JARH WA TA’DIL ADALAH MASALAH IJTIHADIYAH

 Jan, 12 - 2009   2 comments   Aqidah & ManhajJarh wa Ta'dil

الجرح والتعديل من مسائل الاجتهاد

Syaikh Abû ‘Abdil Mu’iz Muhammad Ali Firkuz

Pertanyaan :

Apakah yang yang dilakukan para ulama di dalam jarh (mencacat kredibilitas) dan ta’dîl (menilai kredibel) terhadap individu-individu tertentu termasuk masalah khilâfiyah, atau ucapan (baca : penilaian) mereka satu dengan lainnya memiliki hukum (yang sama dengan) permasalahan fiqhiyah ijtihâdiyah dari sisi (kesamaan) implikasi berupa harus berlapang dada dan tidak boleh menjelek-jelekkan orang yang berlainan pendapat dengannya, membawa ucapannya kepada kemungkinan yang terbaik serta menelaah ucapannya untuk menilai benar salahnya, bukan malah mencela dan menvonisnya bid’ah? Semoga Alloh membalas Anda dengan kebaikan.

Jawaban :

Segala puji hanyalah milik Alloh Pemelihara alam semesta. Sholawat dan Salam semoga senantiasa terlimpahkan kepada orang yang Alloh utus sebagai pembawa rahmat bagi alam semesta, kepada keluarga beliau, sahabat dan saudara-saudara beliau sampai hari kiamat. Amma Ba’du :

Pendapat para ulama di dalam jarh wa ta’dîl, atau ucapan (baca : penilaian) mereka satu dengan lainnya adalah perkara ijtihadi yang bisa benar dan bisa keliru. Seorang mujtahid diberi pahala atas ijtihadnya, sekalipun ia keliru ia tetap mendapatkan satu pahala. Ia di dalam setiap keadaannya berpahala dan kesalahannya diangkat, sebagaimana sabda Nabi Shallallâhu ‘alaihi wa Sallam :

«إذَا حَكَمَ الحَاكِمُ فَاجْتَهَدَ ثُمَّ أَصَابَ، فَلَهُ أَجْرَانِ، وَإذَا حَكَمَ فَاجْتَهَدَ، ثُمَّ أَخْطَأَ، فَلَهُ أَجْرٌ»

Apabila seorang hakim hendak memutuskan sesuatu kemudian ia berijtihad dan ia benar (dalam hukumnya) maka ia mendapatkan dua pahala, namun apabila ia tersalah dalam hukumnya maka ia mendapatkan satu pahala.” (Dikeluarkan oleh al-Bukhârî dalam al-I’tishâm bil Kitâbi was Sunnah bab “Ganjaran seorang hakim apabila ia berijtihad kemudian ia benar atau keliru” (6916), Muslim dalam al-Aqdhiyah bab “Penjelasan tentang ganjaran seorang hakim apabila ia berijtihad kemudian ia benar atau keliru” (4487), Abû Dâwud dalam al-‘Aqdhiyah bab “Seorang Qadhi yang Keliru” (3574), Ibnu Mâjah dalam al-Ahkâm bab “Berijtihad kemudian menyepakati kebenaran” (2314) dan Ahmad (17360) dari hadits ‘Amrû bin al-‘Ash Radhiyallâhu ‘anhu.)

Implikasi hal ini sebagaimana terdapat dalam pertanyaan tadi, yaitu harus berlapang dada dan tidak boleh menjelek-jelekkan orang yang berlainan pendapat dengannya serta membawa ucapannya kepada kemungkinan yang terbaik, sebab kaidah asal para ulama adalah orang yang adil dan obyektif (ahl ‘adl wa inshâf), hanyasaja terkadang terjadi pada mereka sikap mencela (orang lain) yang tidak diakui oleh sebab hawa nafsu, sedangkan jalan-jalan dan celah hawa nafsu itu sangat tipis, dan kemaksuman itu hanyalah dimiliki oleh orang yang Alloh anugerahkan kemaksuman padanya.

