MENYINGKAP WAHHABISME

 Jan, 04 - 2008   no comments   Diskursus

WAHHABISME EXPOSED“MENYINGKAP WAHHABISME”

Hidaayah Islamic Foundation [ Sri Lanka ]

 

Pada paruh pertama abad kedua belas (hijrîyah), dunia Islâm mengalami kemunduran, kehinaan dan kejatuhan yang amat sangat. Atmosfer yang melingkupi seluruh wilayah Islâm dalam keadaan sangat suram dan gelap. Degradasi dan penyelewengan akhlâq (moral) merajalela di mana-mana. Agama pun juga mengalami kemerosotoan sebagaimana seluruh aspek lainnya.

Ajaran tauhîd (monotheisme) Nabî Shallâllâhu ‘alaihi wa Sallam yang murni dan tegas mulai terkotori oleh khurôfat dan takhâyul yang tumbuh dan berkembang pesat. Masjid-masjid mulai kosong ditinggalkan dan bahkan dilupakan. Banyak masyarakat awam yang jâhil yang tertipu dengan jimat-jimat, jampi-jampi (mantra) dan bulir tasbih, hanya mendengar dan bertaklid buta kepada kaum shūfî yang berlagak faqîr yang menyedihkan dan kaum Darwisy yang (gemar menari-nari) penuh kebahagiaan.

Orang-orang shūfî ini mendorong masyarakat untuk berhaji dan melakukan thowâf di kuburan-kuburan para wali dan bertawassul kepada mereka ketika berdoa kepada Allôh. Mereka begitu sangat jâhil-nya dan menentang aturan akhlâq yang diperintahkan di dalam al-Qur`ân. Mereka bahkan sudah terbiasa mengkonsumsi khomr (minuman keras) dan candu (opium). Seluruh dimensi kehidupan telah menghancurkan Islâm, tidak meninggalkan sesuatu apapun melainkan hanya ritual kering yang tidak bermakna dan khurofat yang menghinakan.

Periode kaum salaf (pendahulu) yang shâlih telah berlalu, bid’ah-bid’ah dan khurofât pun bermunculan keluar dan menjamur dengan begitu cepatnya. Masyarakat kembali kepada praktek lamanya di dalam pemujaan berhala. Mereka mulai memberikan ta’zhîm (pengagungan) terhadap tempat-tempat yang dikeramatkan dan kuburan. Begitu besarnya pengagungan mereka sehingga mereka bahkan mengarahkan ibadah sholât dan do’a mereka kepada makam-makam selain kepada Allôh. Mereka lebih mendahulukan pendapat filosofi dan taqlîd buta ketimbang sunnah. Mereka pun mencopot sifat-sifat (Rubūbîyah dan Ulūhiyah) Allôh yang mulia dengan membuat penakwilan-penakwilan bâthil terhadap nash al-Qur`ân.

Namun, segala puji hanyalah milik Allôh. Tidak ada generasi yang secara terus menerus senantiasa diliputi oleh kebid’ahan dan kesyirikan yang buruk, kosong dari para mujaddid (reformis) yang lurus yang akan memperbaharui (tajdîd) aqîdah ummat kembali kepada keaslian dan kemurniannya.

Pada zaman kegelapan tersebut, sebuah suara muncul memekik dari hamparan padang pasir Arab tempat kelahiran Islâm, menyeru kepada keimanan untuk kembali ke jalur yang benar, kepada satu-satunya jalan, yaitu al-Qur`ân dan as-Sunnah. Pekikan itu berasal dari seorang mujaddid besar, mushlih (reformis) yang puritan, seorang syaikh ternama, Muhammad bin ‘Abdil Wahhâb, yang menyulut pelita yang cahayanya menyebar dan meliputi sampai ke ujung terjauh dunia Islâm. Membersihkan Islâm dari kotorannya dan menghidupkan kembali semangat keislaman yang telah sirna. Fajar reformasi telah menyingsing dan kebangkitan kembali dunia Islâm telah mulai secara besar-besaran.

Gerakan Syaikh yang damai, relijius dan tajdîd, menyebabkan kaum Turki dan selainnya menjadi jengkel. Mereka berupaya menekan gerakan ini dengan kekuatan. Mereka bahkan membunuh beberapa pemimpin dakwah, namun mereka tidak mampu menghancurkan gerakan ini sama sekali. Gerakan ini tetap tumbuh berkembang dan bahkan sekarang berkembang di seluruh penjuru dunia. Dimana pun di negeri Islâm, kita dapat menyaksikan berkembangnya panji-panji tauhîd dan pembaharuan dakwah yang menyeru kepada al-Qur`ân dan as-Sunnah.

