EBOOK : BEKAL-BEKAL IDUL ADHA

 Nov, 28 - 2007   11 comments

BEKAL IDUL ADHAbanner-new.gif

 

BEKAL-BEKAL

DI DALAM MENYAMBUT IDUL ADHA

 

Bulan Dzulhijjah adalah bulan yang penuh dengan keutamaan dan kebaikan. Namun sungguh sayang apabila bulan ini dilewatkan begitu saja. Untuk itulah, sebagai upaya untuk menyambut dan meramaikan bulan ini, saya menyusun risalah yang sederhana dan ringkas ini. Di dalam risalah ini, saya hanya menyusun permasalahan yang berkaitan dengan Dzulhijjah, hari raya ‘îdul adhhâ dan penyembelihan kurban secara ringkas. Saya tidak memaparkan secara mendetail berikut khilâf-khilâf yang ada di dalamnya, yang mana hal ini memerlukan upaya dan usaha tersendiri. Saya hanya memilihkan pendapat-pendapat yang râjih insyâ Allôh dari buku-buku para ulama.

Silakan Download

 


 Comments 11 comments

  • […] EBOOK : BEKAL-BEKAL IDUL ADHA […]

  • aburifqi says:

    Assalamualaikum.
    Afwan Akh, ana minta ijin mau ana copy tulisannya ke blog ana biar kalau ada kawan yang nggak buka blog antum tapi pas buka punya ana bisa download juga, soale kawan kerja ana kan beragam. Jazakallah khoiron.

    Wa’alaikumus salam. Tafadhdhol akhy.

  • abuannibras says:

    assalamu’alaikum mas,
    mau tanya supaya jelas,
    kalau saya membelikan 1 kurban berupa kambing dengan uang saya sendiri kemudian disembelih atas nama keluarga saya (mencakup ayah, ibu, satu adik saya dan saya sendiri, karena saya belum menikah) boleh tidak?
    kalau boleh apakah cakupan keluarga disini juga bisa termasuk kakek dan nenek saya, atau paman dan bibi saya?
    lalu, dalam membeli kambing tersebut apakah kita harus melihat fisik kambingnya? dikarenakan yang menjual adalah saudara saya sendiri yang butuh biaya namun tempat tinggalnya jauh, ataukah boleh melalui foto kambingnya saja dalam hal ini?
    jazakallohu khoiron

    Wa’alaikumus Salam
    Satu ekor kambing adalah untuk satu keluarga. Saya belum mendapatkan penjelasan rinci, batasan keluarga di sini seperti apa? Apakah hanya khusus isteri dan anak, ataukah paman, bibi, kakek, nenek dan selainnya masuk…
    Jadi, dalam hal ini, apabila antum mampunya berkurban hanya 1 kambing saja, maka hal ini telah mencukupi. Apabila mampu lebih maka hal ini insya Alloh lebih baik.
    Membeli kambing kurban hendaklah dipilih yang memenuhi syarat dan tidak cacat. Apabila antum yakin dengan saudara antum bahwa dia amanah, dan antum telah memberikan persyaratan kambing yang antum kehendaki, insya Alloh yg demikian sudah cukup. Allohu a’lam. Wa iyakum.

  • abu zahra says:

    assalamu alaikum

    numpang tanya akh, sekalian numpang download. kalo 1 kambing kan untuk 1 orang+keluarga, lha kalo 1 sapi kan bisa untuk 7 orang, itu termasuk 7 orang+keluarga apa 7 orang yang urunan itu aja ya?
    jazakallah khairan.

    abu zahra

  • abu zahra says:

    Assalamu alaikum warahmatullahi wabarakatuh.
    afwan akh, nanya lagi…
    di ebook antum hal 36 pada hadits “Apabila telah masuk sepuluh hari (Dzul Hijjah) dan
    salah seorang dari kalian hendak berkurban, maka
    janganlah ia mengambil bagian rambut atau kukunya
    sedikitpun.”
    itu antum menulis (dilarang) memotong bulu dan kuku kurban semenjak awal dzulhijjah hingga penyembelihan.
    tapi ana baca di sini , bahwa Berkata An-Nawawi dalam “Syarhu Muslim” (13/138-39). “Yang dimaksud dengan larangan mengambil kuku dan rambut adalah larangan menghilangkan kuku dengan gunting kuku, atau memecahkannya, atau yang selainnya. Dan larangan menghilangkan rambut dengan mencukur, memotong, mencabut, membakar atau menghilangkannya dengan obat tertentu (Campuran tertentu yang digunakan untuk menghilangkan rambut.) atau selainnya. Sama saja apakah itu rmabut ketiak, kumis, rambut kemaluan, rambut kepala dan selainnya dari rambut-rambut yang berada di tubuhnya”.
    ana jadi bingung akh…mana yang bener ya? yang gak boleh memotong/dipotong rambut dan kukunya itu kurbannya atau yang berkurban?

    Wa’alaikumus Salam warohmatullahi wabarokatuh
    Di sini ana sempat mendapatkan musykilât ketika mendapatkan hadîts :
    إذَا دَخَلَتْ الْعَشْرُ وَأَرَادَ أَحَدُكُمْ أَنْ يُضَحِّيَ فَلَا يَمَسُّ مِنْ شَعْرِهِ وَبَشَرِهِ شَيْئًا
    “Apabila telah masuk sepuluh hari (Dzul Hijjah) dan salah seorang dari kalian hendak berkurban, maka janganlah ia mengambil bagian rambut atau kukunya sedikitpun.”
    Ana sempat berdiskusi dengan seorang teman ketika membahas hadits ini, dan waktu itu teman ana menyatakan bahwa dhamir –hu dalam sya’ruhu dan basyaruhu kembalinya kepada hewan kurban. Ana pada awalnya sempat ragu, hingga ia menunjukkan terjemahan ”Minhajul Muslim” terbitan Darul Falah, bahwa penterjemah buku ini merujuk dhamir –hu kepada hewan kurban bukan kepada yang berkurban.
    Namun, setelah pertanyaan seperti ini ana dapatkan, diantara dari antum dan dari email ikhwah lain, maka ana cek kembali dan ternyata yang benar adalah dhamir –hu di sini kembalinya kepada orang yang berkurban. Jadi, maksudnya larangan ini adalah kepada orang yang berkurban untuk tidak memotong rambut dan kukunya.
    Hal ini sebagaimana ucapan Syaikh al-Jibrin (dalam almanhaj.or.id) :
    ” Ini adalah nash yang menegaskan bahwa yang tidak boleh mengambil rambut dan kuku adalah orang yang hendak berkurban, terserah apakah kurban itu atas nama dirinya atau kedua orang tuanya atau atas nama dirinya dan kedua orang tuanya. Sebab dialah yang membeli dan membayar harganya. Adapun kedua orang tua, anak-anak dan istrinya, mereka tidak dilarang memotong rambut atau kuku mereka, sekalipun mereka diikutkan dalam kurban itu bersamanya, atau sekalipun ia yang secara sukarela membelikan hewan kurban dari uangnya sendiri untuk mereka. Adapun tentang menyisir rambut, maka perempuan boleh melakukannya sekalipun rambutnya berjatuhan karenanya, demikian pula tidak mengapa kalau laki-laki menyisir rambut atau jenggotnya lalu berjatuhan karenanya.”
    Jadi, telah bersalah Abu Salma dan ana merujuk kepada al-Haq dalam hal ini, sekaligus hal ini sebagai ralat atas penjelasan di dalam ebook di atas.
    Jazzakallohu khoyrol jazaa’.

  • abuaslam says:

    Assalamu’alaikum,
    Akh mau tanya Idul Adha tahun ini 1428H kapan ya? kabarnya wukuf hari selasa,19 Des’2007.Jazakallah khoiron

  • kuliahkilat says:

    Assalamu’alaikum warahmatullahi wabaarakatuh,
    ana pernah ditanya soal qurban dan kira – kira persis seperti ini pertanyaannya.
    Katanya seseorang bisa berkurban untuk keluarganya?
    1.Ada seorang ayah yang berqurban dan dia niatkan untuk keluarganya, apakah itu bisa?
    2. Jika bisa, ada anaknya yang paling besar punya pekerjaan dan gaji besar. Apakah anaknya itu sudah masuk hitungan niat qurban bapaknya atau tidak, padahal dia bisa qurban sendiri.
    Ana jawab, ana pernah baca hadist Rosulullah tentang ini. Bahwa seseorang boleh berkurban untuk keluarganya, maka nomor satu itu berarti boleh.
    Tetapi menurut ana, jawaban yang nomor dua adalah, anaknya sulungnya tidak termasuk niat bapaknya, karena dia mampu.
    alasannya :
    Rosulullah pernah berkurban untuk umatnya yang tidak mampu.
    Bukankah Rosulullah adalah Bapak kaum muslimin dan isteri-isteri Rosulullah adalah Ibu kaum muslimin.
    Maka ketika Rosulullah berkurban, dia niatkan dari umatnya yang tidak mampu, karena umat Rosulullah adalah keluarganya juga. (Bukan secara nasab). Sedangkan yang mampu tetap punya kewajiban berkurban.
    Benarkah jawaban ana ini ??
    Sukron atas tanggapannya.

    Untuk nomor 1, antum benar karena dalil dalam masalah ini tsabat dan sharih.
    Adapun nomor 2, kembali kepada dalil :
    من كان له سعة ولم يضحّ فلا يقربنّ مصلانا
    “Barangsiapa yang memiliki kelapangan (harta) namun tidak mau berkurban, maka janganlah ia sekali-kali mendekati tempat sholât kami.”
    Dalam hal ini, si anak tersebut telah mapan dan memiliki kemampuan, maka ia terhitung sebagai orang yang memiliki sa’ah (kelapangan), sehingga ia terkena dalam keumuman hadits ini.
    Namun, dapat juga dikatakan, bahwa si anak ini terkena pula dalam keumuman hadits :
    كان الرجل في عهد النبي صلى الله عليه وسلم يضحى بالشاة عنه وعن أهل بيته فيأكلون ويطعمون
    “Pada zaman Rasūlullâh seorang pria menyembelih seekor kambing untuk dirinya dan keluarganya, mereka memakannya dan membagikannya kepada orang lain.”
    Tentu saja, secara zhahir tampak bahwa apabila seorang bapak telah berkurban, sedangkan puteranya tsb bagian dari keluarganya, maka kewajiban ia telah tercakup dengan kurban bapaknya.
    Adapun niat Rasulullah yang berkurban bagi ummatnya yang tidak mampu, bisa jadi hadits tersebut merupakan kekhususan bagi beliau saja, sebab banyak dalil yang menunjukkan bahwa para sahabat berkurban dengan seekor kambing untuk keluarganya, dan seekor sapi dan unta untuk 7 orang (walau ada pendapat dan hadits lain menyatakan, onta boleh untuk 10 orang). Sekiranya boleh berniat untuk seluruh umat Islam yang tidak mampu, niscaya para sahabat akan melakukannya. Namun, hadits-hadits dan atsar menunjukkan bahwa mereka berkurban dengan 1 ekor kambing untuk 1 keluarga saja…
    ‘Ala kulli hal, lebih utama adalah si anak sulung tersebut turut berkurban, dan apabila tidak, maka ini bukanlah hal tercela baginya. Wallohu a’lam bish showab.

  • kuliahkilat says:

    Assalamu’alaikum warahmatullahi wabaarakatuh,

    hehehehe .. ,

    afwan maksud no. 2 sebenanya itu ana hanya menq-qiyaskan.

    Ibaratnya, kita keluarga Rosulullah dan Rosulullah adalah ayah kita, maka hanya yang tidak mampu saja dari keluarga Rosulullah yang masuk niat Rosulullah.

    Dan jelas, ini hanya kekhususan bagi Rosulullah bahwa umatnya adalah keluarganya sehingga tidak ada sahabat yang berniat untuk fakir miskin selain keluargnya, karena jelas bukan keluarganya.

    Tetapi kesimpulannya ana sependapat dengan antum, kita katakan saja, sebaiknya si anak itu tetap berkurban dan itu terpuji baginya tetapi soal dia termasuk niat bapaknya atau tidak secara ke umuman dalil adalah iya, karena tidak ada dalil khusus tentang masalah ini dan belum diketahui sudah ada fatwanya atau tidak.

    wallahu’alam.