Imam adz-Dzahabi berkata :

«لسنا ندَّعِي في أئمَّةِ الجرح والتعديل العصمةَ من الغلط النادِرِ، ولا من الكلام بنَفَسٍ حادٍّ فيمن بينه وبينهم شحناء وإحنة، وقد عُلِمَ أنّ كثيرًا من كلامِ الأقران بعضِهم في بعض مُهْدَرٌ لا عبرةَ به، لا سيما إذا وَثَّقَ الرجلَ جماعةٌ يلوح على قولهم الإنصاف»

“Kami tidak mengklaim kemaksuman pada imam ahli jarh wa ta’dil dari kesalahan yang jarang, tidak pula mereka terbebas dari perkataan yang keras yang terjadi antara satu dengan lainnya permusuhan dan pertikaian. Telah diketahui bahwa mayoritas ucapan ulama yang setingkat (baca : antar sahabat) satu dengan lainnya tidak dipedulikan dan tidak dianggap, terlebih lagi apabila sekelompok ulama yang terang keobyektifitasan ucapannya menilai tsiqqoh orang tersebut.” (Siyaru A’lâm an-Nubalâ` karya adz-Dzahabî VII:40-41)

Beliau (Imam adz-Dzahabi) rahimahullâhu juga berkata di dalam buku yang lain :

«وكلام الأقران بعضِهم في بعضٍ لا يعبأ به لا سيما إذا لاح لك أنه لعداوة أو لمذهب أو لحسد وما ينجو منه إلاّ من عصمه الله، وما علمت أنّ عصرًا من الأعصار سَلِمَ أهلُهُ من ذلك سِوَى الأنبياءِ والصدِّيقين ولو شئتُ لسَرَدْتُ من ذلك كراريس»

“Ucapan ulama yang setingkat (baca : antar sahabat) satu dengan lainnya tidak diperdulikan, terlebih lagi jika telah jelas bagi Anda bahwa ucapan tersebut disebabkan oleh permusuhan, (fanatik) madzhab dan kedengkian, yang tidak ada yang selamat dari hal ini melainkan orang yang Allah anugerahkan kemaksuman padanya (yaitu Nabi dan Rasul, pent). Belum pernah saya ketahui dari zaman ke zaman, ada ulama yang terbebas dari hal ini, kecuali para nabi dan orang-orang yang jujur. Jika saya mau, akan saya paparkan hal ini di dalam buku-buku.” (Mîzânul I’tidâl karya adz-Dzahabi I:111)

Ibnu ‘Abdil Barr berkata :

«إنّ من صحّت عدالتُهُ، وثبتت في العلم أمانتُهُ، وبانت ثقتُهُ وعنايته بالعلم لم يُلتفتْ إلى قول أحدٍ إلاّ أن يأتي في جرحه بِبَيِّنَةٍ عادلةٍ يصحُّ بها جرحه على طريق الشهادات والعمل فيها من المشاهدات والمعاينة»

“Sesungguhnya orang yang telah sah kredibilitas (‘adâlah)-nya, telah tetap amanahnya di dalam masalah keilmuan, telah jelas ke-tsiqqoh-an dan perhatiannya terhadap ilmu, maka tidak perlu diperhatikan ucapan orang (yang men-jarhnya), kecuali apabila ia mendatangkan bukti yang adil di dalam jarh-nya, yang sah jarh-nya dari jalan persaksian dan dapat diaplikasikan dengan persaksian dan bukti-bukti penyokong.” (Jâmi’ Bayân al-‘Ilm wa Fadhlihi II:152)

Demikianlah, tidak sepatutnya difahami bahwa kaidah «الجَرْحُ مُقَدَّمٌ عَلَى التَّعْدِيلِ» jarh lebih didahulukan daripada ta’dîl” secara mutlak, oleh sebab ditolak oleh kaidah «كَلاَمُ الأَقْرَانِ فِي بَعْضٍ يُطْوَى وَلاَ يُرْوَى» “Ucapan ulama yang selevel (antar sahabat) satu dengan lainnya hanya ditulis saja tidak diriwayatkan.” Karena sesungguhnya yang benar adalah, apabila jarh-nya tidak didukung oleh bukti, maka kredibilitas (‘adâlah)-nya tetap diakui, apalagi jika banyak yang memujinya dan sedikit yang men-jarh-nya.