Di seluruh penjuru dunia Islâm, kita melihat adanya kaum muslimin, baik secara perseorangan maupun jama’î (kolektif), memproklamirkan dakwah yang menyeru kepada tauhîd dan kembali kepada al-Qur‘ân dan as-Sunnah, yang berhadapan dan menentang para penyembah wali dan kuburan, serta kaum shūfî dan pengikut tharîqât shūfîyah. Semua kelompok sesat ini, mendakwakan diri secara bâthil sebagai Ahlus Sunnah wal Jamâ’ah dan menjuluki para du’ât kebenaran sebagai ‘Wahhâbiyun’.

Di dalam pandangan propaganda yang tercela dan bâthil yang digunakan untuk menentang gerakan reformis Syaikh Muhammad bin ‘Abdil Wahhâb, menggunakan kata ‘Wahhâbî’ dengan maksud menghina gerakan dan pengikut dakwah, kita insyâ Allôh di dalam artikel ini akan memberikan klarifikasi ringkas mengenainya, dengan menjelaskan peristiwa penting di dalam kehidupan Syaikh dan menjelaskan aqîdah dan karya tulis beliau yang jelas.

 

SEJARAH HIDUP BELIAU

Syaikh Muhammad bin ‘Abdil Wahhâb bin Sulaimân bin ‘Alî bin Muhammad bin Ahmad bin Rasyîd at-Tamimî dilahirkan pada tahun 1115 H (1703 M) di ’Uyainah, utara Riyâdh, Kerajaan Arab Saudi di masa pemerintahan ’Abdullâh bin Muhammad bin Hamd bin Mu’ammar. Beliau melampaui rekan-rekan sejawatnya di dalam intelektualitas dan fisik serta beliau telah menghapal al-Qur`ân semenjak beliau berusia 10 tahun. Ayahanda beliau mendapati bahwa beliau telah mampu untuk menjadi imâm sholât berjama’ah dan memutuskan agar beliau menikah pada tahun itu (yaitu pada usia 10 tahun). Beliau mempelajari fiqih Hanbalî, tafsîr dan hadîts dari ayahandanya. Selama masa kanaknya, beliau memberikan perhatian penuh mempelajari buku-buku tafsîr, hadîts dan aqîdah, terutama karya-karya Syaikhul Islâm Ibnu Taimiyah dan Ibnul Qoyyim, dan beliau mempelajarinya secara mendalam.

Beliau meninggalkan kampung halamannya dalam rangka menunaikan haji, kemudian beliau pergi ke Madinah. Pada saat itu, Syaikh ’Abdullâh bin Ibrâhîm bin Saif Âlu (keturunan) Saif Najdi merupakan ketua ulama Madînah. Syaikh Muhammad memperoleh kesempatan menimba ilmu dari beliau dan beliau pun menjadi murid kesayangan dan yang paling dikagumi oleh gurunya. Sikapnya yang kuat dan perhatiannya yang dalam (di dalam mengingkari) aqîdah yang bâthil dan perbuatan yang buruk menjadikan beliau memiliki ikatan yang kuat dengan gurunya. Syaikh ’Abdullâh sangat takjub dengan muridnya sehingga beliaupun memberikan ijâzah kepada Syaikh Muhammad untuk meriwayatkan hadîts masyhūr dari dua isnâd, yaitu : Pertama, sanad dari Ibnu Muflih, meriwayatkan dari Syaikh Ibnu Taimîyah dan sampai ke Imâm Ahmad. Kedua, sanad dari ’Abdurrahman bin Rajab, meriwayatkan dari Ibnul Qoyyim yang meriwayatkan dari gurunya, Syaikh Ibnu Taimîyah, sampai ke Imâm Ahmad.

Syaikh ’Abdullâh juga memberikan ijâzah kepada beliau untuk meriwayatkan semua hadîts yang diriwatkan oleh Syaikh ’Abdul Bâqî al-Hanbalî, pemimpin para ulâma besar di zamannya. Beliau juga memberi ijâzah kepada Syaikh Muhammad untuk meriwayatkan ahâdîts Shahîh Bukhârî dan Muslim beserta syarh keduanya, Sunan at-Tirmidzî, an-Nasâ`î, Abū Dâwud, Ibnu Mâjah, Muwaththo` Imâm Mâlik dan Musnad Imâm Ahmad.

