DIALOG DENGAN MU’ALLAF (1)
DIALOG DENGAN MU’ALLAF SYI’I TENTANG NIKAH MUT’AH
(Bagian 1)
Telah masuk sebuah komentar panjang dari seorang yang menggunakan nickname muallaf dan saya menduganya ia adalah seorang pengikut syi’ah atau minimal terpengaruh dengan pemahaman sesat kaum syiah. Saya tidak akan berpanjang-panjang, jadi saya akan langsung menjawab syubuhat dan argumentasi yang diutarakannya untuk melegalkan nikah mut’ah.
Berikut ini adalah nukilan ucapan si mu’allaf berikut tanggapannya :
Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh.
Terimakasih-terimakasih balasan salam dan komentarnya Abu Salma,
Wa’alaikumus Salam warohmatullahi Wabarokatuh.
Abu Salma: Dulu memang nikah mut’ah sempat dibolehkan, lalu kemudian diharamkan dengan kesepakatan para ulama ahlus sunnah. Adapun ahlul bid’ah, maka kesepakatan mereka tidaklah diterima.
Mualaf: Jadi benar ya ustad dulu nikah mut’ah itu di bolehkan berdasarkan surat An Nisaa’ 24: dan (diharamkan juga kamu mengawini) wanita yang bersuami, kecuali budak-budak yang kamu miliki[282] (Allah telah menetapkan hukum itu) sebagai ketetapan-Nya atas kamu. Dan dihalalkan bagi kamu selain yang demikian[283] (yaitu) mencari wanita-wanita dengan hartamu untuk dikawini bukan untuk berzina.
Maka wanita-wanita yang telah kamu nikmati (campuri) di antara mereka, berikanlah kepada mereka maharnya (dengan sempurna), sebagai suatu kewajiban; dan tiadalah mengapa bagi kamu terhadap sesuatu yang kamu telah saling merelakannya, sesudah menentukan mahar itu[284]. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.
Saya Jawab : Saya tidak mengatakan dulu nikah mut’ah itu dibolehkan dengan dalil QS an-Nisa’ seperti yang anda klaim. Saya tidak pernah menyetujui klaim Anda sama sekali. Bahkan dalil QS an-Nisa’ : 24 yang anda nukil (terjemahannya) di atas tidak sedikitpun menunjukkan disyariatkannya mut’ah. Sejauh pengetahuan saya, nikah mut’ah itu sempat dibolehkan dengan sejumlah hadits nabi, yang kemudian hadits tersebut dinasakh dengan hadits nabi lainnya.
Saya katakan dengan lebih jelas lagi, sesungguhnya nikah mut’ah sempat diizinkan di awal permulaan Islam untuk kebutuhan dan darurat pada masa itu, kemudian Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam mengharamkannya untuk selama-lamanya hingga hari kiamat. Bahkan beliau mengharamkannya sebanyak dua kali, yaitu pertama pada waktu perang Khaibar tahun VII H dan kedua pada Fathu Makkah tahun VIII H. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam bersabda :
يا أيها الناس إني قد كنت أذنت لكم في الاستمتاع من النساء وإن الله قد حرم ذلك إلى يوم القيامة فمن كان عنده منهن شيء فليخل سبيله ولا تأخذوا مما آتيتموهن شيئا
“Wahai manusia, sesungguhnya saya pernah membolehkan bagi kalian nikah mut’ah. Ketahuilah, sekarang Alloh telah mengharamkannya sampai kiamat. Maka barangsiapa telah memiliki isteri mut’ah, maka lepaskanlah dan janganlah kalian ambil sedikitpun dari apa yang telah kalian berikan.” (HR Muslim).
Bahkan sahabat ‘Ali yang mulia radhiyallahu ‘anhu, menyatakan :
أن النبي صلى الله عليه وسلم نهى عن نكاح المتعة يوم خيبر وعن لحوم الحمر الأهلية
“Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam telah mengharamkan pada perang Khaibar daging Khimar domestik dan nikah mut’ah.” (HR Muslim).
Lihat kumpulan hadits Nabi yang shahih tentang haramnya nikah mut’ah dalam Bukhari dan Muslim di sini :
- Fathul Bari : Bab Naha Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam ‘an nikahil mut’ah akhiran (Bab larangan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam dari nikah mut’ah pada waktu akhir).
- Shahih Muslim : Kitabun Nikah : Nikah mut’ah dan penjelasan dibolehkannya kemudian dihapuskan, kemudian dibolehkan lagi dan lalu dihapuskan.
Sahabat ‘Umar yang mulia radhiyallahu ‘anhu juga menjelaskan keharaman nikah mut’ah ini, lalu beliau sampaikan di hadapan para sahabat lainnya, dan tidak ada satupun sahabat di kala itu yang memprotes atau menentang beliau. Hal ini menunjukkan akan ijma’ para sahabat atas diharamkannya nikah mut’ah. Sedangkan para sahabat adalah manusia terbaik yang paling bersemangat di dalam mengikuti perintah Alloh dan Rasul-Nya Shallallahu ‘alaihi wa Sallam.
