SILSILAH PEMBELAAN TERHADAP ULAMA AHLIS SUNNAH (1)

 Mar, 15 - 2008   4 comments   Pembelaan

SILSILAH PEMBELAAN TERHADAP ULAMA AHLIS SUNNAH (BAGIAN 1)

PEMBELAAN AL-‘ALLÂMAH SHÂLIH AL-LUHAIDÂN TERHADAP SYAIKH SHÂLIH AS-SUHAIMỈ, ‘UBAID AL-JÂBIRỈ, RABỈ’ AL-MADKHALỈ DAN AHMAD AN-NAJMỈ

 

Akhir-akhir ini, banyak sekali fitnah yang melanda. Celaan demi celaan mengalir begitu derasnya menghantam para ulama ulama ahlus sunnah. Untuk itulah kami akan menurunkan silsilah (bunga rampai) pembelaan terhadap ulama ahlis sunnah secara berseri dan ringkas. Mudah-mudahan dapat bermanfaat bagi seluruh kaum muslimin.

Risalah pertama ini berisi tentang percakapan dengan al-‘Allâmah Shâlih bin Muhammad al-Luhaidân hafizhahullâhu yang menjawab tuduhan-tuduhan keji yang dilontarkan oleh sebuah website yang bernama al-atsarî, yang dikelola oleh fanatikus Syaikh Fâlih al-Harbî hadâhullâhu beserta murid-murid dan sahabat-sahabatnya (Diantaranya Fauzî al-Bahrainî penulis buku Mâdza Yurîdu Ahlus Sunnah bi Ahlis Sunnah bantahan terhadap Rifqon Ahlas Sunnah, Khâlid al-‘Âmî, dll).

Sebagai informasi saja, Syaikh Fâlih bin Nâfi’ al-Harbî hadâhullâhu adalah salah seorang pengibar dakwah haddâdîyah jadîdah yang sangat gemar menghujat dan mencela para ulama ahlus sunnah. Dia sendiri telah dinasehati oleh al-‘Allâmah ‘Abdul Muhsin al-‘Abbâd hafizhahullâhu, guru beliau semasa menjadi mahasiswa di Universitas Islam Madinah. Namun, sayangnya, nasehat lemah lembut dan ramah yang disampaikan al-‘Allâmah al-‘Abbâd hafizhahullâhu bukannya malah menjadikan beliau rujū’ dan bertaubat, namun malah menjadikan beliau semakin menjadi-jadi.

Dikarenakan nasehat yang tidak digubris, akhirnya al-‘Allâmah ‘Abdul Muhsin al-‘Abbâd menulis buku yang mengkritik Syaikh Fâlih dan berkata :

 

Yang mempelopori hal ini (fitnah tahdzîr, tabdî’, hajr dan semisalnya kepada ahlus sunnah) adalah salah seorang muridku di Fakultas Syariah Universitas Islam Madinah, yang lulus pada tahun 1395-1396H (yaitu Syaikh Fâlih bin Nâfi’ al-Harbî hadâhullâhu). Dia meraih peringkat ke-104 dari jumlah lulusan yang mencapai 119 orang. Dia tidaklah dikenal sebagai orang yang menyibukkan diri dengan ilmu, dan tidak pula aku mengetahuinya memiliki pelajaran-pelajaran ilmiah yang terekam, tidak pula tulisan-tulisan ilmiah, kecil ataupun besar. Modal ilmunya yang terbesar adalah tajrih, tabdi’ dan tahdzir terhadap mayoritas Ahlus Sunnah, padahal si Jârih (pencela) ini ini tidaklah dapat menjangkau mata kaki orang-orang yang dicelanya dari sisi banyaknya kemanfaatan pada pelajaran-pelajaran, ceramah-ceramah dan tulisan-tulisan mereka.” (Lihat al-Hatstsu ‘alâ Ittibâ’is Sunnah, Maktabah Mâlik Fahd, cet.I, 1425; hal. 64-5)

 

