BID’AHKAH PERINGATAN MAULID NABI??
BID’AHKAH PERINGATAN MAULID NABI??
Oleh : Usamah bin Abdillah ath-Thiiby al-Filisthini
Termasuk perkara yang tidak diragukan lagi adalah, bahwa sekarang ini kita berada dalam kehidupan yang penuh dengan slogan yang gencar, mengarah kepada penghulu keturunan nabi Adam, baginya sholawat yang paling utama dari salam yang paling sempurna. Slogan-slogan tersebut menyakiti sang penebar rahmat dan petunjuk Shallallahu ‘alaihi wa Sallam. dikarenakan sekarang kita dekat dengan waktu peringatan Maulid Nabi (!!). Maka saya ingin menjelaskan kepada kaum mislimin bentuk penganiayaan kepada Rasulullah, bahkan model-modelnya amat banyak sekali.
Kebanyakan para pecinta beliau lupa akan hal ini, sehingga kecintaan tersebut menyeret mereka untuk berlaku ghuluw (berlebih-lebihan), yang dengan itu justru mereka menyelisihi perintah dan bimbingan beliau Shallallahu ‘alaihi wa Sallam. Diantara bentuk penganiayaan terhadap Rasulullah adalah membuat ajaran baru didalam agama dan tuntunan beliau yang sempurna, karena telah disempurnakan Allah :
“Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Ku-cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam itu jadi agama bagimu”(Qs. Al-Maidah : 3)
Mengada-adakan ajaran yang baru merupakan perkara berbahaya yang telah diperingatkan Rasulullah di berbagai hadits beliau, diantaranya :
إِيَّاكُمْ وَ مُحْدَثَاتِ اْلأُمُوْرِ : فَإِنَّ كُلَّ مُحْدَثَةٍ بِدْعَةٌ : وَ كُلَّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ .
“Hendaklah kalian menjauhi perkara-perkara baru dalam agama, karena sesungguhnya, semua perkara baru dalam agama adalah bid’ah, dan setiap bid’ah adalah sesat”.(HR. Ahmad, Abu Dawud, at-Tirmidzi dan Ibnu Majah).
Tidak diragukan sedikitpun, bahwa mengada-adakan ajaran baru didalam Islam, merupakan bentuk perlawanan terhadap bagian syahadatain yang kedua “Saya bersaksi bahwa Muhammad itu adalah utusan Allah.”, sebagaimana syirik merupakan penentangan terhadap bagian syahadatain yang pertama “Saya bersaksi bahwa tiada sesembahan yang benar selain Allah”. Dua hal ini, yaitu syirik dan bid’ah merupakan dua jebakan setan yang senantiasa diarahkan kepada hamba-hamba Allah.
Al-Imam Ibnu Qoyyim al-Jauziyah berkata :
”Sesungguhnya setan ingin sukses atas seorang hamba ketika melemparkan sebuah jebakan dari tujuh jebakan yang dimiliki, yang satu lebih sulit daripada yang lain, dia tidak akan turun pada tingkatan yang lebih ringan, kecuali telah gagal pada jebakan yang lebih berat.
Jebakan pertama adalah mengingkari Allah, agama, pertemuan dengan-Nya, sifat-sifat-Nya yang sempurna, serta berita-berita para Rasul-Nya. Jika setan sukses disini, maka api permusuhannya menjadi dingin dan dia beristirahat. Jika gagal, dan sang hamba selamat dari jebakan itu karena ilmu dan petunjuk Allah, serta selamat juga cahaya imannya, maka setan akan beralih kepada jebakan kedua.
Jebakan bid’ah, baik bentuknya berupa keyakinan yang menyelisihi kebenaran yang karenanya Allah mengutus para Rasul-Nya dan menurunkan kitab-Nya, walaupun berupa ibadah yang tidak pernah diperintahkan Allah, semisal berbagai model dan simbol bid’ah dalam agama yang sama sekali Allah tidak menerimanya.
Kedua bid’ah ini, kebanyakan saling terkait, dan jarang sekali berdiri sendiri-sendiri, sebagaimana diistilahkan”Pernikahan antara bid’ah perkataan dengan bid’ah perbuatan, maka keduanya sibuk dimalam pertama, maka tiba-tiba hiduplah anak-anak hasil zina di berbagai negeri Islam, sehingga para hamba dan berbagai negeri mengeluhkannya kepada Allah”.
Guru kami (Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah) berkata :”Hakekat kufur menikahi bid’ah, sehingga lahirlah kerugian dunia dan akhirat”.
Jika seorang hamba lulus melewati jebakan ini, dan terbebas darinya karena cahaya sunnah dan keteguhannya berpegang pada ajaran Rasulullah serta atsar para salaf dari kalangan sahabat dan pengikut mereka yang baik, yang dewasa ini amat sulit kita jumpai seseorang yang sebanding dengan mereka, kalaupun ada, pasti dia akan merintangi ahlul bid’ah, dan ahlul bid’ah akan berusaha mencelakakannya dengan seribu macam cara, bahkan pembela sunnah dijuluki sebagai ahli bid’ah dan pembuat ajaran baru.