Sekiranya sahabat ‘Umar al-Faruq Radhiyallahu ‘anhu tidak bersandar kepada hujjah, atau keputusan ini berasal dari ijtihad beliau sendiri, niscaya para sahabat akan memprotes beliau kala itu, sebagaimana protesnya seorang wanita kepada ‘Umar Radhiyallahu ‘anhu yang tatkala itu membatasi mahar wanita sembari menyatakan : “Apakah Anda hendak membatasi sesuatu yang Alloh dan Rasul-Nya tidak membatasinyai wahai ‘Umar?”, lalu wanita tersebut membacakan ayat 20 surat an-Nisa’. ‘Umar Radhiyallahu ‘anhu segera rujuk kembali dan mencabut pendapat beliau.
Jika ada sebagian syi’ah berargumentasi, saat itu sebagian sahabat seperti ‘Ali, Miqdad, Salman dan selainnya radhiyallahu ‘anhum, tidak memprotesnya dikarenakan mereka sedang ber-taqiyah. Ma’adzallohu. Saya katakan, ini adalah tuduhan dusta, karena para sahabat tidak pernah bertaqiyah sebagaimana tuduhan kaum syiah yang binasa. Bahkan, bukankah menurut syiah sendiri bahwa tidak ada taqiyah di dalam mut’ah, “La Taqiyyata fil Mut’ah!!”.
Syiah tidak memiliki seorangpun pendahulu dari para sahabat tentang legalnya mut’ah melainkan hanya sebuah riwayat dari Ibnu ‘Abbas Radhiyallahu ‘anhu. Namun Ibnu ‘Abbas Radhiyallahu ‘anhu sendiri telah rujuk dari pendapat beliau ini dan mencabut pendapatnya. Beliau berkata : “Sesungguhnya hal ini saya jelaskan supaya sebagian kaum rawafidh tidak berhasil mengelabui sebagian kaum muslimin.” (Sunan al-Baihaqi 318/100).
Adapun dalil QS an-Nisa (24) yang dijadikan dalil sebagai pelegalan nikah mut’ah, sesungguhnya hanya klaim dusta dan berangkat dari kebodohan. Saya katakan : bahkan dalil dari QS an-Nisa’ ayat 24 ini merupakan dalil yang mematahkan argumentasi mereka.
Alloh Ta’ala berfirman :
فَمَا اسْتَمْتَعْتُم بِهِ مِنْهُنَّ فَآتُوهُنَّ أُجُورَهُنَّ فَرِيضَةً
“Maka isteri-isteri yang telah kamu nikmati (istimta’) diantara mereka, berikanlah kepada mereka maharnya sebagai suatu kewajiban.” (QS an-Nisa’ : 24)
Ayat di atas dijadikan hujjah oleh kaum syiah akan disyariatkannya nikah mut’ah. Mereka berpendapat bahwa kata istimta’ maksudnya adalah : yang kamu nikahi secara mut’ah.
Saya jawab dalam alur yang akan dapat memberikan ta’shil (fondasi) di dalam hal ini :
Pertama, Alloh menurunkan wahyu-Nya yang mulia dalam dua bentuk, yaitu yang muhkam (tegas) dan yang mutasyabih (samar), sebagaimana dalam firman-Nya :
وَ الَّذِيَ أَنزَلَ عَلَيْكَ الْكِتَابَ مِنْهُ آيَاتٌ مُّحْكَمَاتٌ هُنَّ أُمُّ الْكِتَابِ وَأُخَرُ مُتَشَابِهَاتٌ فَأَمَّا الَّذِينَ في قُلُوبِهِمْ زَيْغٌ فَيَتَّبِعُونَ مَا تَشَابَهَ مِنْهُ
“Dia-lah yang menurunkan Al Kitab (Al Quran) kepada kamu. di antara (isi) nya ada ayat-ayat yang muhkamaat [ayat-ayat yang terang dan tegas Maksudnya, dapat dipahami dengan mudah], Itulah pokok-pokok isi Al Qur’an dan yang lain (ayat-ayat) mutasyaabihaat [ayat-ayat yang mengandung beberapa pengertian dan tidak dapat ditentukan arti mana yang dimaksud kecuali sesudah diselidiki secara mendalam; atau ayat-ayat yang pengertiannya Hanya Allah yang mengetahui seperti ayat-ayat yang berhubungan dengan yang ghaib-ghaib misalnya ayat-ayat yang mengenai hari kiamat, surga, neraka dan lain-lain]. Adapun orang-orang yang dalam hatinya condong kepada kesesatan, Maka mereka mengikuti sebahagian ayat-ayat yang mutasyaabihaat.” (QS Ali Imran : 7)
Dalam hal ini, orang-orang yang condong kepada kesesatan gemar mengikuti ayat-ayat yang mutasyabihat. Untuk itu, di sini kita akan berupaya untuk mengikuti ayat yang muhkam dalam hal ini dan mengembalikan ayat yang mutasyabihat kepada yang muhkam.