At-Tâj as-Subki berkata :

«الحذر كلّ الحذر أن تفهم قاعدتهم: «الجرح مقدم على التعديل» على إطلاقها، بل الصواب أنّ من ثبتت إمامته وعدالته وكثر مادحوه وندر جارحوه، وكانت هناك قرينة دالة على سبب جرحه من تعصُّب مذهبيٍّ أو غيرِه لم يلتفت إلى جرحه»

“Hati-hatilah Anda di dalam memahami kaidah ‘Jarh lebih didahulukan daripada ta’dil’ secara mutlak. Namun yang benar adalah, orang yang telah tetap keimaman dan kredibilitasnya, banyak yang memujinya dan sedikit yang men-jarh-nya, serta ada pula qorinah (indikasi) yang menunjukkan bahwa alasan jarh-nya disebabkan karena fanatik madzhab atau selainnya, maka tidak perlu memperhatikan jarh-nya.” (Thobaqôt asy-Syâfi’îyah karya as-Subki I:188)

Kemudian beliau (Imam as-Subki) menambahkan :

«عرفناك أنّ الجارح لا يقبل منه الجرح، وإن فسّره في حقّ من غلبت طاعته على معاصيه، ومادحوه على ذامّيه، ومُزَكُّوه على جارحيه، إذا كانت هناك منافسة دنيوية، كما يكون بين النظراء أو غير ذلك، وحينئذٍ فلا يلتفت لكلام الثوريِّ وغيرِه في أبي حنيفة، وابن أبي ذئب وغيرِه في مالكٍ، وابنِ معينٍ في الشافعي، والنسائيِّ في أحمدَ بنِ صالحٍ ونحوِه، ولو أطلقنا تقديم الجرحِ لَمَا سَلِمَ لنا أحدٌ من الأئمّة، إذ ما من إمامٍ إلاّ وقد طَعَنَ فيه الطاعنون، وهَلَكَ فيه الهالكون»

“Telah kami terangan kepada Anda, bahwa seorang jârih (orang yang men-jarh) tidak diterima jarh-nya, walaupun ia memperincinya kepada orang yang lebih dominan ketaatannya ketimbang kemaksiatannya, orang yang memujinya lebih banyak ketimbang yang mencelanya dan orang yang merekomendasikan lebih banyak daripada yang men-jarh-nya, apabila ada unsur persaingan duniawi. Sebagaimana yang terjadi diantara kubu yang saling berseteru atau selainnya. Pada saat itu, tidak perlu menoleh kepada ucapan ats-Tsauri dan selainnya terhadap Abu Hanifah, ucapan Ibnu Abi Dzi`b dan selainnya terhadap Malik, Ibnu Ma’in kepada asy-Syafi’i, an-Nasa’i kepada Ahmad bin Shalih dan semisalnya. Sekiranya kita mutlakkan untuk mendahulukan jarh (ketimbang ta’dîl dalam semua keadaan), niscaya tidak ada seorang imam pun yang selamat. Sebab, tidak ada seorang imam pun melainkan ada para pencela yang mencelanya, dan orang-orang binasa yang menghancurkannya.” (ibid, I:190)

Adapun, jika bukti yang adil telah ditegakkan atas kesalahannya, dan ucapannya telah ditimbang dengan al-Kitab dan as-Sunnah dan ternyata menyelisihinya, maka ucapannya ditolak. Namun, tidaklah otomatis -berdasarkan kaidah ahli ilmu- ia divonis bid’ah atau dihukumi telah keluar dari lingkaran ahlus sunnah hanya karena kesalahannya di dalam masalah ilmiah dan amaliah. Jika ia tetap bersikeras atas kesalahannya dan kemaksiatannya telah terang, maka jarh mufassar (yang terperinci) lebih didahulukan daripada ta’dîl, karena jarh-nya mengandung tambahan ilmu.

Adapun jika maksud (ucapannya) tidak diketahui, maka perlu dilihat sejarah hidup mujtahid tersebut, jika baik (sejarah hidupnya) maka ucapannya dibawa kepada pemahaman yang baik, sebagaimana firman Alloh Ta’ala :

﴿وَالْبَلَدُ الطَّيِّبُ يَخْرُجُ نَبَاتُهُ بِإِذْنِ رَبِّهِ﴾

Dan tanah yang baik, tanaman-tanamannya tumbuh subur dengan seizin Allah” (QS al-‘A’râf : 58)

Namun, jika sejarah hidupnya tidak baik, maka dibawa ucapannya kepada pemahaman yang buruk, sebagaimana firman Alloh Ta’ala :

﴿وَالَّذِي خَبُثَ لاَ يَخْرُجُ إِلاَّ نَكِدًا﴾

Dan tanah yang tidak subur, tanaman-tanamannya hanya tumbuh merana” (QS al-‘A’râf : 58)

Adapun jika telah diketahui maksud ucapan orang yang berkata, namun dirinya tidak mengetahui akan hukum syariat tentangnya, maka wajib untuk menahan diri dari (memperbincangkan)-nya. Tidak boleh memperbincangkannya kecuali dengan ilmu dan ilmu itu adalah yang ditegakkan atasnya dalil dan diperkuat oleh burhân (argumentasi yang nyata) serta disokong oleh hujjah.