Jika Allah memberikan kepadanya taufiq sehingga dia lulus dengan baik dari jebakan ini, maka setan akan menggunakan jebakan yang ketiga : Dosa-dosa besar …” (Madarijus Salikin (I/175))
Setelah uraian panjang nan kuat tadi, sebenarnya kita hanya tinggal mengatakan, bahwa orang-orang yang mengadakan perayaan maulid Nabi, telah terjerumus kedalam jebakan setan yang kedua, yaitu : bid’ah. Tidak diragukan lagi, bahwa perayaan maulid ini merupakan bid’ah yang diada-adakan nan jelek – bukan bid’ah hasanah (baik) sebagaimana kata sebagian orang – dan tidak pernah diajarkan oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam, para sahabat, tabi’in dan tiga generasi terbaik dan paling utama.
Perkara ini disepakati oleh penolak dan pendukung perayaan maulid. Syaikh Dhohiruddin Ja’far at-Tizmanty (wafat pada tahun 628 H) menjelaskan hukum perayaan maulid, seraya mengatakan :
“Kegiatan ini belum pernah ada pada masa generasi pertama Salafush sholeh, padahal mereka sangat mengagungkan dan menyintai Nabi, pengagungan dan rasa cinta kita semua tidak akan bisa menyamai pengagungan dan rasa cinta salah seorang diantara mereka”. (Dinukil dari “Al-Hukmul Haq fil Ihtifaal bi Maulid Sayyidil Kholq” oleh guru kami Ali Hasan al-Halaby, halaman : 27)
Sebenarnya, sejarah adalah saksi yang paling kuat akan kebid’ahan perayaan maulid Nabi. Bid’ah ini muncul pada akhir abad ke-4 (!!). Setelah berdirinya Negara al-Ubaidiyyah al-Fathimiyyah al-Bathiniyyah yang menisbatkan diri mereka dengan penuh kebohongan kepada Fathimah Radhiyallahu ‘anha.
Taqiyyuddin al-Maqrizy berkata :
”Para kholifah daulah Fathimiyyah memiliki banyak hari raya dan musim perayaan sepanjang tahun, antara lain : musim perayaan pokok tahun, awal tahun, hari ‘Asyura’, dan maulid Nabi….” (“Al-Mawa’idh wal I’tibar bi dzikril Khuthoth wal Atsar”(I/490).)
Mufti Mesir terdahulu, syaikh al-‘Allamah Muhammad Bakhit al-Muthi’i berkata :
”Perkara yang diada-adakan dan banyak pertanyaan tantangnya (al-Maulid), maka kita katakan : ”Sesungguhnya, yang pertama kali mengadakannya di Kairo adalah para kholifah daulah Fathimiyyah, dan yang paling awal diantara mereka adalah al-Mu’izz Lidillah…”. (“Ahsanul Kalam fiima Yata’allaq Bissunnah wal bid’ah minal Ahkam”, halaman : 44)
Syaikh Ali Mahfudz berkata :
”Diceritakan, bahwa pertama kali yang mengadakan perayaan-perayaan ini di Mesir adalah, para kholifah daulah Fathimiyyah pada abad ke-4 H. Mereka membuat enam perayaan kelahiran : Maulid Nabi, Maulid al-Imam Ali, Maulid Sayyidah Fathimah az-Zahro’, Maulid al-Hasan dan al-Husain, dan Maulid al-Kholifah al-Hadhir. Maulid-maulid ini tetap pada bentuknya sampai dihapus oleh al-Afdhol Ibnu Amir al-Juyusy. Kemudian dibangkitkan lagi oleh pemerintahan al-Amir bi Ahkamillah di tahun 524 H, setelah hampir dilupakan manusia.
Orang pertama yang mengadakan perayaan maulid Nabi di kota Irbil adalah raja al-Mudhaffar Abu Said, pada abad ke-7 H (!!). perayaan ini terus berlangsung sampai masa kita sekarang ini, dengan berbagai pengembangan dan inovasi baru, sesuai dengan hawa nafsu mereka dan wahyu dari setan kalangan jin dan manusia.” (“Al-Ibda’ fi Madhoor al-Ibtidaa’”, halaman : 231)
Saya (penulis) mengingatkan, diantara istilah-istilah syi’ah berbahaya yang menyusup kedalam barisan kita, ahlussunnah, adalah pengkhususan kholifah Ali bin Abi Tholib saja dengan gelar “al-Imam”, tanpa memberikan gelar tersebut kepada khulafaur Rasyidin yang lain, dan kita yakin bahwa mereka (Abu Bakar, Umar, dan Utman) lebih berhak. Demikian juga gelar az-Zahro’ untuk Fathimah sama sekali tidak berdasar, baik substansi maupun maknanya ….Allahul Musta’an.
Diantara kekeliruan yang fatal dalam hal ini adalah, bahwa pengobar perayaan mengingat maulid Nabi, sangat berlebih-lebihan dalam menganiaya saudara-saudara mereka yang mengingkari perayaan seperti ini, mereka melemparkan tuduhan bahwa orang-orang yang kontra perayaan maulid Nabi, membenci Nabi dan tidak menyintainya.
Sebenarnya, standar untuk mengetahui siapa yang menyintai Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam bukanlah perayaan maulid Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam , dan yang semisalnya. Bahkan yang menjadi standar adalah, rasa cinta kepada Rasulullah yang terwujud dalam sikap membenarkan beritanya, mentaati perintahnya, berhenti dari larangan beliau, dan tidak beribadah kepada Allah, kecuali dengan syari’at Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam.