Selama waktu itu pula, beliau juga menimba ilmu dan ber-istifâdah (mengambil manfaat) dari ulama-ulama lainnya, seperti ‘Alî Afandi ad-Dâghistânî, Ismâ’îl ‘Ajlūnî, dan lain-lain. Kemmudian setelah itu beliau pindah ke Najd, Bashrâ dan Suriah dalam rangka menuntut ilmu lebih dalam lagi. Beliau tinggal cukup lama di Bashrâ, dan menimba ilmu kepada sejumlah ulama ternama, yang terdepan diantara guru beliau di Bashrâ adalah Syaikh Muhammad al-Majmū’î. Pada waktu ini, beliau menyusun dan mempublikasikan beberapa buku yang berbobot seputar masalah bid’ah, khurofât dan tawassul kepada mayyit di kuburan. Beliau menyokong risalah tulisah beliau dan dalil-dalil dari al-Qur`ân.

Namun, para pembela kebâthilan menfitnah, menyiksa dan mengusir beliau dari Bashrâ. Mereka juga menganiaya guru beliau, Syaikh Majmū’î. Akhirnya beliau terpaksa meninggalkan kota, menuju kota Zubair di tengah terik panas yang membakar di musim panas, dan beliau hampir saja wafat karena kehausan. Hanya saja Allôh mengutus kepada beliau seorang yang bernama Abū Hamidan, dia mendapati Syaikh sebagai seorang berilmu dan shâlih, lantas ia menolong dan menaikkan Syaikh di atas hewan kendaraannya dan membawa beliau ke Zubair.

Syaikh Muhammad berfikir untuk pergi ke Suriah dalam rangka menghilangkan dahaga beliau akan ilmu, namun karena perbekalan yang minim memaksa beliau untuk kembali ke Najd. Beliau tiba di Ahsâ` dan tinggal bersama Syaikh ’Abdullâh bin ’Abdul Lathîf asy-Syâfi’î untuk menimba ilmu kepada beliau.

 

PRAKTEK TIDAK ISLAMI DI ZAMAN ITU

 

Syaikh Muhammad kemudian pergi ke Huraimalâ`, sebuah desa di Najd, pasalnya ayahanda beliau dipindahkan ke sana sehingga beliaupun ikut tinggal bersama ayahandanya.

Beliau mengabdikan dirinya secara penuh untuk mempelajari Tafsîr dan Hadîts, terutama karya-karya Syaikh Ibnu Taimîyah dan Syaikh Ibnul Qoyyim. Hal ini meningkatkan pengetahuan dan pemahaman beliau secara luar biasa dan memompakan ke dalam hatinya rūh ketetapan hati (azzam) dan ketabahan. Dengan pemahamannya yang dalam, beliau mampu melihat segala konsep tidak Islâmî dan praktek-praktek yang menyimpang yang mendominasi di Najd dan negeri-negeri lainnya yang beliau kunjungi. Bahkan di Madînah, beliau melihat masyarakat ber-istighôtsah (meminta pertolongan) kepada Rasūlullâh Shallâllâhu ’alaihi wa Sallam dan berdoa kepada beliau Shallâllâhu ’alaihi wa Sallam. Syaikh Muhammad pun akhirnya memutuskan untuk menyebarkan risâlah Islâm sebenarnya ke seluruh Jazîrah ’Arab.

Syaikh melihat bahwa Najd telah dipenuhi oleh berbagai aqîdah yang rusak dan praktek agama yang buruk yang menyelisihi pondasi (ushūl) agama yang sebenarnya. Ada sejumlah kuburan di wilayah Najd yang dinisbatkan sebagai makam beberapa sahabat Nabî Shallâllâhu ’alaihi wa Sallam. Masyarakat datang mengunjungi kuburan-kuburan ini dan ber-istighôtsah kepada mereka untuk memenuhi kebutuhan mereka.

Di Jubila, mereka mengunjungi makam Zaid bin Khaththâb dan berdoa memohon bantuan kepadanya untuk memenuhi kebutuhan mereka. Di Manhufa, masyarakat menjadikan sebuah pohon palem sebagai wasîlah, yang mereka percayai bahwa seorang perawan lajang yang mengunjungi pohon itu, dalam waktu dekat akan mendapatkan jodoh. Di Dar`iyah ada sebuah gua yang sering dikunjungi masyarakat. Demikian pula ada makam Dhirar bin al-Azwar di lembah Ghabirah yang sering diziarahi. Peristiwa ini mirip dengan sejarah di Bashrâ dan Zubair dimana masyarakat menyembah berhala para zaman pra-Islâm. Kondisi menyedihkan yang serupa juga terjadi di Irâq, Suriah, Mesir dan Yaman.

Syaikh Muhammad membandingkan seluruh praktek ini di bawah cahaya al-Qur`ân dan sunnah Nabi Muhammad Shallâllâhu ’alaihi wa Sallam dan para sahabatnya, dan beliau dapati bahwa praktek-praktek ini jauh dan tidak sesuai dengan agama dan rūh Islâm. Hal yang menyedihkan ini tidak hanya terjadi di tengah-tengah masyarakat Najd, namun juga di tempat lain, di dunia Islâm lainnya.