Hanya Alloh-lah yang lebih mengetahui. Demikian penutup dakwah kami ini, segala puji hanyalah milik Alloh pemelihara alam semesta. Semoga Shalawat dan Salam senantiasa terlimpahkan kepada Nabi kita Muhammad, keluarga, sahabat dan saudara-saudara beliau sampai hari kiamat kelak.

Sumber : http://www.ferkous.com/rep/Bb17.php


السـؤال:

هل المسائلُ الخلافيةُ الواقعةُ بين العلماء في جرح وتعديل الأشخاص أو في كلام بعضهم في بعض لها أحكام المسائل الفقهية الاجتهادية من حيث ما يترتب عليها من سعة الصدر وعدم التشنيع على المخالف وحمله على أحسن المحامل والنظر في قوله تصويبًا وتخطيئًا لا قدحًا وتبديعًا؟ وجزاكم الله خيرًا.

الجـواب:

الحمدُ لله ربِّ العالمين، والصلاةُ والسلامُ على مَنْ أرسله اللهُ رحمةً للعالمين، وعلى آله وصَحْبِهِ وإخوانِه إلى يوم الدِّين، أمّا بعد:

فأقوالُ العلماء في الجرح والتعديلِ أو في كلامِ بعضِهم في بعضٍ أمرٌ اجتهاديٌّ يَقبلُ الإصابةَ والخطأَ، والمجتهدُ مأجورٌ على اجتهادِهِ وإن أخطأَ فله أجرٌ واحدٌ، فهو بكُلِّ حالٍ مأجورٌ، والإثمُ عنه مرفوعٌ، لقوله صَلَّى اللهُ عليه وآله وسَلَّم: «إذَا حَكَمَ الحَاكِمُ فَاجْتَهَدَ ثُمَّ أَصَابَ، فَلَهُ أَجْرَانِ، وَإذَا حَكَمَ فَاجْتَهَدَ، ثُمَّ أَخْطَأَ، فَلَهُ أَجْرٌ»(١- أخرجه البخاري في «الاعتصام بالكتاب والسنة» باب أجر الحاكم إذا اجتهد فأصاب أو أخطأ (6916)، ومسلم في «الأقضية» باب بيان أجر الحاكم إذا اجتهد فأصاب أو أخطأ: (4487)، وأبو داود في «الأقضية» باب في القاضي يخطئ (3574)، وابن ماجه في «الأحكام» يجتهد فيصيب الحق (2314)، وأحمد: (17360)، من حديث عمرو بن العاص رضي الله عنه)، ويترتَّب على ذلك ما ورد في السؤال من سعة الصدر وعدمِ التشنيعِ على المخالف وحملِهِ على أحسنِ المحامل؛ لأنّ الأصلَ في العلماء أنهم أهلُ عَدْلٍ وإنصافٍِ، وإنما قد يقع منهم من الطَّعن غيرِ المعتبر لِهَوًى، ومسالكُ الهوى ومساربه دقيقَةٌ، والمعصومُ من عصمه اللهُ.

قال الإمام الذهبي: «لسنا ندَّعِي في أئمَّةِ الجرح والتعديل العصمةَ من الغلط النادِرِ، ولا من الكلام بنَفَسٍ حادٍّ فيمن بينه وبينهم شحناء وإحنة، وقد عُلِمَ أنّ كثيرًا من كلامِ الأقران بعضِهم في بعض مُهْدَرٌ لا عبرةَ به، لا سيما إذا وَثَّقَ الرجلَ جماعةٌ يلوح على قولهم الإنصاف»(٢- «سير أعلام النبلاء» للذهبي: (7/40-41))، وقال -رحمه الله- في مؤلَّف آخر: «وكلام الأقران بعضِهم في بعضٍ لا يعبأ به لا سيما إذا لاح لك أنه لعداوة أو لمذهب أو لحسد وما ينجو منه إلاّ من عصمه الله، وما علمت أنّ عصرًا من الأعصار سَلِمَ أهلُهُ من ذلك سِوَى الأنبياءِ والصدِّيقين ولو شئتُ لسَرَدْتُ من ذلك كراريس»(٣- «ميزان الاعتدال» للذهبي: (1/111)).