Inilah inti cinta dan pengagungan terhadap Rasulullah, yang dengannya seorang hamba akan memperoleh cinta Allah subhnahu wa ta’ala :
“Katakanlah: “Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah mengasihi dan mengampuni dosa-dosamu.” Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.“.(QS. Ali-Imron : 31)
تَعْصِى اْلإِلَهَ وَأَنْتَ تَزْعُمُ حُبَّهُ هَذَا لَعَمْرِيْ فِي الْقِيَاسِ بَدِيْعُ
لَوْكَانَ حُبُّكَ صَادِقًا َلأَطَعْتَهُ إِنَّ الْمُحِبَّ لِمَنْ يُحَبُّ مُطِيْعُ
Anda memaksiati Allah, dan anda menyangka sedang menyintainya
Sungguh, inilah qiyas yang indah
Jika cintamu benar, niscaya kau akan mentaati-Nya
Sesungguhnya penyinta akan mentaati kekasihnya.
Termasuk kesalahan mereka yang fatal adalah, perayaan tersebut diadakan pada 12 Robi’ul Awwal dengan suatu keyakinan, bahwa pada hari itu Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam dilahirkan. Padahal hakekat yang harus senantiasa didengungkan dan ditebarkan adalah, bahwa para ulama memiliki perbedaan pendapat yang tajam dalam penetapan tanggal kelahiran Nabi, meskipun mereka sepakat bahwa beliau lahir pada hari senin.
Pendapat para ulama tersebut, antara lain :
a. 2 Robi’ul Awwal. Disebutkan Ibnu Abdil Baar didalam “al-Istii’aab”
b. 8 Robi’ul Awwal. Diceritakan al-Humaidy dari Ibnu Hazm.
c. 10 Robi’ul Awwal. Dinukilkan Dihyah didalam bukunya “at-Tanwir fi Maulidil Basyir an-Nadziir”.
d. 12 Robi’ul Awwal. Disebutkan Ibnu Ishaq, dan inilah yang terkenal sebagai pendapat mayoritas ulama.
e. Bulan Ramadhan, tanggalnya pun diperselisihkan .
Silahkan anda cermati pendapat-pendapat ini didalam “al-Bidayah wan Nihayah”(2/265), juga “al-Mi’yar al-Mu’rib”(7/100) karya al-Wansyriisi.
Al-Imam al-‘Allamah al-Albani berkata :
”Tentang hari kelahiran Nabi disebutkan oleh Ibnu Katsir perbedaan pendapat mengenai hari dan bulannya, semua tanpa sanad, sehingga tidak bisa diteliti dan dinilai dengan penilaian ilmu mustholah hadits. Kecuali satu pendapat yang menyatakan bahwa beliau Shallallahu ‘alaihi wa Sallam lahir pada 8 Robi’ul Awwal, karena diriwayatkan oleh Malik dengan sanad yang shohih dari Muhammad bin Jubair, dia adalah seorang tabi’i yang mulia. Mungkin karena itulah banyak ahli sejarah yang membenarkan dan bersandar pada pendapat ini, hal ini juga merupakan ketetapan al-Hafidz al-Kabiir Muhammad bin Musa al-Khowarizmi, kemudian dirojihkan oleh Abul Khoththob bin Dihyah, sedangkan jumhur ulama berpendapat kelahiran beliau Shallallahu ‘alaihi wa Sallam pada 12 Robi’ul Awwal. Wallahu A’lam” (“Shohihus Siroh an-Nabawiyyah” pada foot note halaman : 13)
Al-Imam al-‘Allamah Ibnu Utsaimin berkata :
“Wahai kaum muslimin, sesungguhnya bid’ah perayaan maulid Nabi yang diadakan pada bulan Robi’ul Awwal, sebagian mengatakan 8, yang lain mengatakan 9, ada juga yang bependapat 10, 12, 17, 22 Robi’ul Awwal. Inilah tujuh pendapat ahli sejarah, satu dengan yang lainnya sama-sama tidak memiliki dalil yang kuat untuk mengalahkan yang lain, sehingga penentuan kalahiran Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam dari bulan Robi’ul Awwal masih belum diketahui, akan tetapi sebagian ahli sejarah di zaman kita menetapkan tanggal 9, setelah dilakukan penelitian” (“Majmu’ Fatawa wa Rosail”(6/200).)
Shofiyur Rahman al-Mubarokfuri berkata :
”Penghulu para Rasul Shallallahu ‘alaihi wa Sallam dilahirkan di wilayah Bani Hasyim di Mekkah pada hari senin, 9 Robi’ul Awwal, tahun pertama dari tragedi tentara gajah, 40 tahun dari berkuasanya Raja Kisro Anusyarwan, bertepatan dengan 20 atau 21 April 571 M, sebagaimana hasil penelitian ulama besar Muhammad Sulaiman al-Manshurfuri.” (“Ar-Rohiqul Makhtum”. Halaman : 71)
Mungkin karena perbedaan penentuan tanggal kelahiran beliau Shallallahu ‘alaihi wa Sallam inilah yang menjadikan raja al-Mudhaffar Abu Sa’id Kukburi, penguasa Irbil, mengadakan perayaan maulid Nabi pada tanggal 8 Robi’ul Awwal, kemudian pada tahun yang lain diadakan pada 12 Robi’ul Awwal, sebagaimana penjelasan banyak ahli sejarah Islam. (“Wafayaatul A’yaan”(2/292).)
Saudaraku pembaca yang budiman, sesungguhnya kesalahan-kesalahan orang yang merayakan maulid Nabi amatlah banyak, tak terbatas dan terhitung, seandainya kita sebutkan semua, niscaya akan sangat panjang. Maka dari itu, saya akhiri pembahasan ini dengan hiasan fatwa para ulama terkemuka :
“Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat peringatan bagi orang-orang yang mempunyai akal atau yang menggunakan pendengarannya, sedang dia menyaksikannya.”(QS. Qoof : 37).