Kedua, Hukum asal kemaluan (al-farj) itu adalah haram, sampai ada dalil yang memalingkan keharamannya. Dalilnya adalah banyak sekali di dalam al-Qur`an, diantaranya :
وَالَّذِينَ هُمْ لِفُرُوجِهِمْ حَافِظُونَ (5) إِلَّا عَلَى أَزْوَاجِهِمْ أوْ مَا مَلَكَتْ أَيْمَانُهُمْ فَإِنَّهُمْ غَيْرُ مَلُومِينَ (6) فَمَنِ ابْتَغَى وَرَاء ذَلِكَ فَأُوْلَئِكَ هُمُ الْعَادُونَ
“Dan orang-orang yang menjaga kemaluannya (5) Kecuali terhadap isteri-isteri mereka atau budak yang mereka miliki [Maksudnya: budak-budak yang didapat dalam peperangan dengan orang kafir, bukan budak yang didapat di luar peperangan.]; Maka Sesungguhnya mereka dalam hal Ini tiada tercela. (6) Barangsiapa mencari yang di balik itu [yaitu selain nikah dan budak] Maka mereka Itulah orang-orang yang melampaui batas. (7).” (QS al-Mu’minun : 5-7)
Ayat di atas menjelaskan bahwa (الأصل في الفروج الحرمة) “Hukum asal kemaluan adalah haram” dan hukum asal ini tidak berpaling dari keasalannya kecuali dengan adanya pemalingan oleh dalil, yaitu adanya istitsna’ (pengecualian) terhadap isteri dan budak-budak yang dimiliki dan selain daripada itu adalah melampaui batas.
Yang muhkam dari al-Qur`an adalah, bahwa yang dibolehkan di dalam isthlal al-farj (penghalalan kemaluan) hanyalah dua macam, yaitu nikah ad-daim (bukan nikah mu’aqqot atau mut’ah atau kawin kontrak) dan ma malakat ‘aimanukum (yaitu budak-budak yang kamu miliki). Lihat lebih jauh QS al-Baqoroh 221, an-Nur 33-32, al-Ahzab 50-52 dan an-Nisa’ 3.
Ketiga, menafsirkan firman Alloh fama istamta’tum dengan nikah mut’ah adalah jauh dari kebenaran dan tidak logis serta cenderung mengikuti yang mutasyabih. Padahal kaidah kita adalah mengembalikan yang mutasyabih kepada yang muhkam. Kenapa saya katakan mutasyabih? Karena kata istimta’ tidaklah bermakna mut’ah walaupun berasal dari isytaq (derivat) yang sama dalam bahasa Arab. Ayat ini bersifat mutasyabih tidak qath’i fi fi dilalatihi (pasti penunjukannya) kepada makna nikah mut’ah.
Istimta’ sendiri dalam bahasa Arab bermakna at-Taladzdzudz wal Intifa’ (berlezat-lezat dan bersenang-senang). Istimta’ (berlezat-lezat/bersenang-senang) dapat terjadi dalam hal makanan, sebagaimana firman Alloh :
أُحِلَّ لَكُمْ صَيْدُ الْبَحْرِ وَطَعَامُهُ مَتَاعاً لَّكُمْ
“Dihalalkan bagimu binatang buruan laut dan makanan (yang berasal) dari laut sebagai makanan yang lezat (mata’an) bagimu.” (QS al-Maidah : 96).
Dapat juga terjadi dalam hal berpakaian :
وَمِنْ أَصْوَافِهَا وَأَوْبَارِهَا وَأَشْعَارِهَا أَثَاثاً وَمَتَاعاً إِلَى حِينٍ
“Dan (dijadikan-Nya pula) dari bulu domba, bulu onta dan bulu kambing, alat-alat rumah tangga dan perhiasan (mata’an) sampai waktu (tertentu).” (QS an-Nahl : 80)
Juga dapat terjadi pada harta, sebagaimana dalam QS al-Baqoroh : 236, juga di dalam jima’ (persetubuhan) sebagaimana dalam QS an-Nisa : 24 di atas, yaitu :
فَمَا اسْتَمْتَعْتُم بِهِ مِنْهُنَّ
“Maka isteri-isteri yang telah kami nikmati (istimta’) diantara mereka”, maksudnya adalah : yang kamu campuri dan berjima’ padanya. Karena jima’ merupakan bentuk istimta’ yang paling khusus dan paling nikmat bagi manusia. Untuk itulah Alloh memberikan kenikmatan ini bagi hamba-hamba-Nya dalam koridor yang halal, yaitu nikah atau di dalam budak (ma malakat ‘aimanukum).