Setelah peringatan Syaikh al-‘Abbâd ini keluar, Syaikh Falih dan murid-muridnya semakin menjadi-jadi. Mereka semakin gemar menghujat para ‘ulamâ dan masyaikh ahlis sunnah. Bahkan al-Muhaddits al-Albânî rahimahullâhu pun tidak luput dari celaan mereka. Mereka menuduh al-Imâm al-Albânî berpemahaman irjâ’ sebagaimana tuduhan kaum takfirî yang dulunya mereka (Syaikh Fâlih cs) sangat keras membantah dan mentahdzîr kaum takfirîyîn. Bahkan Syaikh al-‘Abbâd sendiri mereka tuduh tamyî’ (bermanhaj lunak).

 

Anehnya, para hizbîyîn, harokîyîn dan takfirîyîn seringkali merujuk ke situs ini (yaitu al-Atsarî). Tidak terkecuali al-Ustâdz ‘Abduh Zulfidar Akaha dalam kedua buku beliau “Siapa Teroris Siapa Khowarij” dan “Belajar Dari Akhlak Ustadz Salafi”, walau buku yang terakhir ini tidak menunjukkan link URL ke situs ini, namun beliau ketika menyebut Syaikh Rabî’ bin Hâdî, menyebutkan bahwa murid Syaikh Falih memiliki tulisan yang membantah Syaikh Rabî’, yaitu al-Ustâdz Khâlid al-‘Ami dalam bukunya Qâmus Syatâ`im Rabî bin Hâdî. Buku ini ada di situs al-Atsarî ini.

 

Suatu hal yang tanâqudh dan kontradiktif adalah, ketika al-Ustâdz ‘Abduh menukil dari situs ini untuk mengkritik Syaikh Rabî’ disebabkan sikap ‘keras’ Syaikh Rabî’ terhadap dakwah harokah Islâmîyah dan tokohnya, namun beliau menutup mata (atau mungkin memang tidak tahu, Allôhu a’lam) bagaimana lebih keras dan lebih pedasnya ucapan Syaikh Fâlih dan murid-muridnya terhadap tokoh-tokoh harokah, bahkan termasuk orang-orang yang tengah dibela al-Ustâdz ‘Abduh semisal, DR. Salmân al-‘Audah, DR. Safar Hawalî, DR. ‘Â`idh al-Qornî, DR. ‘Abdurrahman ‘Abdul Khâliq dll. Bahkan, saya sendiri yakin, apabila al-Ustâdz mau mengumpulkan Qâmus Syatâ`im (Kamus Celaan) dari website al-Atsarî, Syaikh Fâlih berikut murid-muridnya, al-Ustâdz akan mendapati ucapan-ucapan yang lebih keras dan pedas. Bahkan tuduhan munâfiq, syaithân, dan semisalnya, tidak sulit kita dapatkan.

 

Baiklah, agar tidak berpanjang-panjang, berikut ini adalah transkrip percakapan telepon dengan al-‘Allâmah al-Luhaidân, ketua majlis pengadilan tinggi dan anggota lembaga ulama senior Kerajaan Arab Saudi, pada malam Jum’at tanggal 20/11/1426 H. Transkrip percakapan ini saya nukil dari situs Almanhaj.net, sebuah website bermanfaat yang Syaikh ‘Utsmân al-Khumayis (atau al-Khamis) menjadi salah satu adminnya. Situs ini juga dicuplik oleh al-Ustâdz ‘Abduh dari muntadiyat (forum) diskusinya berkenaan dengan masalah Jarh wa Ta’dîl.

 

Situs ini banyak berisi bantahan terhadap kelompok sesat, terutama terhadap Râfidhah dan Shufiyah. Diantara para ulama yang turut menjadi anggota dalam situs ini adalah Syaikh Shâlih al-Luhaidân, Ahmad al-Khâthib, Hamad al-‘Utsmân, dll. Yang kesemuanya dari Kuwait. Sebagai informasi pula, Syaikh ‘Utsmân al-Khumayis ini beberapa kali duduk memberikan ceramah bersama Syaikh ‘Alî Hasan al-Halabî hafizhahullâhu, beliau (i.e. Syaikh ‘Utsmân al-Khumayis) juga termasuk pembicara dalam Mu’tamar Markaz al-Imâm al-Albânî (2004/2005) di Yordania, yang saat itu, guru kami al-Ustâdz ‘Abdurrahman at-Tamimî juga termasuk salah satu pembicara.