Fatwa-fatwa tersebut antara lain :
1. Al-‘Allamah Abu Hafs Tajuddin al-Fakihany (wafat tahun 743 H) didalam bukunya “al-Maurid fii ‘Amalil Maulid”, termasuk didalam”Rosail fii Hukmil Ihtifal bil Maulid an-Nabawi”, beliau mengatakan :
”Berulang-ulang pertanyaan dari beberapa orang, tentang perkumpulan yang diadakan pada bulan Robi’ul Awwal, yang disebut perayaan maulid Nabi, apakah ada dasarnya didalam syari’at ? ataukah termasuk bid’ah dan perkara yang diadakan dalam agama ? Dengan taufiq Allah, saya akan menjawab :”Saya tidak mengetahui dasar perayaan maulid ini dari al-Qur’an dan sunnah Rasulullah, dan belum pernah diberitakan bahwa hal ini dilakukan oleh salah seorang ulama umat, mereka adalah teladan dalam urusan agama dan berpegang teguh dengan atsar ulama terdahulu. Bahkan ini merupakan bid’ah yang dibuat-buat oleh para pengangguran, dan dorongan jiwa tukang makan yang rakus sangat mendambakannya”. (“Al-Maulid fi ‘Amalil Maulid” dalam “Rosail fil Hukmil bil Maulid an-Nabawi”)
2. Al-‘Allamah Ibnul Hajj (wafat tahun 737 H) berkata :
”Hal ini adalah tambahan dalam urusan agama, bukan amalannya para salaf terdahulu. Meneladani salaf lebih utama (lebih wajib) daripada berniat menambah ajaran mereka. Karena kaum salaf adalah kaum yang paling kuat mengikuti sunnah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam, juga paling hebat pengagungannya terhadap sunnah, seraya berlomba-lomba mengamalkannya. Dan tidak pernah dinukilkan kepada kita, bahwa salah seorang diantara mereka melakukan perayaan maulid. Kita mengikuti mereka, apa yang mereka lakukan, kita juga melakukannya. Dan telah diketahui, bahwa kewajiban mengikuti mereka adalah dalam perkara yang pokok beserta cabang-cabangnya.” (“Al-Madkhol”(2/11-12))
3. Al-Imam asy-Syatibi (wafat tahun 790 H) mengatakan :
”Telah jelas, bahwa menghidupkan perayaan maulid sebagaimana yang dilakukan manusia sekarang ini, adalah bid’ah yang dibuat-buat. Dan setiap bid’ah adalah kesesatan. Maka menginfakkan harta untuk kepentingan perayaan tersebut tidak boleh, jika infak tersebut adalah wasiat dari orang yang meninggal, maka tidak boleh dilaksanakan. Bahkan wajib bagi Hakim untuk membatalkan wasiat tersebut, dan sepertiga harta sang mayyit dikembalikan kepada ahli warisnya untuk dibagi-bagi diantara mereka. Semoga Allah menjauhkan orang-orang fakir yang meminta pelaksanaan seperti ini.” (“Fatawa asy-Syathibi” halaman : 203 – 204)
4. Al-‘Allamah Muhammad bin Ibrahim (wafat tahun 1389 H) berkata :
”Tidak diragukan lagi, bahwa perayaan maulid Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam termasauk bid’ah yang diada-adakan dalam agama, setelah tersebarnya kebodohan di dunia Islam, sehingga penyesatan dan persangkaan menjadi suatu bidang yang mata tidak mampu membedakannya. Kuatlah didalamnya kekuasaan taklid buta. Jadilah mayoritas manusia tidak kembali merujuk dalil dalam syari’at Islam. Akan tetapi mereka merujuk kepada pendapat si A dan keridhoan si B. Bid’ah yang mungkar ini, sama sekali tidak ada dalilnya dari para sahabat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam juga dari Tabi’in dan para pengikut mereka …..” (“Fatawa wa Rosail asy-Syaikh Muhammad bin Ibrahim”(3/54))
Syaikh Muhammad bin Ibrahim mempunyai pembahasan-pembahasan yang mantap dalam bidang ini, silahkan dirujuk di “Majmu’ fatawa wa Rosail” jilid ke-3.
5. Al-‘Allamah al-Imam Abdul Aziz bin Baaz (wafat tahun 1420 H) mengatakan :
”Kaum muslimin tidak boleh mengadakan perayaan maulid Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam pada malam 12 Robi’ul Awwal dan juga pada waktu yang lain, sebagaimana mereka juga tidak boleh merayakan hari kelahiran selain Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam, karena perayaan hari-hari kelahiran termasuk bid’ah yang diada-adakan dalam agama, lebih dari itu, Rasulullah sendiri tidak pernah merayakan hari kelahirannya semasa hidup beliau, beliau adalah penebar agama Islam dan pembuat syari’at mewakili Robb-Nya, itupun beliau tidak memerintahkan untuk melakukan perayaan tersebut, demikian pula para kholifah dan sahabat beliau Shallallahu ‘alaihi wa Sallam, dan para pengikut beliau yang baik di masa generasi yang utama, sehingga jelaslah, bahwa hal ini adalah bid’ah…” (“Majmu’ fatawa wa Maqolaat al-Mutanawwi’ah”(4/289).)