 

DAKWAH TAJDỈD KEPADA TAUHỈD MURNI

 

Syaikh mendapati bahwa masyarakat meninggalkan aqîdah mereka yang sebenarnya. Semakin beliau mempelajari penyimpangan mereka, semakin bertambah mantap keyakinan dan ketetapan beliau bahwa kaum muslimin harus merubah keadaan mereka dan harus menapaki jejak as-Salaf ash-Shâlih. Beberapa hadîts Nabî Shallâllâhu ‘alaihi wa Sallam menyatakan :

  1. Kalian harus mengikuti jalan orang-orang yang hidup sebelum kalian.

  2. Hari kiamat tidak akan tiba, sampai sekelompok dari umatku mulai menyembah berhala.

  3. Islâm bermula dari keadaan asing dan akan kembali dalam keadaan asing.

Syaikh Muhammad harus mengikrarkan secara terang-terangan kepada masyarakatnya, bahwa mereka telah menyimpang dari jalan yang lurus.

Beliau pun memulai dakwahnya kepada masyarakat Huraimalâ`, menjelaskan kepada mereka bahwa beliau hanya menyeru mereka kepada Allôh semata. Beliau mengingatkan mereka bahwa segala sesuatu haruslah hanya untuk Allôh semata dan mereka harus melepaskan keyakinan dan praktek mereka yang bâthil. Seruan beliau ini secara alami ditentang dan dilawan oleh masyarakatnya, bahkan oleh ayahanda beliau sendiri yang telah dihasut oleh ucapan-ucapan bâthil ahludh dhalâl.

Syaikh tetap melanjutkan dakwahnya walaupun dihalang-halangi, beliau tetap berceramah, menulis dan beramal dalam rangka menunjuki ummat. Akhirnya, mayoritas masyarakatnya yang baik mau menerima pandangan beliau. Ayahanda dan saudara beliau, Sulaimân, akhirnya menerima dakwah beliau setelah diskusi yang panjang. Pada tahun 1153 H., ayahanda beliau, ‘Abdul Wahhâb meninggal dunia. Pasca meninggalnya ayahanda beliau, masyarakat berbondong-bondong mulai menerima dakwah Syaikh dan meninggalkan konsep keyakinan mereka yang bâthil. Mereka merespon dakwah yang menyeru untuk kembali kepada sunnah Nabî Shallâllâhu ‘alaihi wa Sallam ini, baik dengan perkataan maupun perbuatan.

Selama rentang waktu ini, kota beliau dikuasai oleh dua kabilah yang kedua-duanya mengklaim memiliki kepimpinan, namun tidak ada satu pun yang mampu mengambil kendali secara penuh dan menjaga keadilan. Kedua kabilah ini, gemar memeperbudak rakyat dan melakukan perbuatan maksiat dan dosa. Ketika Syaikh berupaya untuk memperingatkan mereka, mereka merasa di atas angin dan bermaksud menyerang beliau, namun untungnya bisa dicegah oleh aksi beberapa orang yang shâlih tepat pada waktunya.

Akhirnya Syaikh terpaksa meninggalkan Huraimalâ` menuju ke kampung halamannya, ‘Uyainah, tempat dimana ayahanda beliau pernah hidup dan memimpin di sana. Di sini beliau berjumpa dengan ‘Utsmân bin Hamd bin Mu’ammar, seseorang yang syaikh menjelaskan gerakan reformisnya berdasarkan al-Qur`ân dan as-Sunnah. Beliau menerangkan kepadanya urgensi tauhîd dan betapa banyak keyakinan dan praktek masyarakat yang menyelisihi jalan yang lurus. Beliau mengatakan kepada ‘Utsmân, apabila dia mau mendukung faktor (agama) Allôh dan ucapan beliau, niscaya ia akan segara mendapatkan kepemimpinan di Najd dan menjadi raja dengan keberkahan abadi.

Utsmân menerima dengan rela seruan Syaikh. Sekali lagi Syaikh mendakwahi masyarakatnya untuk kembali beribadah hanya kepada Allôh semata dan tetap berpegang dengan sunnah Nabî Shallâllâhu ’alaihi wa Sallam. Syaikh memimpin untuk menebang pohon-pohon yang dikeramatkan dan disembah di wilayah tersebut. Beliau berhasil meratakan makam Zaid bin Khaththâb dengan bantuan ’Utsmân. Beliau juga menerapkan hukum rajam bagi orang yang berzina dengan seorang wanita yang mengakuinya.