Di al-Qur’an, kata yang ber-isytaq (derivat) istimta’ ada lebih dari 60 ayat, dan tidak ada satupun yang bermakna mut’ah. Bahkan dalam beberapa ayat, istimta’ bermakna tercela dan diancam oleh Alloh Subhanahu wa Ta’ala sebagaimana firman Alloh Azza wa Jalla :
وَيَوْمَ يِحْشُرُهُمْ جَمِيعًا يَا مَعْشَرَ الْجِنِّ قَدِ اسْتَكْثَرْتُم مِّنَ الإِنسِ وَقَالَ أَوْلِيَآؤُهُم مِّنَ الإِنسِ رَبَّنَا اسْتَمْتَعَ بَعْضُنَا بِبَعْضٍ وَبَلَغْنَا أَجَلَنَا الَّذِيَ أَجَّلْتَ لَنَا قَالَ النَّارُ مَثْوَاكُمْ خَالِدِينَ فِيهَا إِلاَّ مَا شَاء اللّهُ إِنَّ رَبَّكَ حَكِيمٌ عَليمٌ
“Dan (Ingatlah) hari diwaktu Allah menghimpunkan mereka semuanya (dan Allah berfirman): “Hai golongan jin, Sesungguhnya kamu Telah banyak menyesatkan manusia”, lalu berkatalah kawan-kawan meraka dari golongan manusia: “Ya Tuhan kami, Sesungguhnya sebahagian daripada kami Telah dapat kesenangan (istamta’a) dari sebahagian (yang lain) dan kami Telah sampai kepada waktu yang Telah Engkau tentukan bagi kami”. Allah berfirman: “Neraka Itulah tempat diam kamu, sedang kamu kekal di dalamnya, kecuali kalau Allah menghendaki (yang lain)”. Sesungguhnya Tuhanmu Maha Bijaksana lagi Maha Mengetahui.” (QS al-An’am : 128)
Atau firman-Nya :
قُلْ تَمَتَّعُواْ فَإِنَّ مَصِيرَكُمْ إِلَى النَّارِ
“Katakanlah: “Bersenang-senanglah (ber-istimta’-lah) kamu, Karena Sesungguhnya tempat kembalimu ialah neraka”. (QS Ibrahim : 30).
Saya berkata, apabila QS an-Nisa’ : 24 dapat difahami sebagai nikah mut’ah, kenapa dalam dua ayat di atas tidak dikatakan yang sama, yaitu bermakna nikah mut’ah?!! Padahal keduanya berasal dari derivat kata yang sama dengan mut’ah.
Untuk itulah saya katakan, kata istimta’ dalam ayat di atas tidak muhkam dan tidak tegas dilalah-nya, karena memiliki makna yang banyak. Untuk itulah kita harus mengembalikannya kepada yang muhkam.
Keempat, Baiklah sekarang mari kita kembali kepada kaidah, bahwa yang mutasyabih dikembalikan kepada yang muhkam.
Kata istimta’ dalam QS an-Nisa : 24 di atas bermakna, jima’ (persetubuhan) suami isteri dalam ikatan pernikahan. Sebagaimana firman Alloh Ta’ala :
وَكَيْفَ تَأْخُذُونَهُ وَقَدْ أَفْضَى بَعْضُكُمْ إِلَى بَعْضٍ وَأَخَذْنَ مِنكُم مِّيثَاقًا غَلِيظًا
“Bagaimana kamu akan mengambilnya kembali, padahal sebagian kamu telah afdhoo (bercampur) dengan yang lain sebagai suami-isteri. dan mereka (isteri-isterimu) Telah mengambil dari kamu perjanjian yang kuat.” (QS an-Nisa’ : 21)
Kata afdhoo di atas ditafsiri dengan istimta’ yang mewajibkan ujur atau muhur.
Dikatakan dalam ikatan pernikahan sebab terdapat kata fa’tuuna ujurahunna, kata ujur di sini bermakna muhur (mahar/mas kawin). Al-Qur’an sering menggunakan kata ajr (bentuk singular/mufrad dari ujur) dalam artian mahr atau shadaq, sebagai pengganti dari manfaat yang dibayarkan kepadanya. Sebagaimana firman Alloh :
فَانكِحُوهُنَّ بِإِذْنِ أَهْلِهِنَّ وَآتُوهُنَّ أُجُورَهُنَّ بِالْمَعْرُوفِ
“Karena itu kawinilah mereka dengan seizin tuan mereka dan berikanlah mas kawin mereka menurut yang pantas.” (QS an-Nisa : 25).
Diantara yang menjelaskan makna ayat QS an-Nisa : 24 berupa hak-hak wanita yang ditalak di dalam al-Qur`an hadir dalam 4 bentuk, yaitu :
1. Wanita yang sudah diakad namun belum disebut maharnya dan belum dicampuri, dalam hal ini Alloh Subhanahu wa Ta’ala berfirman di dalam QS al-Baqoroh : 236.
2. Wanita yang sudah diakad dan sudah disebut maharnya namun belum dicampuri kemudian ditalak, Alloh Subhanahu wa Ta’ala berfirman di dalam QS al-Baqoroh : 237.
3. Wanita yang sudah diakad dan sudah digauli namun belum disebut maharnya, maka ia berhak mendapatkan mahar penuh sebagaimana dalam QS an-Nisa : 4.
4. Dan sebagai penyempurna dan pelengkap di atas, yaitu wanita yang sudah diakad, sudah disebut maharnya, sudah digauli lalu ditalak namun isteri belum mendapatkan maharnya, maka dalilnya adalah QS an-Nisa’ : 24 di atas. Yaitu, “isteri-isteri yang telah kamu nikmati” (فَمَا اسْتَمْتَعْتُم), yaitu yang telah diakad, sudah disebut maharnya dan telah digauli, maka (fa’tu ujurahunna), penuhilah mas kawin mereka.