Demikianlah beberapa fatwa ulama dalam pembahasan ini, bak setetes air dari air bah dan sebutir air dari lautan yang luas. Apabila anda ingin mendalaminya, silahkan menelaah buku-buku berikut ini : hal 8
- Al-Maurid fi ‘Amalil maulid, tulisan dari syaikh al-‘Allamah al-Fakihany.
- Ar-Raddu al-Qowiyyu alar Rifa’iy wal Majhul wa Ibni Alawi wa Bayanu Akhtha’ihim fil Maulidin Nabiy, tulisan dari al-‘Allamah Hamud at-Tuwaijiriy.
- Al-Qaulul Fashlu fi Hukmil Ihtifal bi maulidi Khoirir Rasul Shallallahu ‘alaihi wa Sallam, tulisan al-‘Allamah Ismail al-Anshariy.
- Al-Hukmul Haqqu fil Ihtifal bi maulid Sayyidil Khalqi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam, tulisan dari syaikh kami Ali bin Hasan al-Halabi – hafidhahullah –
Sebagai penutup pembahasan ini, maka kita katakan, bahwa bulan kelahiran Nabi adalah Robi’ul Awwal, bulan ini juga bulan wafatnya beliau, sehingga tidak patut kita mendahulukan perasaan gembira dari pada perasaan sedih karena wafatnya beliau. Kemudian, hari kelahiran beliau adalah hari senin, pada hari itu juga beliau diangkat menjadi Rasul dan ini merupakan anugerah Allah terbesar yang tiada bandingannya.
Allah ta’ala berfirman :
“Sungguh Allah Telah memberi karunia kepada orang-orang yang beriman ketika Allah mengutus diantara mereka seorang Rasul dari golongan mereka sendiri, yang membacakan kepada mereka ayat-ayat Allah, membersihkan (jiwa) mereka, dan mengajarkan kepada mereka Al Kitab dan Al hikmah. dan Sesungguhnya sebelum (kedatangan Nabi) itu, mereka adalah benar-benar dalam kesesatan yang nyata“.(QS. Ali Imron : 164)
Seandainya dikatakan, bahwa perayaan diutusnya Rasulullah lebih utama untuk diperhatikan oleh orang-orang yang sholeh, maka hal itu lebih dekat kepada kebenaran. Akan tetapi, itupun tidak dilakukan oleh mereka, kenapa ? apa standar mereka, sesuatu yang diamalkan atau ditinggalkan !? kenapa mereka mengingkari perbutan orang lain ?!
Dialihbahasakan oleh Imam Wahyudi Lc. Dari majalah ad-Dakwah as-Salafiyah, Pelestina, edisi ke-2 halaman : 17 – 22. Dari Majalah adz-Dzakhirah al-Islamiyah
wah ilmu baru ini buat saya.. terimakasih.. tapi apakah pembahasan tentang bid’ah yang tiada henti ini menjadi lebih penting untuk diperdebatkan daripada menjaga akhlak dan moral bangsa yang makin bejat ini? freesex di mana-mana, para wanita mengumbar aurat, dan sebagainya.. bukankan itu lebih penting untuk diperbaiki???
ingat hadits: barang siapa melihat kemunkaran maka tegur dengan tangan/kekuasaan, jika tidak mampu maka dengan lisan, jika masih tidak mampu maka dengan hati, dan itu adalah selemahnya iman
umat islam tidak akan pernah maju kalo di dalam sendiri ribut masalah bid’ah dan perbedaan yang lain. masing-masing merasa dirinya sebagai ahlussunah
Innallaha wa malaikatahu yusalluna ‘alannabi ya ayyuhalladzina amanu shallu alaihi wasallimu taslima. (Q.S. al-Ahzab: 56).
Allahumma Shalli ala Muhammad
dari sekian panjang tulisan yang seolah berbobot ini, ternyata tidak dijumpai adanya satu dalil yang secara jelas mengharamkan atau menghalalkan maulid nabi….. (hanya surat al maidah 3 dan hadits turmudzi / adu dawud saja). Sangat disayangkan…
Hanya dengan dua dasar hukum itu memvonis bidah. terlalu gegabah.
Artikel ini hanya dipenuhi dengan pendapat ulama. Itupun hanya dari ulama yang membidahkannya saja…
Yang menjadi masalah adalah sejauh mana perayaan itu dikatakan sebagai bidah…? Apakah setiap kata2 perayaan itu dikatakan bidah..? Padahal dalam prakteknya kata2 perayaan maulid itu hanya untuk sekedar dalam rangka saja. Hakikatnya mereka tidak menganggap perayaan itu sebagai bentuk ibadah. Agaknya sang penulis perlu memandang dalam tataran praktis juga. bagaimana sih penerapan masyarakat sekarang dalam merayakan maulid. Apakah masih bidah atau gimana? Jangan sampai niatnya mau amar ma’ruf tapi justru membuat munkar baru.
@deteksi
jangan2 umat Islam ini gak maju bukan karena meributkan bid’ah, tp karena terlalu disibukkan oleh bid’ah…
Betul Coba saja waktu dan biaya yang dibutuhkan untuk melakukan kebid’ahan dimanfaatkan untuk menuntut ilmu / bersedekah sesuai Alquran dan Assunnah pasti umat ini akan makmur.Lihat perayaan maulid di Jogja yang menghabiskan jutaan rupiah dan manfaat yang dapat ditarikpun sangat sedkit bahkan tidak ada, saya bisa menganalisa spt ini karena saya kelhiran jogja yang mengetahui seluk beluknya, kesirikan kemaksiatan yang sungguh memprihatinkan.