  • kuliahkilat says:

    oo iyaa afwan, tambahan.

    Pengqiyasan ini hanya karena hal ini, bahwa Mu’awiyah radhiayallahu ‘anhu termasuk sahabat yang utama, salah satu keutamaannya adalah seperti yang dikatakan oleh para ulama bahwa beliau adalah “paman kaum muslimin”.

    Wallahu’alam.

  • carikajian says:

    assalamualaikum.
    alhamdulillah kajian seputar idul adha oleh Al Ustadz Dzulqarnain sudah dapat di download di ilmoe.com
    jazakalloh khoir

  • bismillah

    assalamu’alaikum akhi, semoga Allah menjaga antum

    ada beberapa hal yang belum saya mengerti. mohon penjelasannya

    1. Apa benar Nabi shallallaahu ‘alaihi wa salam tidak mengkaitkan ‘iedul adha dengan wukuf di arafah, tetapi dengan keputusan rukyatul hilal-nya penguasa mekah.

    dengan berdalil di bawah ini

    “Amir (penguasa) Makkah berkhutbah kemudian dia berkata,”Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa salam telah berpesan kepada kita agar kita menjalankan manasik haji berdasarkan rukyat. Lalu jika kita tidak melihat hilal, dan ada dua orang saksi yang adil yang menyaksikannya, maka kita akan menjalankan manasik haji berdasarkan kesaksian keduanya.”
    (HR Abu Dawud, hadits no 2339. Imam Daruquthni berkata,”Hadits ini isnadnya muttashil dan shahih.” Lihat Sunan Ad-Daruquthni, 2/267. Syaikh Nashiruddin Al-Albani berkata,”Hadits ini shahih.” Lihat Nashiruddin Al-Albani, Shahih Sunan Abu Dawud, 2/54).

    2. Ulama yang berpegang pada mathla’ (wilayah) pada hilal syawal menggunakan hadist:

    Diriwayatkan dari Kuraib bahwa Ummul Fadl radhiyallaahu anha telah mengutusnya untuk menemui Muawiyyah radhiyallaahu anhu di Syam. Kuraib radhiyallaahu anhu berkata, “Aku memasuki Syam lalu menyelesaikan urusan Ummul Fadl radhiyallaahu anha. Ternyata bulan Ramadhan tiba sedangkan aku masih berada di Syam. Aku melihat hilal (bulan sabit) pada malam Jum’at. Setelah itu aku memasuki kota Madinah pada akhir bulan Ramadhan. Ibn ‘Abbas radhiyallaahu anhu lalu bertanya kepadaku dan menyebut persoalan hilal. Dia bertanya, ‘Kapan kalian melihat hilal?’ Aku menjawab, ‘Kami melihatnya pada malam Jum’at.’ Dia bertanya lagi, ‘Apakah kamu sendiri melihatnya?’ Aku jawab lagi, ‘Ya, dan orang-orang juga melihatnya. Lalu mereka berpuasa, begitu pula Muawiyyah.’ Dia berkata lagi, ‘Tapi kami (di Madinah) melihatnya pada malam Sabtu. Maka kami terus berpuasa hingga kami menyempurnakan bilangan tiga puluh hari atau hingga kami melihatnya.’ Aku lalu bertanya, ‘Tidak cukupkah kita berpedoman pada ru’yat dan puasa Muawiyyah?’ Dia menjawab, ‘Tidak, (sebab) demikianlah Rasulullah shalallaahu alaihi wa salam telah memerintahkan kepada kami’.[HR. Muslim no. 1087, at-Tirmidzi no. 647 dan Abû Dâwud no. 1021. Riwayat Abû Dâwud dan at-Tirmidzi di-shahih-kan oleh Syaikh Nashiruddin al-Albâni rahimahullaahu dalam Shahîh Sunan at-Tirmidzi 1/213]

    maka yang ingin saya tanyakan , menurut ustadz, apa dalil hadist yang dijadikan hujjah adanya mathla’ pada hilal dzulhizah?

    demikian dari saya… mohon dijelaskan

  • Leave a Reply

    Your email address will not be published. Fields with * are mandatory.