وقال ابنُ عبد البر: «إنّ من صحّت عدالتُهُ، وثبتت في العلم أمانتُهُ، وبانت ثقتُهُ وعنايته بالعلم لم يُلتفتْ إلى قول أحدٍ إلاّ أن يأتي في جرحه بِبَيِّنَةٍ عادلةٍ يصحُّ بها جرحه على طريق الشهادات والعمل فيها من المشاهدات والمعاينة(٤- «جامع بيان العلم وفضله»: (2/152)).

هذا، ولا ينبغي أن يفهم أنّ قاعدة: «الجَرْحُ مُقَدَّمٌ عَلَى التَّعْدِيلِ» على إطلاقها، بحيث ترد قاعدة: «كَلاَمُ الأَقْرَانِ فِي بَعْضٍ يُطْوَى وَلاَ يُرْوَى»؛ لأنَّ الصحيح أنه إذا لم تدلَّ على جَرحه بيِّنةٌ عادلةٌ بقيتْ عدالتُهُ قائمةً خاصّةً إذا كَثُرَ مادحوه، وقلّ جارحوه، قال التاج السبكي: «الحذر كلّ الحذر أن تفهم قاعدتهم: «الجرح مقدم على التعديل» على إطلاقها، بل الصواب أنّ من ثبتت إمامته وعدالته وكثر مادحوه وندر جارحوه، وكانت هناك قرينة دالة على سبب جرحه من تعصُّب مذهبيٍّ أو غيرِه لم يلتفت إلى جرحه»(٥- «طبقات الشافعية» للسبكي: (1/188))، ثمّ زاد -رحمه الله- قائلاً: «عرفناك أنّ الجارح لا يقبل منه الجرح، وإن فسّره في حقّ من غلبت طاعته على معاصيه، ومادحوه على ذامّيه، ومُزَكُّوه على جارحيه، إذا كانت هناك منافسة دنيوية، كما يكون بين النظراء أو غير ذلك، وحينئذٍ فلا يلتفت لكلام الثوريِّ وغيرِه في أبي حنيفة، وابن أبي ذئب وغيرِه في مالكٍ، وابنِ معينٍ في الشافعي، والنسائيِّ في أحمدَ بنِ صالحٍ ونحوِه، ولو أطلقنا تقديم الجرحِ لَمَا سَلِمَ لنا أحدٌ من الأئمّة، إذ ما من إمامٍ إلاّ وقد طَعَنَ فيه الطاعنون، وهَلَكَ فيه الهالكون»(٦- المصدر السابق: (1/190)).

أمّا إذا قامت البيِّنة العادلة على خطئه أو عُرِضَ كلامُهُ على الكتاب والسُّنَّة فخالفهما فإنّ قولَه مردود، ولا يلزم -حَسَب قواعدِ أهل العلم- أن يبدّع أو يحكم بخروجه من أهل السنّة بمجرّد خطئه في المسائل العلمية والعملية، فإن أصرَّ على خطئه أو بانت معصيته فالجَرح المفسّر مقدَّمٌ على التعديل لاشتماله على زيادة علم.

أمّا إن جهل مراده فينظر في سيرة المجتهد إن كانت حسنةً حمل كلامه على الوجه الحسن، لقوله تعالى: ﴿وَالْبَلَدُ الطَّيِّبُ يَخْرُجُ نَبَاتُهُ بِإِذْنِ رَبِّهِ﴾ [الأعراف: 58]، وإن كانت سيرته غيرَ ذلك حمل كلامه على الوجه السيِّء لقوله تعالى: ﴿وَالَّذِي خَبُثَ لاَ يَخْرُجُ إِلاَّ نَكِدًا﴾ [الأعراف: 58].

أمّا إذا عرف مراد المتكلّم لكنه جهل حكم الشرع فيه، فالواجب أن يمسك عنه ولا يجوز له أن يتكلّم إلا بعلم، فالعلم ما قام الدليل عليه، وشهد له البرهان وأيّدته الحجّة.


Related articles

 Comments 2 comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Fields with * are mandatory.