
Semoga Sholawat dan Salam senantiasa terlimpahkan kepada Nabi kita Muhammad, keluarga dan seluruh sahabat beliau.