Syaikh dan dakwah beliau mulai dikenal luas. Reputasi beliau menyebar luas hingga terdengar sampai ke Gubernur Ahsâ`, Sulaimân bin Muhammad bin ’Urai’ir dan anak-anak Khâlid. Manusia yang tidak tahu malu dan jâhil ini, mengirimkan surat ancaman kepada ’Ustmân menyatakan, ”Orang yang bersamamu itu mengatakan ini dan itu, dan jika surat ini telah sampai padamu, bunuhlah dia. Apabila tidak, kami akan menahan pajak (kharrâj) kalian yang ada pada kami di Ahsâ`.” Hal ini merupakan situasi yang pelik bagi ’Utsmân. Untuk melawan ’Urai`ir ia merasa tidak mampu. Khawatir atas ancaman tersebut dan lemahnya keimanannya, Ibnu Mu’ammar akhirnya memerintahkan supaya Syaikh diusir dari negerinya.

Syaikh meninggalkan kota dengan berjalan kaki diantar pasukan berkuda ’Utsmân, melalui padang pasir di tengah teriknya matahari yang membakar, dengan hanya berbekal keyakinan kepada Allôh. Akhirnya beliau sampai ke negeri Dar`iyyah, dan menjadi tamu ’Abdurrahman bin Suwailim. Melalui Ibnu Suwailim ini, banyak orang-orang terkemuka mengenal Syaikh. Mereka mengunjungi Syaikh secara diam-diam dan Syaikh mengajarkan kepada mereka makna dan hakikat tauhîd serta urgensinya.

Diantara mereka yang sering mengunjungi Syaikh adalah dua orang saudara dari pangeran Muhammad bin Sa`ud. Dua orang saudara ini setelah diskusi yang cukup lama dan dibimbing oleh Syaikh mengalami pencerahan. Mereka pun menjelaskan kepada saudara mereka, pangeran Muhammad bahwa Syaikh Muhammad bin ’Abdil Wahhâb tinggal bersama Ibnu Suwailim dan beliau adalah sebuah berkah yang Allôh turunkan bagi mereka. Mereka mendorong pangeran untuk menemui Syaikh.

 

PANGERAN MUHAMMAD BIN SA`UD MENERIMA SYAIKH

 

Pangeran Muhammad mau menerima saran kedua saudaranya dan menemui Syaikh. Beliau pun mengajak pangeran kepada tauhîd dan menjelaskan bahwa hal ini merupakan risâlah yang Allôh mengutus seluruh nabî dengannya. Beliau juga mengarahkan perhatian pangeran terhadap maraknya praktek kesyirikan dan konsep-konsep bâthil pada masyarakat Najd. Beliau menginginkan agar pangeran dapat menjadi pemimpin kaum muslimin. Pangeran menyetujui keinginan Syaikh dan menawarkan pertolongan serta bantuan untuk mengemban tugas ini. Beliau juga berjanji untuk senantiasa berpegang kepada sunnah Nabî Shallâllâhu ‘alaihi wa Sallam dan senantiasa beramar ma’rūf nahî munkar.

Setelah Syaikh menetap di Dar’îyah, masyarakat mulai datang mengerumuni beliau dari segala wilayah dan menyambung kekeluargaan serta menerima dakwah beliau. Pada saat itu pula, ‘Utsmân bin Mu’ammar yang mengusir Syaikh dari wilayahnya mengetahui bahwa pangeran Muhammad menerima dakwah Syaikh Muhammad, sehingga ia menjadi sangat menyesal atas apa yang ia lakukan kepada Syaikh.

Utsmân bin Mu’amar, dengan disertai sejumlah besar delegasi, datang ke Dar`îyah dan mengajukan permohonan maaf kepada Syaikh. Mereka meminta agar syaikh mau kembali kepada mereka. Syaikh memberikan jawaban bahwa semua ini tergantung kepada kehendak pangeran Muhammad (jika ia mengizinkan niscaya Syaikh akan kembali kepada mereka). Namun, pangeran Muhammad menolak dan tidak menerima permohonan mereka, sehingga ‘Utsmân dan pengikutnya pun kembali dengan kekecewaan.

 

SYAIKH MENDAPATKAN PENGIKUT

 

Setelah itu, manusia datang berbondong-bondong kepada syaikh, untuk menuntut ilmu yang murni yang tidak dikotori oleh khurofât dan kebâthilan. Beliau menjelaskan kepada mereka hakikat makna “Lâ Ilâha illa Allôh” berserta konsekuensinya. Beliau menekankan urgensinya penafian (peniadaan) segala bentuk sesembahan yang bâthil dan mengistbatkan (menetapkan) Allôh (sebagai satu-satu-Nya yang berhak disembah) beserta segala sifat-sifat-Nya. Syaikh menjalin hubungan dengan masyarakat di luar kota dan mengajak mereka untuk menerima dakwah ini dan mengikuti gerakan beliau dalam rangka untuk memusnahkan segala bentuk kesyirikan dan praktek-prakteknya yang buruk.