Assalamu ‘alaikum Wr. Wb.
Masalah dalil2an yg Insya Alloh berimbang 🙂 bisa dilihat di bawah ini:
1.) Dilihat dari sisi pandangan Ulama yg kontra: Maulid Nabi := “bid’ah=fin-nar” dalilnya := “Qur’an, Hadits, Qoul Ulama2 yg Kontra thdp Maulid Nabi” yg semuanya menyampaikan dalil/pendapatnya dengan hebat & meyakinkan umat baik awam maupun Khos
2.) Dilihat dari sisi pandangan Ulama yg Pro: Maulid Nabi := “no bid’ah” dalilnya := “Qur’an, Hadits, Qoul Ulama2 yg pro thdp Maulid Nabi” yg semuanya menyampaikan dalil/pendapatnya dengan hebat & meyakinkan umat baik awam maupun Khos
Yg Mayoritas:= Pro/Kontra <==== Jujur menurut statistik mayoritas Umat Islam di dunia gmn??? Apakah mayoritas Umat Sayyidina wa Maulana Muhammad SAW akan bersepakat dlm kemunkaran/kesesatan ataukah kebaikan/Hudaa?????
Sikap refleks dari rasa senang & Bahagia yg amat sangat atas lahirnya Jungjungan Alam Sayyidina wa Maulana Muhammad SAW yg merupakan wasilatul udzma` utk keselaman dunia & Akhirat selama tdk terdapat unsur munkarot yg tdk sesuai dgn Syara’ !?@#$%?
Sebagai mana ktika datang kpd qta kebahagiaan/rasa senang dikaruniai anak(misalnya) ataupun sesuatu yg qta anggap keuntungan besar bagi qta, kadang ucapan ataupun sikap qta refleks mengungkapkan rasa bahagia/senang tsb…..
Sebenarnya sikap reflek akibat bahagia/senang yg datang kpd qta, lbih hak mana antara lahirnya Sayyidina wa Maulana Muhammad SAW yg jelas2 Rohmatan lil ‘Aalamiin yg membawa syariat yg akan menyelamatkan umatnya dunia & akhirat, dibanding dengan lahirnya anak qta/siapa pun yg belum tentu membawa kebahagiaan dunia bahkan akhirat???
afwan kbanyakan tanda tanya saking ngga ngerti ane 😀
sekian
Wassalamu ‘alaikum Wr. Wb.
ane tunggu jawaban nya!
Tp kalo bingngung jwb/emang nda bisa, ngga apa2 kok nda dipublikasikan juga 😀
Jawabannya simple… Alloh Ta’ala berfirman :
“Dan jika kamu menuruti kebanyakan orang-orang yang di muka bumi ini, niscaya mereka akan menyesatkanmu dari jalan Allah. Mereka tidak lain hanyalah mengikuti persangkaan belaka, dan mereka tidak lain hanyalah berdusta (terhadap Allah).” (Al An’am: 116)
“Dan sebahagian besar manusia tidak akan beriman, walaupun kamu sangat menginginkannya” [Yusuf: 103]
“Tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui” [Al-A’raaf: 187]
Dan masih banyak lagi ayat-2 yg menjelaskan akan celaan thd mayoritas atau kebanyakan manusia. Karena “Qolilun min ‘ibadiya syakuur” (sedikit dari hamba-2 Alloh yang bersyukur).
================================
Syukron atas tanggapan antum, Tanda tanya ane masih banyak, nda sbanding dengan jawaban tiga titik dari antum 😀 Afwan!!!
Ane rasa dalil diatas merupakan perbandingan antara Muslim dan non Muslim, yg beriman dan yg kufur yg memang menurut statistik, non muslim lbih besar dari-pada muslim di dunia ini, ane berbicara tentang perbandingan intern umat Sayyidina wa Maulana Muhammad SAW (khususnya ahlil ‘ilmi) —> baik Ulama’ versi yg Pro maupun yg kontra ttng Maulid.
Mslh Ijma, kalo pun perayaan maulid ataupun hukum2 yg lainnya belum ada ijma(masih dalam perbedaan pendapat ahli ‘ilmi) antara yg membolehkan dan yg melarang, maka ane pribadi akan mengikti yg mayoritasnya aja. Lagian blum ada ijma ulama secara keseluruhan yg mengharamkan Maulid nabi, kalo pun ada pasti itu versi yg kontra, maka umat yg pro juga akan menjawab/berpegang pd ijma ulama yg pro. Yg pro punya “Ijma ulama”-nya, demikian yg kontra
Antum bertanyaan:
“Sekiranya logika anda benar, coba anda survey berapa kaum muslimin yg sholat dg yg tidak sholat. Banyak mana?”
ane rasa itu tdk nyambung dengan apa yg ane maksud, ane ngebahas mslh “suatu hukum” yg masih dlm perdebatan bukan masalah hukum yg sudah jelas2 ijma umat. Hukum meninggalkan Sholat, muslim mana pun bahkan orang awam sekalipun pasti menghukumi perbuatan tsb dosa walo pun mayoritas mungkin tdk sholat(banyak umat yg tdk Sholat mnurut antum)—> afwan tp ane ngga’ mau su-udzon kpd muslim lain krn ane tdk lbih baik drpd orang lain…
Sekiranya logika anda benar “…mayoritas umat tdk solat…dst” berarti antum memilih golongan manapun yg penting minoritas umat yg mengaku muslim, trus di dunia ini berapa perbandingan jml yg mengaku muslim antara penghuni LP dengan yg tdk menghuninya? antara yg mempunyai ahlak kaum nabi Lut AS dgn yg tdk? dll. Wal’iyadzubillah…. Tp Insya Alloh ana khusnudzon, maksud antum pasti tdk demikian.