Demikianlah, dari penjelasan di atas nampak bahwa apabila kita mengembalikan ayat yang mutasyabih kepada yang muhkam maka akan memperoleh pemahaman yang lebih ahkam, aslam dan a’lam.
Mohon dijelaskan bagaimana nash Al Qur’an bisa dibatalkan hanya oleh kesepakatan ulama ? sementara hadist saja tidak dapat membatalkan nash Al Qur’an. Hadist yang bertentangan dengan Al Qur’an harus ditolak karena itu jelas bukan dari lesan suci Rasulullah saaw, beliau tidak akan pernah bertentangan dengan Al Qur’an.
Tanggapan : Saya kira penjelasan saya di atas telah menjawab dugaan kosong (wahm) Anda ini. Namun, untuk menyempurnakan faidah. saya akan berikan beberapa paparan ilmiah dari al-‘Allamah al-Qodhi Abu Bakr bin ‘Abdillah yang lebih dikenal dengan Ibnul ‘Arobi al-Maliki (w. 543), bukan Ibnu ‘Arobi ath-Thusi ash-Shufi, seorang penganut faham kafir wahdatul wujud, dalam bukunya yang anggung an-Nasikh wal Mansukh fil Qur’anil Karim (Beirut : Darul Kutub al-‘Ilmiyah, 2006).
Definisi an-Naskh dan Urgensinya
Naskh secara etimologi (bahasa) bermakna mengangkat sesuatu dan menempatkan suatu yang lainnya pada tempatnya (yang diangkat tadi). Secara terminology (syara’) bermakna : asy-Syari’ (sang pembuat syariat/Alloh) mengangkat suatu hiukum syar’i dengan dalil syar’i yang belakangan.
Ilmu nasikh dan mansukh ini termasuk seutama-utama ilmu di dalam bidang ilmu al-Qur`an, al-Hadits dan ilmu ushul Fiqh. Ilmu ini memiliki korelasi yang erat dengan hukum syariat, karena berkaitan dengan pengamalan dan implementasi suatu hukum. Imam Ibnu Abdil Bar dalam Jami’ Bayanil ‘Ilmi wa Fahdlihi (II/35) sampai-sampai berkata :
“Yahya bin Aktam mengatakan : “Tidak setiap ilmu wajib diketahui oleh para ulama, penuntut ilmu dan seluruh kaum muslimin sebagaimana ilmu Nasikh wa Mansukh. Karena mengambil dalil yang menasikh adalah wajib dan mengamalkannya adalah harus dan wajib secara agama. Adapun yang mansukh tidak boleh diamalkan dan diambil. Bahkan wajib bagi setiap orang yang berilmu (ulama) untuk mengilmui ilmu ini, karena bisa jadi dia mewajibkan atas dirinya dan hamba-hamba Alloh lainnya sesuatu yang tidak pernah Alloh wajibkan.”
Hukumnya :
Kaum muslimin bersepakat (ijma’) atas terjadinya an-Naskh. Hal ini menyelisihi kaum Yahudi yang mengingkari hal ini dikarenakan mereka meyakini bahwa Alloh bersifat bada`. Demikian pula dengan kaum syiah yang mengimani Alloh itu bersifat bada`, yakni Alloh hanya mengetahui hal yang telah terjadi dan tidak mengetahui masa depan (atau hal yang akan terjadi), ma’adzallohu.
Jadi, tidaklah heran apabila saudara Mu’allaf yang cenderung kepada syiah (tasyayu’) ini mempertanyakan masalah ini, karena syiah mengimani Alloh itu bersifat Bada’. Al-Qur`an sendiri menyatakan adanya Naskh di dalam beberapa ayat, diantaranya :
مَا نَنسَخْ مِنْ آيَةٍ أَوْ نُنسِهَا نَأْتِ بِخَيْرٍ مِّنْهَا أَوْ مِثْلِهَا أَلَمْ تَعْلَمْ أَنَّ اللّهَ عَلَىَ كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ
“Ayat mana saja yang kami nasakhkan, atau kami jadikan (manusia) lupa kepadanya, kami datangkan yang lebih baik daripadanya atau yang sebanding dengannya. Tidakkah kamu mengetahui bahwa Sesungguhnya Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu?” (QS al-Baqoroh : 106)
Alloh juga berfirman :
وَإِذَا بَدَّلْنَا آيَةً مَّكَانَ آيَةٍ وَاللّهُ أَعْلَمُ بِمَا يُنَزِّلُ قَالُواْ إِنَّمَا أَنتَ مُفْتَرٍ بَلْ أَكْثَرُهُمْ لاَ يَعْلَمُونَ
“Dan apabila kami letakkan suatu ayat di tempat ayat yang lain sebagai penggantinya padahal Allah lebih mengetahui apa yang diturunkan-Nya, mereka berkata: “Sesungguhnya kamu adalah orang yang mengada-adakan saja”. bahkan kebanyakan mereka tiada Mengetahui.” (QS an-Nahl : 101)
Kaidah Ringkas Terjadinya Nasikh wal Mansukh
- Setiap ucapan dan perbuatan pasca Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam maka tidak boleh menjadi nasikh walaupun itu berupa ijma’.