Beberapa dari mereka menerima sedangkan lainnya ada yang menolak, bahkan sebagian lagi mengejek beliau dan menuduh beliau melakukan sihir. Beliau tetap melanjutkan dakwah beliau dan tidak merasa terhalangi. Musuh-musuh dakwah berkumpul dan melakukan pertemuan untuk menghancurkan gerakan dakwah syaikh yang masih baru dengan segala cara. Syaikh Muhammad dan pangeran tidak memiliki cara lain melainkan mengangkat senjata untuk mempertahankan dakwah ini. Peperangan pun berlangsung selama bertahun-tahun dan desa demi desa jatuh ke tangan peresekutuan (aliansi) baru. Beberapa musuh dakwah secara suka rela mulai mau menerima dakwah ini ketika mereka menyadari hakikat sebenarnya dakwah ini.

Segala upaya yang dikerahkan oleh kelompok sesat ini, yang berupaya menghancurkan dakwah Syaikh dengan berbagai macam cara mengalami kekalahan yang sangat pelik. Setelah menaklukkan Riyâdh pada tahun 1187 H, syaikh mempercayakan kepemimpinan umat kepada pangeran ’Abdul ’Azîz bin Muhammad bin Sa`ūd dan beliau lebih mengabdikan waktu beliau untuk beribadah, belajar dan mengajar. Pangeran Muhammad dan puteranya, ’Abdul ’Azîz selalu berkonsultasi dengan beliau sebelum mereka melakukan sesuatu dan beliau memberikan fatwa kepada mereka. Setelah perjuangan berat yang panjang dan telah mencapai tujuan, syaikh meninggal dunia pada Dzul Qo’dah 1206 H. (Semoga Allôh merahmati beliau dan menerima segala amal, dakwah dan jihâd beliau).

 

KARYA TULIS BELIAU

 

Syaikh menulis sejumlah buku, yang paling dikenal diantaranya adalah Kitâbut Tauhîd yang tidak butuh lagi pengenalan akan isinya. Buku lainnya lagi adalah, Kasyfu asy-Syubuhât, Tsalâtsatul ’Ushūl, Mukhtashor as-Sîrah an-Nabawîyah, Mukhtashor al-Inshâf, Syarhul Kabîr fîl Fiqhi, Nashîhatul Muslimîn bi Âhâdîtsi Khatamin Nabîyîn, Kitâb al-Kabâ`ir, Ahâdîtsul Fitan dan beberapa risalah lainnya (surat-surat beliau kepada para penguasa dan pemimpin muslim) yang hampir kesemuanya membahas tentang masalah tauhîd.

Di dalam kitâb ’Unwânul Mâjid, syaikh memiliki banyak murid, diantara mereka adalah putera-putera beliau sendiri yang akhirnya menjadi para ulama terkenal. Keempat putera beliau, Husain, ’Abdullâh, ’Alî dan Ibrâhîm mendirikan madrasah yang dekat dengan rumah mereka dan mengajar para pemuda dan para penuntut ilmu dari Dar`îyah dan wilayah lainnya. Anak kelima syaikh tidak belajar kepada beliau, karena meninggal pada usia muda.

Diantara murid-murid Syaikh yang menimba ilmu dari beliau dan memiliki kedudukan sebagai Qâdhî dan Muftî adalah :

  1. Syaikh ‘Abdul ‘Azîz bin ‘Abdillâh al-Husain an-Nâsim yang menjadi qôdhî di wilayah al-Washmi.

  2. Syaikh Sa’îd bin Hijji yang menjadi qôdhî Hauta dari Banî Tamîm.

  3. Syaikh ‘Abdurrahman bin Nâmi yang menjadi qôdhî di ‘Uyainah.

  4. Syaikh Ahmad bin Rasyîd al-‘Urainî yang menjadi qôdhî di Sudair.

Diantara murid terdepan syaikh adalah Syaikh Muhammad bin Ibrâhîm bin ‘Abdil Lathîf bin ‘Abdirrahman bin Hasan yang menjadi mufti utama Arab Saudi.