Afwan, mudah2an Alloh SWT memaafkan ane, antum da siapa saja, bila dalam posting komentar ini ada perasaan merendahkan satu sama lian!!!!! ana sama sekali tdk ingin ada perasaan/motifasi2 jelek di sini, ane hanya kpingin ngutarain alasan ane pribadi dlm hal peringatan mauilid supaya tdk ada su’udzon antara yg pro & kontra. Ana tdk bermaksud memaksa pihak lain yg berbeda pendapat dengan ana supaya mendukung keyakinan yg ana anggap benar, sebagai mana antum melakukan fosting artikel ini, ana yakin antum mempunyai motifasi “pemurnian aqidah” meluruskan pemahaman2 yg menurut antum tdk sejalan dengan Qur’an, sunnah serta ijma salafus-Shaleh RA.
Ana cuma saran gmn supaya penyampaian sesuatu yg menurut anggapan antum sesuai dgn Syara (Qur’an, Hadits, Ijma’ Ulama dgn pemahaman Salafus Sholeh) bisa menyejukan sebagaimana yg dicontohkan “Sayyidus-Salaf” bil-latii hiya ahsan….
“JAYA LAH AHLUS-SUNNAH….!”
Wa Salamu ‘alaikum Wr. Wb.
Saudara yang budiman yang seneng banget,
Alloh tabaroka wa ta’ala berfirman :
“Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya” Anisa 59.
“Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah” Alahzab 21.
“Jika saudara yang lagi seneng banget, ketahuilah bahwa manusia yang paling Ma’sum hanya Rasululloh Sholollohualaihi wassalam, maka jadikan beliau tauladan yang kita taati, Jikalau Peringatan Maulid Nabi ini baik, tentu Rasululloh Sholollohualai wassalam yang akan memberi contoh paling dahulu”
“Maka perhatikan dan telitilah, apakah rasululloh mencontohkan Maulid seperti ini?”
“Jika jawabnya tidak mencontontohkan,lalu mengapa kita menjalankan sesuatu yang tak
dicontohkan Rasululloh?”
“Apakah benar kita mengaku menghormati pendapat ulama’ tapi disisi lain menyelesihi Perintah Rasululloh Sholollohu alaihi wassalam, Dimana Rasululloh menyeru untuk menyelisihi Kebiasaan kaum Yahudi dan Nasoro”
“Ataukah mungkin kita hanya mengikuti kebiasaan kebanyakan manusia?”
“Sungguh hamba-hamba yang berkeyakinan benar tiada keberatan mengikuti hukum yang haq (Kembali kepada Alqur’an dan Assunah), dan mereka hamba beriman mempunyai hati yang legowo atas ketetapan Alloh dan Rasul-Nya, Kemudian Mereka Berkata “Kami mendengar dan kami patuh kepada Alloh dan Rasul-Nya”.
Semoga Alloh Menunjuki kita semua untuk menggunakan logika kita diatas Akidah dan kaidah-kaidah yang benar. Allohua’lam Bish showab.
tanya:
Di tempat saya, karena takut bid’ah, akhirnya semua hal yang berkaitan dengan maulid ditiadakan.
Pekan berikutnya semua orang Islam ditanya, “Siapa yang ingat bahwa pekan lalu adalah tanggal kelahiran Rasulullah ?”
Ternyata, tidak satupun yang ingat.
Jadi, bagaimana solusinya ? Apa mengganti materi pengajian rutin menjadi sirah nabi pun harus dipukul rata sebagai bid’ah ? 🙂
Bagaimana pula kalau tidak ada pengajian rutin ?
Dari tanggapan antum & Ashab Antum, sederhana sj jawaban ana:
Antum bebas mengklaim golongan/sekte Antum sj yg punya/menguasi dalil dan hujah, Antum kira mayoritas ulama lain tdk mengetahui dalil/hujah? Apa Antum kira golongan diluar Antum tdk menguasai ilmu2 Qur’an & Hadits? Afwan Akhi, inilah salah satu penyakit mahluq yg sangat sukar diobati yaitu “takabur” merasa paling benar, paling mengikuti hujjah/dalil Qur’an & Hadits, paling ittiba thdp generasi Sahabat & Salafus-Shaleh dll…. diluar sekte-nya adalah bodoh, bid’ah tdk mengerti ilmu agama dll. Penyakit ini pula (Takabur/merasa paling benar dll) yg merupakan dosa pertama yg dilakukan mahluk ke pd Allo SWT dengan ucapannya “Ana Khoirun min hu….”
Kalo boleh tanya dari mana Antum mengambil dalil? apakah sanad2 yg Antum ambil muttasil, sampai pada Nabi SAW???? Jangan hanya bicara/ngaku mengikuti RasuluLloh SAW Sohabat, & generasi Salafus-Sholeh lainnya, kalo hanya bicara, siapapun bisa. Alhamdulillah Guru2 & Ulama2 kami mempunyai sanad yg muttasil sampai kpd Sayyidina wa Maulana Muhammad SAW. dgn sanad2 yg Tsiqoh. (ana cuma Tahaduts bi Ni’mah)
Masalah dalil2, sangat banyak utk menghemat ruang komentar ini, ana yakin antum bisa searching di Google dalil2 yg membolehkan Maulid, bukannya apa2 tp supaya antum bisa menilai suatu hukum secara berimbang dari dua kutub yg berbeda & supaya pemikiran qta tdk picik! Antum hanya melihat dari sisi pandang “Ulama” anda saja, seperti yg tlah ana sampaikan, jangan membiasakan berfikiran picik!