- Tidak ada nasakh di dalam janji dan ancaman (al-Wa’d wal Wa’id) dan tauhid (aqidah). Nasakh hanya berlangsung dalam masalah Ahkam.
- Setiap ayat tahdid dinaskh dengan ayat qital.
- Al-Istitsna’ (pengecualian) tidaklah menasakh, melainkan hanya men-takhsish (mengkhususkan).
- Khobar Wahid tidak dapat menasakh al-Qur`an secara ijma’, kecuali apabila ummat bersepakat atas periwayatan atau maknanya.
- AL-QUR`AN DAPAT MENASAKH AS-SUNNAH DEMIKIAN PULA SEBALIKNYA, AS-SUNNAH DAPAT MENASAKH AL-QUR`AN.
- Sesuatu yang furu’ yang bercabang dari yang ushul kemudian yang ushul dinasakh, maka hilang pula seluruh cabang yang lainnya.
- Tidak sah nasakh antara yang ‘am (umum) dan yang khash (khusus), namun yang khusus menghukumi yang umum secara ijma’.
Dari paparan di atas, dapat saya jawab wahm saudara Mu’allaf :
- Saya tidak menyatakan bahwa mut’ah itu dibolehkan dengan dalil QS an-Nisa’ : 24. Sehingga klaim Anda telah runtuh dari landasan pondasinya.
- Kedua, taruhlah bahwa QS an-Nisa’ itu menjelaskan mut’ah –walau kenyataannya tidak demikian sebagaimana paparan saya di awal-, namun ayat al-Qur`an dapat dinasakh dengan hadits Rasulullah. (lihat poin nomor 6 kaidah di atas)
- Ucapan anda, hadits yang bertentangan dengan al-Qur`an harus ditolak, karena jelas bukan dari lisan suci Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam, adalah ucapan yang tidak tepat. Karena apabila hadits Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam itu shahih sanad dan matan, tidak mungkin bertentangan dengan al-Qur`an walaupun zhahirnya tampak bertentangan. Dan di sinilah perlunya kita menuntut ilmu dan belajar hukum tentang masalah jama’ atau tarjih dalam dua hal yang tampak bertentangan. Pembahasan ini ada tempatnya tersendiri dan bukan di sini waktunya. Sekelumit hal ini telah saya turunkan dalam Risalah tentang puasa sunnah hari Sabtu.
Abu Salma: Memang benar, mut’ah di zaman ini yang dilakukan oleh Rafidhi adalah bentuk pelacuran yang dilegalkan atas nama Islam. Adapun Alloh dan Rasul-Nya tidak pernah keliru, karena Alloh dan Rasul-Nya lah yang mengharamkannya. Adapun yang keliru adalah pemahaman kaum Rafidhah dan ahli bid’ah.
Mualaf: Para sahabat melakukan nikah mut’ah saat itu, bisa simpulkan bahwa nikah
mut’ah itu tidak sama dg pelacuran, karena mustahil Allah aza wa jalla dan
Rasulullah saaw memperbolehkan para sahabat melakukan mut’ah jika mut’ah itu sama dengan pelacuran.Mohon penjelasan bagaimana nikah mut’ah yang dilakukan para sahabat, sehingga nikah mut’ah itu halal saat itu? Mohon penjelasan dalam surat dan ayat berapa Allah Subhanahu wa Ta’ala mengharamkan nikah mut’ah…? Anda harus membuktikan bahwa Allah Subhanahu wa Ta’ala mengharamkan hal itu..!
Jawaban : Sesungguhnya mut’ah yang sempat dibolehkan oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam berbeda dengan penerapan kaum Rafidhi di zaman ini. Di antara perbedaannya adalah : para sahabat dulu diperbolehkan nikah mut’ah dalam keadaan terdesak dan darurat, yakni mereka radhiyallahu ‘anhum saat itu dalam keadaan bersiap siaga dan berperang, yang jauh dari isteri-isteri mereka. Sehingga Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam memberikan keringanan (rukhshah) pada saat itu, tepatnya pada perang Hunain.
Rukhshah ini adalah dalam masalah hukum, sehingga ketika Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam menasakhnya, maka terhapuslah kebolehan hukumnya. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam sendiri bersabda diantaranya :
يا أيها الناس إني قد كنت أذنت لكم في الاستمتاع من النساء وإن الله قد حرم ذلك إلى يوم القيامة فمن كان عنده منهن شيء فليخل سبيله ولا تأخذوا مما آتيتموهن شيئا
“Wahai manusia, sesungguhnya saya pernah membolehkan bagi kalian nikah mut’ah. Ketahuilah, sekarang Alloh telah mengharamkannya sampai kiamat. Maka barangsiapa telah memiliki isteri mut’ah, maka lepaskanlah dan janganlah kalian ambil sedikitpun dari apa yang telah kalian berikan.” (HR Muslim).
Dan masih banyak hadits-hadits Nabi lainnya yang shahih dalam hal ini. Dan hal ini telah menjadi ijma’ ahlus sunnah.
Adapun ayat al-Qur`an, maka dalilnya banyak. Sebagaimana telah saya utarakan di pembahasan sebelumnya, tentang haramnya kemaluan dan penghalalan kemaluan hanya terjadi pada dua hal, yaitu nikah (da’im) dan budak. Adapun selain itu adalah haram dan melampaui batas.