 

Berikut ini adalah Teks percakapan tersebut :

Syaikh : Na’am (iya).

Penanya : Assalâmu’alaykum Warohmatullâhu Wabarokâtuhu

Syaikh : Wa’alaykumus Salâm Warohmatullâhu Wabarokâtuhu

Penanya : Semoga Allôh mengharumkan anda dengan kebaikan wahai syaikh kami

Syaikh : Ahlan wa Marhaban

Penanya : Bagaimana kabar Anda?

Syaikh : Alhamdulillâh

Penanya : Semoga Allôh senantiasa menjaga dan memberkahi Anda. Saya ada pertanyaan wahai syaikh kami, apabila anda berkenan?

Syaikh : Iya silakan…

Penanya : Ada suatu website (wahai Syaikh) -semoga Allôh memberikan keselamatan kepada Anda- yang bernama website al-Atsarî di internet…

Syaikh : Iya…

Penanya : Mereka menurunkan beberapa makalah/artikel yang aneh, berisi celaan terhadap ulama (ahlis) sunnah. Seperti, Fadhîlatusy Syaikh Shâlih as-Suhaimî, Fadhîlatusy Syaikh ‘Ubaid al-Jâbirî, Fadhîlatusy Syaikh Rabî’ bin Hâdî al-Madkhâlî, Fadhîlatusy Syaikh Ahmad an-Najmî dan selain mereka dari kalangan para ulama. Apa nasehat anda kepada orang-orang semisal mereka ini?

Syaikh : Nasehatku kepada mereka adalah, hendaknya mereka meminta ampunan kepada Allôh dan bertaubat serta menghentikan celaan-celaan terhadap saudara-saudara mereka.

Penanya : Ada beberapa hal wahai syaikh kami, dimana mereka menjelekkan masyaikh yang mana (masyaikh ini) tidak mungkin mengatakannya, yaitu yang dituduhkan oleh orang-orang kerdil ini, seperti misalnya mereka menuduh Syaikh Rabi’ bin Hâdî dan para ulama lainnya selain beliau, mereka menuduh bahwa beliau mencela Allôh Jallâ wa ‘Alâ dan mendiskreditkan al-Qur`ân!

Syaikh : (memotong) Percayalah, mereka ini berdusta!!!

Penanya : Allôhu Akbar! Allôhu Akbar! Allôhu Akbar!

Syaikh : Insyâ Allôh, Allôh sendirilah yang akan melepaskan tuduhan yang buruk lagi keji ini. Kita memohon kepada Allôh agar Ia memberikan hidayah-Nya kepada orang-orang yang sesat ini.

Penanya : Âmîn! Âmîn! Semoga Allôh membalas Anda dengan kebaikan dan memberkahi Anda wahai syaikh kami.

Syaikh : Hayyakallôhu.

 

Sumber : http://almanhaj.net/vb/showthread.php?t=1471&page=4

 

 

Teks Arabic :