Afwan, Ana yaqin banyak kt2 ana yg dirasakan menyakitkan, ana minta maaf ana tdk bermaksud demikian, tp kadang kalo penyakit sudah akut perlu penanganan khusus yg tdk jarang akan merasakan kesakitan yg amat, tp bersabarlah kalo qta ingin cpat sembuh!
Afwan sekali lgi…”Takabur kpd orang takabur = Sodaqoh”
Salam hormat ana utk Guru2 antum yg mulia & Keluarga! Smoga Alloh membersihkan hati qta dari sifat Takabur & penyakit2 hati lainnya! Semoga aqidah yg qta pegang benar2 diatas jalur yg benar(Qur’an & Hadits) dengan pemahaman Salafus-Sholeh! Semoga qta dikaruniai kelapangan hati dalam menerima kebenaran! Aamiiin
anakbangsa berkata:
Tidaklah kita boleh menyalahkan yang karena sebab yang tidak pasti
dan pastinya mereka memiliki hadist yang kuat pula
dan janganlah kalian saudaraku terkenan makanan setan untuk membunuh dirinya sendiri
dan apakah kita tiada berpikir bahwasanya ISLAM hancur bukan karena dikalahkan musuh tapi hancur oleh tangannya sendiri
Perangilah yag wajib kalian perangi (Orang yang sesat yang benar2 sesat)
Musuhilah yang wajib kalian musuhi (Iblis & keturunannya)
Sebagai penyeimbang ttg hukum memperingati Maulid, coba simak ini
Pendapat Para Ulama Ahlu sunnah wal jamaah ttg Maulid.
Masih ada yg lain. Namun itu saya kira mencukupi. Semoga manfaat
[…] pm dan disimpan dalam Bid’ah. . Anda bisa mengikuti setiap tanggapan atas artikel ini melalui RSS 2.0 pengumpan. Anda bisa tinggalkan tanggapan, atau lacak tautan dari situsmu […]
Artikel di atas dinukil dari situs shufiy yang mengagungkan Habib Ali al-Jufri …
====
Mestinya yg disebut ulama2 salaf bukan hanya ulama2 dari Saudi dkk saja.
Dari siapapun hujah harus dilihat secara obyektif. Lihatlah isi di dalamnya, ada banyak pendapat2 ulama ahlu sunnah waljamaah. Sejak zaman 500-an H ulama2 telah menyetujuinya. Ibnu Katsir, Ibnu Hajr, as Suyuti, Qasthalany, Al Iraqy, dll. Bukankah mereka itu ulama2 salaf juga?
Melihat banyak artikel anda yg lain mengutip pendapat Ibnu Hajr atau Ibnu Katsir, kenapa kali ini tak dikutib pendapatnya?
Para ulama ahlu sunnah waljamaah ramai2 menggubah kitab Maulid. Bahkan ibnu katsir pun ada mengarang kitab Maulid. Lihat link di atas. Apakah ini akan diingkari juga.
Maaf kl tak berkenan.
Assalamu ‘alaikum Wr. Wb.
SALAM KENAL….
DARI PERSOALAN DIATAS, ANA HANYA COMMENT… ” KALAU SEKIRANYA PERBUATAN ITU BAIK, TENTU PARA SHAHABAT RA TELAH MENDAHULUI KITA UNTUK MENGERJAKANNYA ”
Assalamu ‘alaikum Wr. Wb.
deva berkata :
assalamu’alaikum wr. wb.
Salam kenal…
kita harus dewasa dalam beragama …..
Assalamu’alaikum wr, wb
@yansya (#16)
Ada banyak perbuatan baik yg para sahabat tak mengerjakannya.
Menulis hadits, memberi tanda waqaf al Qur’an, menomori surat dan ayat al Qur’an, menulis sirah Nabawi, menulis kitab tata bahasa arab, dan masih banyak lagi, termasuk menulis kitab Maulid. Itu semua tak dilakukan para sahabat ra. Padahal ke semuanya adalah perbuatan baik.
Maka di sini argumen anda lemah sekali.
Seharusnya lah anda bersikap adil. Jika kitab sirah, tata bahasa, memberi tanda waqaf Qur’an dan semisalnya termasuk maslahah mursalah, maka kitab maulid pun termasuk maslahah mursalah juga.
Seandainya ada yg salah di dalam kitab, maka sdh sepantasnya dihukumi menurut kesalahannya. Dan itu berlaku untuk semua kitab, tak hanya untuk Maulid saja.
Memperketat hukum untuk satu hal (kitab Maulid) dan melonggarkan ke hal lain (kitab2 yg lain) adalah standard ganda. Ini perbuatan dzolim.
Selain itu, tudingan anda (ttg kitab maulid) di atas harus dibuktikan. Apalagi banyak para ulama salafus saleh yg mengarangnya, sebagaimana komentar saya sebelumnya (#13).
Jika tudingan tak terbukti, maka fitnah lah yang telah disebarkan.
Maaf kl tak berkenan. Wallahu a’lam.