 

 

 

RINGKASAN PERJUANGAN SYAIKH MUHAMMAD

 

Oleh karena pandangan syaikh yang kuat terhadap tauhîd, beliau menjadi seorang figur yang kontroversial semenjak masa hidup beliau sampai setelah wafatnya beliau hingga hari ini. Kami akan menyebutkankan kembali komunikasi beliau dan intisari risalah-risalah yang beliau tuliskan (kepada para pembesar dan pemimpin ‘Arab) supaya para pembaca dapat mengambil faidah darinya. Berikut ini adalah risalah yang beliau tuliskan untuk menjawab surat as-Suwadi, salah seorang ulama Iraq :

Dari Muhammad bin ‘Abdil Wahhâb teruntuk saudaranya seiman, ‘Abdurrahman bin ‘Abdullâh –semoga Allôh senantiasa melimpahkan keselamatan, rahmat dan barokahnya kepada anda-. ‘Amma Ba’du : Saya berbahagia sekali menerima surat anda, semoga Allôh menjadikan anda sebagai salah seorang pemimpin orang-orang yang shâlih dan sebagai seorang da’î yang menyeru kepada agamanya penghulu para nabî (Shallâllâhu ‘alaihi wa Sallam).

Saya bermaksud menjelaskan kepada anda bahwa saya, dengan segala puji bagi Allôh, adalah seorang muttabi’ (yang mengikuti sunnah Rasūlullâh) bukan seorang mubtadi’ (pelaku bid’ah). Keyakinan yang aku beragama dengannya dan beribadah kepada Allôh adalah sama dengan madzhabnya ahlus sunnah wal jamâ’ah dan sebagaimana yang diyakini oleh para imam kaum muslimin seperti empat imâm madzhab dan pengikut mereka sampai hari kiamat kelak.

Walau demikian, saya menekankan dakwah saya kepada keikhlasan dan kejujuran (yaitu tauhîd) di dalam beribadah kepada Allôh. Saya mengajak masyarakat supaya tidak berdoa dan meminta tolong (istighôtsah) kepada orang yang masih hidup ataupun yang telah mati dari para wali maupun orang-orang yang shâlih. Saya juga menasehati mereka untuk meninggalkan perbuatan syirik dan hanya mengarahkan segala bentuk ibadah kepada Allôh semata, baik berupa penyembelihan kurban, nadzar, sujud maupun ibadah lainnya yang seharusnya hanya ditujukan kepada Allôh semata. Tiada satupun sekutu bagi Allôh baik itu malaikat maupun para nabi yang diutus-Nya. Hanya kepada-Nya semata para nabî dari yang pertama hingga yang terakhir memerintahkan untuk mentaati dan mengibadahi. Dan inilah madzhab yang diikuti oleh ahlus sunnah wal jamâ’ah.

Saya juga telah mengatakan kepada masyarakat dengan ucapan yang jelas, bahwa kaum yang pertama kali mengenalkan kesyirikan ini (kepada ummat Islâm) adalah kaum Râfidhah yang memohon kepada ’Alî dan selain beliau, beristighôtsah kepadanya untuk memenuhi hajat mereka dan menjauhkan mereka dari segala kesengsaraan.

Saya mendirikan sebuah maktab di kotaku, dimana masyarakat banyak yang mendengarkan dan mentaatiku. Hal ini tidak disukai oleh beberapa pemimpin yang menguasai kota, sebagaimana telah saya katakan, mereka tidak menyukai segala hal yang menyelisihi tradisi mereka. Saya mengimami masyarakat pada sholat-sholat wajib dan mendorong mereka untuk menunaikan zakat dan menegakkan segala bentuk peribadatan lainnya hanya bagi Allôh. Saya melarang mereka dari perbuatan riba, meminum khamr dan segala bentuk yang memabukkan. Masyarakat pun akhirnya menentang penguasa mereka yang menyeleweng.

Inilah tauhîd yang aku dakwahkan. Namun orang-orang yang rusak lagi fasik di kota, mulai menisbatkan segala bentuk fitnah kepada diriku. Kejahatan mereka semakin menjadi-jadi, dan mereka mulai menyerang kita dengan bala tentara syaithân, baik kavaleri (pasukan berkuda) dan infanteri (pasukan yang berjalan kaki). Mereka menuduh bahwa saya telah menvonis kâfir semua masyarakat kecuali yang hanya mengikutiku saja. Saya juga (dituduh) menghukumi batalnya pernikahan mereka dengan bentuk yang salah dan tidak benar. Saya sendiri terheran-heran, bagaimana mungkin orang yang berakal dapat memikirkan dan berkata dengan sesuatu yang konyol seperti itu.