مكالمة مع فضيلة الشيخ العلامة صالح بن محمد اللحيدان رئيس مجلس القضاء الأعلى وعضو هيئة كبار العلماء فيها دفاع الشيخ عن إخوانه العلماء الأجلاء : الشيخ صالح السحيمي والشيخ عبيد الجابري والشيخ ربيع المدخلي والشيخ أحمد النجمي حفظ الله الجميع
وكان الاتصال بالشيخ وفقه الله ليلة الجمعة 20/11/1426هـ وإليكم نص المكالمة مفرغة :
[-
الشيخ : نعم .
السائل : السلام عليكم ورحمة الله وبركاته
الشيخ : وعليكم السلام ورحمة الله وبركاته
السائل : مسَّاك الله بالخير شيخنا .
الشيخ : أهلاً ومرحباً .
السائل : كيف حالك ؟
الشيخ : الحمد لله .
السائل : الله يحفظك ويبارك فيك .
السائل : سؤالي شيخنا لو سمحت ؟
الشيخ : أي نعم عجِّل .
السائل : فيه سلَّمك الله –يعنيبعض المواقع : فيه موقع من المواقع يسمى موقع الأثري على شبكة الانترنت .
الشيخ : أيوه .
السائل : –يعنيينزلون مقالات عجيبة في الطعن في علماء السنَّة ,ومنهم فضيلة الشيخ : صالح السحيمي ,و فضيلة الشيخ : عبيد الجابري ,و فضيلة الشيخ : ربيع بن هادي المدخلي ,و فضيلة الشيخ : أحمد النجمي وغيرهم وغيرهم من أهل العلم . فما نصيحتكم شيخنا لمثل هؤلاء ؟
الشيخ : نصيحتي لهم أن يستغفروا الله ويتوبوا إليه ,ويكفُّوا عن الطَّعن في إخوانهم .
السائل : فيه بعض الأشياء شيخنا ينزلونها على المشايخ يعنييتورع عن قولها يعنيأن تُقال في صغار الناس ؛مثل أنهم يتَّهمون الشيخ ربيعاً بن هادي وغيره من إخوانه العلماء ,يتَّهمونه أنَّه يسبُّ الله جلَّ وعلا (!) وأنَّه يستهزئ بالقرآن (!)
الشيخ – مقاطعاً – : يقيناً أنَّهم يكذبون .
السائل : الله أكبر ,الله أكبر ,الله أكبر
الشيخ : إن شاء الله أنَّ الله يُبرِّؤَُهُ من هذه التُّهمة الخبيثة القبيحة . نسأل الله أن يهدي هؤلاء الضالين .
السائل : آمين آمين جزاك الله خيراً شيخنا وحفظك وبارك فيك .
الشيخ : حياك الله ] .

 


Related articles

 Comments 4 comments

  • Maaf ingin tanya,
    apakah tahdzir harus selalu dibalas dengan tahdzir juga ?

    Tidak harus. Tahdzir maksudnya adalah memperingatkan ummat dari suatu penyimpangan atau kesalahan. Tahdzir bisa berbentuk peringatan thd suatu amalan dan bisa pula thd person per person. Tahdzir kembali kepada maslahat dan mafsadat, apabila tahdzir menimbulkan mafsadat lebih besar bahkan menimbulkan fitnah, maka tdk mentahdzir pada saat itu, atau hanya mentahdzir secara global (am), misalnya dikatakan, “upacara peringatan maulid itu tdk dituntunkan oleh Rasulullah”, dan semisalnya, maka yang demikian ini adalah bagian dari hikmah.
    Adapun tahdzir ‘asal-2an’ yg hanya mengandalkan kejahilan, ghirah, apabila semangat permusuhan dan hasad, maka ini adalah tahdzir yg tdk syar’i dan hanya sebuah alat utk mencari sensasi…

  • toha says:

    Assalamu’alaikum..

    Sungguh sangat mengecewakan, sesama ulama masih saja mencela.

    Allah Ta’ala berfirman, “Hai orang -orang yang beriman, janganlah suatu kaum mengolok-olokan kaum yang lain (karena) boleh jadi mereka (yang diolok-olokan) lebih baik dari mereka (yang mengolok-olokan) dan jangan pula wanita-wanita (mengolok-olokan) wanita lain (karena) boleh jadi wanita-wanita (yang diperolok-olokan) lebih baik dari wanita (yang mengolok-olokan) dan janganlah kamu mencela dirimu sendiri dan janganlah kamu panggil memanggil dengan gelar-gelar yang buruk. Seburuk-buruknya pangilan adalah (panggilan) yang buruk sesudah iman dan barang siapa yang tidak bertaubat, maka mereka itulah orang-orang yang zhalim. Hai orang -orang yang beriman, jauhilah kebanyakan dari prasangka, sesungguhnya sebagian prasangka itu adalah dosa dan janganlah kamu mencari-cari kesalahan orang lain dan janganlah sebahagian dari kamu menggunjing sebahagian yang lain. Sukakah salah seorang diantara kamumemakan daging saudaranya yang sudah mati. Maka tentukanlah kamu merasa jijik kepadanya. Dan bertawakalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Penerima taubat lagi Maha penyayang.” [Al Hujaraat: 11-12]