Kenapa praktek mut’ah di zaman ini oleh kaum Rafidhi sama dengan pelacuran? Iya, saya katakan sama, walaupun dengan keridhaan dua belah fihak yang dibungkus atas nama agama, karena di dalam nikah mut’ah membawa beberapa keburukan yang sama dengan zina dan pelacuran, yaitu :
- Tidak adanya saling mewarisi. Anak hasil mut’ah tidak memiliki hak pewarisan.
- Tidak adanya syarat perwalian dalam pernikahan. Walaupun ada sebagian syiah berselisih pendapat dalam hal ini. Namun yang mu’tabar, tidak ada syarat wali di dalam nikah mut’ah.
- Nikah mut’ah dibatasi oleh waktu, bisa 1 menit, 1 jam, 1 hari, 1 minggu, 1 bulan atau kapan saja. Pokoknya, selama wanita tersebut dapat dinikmati dan selesai waktu penikmatannya maka kontrak pun selesai.
- Nikah mut’ah tidak ada batasan dalam jumlah isteri, mau 1, 5, 10, 100 atau 1000, sah-sah saja
- Fakta yang diceritakan oleh orang syiah dan mantan penganutnya, mereka seringkali melakukan mut’ah dengan anak belum baligh, bahkan bayi sekalipun seperti yang dilakukan oleh Ayatu… Khomeini(!)..
- Betapa banyak pula dari mereka yang melakukan liwath (Sodomi/homoseksual) bahkan pedofilia. Laa haula walaa quwwata illa billahi. (lihat : Lillahi tsumma Lit Tarikh, Husain al-MuShallallahu ‘alaihi wa Sallami)
- Di dalam buku “Mengapa Kita Menolak Syiah” ada lampiran wanita yang terkena penyakit kelamin seperti penyakitnya para pelacur. Padahal ia wanita bercadar dan berjilbab besar. Ternyata ia penganut syiah dan gemar melakukan hubungan seks dengan dalil mut’ah. Allohu Akbar. Nikah mut’ah membuka peluang besar tersebarnya penyakit kelamin.
- Di Iran sendiri, anak-anak yang ditelantarkan sangat banyak. Mereka adalah korban mut’ah dari para lelaki syiah.
Dan sungguh banyak sekali keburukan dan kebobrokan nikah mut’ah ini. Untuk itulah MUI Indonesia menetapkan bahwa nikah mut’ah itu HARAM hukumnya (MUI No. Kep-B-676/MUI/XI/1997). Demikian pula seluruh ormas Islam di Indonesia, baik Muhammadiyah, PERSIS, Al-Irsyad dan NU menetapkan keharamnan nikah mut’ah.
Bersambung –Insya Alloh-
Assalamu`alaikum wr. wb.
Sekedar sharing saja, terkait dengan atsar peneguran seorang wanita kepada `Umar Ibn al-Khaththab r.a. untuk kasus pembatasan mahar, maka seingat saya, atsar tersebut dinyatakan oleh Syaikh Abu Ishaq al-Huwaini sebagai atsar yang “tidak valid, (kecuali) sampai unta masuk ke lubang ke lubang jarum” (la yashihh hatta yalija’l jamal fi sammi’l khiyath). Silakan dicek dalam al-Insyirah fi Adab an-Nikah. Siapa tahu saya salah ingat.
Tentunya kita semua di sini juga mengetahui penentuan valid tidaknya sebuah hadits/atsar bukanlah sebuah harga mati yang tidak dapat ditawar atau didiskusikan.
Salam,
Abu Faris
Assalaamu’alaikuim
semoga Allah memberi hidayah kepada kaum Syi’ah!
Semoga Alloh memberi pemahaman yang benar kepada saudara mu’allaf ini, dan tidak bertele-tele dengan memenangkan ra’yu wa hawa yang telah dipengaruhi pemahaman syi’ah. sulitnya membuang pemahaman yang sudah meng-akar seperti nikah mut’ah ini adalah akibat kebiasaan pemikiran dan lingkungan kehidupanya yang masih dipengaruhi kaum syiah. jikalau saudara mualaf ini mau berdiri ditengah kebenaran dan bertanya dari dasar hati nurani untuk menempati kebenaran itu tentu jawabnya akan diperoleh :
“untuk apa nikah mut’ah pada kondisi saat ini?”
“atau tidakkah tunduk hatiku kepada suatu perkara yang diperbolehkan kemudian Alloh melarangnya kembali?”
“dan mana bukti kecintaanku kepada Alloh dan Rasul-Nya,jika hanya untuk mengorbankan pemahamanku tentang nikah mut’ah saja masih memberatkan hatiku untuk tunduk pada Larangan-Nya”
“mungkinkah aku masih diberatkan pemahaman golonganku?”