Saya, bersumpah di hadapan Allôh dan menyatakan dengan tegas bahwa saya terbebas dari segala bentuk fitnah semacam itu. Perkataan-perkataan yang semacam itu hanyalah berasal dari orang yang kehilangan akalnya. Segala bentuk hal yang disebutkan mengenai diriku selain dakwah tauhîd yang aku serukan dan larangan dari melakukan kesyirikan, maka hal itu adalah dusta.”

 

[Dialihbahasakan secara bebas oleh Muhammad Abū Salmâ dari ”Wahhabism Exposed” yang disusun oleh Hidaayah Islamic Foundation, Sri Lanka, di bawah arahan yang mulia, al-Ustadz Abu Aminah Bilal Philips]

 

Tambahan :

TULISAN TENTANG IMAM MUHAMMAD ABDUL WAHHAB

 

Berikut ini adalah beberapa karya tulisan para ulama Islâm mengenai hakikat dakwah Syaikh Muhammad bin ‘Abdil Wahhâb, yang mana apabila dikumpulkan semua judul-judulnya niscaya akan menjadi sebuah buku tersendiri yang cukup tebal. Namun kirinya, beberapa diantara yang disebutkan di bawah ini sudah mewakili :

  • Muhammad bin ‘Abdil Wahhâb karya Ahmad bin ‘Abdil Ghafūr Athâr

  • Dâ’iyatu at-Tauhîd Muhammad bin ‘Abdil Wahhâb karya ‘Abdul ‘Azîz Sayyidul Ahl

  • Sîrah al-Imâm Muhammad bin ‘Abdil Wahhâb karya ‘Amîn Sa’îd

  • Syaikh Muhammad bin ‘Abdil Wahhâb karya Ahmad bin Hajar ‘Âlu Būthâmî

  • Syaikh Muhammad bin ‘Abdil Wahhâb Hayâtuhu wa Fikruhu karya DR. ‘Abdullâh ash-Shâlih al-‘Utsaimîn

  • Al-Imâm asy-Syaikh Muhammad bin ‘Abdil Wahhâb fît Târikh karya ‘Abdullâh bin Sa’d ar-Ruwaisyid

  • Atsarud Da’wah al-Wahhâbîyah fîl Jazîrotil ‘Arob karya Muhammad Hâmid al-Fiqqî

  • Asy-Syaikh al-Imâm Muhammad bin ‘Abdil Wahhâb Hayâtuhu wa Da’watuhu karya DR. ‘Abdullâh bin Yūsuf asy-Syibl

  • Muhammad bin ‘Abdil Wahhâb Mushlih Mazhlūm Muftarâ ‘alaihi karya Mas’ūd ‘Âlim an-Nadwî

  • Da’watu al-Imâm Muhammad bin ‘Abdil Wahhâb Salafîyah Lâ Wahhâbiyah karya Ahmad bin ‘Abdil ‘Azîz al-Hushayin

  • Da’watu asy-Syaikh Muhammad bin ‘Abdil Wahhâb wa Atsaruhâ fîl ‘Âlam al-Islâmî karya DR. Ahmad bin ‘Athiyah az-Zahrônî

  • Aqîdatu asy-Syaikh Muhammad bin ‘Abdil Wahhâb as-Salafîyah wa Atsaruhâ fîl Âlam al-Islâmî karya Shâlih bin ‘Abdillâh al-‘Abūd

  • Da’âwî al-Munâwi`în li Da’wati asy-Syaikh Muhammad bin ‘Abdil Wahhâb ‘Irdh wa Naqd karya Prof. ‘Abdul ‘Azîz bin Muhammad al-‘Abdul Lathîf

  • Harokatu asy-Syaikh Muhammad bin ‘Abdil Wahhâb fîl ‘Âlam al-Islâmî karya Ustadz ‘Alî bin Bakhît az-Zahrônî

  • Haqîqotu Da’wati Syaikh Muhammad bin ’Abdil Wahhâb karya DR. Muhammad bin ‘Abdillah as-Salmân

  • Hayâtu Syaikh Muhammad bin ’Abdil Wahhâb karya Sulaimân bin ‘Abdillah al-Huqail.

  • Al-Wahhâbîyah Harokatul Fikr wa Daulah Islâmîyah karya ‘Abdurrahman bin Sulaimân ar-Rusyaid.

  • Islâmîyah Lâ Wahhâbîyah karya DR. Nâshir bin ‘Abdil Karîm al-‘Aql

  • Da’watu asy-Syaikh Muhammad bin ’Abdil Wahhâb bainal Mu’âridhîn wal Mu`ayyidîn karya Syaikh Muhammad bin Jamîl Zainū

 

DOWNLOAD ARTIKEL INI (FORMAT PDF EBOOK)


Related articles

Leave a Reply

Your email address will not be published. Fields with * are mandatory.