    Seharusnya para Ulama lebih mengerti dan memahami firman Allah ini. Sungguh mengherankan bagi ToHa.

    selengkapnya

    http://tohaboy.blog.m3-access.com/posts/37060_Ustadz-menghujat-Ustadz-Gimana-nich.html

  • paladinhammer says:

    konfliknya kok malah jadi berkembang ke arah yang aneh menurut saya.(kayaknya lebih enak belajar fiqh deh daripada pusink)

  • abuabdurrahman80 says:

    Saya mengira adanya pihak yang menkritik Syaikh Rabi’ karena beliau menegakkan manhaj kritik (naqd) ilmiah yang tidak menyebutkan kebaikan sama sekali. Sedangkan dalam jarh wa ta’dil memang terkadang disebutkan kebaikan-kebaikan dari subyek yang dikritisi. (Contohnya perkataan Ulama Jarh wa Ta’dil: Fulan jujur (kebaikan) namun lemah hafalannya (keburukan/cacat)). Apakah memang beda antara manhaj ahlussunnah dalam naqd dengan jarh wa ta’dil?

    Insya Alloh dalam edisi bulan depan, masalah ini akan disinggung di dalam Majalah adz-dzakhiirah al-Islamiyyah. Sejauh pemahaman saya yang pendek ini, ada perbedaan di dalam masalah tahdzir dan taqwim (menilai seseorang) atau menulis sirah/biografi. Di dalam tahdzir, yang utama adalah tidak menyebutkan kebaikan, karena maksud dari tahdzir adalah menjauhkan ummat dari kesalahan seseorang, sehingga apabila menyebutkan kebaikannya maka akan hilanglah maksud daripada tahdzir itu sendiri. Namun hal ini pun ada tafshilnya. Tahdzir terhadap mubtadi’ yang sesat dan menyesatkan, tidak boleh menyebutkan kebaikan padanya sedikitpun (bukan dalam artian menafikan segala kebaikan yang ada padanya, namun dalam rangka tanfirul ummah minhu/menjauhkan ummat dari keburukannya). Sedangkan thd ahlus sunnah yang jatuh kepada kesalahan, maka mentahdzir kesalahannya terkadang perlu menyebutkan kebaikannya, agar ummat terhindar dari kesalahan yang ia jatuh padanya namun tetap tidak memutus ifaadah di dalam hal-2 yang ia benar di atasnya.
    Sedangkan taqwim, maka harus obyektif, yakni menjelaskan keadaan seseorang dalam keadaan yang sebenarnya. Jasa-2nya, kebaikan-2nya, dan kekeliruan-2nya dijelaskan semua.
    Adapun Jarh wa Ta’dil, adalah perbendaharaan ilmu yang dimiliki oleh ulama ahli hadits. Ilmu ini ada syarat-2 dan kriterianya. Tidak dimiliki oleh setiap orang. Ilmu ini pada prinsipnya diterapkan dalam ilmu hadits, dalam rangka memelihara agama dari penyimpangan dan kesesatan. Adapun jarh wa ta’dil yang dikambinghitamkan oleh sebagian kalangan sebagai sarana untuk melemparkan tuduhan dan cercaan, maka ini adalah sebuah kezhaliman atas nama syariat. Wallohu a’lam.