“NIAT YANG IHKLAS AKAN MEMBUAHKAN BENAR & BAIKNYA PEMAHAMAN SERTA NIAT YANG RUSAK AKAN MENDATANGKAN RUSAK DAN JELEKNYA PEMAHAMAN”
Maka jadilah hamba Alloh yang ingin selalu memahami kebenaran dari-Nya, bukan hamba golongan yang selalu mempertahankan kesesasatan dari pemahaman golonganya.Allohua’lam,
Abu Amin
http://abuamincepu.wordpress.com/
Allah, berikan hidayah pada kami semua ya Allah
Assalamu’alaikum,
Kakak ipar ana syiah, tapi kedua orang tua ana tidak peduli, karena hanya melihat baik prilakunya saja.
Dia menikahi kakak ana, waktu ana maih duduk di bangku SMP. Tapi alhamdulillah dia, tidak pernah, hingga saat ini mendakwahi keluarga untuk masuk syiah.
Tapi ana waktu smp sempat baca buku-bukunya tentang syiah. Bahkan ibu ana pun sama kadang suka baca, kerena sering di letakan di rak buku kami, seperti buku “Saqofah, Awal Perselisihan Umat”.
Kadang ana waktu merasa penjelasan dibuku ilmiah, tapi alhamdulillah (taufik dan hidayah dari Allah) ana tetap tidak pernah menerima isi buku ini, karena keimanan ana pada kemulian sahabat Abu Bakar, Umar, Abu Hurairah, sehingga sering ana katakan bahwa isi buku itu kebohongan.
Dan sepertinya ibu ana pun seperti ana, bahwa isi buku itu tidak bisa diterima.
Sampai ana alhamdulillah menemukan artikel, (ana lupa apakah dari sini?) yang menjelaskan kebohongan dan tidak ilmiahnya buku “berbahaya” itu.
Sebenarnya, ana hanya ingin mengatakan, kebanyakan dari umat islam yang terkena pengaruh syiah, khawarij atau kelompok menyimpang lainnya disebabkan satu hal, mereka selalu berfikir logika: “sahabat juga kan manusia bisa salah dan benar”, tapi mereka tidak berfikir kenyataan, bahwa sahabat itu sudah Allah muliakan dan pelihara, maka otomatis mereka punya tingkatan lebih dari pada kita.
Jika kita merasa tindakan dan keputusan kita selalu berusaha berdasarkan rasional dan alasan yang benar, maka usaha sahabat pasti akan lebih baik daripada kita.
Ambil contoh kecil seperti yang terjadi pada barisan salafiyin, perpecahan terjadi karena (wallahu’alam) ada sebagian ikhwan yang berfikiran, “ulama juga manusia bisa salah”.
Maka ana mengajak semua saudara – saudara, tawadhu/rendah hati dan selalu ingat kedudukan kita.
Kita tidak perlu mengusahakan maqam kita sudah sama belum dengan para ulama atau sahabat. Karena Allah sendiri yang akan mengangkatnya jika memang sudah layak orang berada pada maqamnya.
Wallahu’alam.
Bukan hanya para ulama yang mengfatwakan haramnya nikah mut’ah, Imam Ali sendiri mengharamkan nikah mut’ah.
“Dari Abdullah bin Muhammad bin Ali bin Abi Thalib dan Hasan bin Muhammad bin Ali bin Abi Thalib, dari ayahnya (Muhammad) dari Ali bin Abi Thalib bahwa Rasulullah SAW melarang nikah mut’ah dan memakan daging keledai jinak saat perang Khaibar.” (Shahih Muslim, riwayat no 3497)
Lebih jelasnya baca saja disini : http://kilasanku.wordpress.com/2008/11/04/ustadz-syiah-doyan-mutah/
Dan lagi, sebagai gambaran, ini adalah syarat nikah mut’ah sebenarnya, sebelum diharamkan oleh Allah. Bukan seperti yang dipraktekan oleh kaum Syiah.
Gambaran Nikah Mut’ah di zaman Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dapat dirinci sebagai berikut:
1. Dilakukan pada saat mengadakan safar (perjalanan) yang berat seperti perang, bukan ketika seseorang menetap pada suatu tempat. (HR. Muslim hadits no. 1404)
2. Tidak ada istri atau budak wanita yang ikut dalam perjalanan tersebut. (HR. Bukhari no. 5116 dan Muslim no. 1404)
3. Jangka waktu nikah mut’ah hanya 3 hari saja. (HR. Bukhari no. 5119 dan Muslim no. 1405)
4. Keadaan para pasukan sangat darurat untuk melakukan nikah tersebut sebagaimana mendesaknya seorang muslim memakan bangkai, darah dan daging babi untuk mempertahankan hidupnya. (HR. Muslim no. 1406)
“Pernah di blog Syiah, saya kasih komentar
Nikah Mutah = Pelacuran.
Lalu dia jawab, berarti engkau berani mengatakan bahwa Rosulullah dan Sahabat menghalalkan pelacuran.”
—————————-
Mungkin memang saya salah ketik waktu itu, seharusnya saya bilang
“Nikah Mutah ala Syiah = Pelacuran.”
Karena Nikah Mutah yang pernah dibolehkan oleh Allah berbeda dengan praktek yang dilakukan oleh kaum Syiah, dan lagi setelahnya, Allah telah memerintahkan Rosulullah untuk mengharamkannya.