    Adapun al-Allamah Rabi’ bin Hadi hafizhahullahu, maka beliau dipuji oleh al-Imam al-Muhaddits al-Albani rahimahullahu sebagai pembawa bendera Jarh wa Ta’dil di zaman ini. Namun, bukan artinya beliau adalah orang yang ma’shum. Dalam artian, apa yang beliau ucapkan mengenai seseorang tetap harus ditimbang dengan dalil, karena agama kita dibangun di atas dalil. Kita tdk menerapkan kaidah sebagian orang, siapa saja yang dibid’ahkan oleh Syaikh Rabi’, maka wajib atas kita untuk turut membid’ahkannya. Karena agama kita dibangun di atas hujjah dan bayaan. Apabila terang pada kita hujjah dan bayaan akan bid’ahnya seseorang maka kita terima, yang tidak maka kita tidak wajib menerimanya.
    Sebagai contoh, syaikh Rabi’ bin Hadi hafizhahullahu, mentabdi’ Syaikh Abul Hasan al-Ma’ribi. Hal ini tidak mewajibkan kita ikut membid’ahkan Syaikh Abul Hasan, terlebih lagi banyak ulama yang tidak membid’ahkan Syaikh Abul Hasan. Kita tidak menutup mata dari kesalahan syaikh Abul Hasan, namun kesalahan beliau tidak otomotasi menyebabkan beliau keluar dari lingkaran ahlus sunnah.
    Contoh lain, Syaikh Rasyid Ridha rahimahullahu, ditabdi’ oleh Muhaddits Diyaril Yaman, Syaikh Muqbil bin Hadi dan Muhaddits Isma’il al-Anshori. Namun hal ini tidak mewajibkan kita turut mentabdi’ syaikh Muhammad Rasyid Ridha, terlebih lagi Syaikh al-Albani rahimahullahu menyatakan di dalam “Hayatul Albani” karya as-Sahaibani al-Kuwaiti, bahwa awal perkenalan beliau dengan manhaj salaf adalah melalui karya-2 Rasyid Ridha. Bahkan, syaikh as-Sa’di dan mantan mufti, Muhammad Ibrahim Alu Syaikh menukil beberapa pembahasan dari Syaikh Rasyid Ridha rahimahullahu.
    Contoh lain lagi adalah, Syaikh Muhammad al-Maghrawi, Syaikh Abu Ishaq al-Huwaini, dll. Yang oleh sebagian ulama ditabdi’ namun sebagian lainnya lagi tidak. Bagi yang turut mentabdi’ hendaklah dengan ilmu bukan taqlid, dan bagi yang tidak mentabdi’ juga demikian.
    ‘Ala kulli haal, tidak boleh bagi kita menjadikan masalah ini sebagai sarana utk menerapkan wala’ dan baro’ secara serampangan, sebagaimana beberapa oknum yang terbakar semangat jahiliyah. Mereka berslogan, man lam yubaddi’ man badda’na fahuwa mubtadi’ (barangsiapa yang tdk membid’ahkan orang yang kami bid’ahkan maka ia mubtadi’), atau slogan man dafa’a mubtadi’ fahuwa mubtadi’ (barangsiapa membela ahli bid’ah maka ia mubtadi’ atau slogan man lam yakun ma’anaa fa’alaynaa (barangsiapa yang tidak bersama kami maka musuh kami)… Tentu saja ini adalah manhaj yang rusak, yang dimiliki oleh sebagian oknum yang memang bodoh thd manhaj namun sok menjadi ahli jarh wa ta’dil (baca : ahli jarh wa tanfir). Ma’adzallohu.
    Namun, bukan artinya kita bersikap tamyi’. Dalam artian apabila seseorang telah jelas akan kebid’ahannya dan para ulama AHLUS SUNNAH hampir bersepakat akan kesesatannya, seperti orang semisal Zahid al-Kautsari al-Mariq, Hasan Ali as-Saqqof, dan semisalnya, maka orang yang membela mereka-2 ini, padahal telah jelas baginya kesesatannya, maka ia ada serupa dengan mereka.
    Wallohu Ta’ala A’lam.

  • Leave a Reply

    Your email address will not be published. Fields with * are mandatory.