Kapan Kita Menggunakan Sikap Keras di dalam Dakwah?

 Nov, 07 - 2007   3 comments   Nasehat Ulama

متى نستعمل الشدة في الدعوة

Kapan Kita Menggunakan Sikap Keras di dalam Dakwah?

Oleh :

 

Syaikh Rabi’ bin Hadi al-Madkholi

 

 

السؤال: متى نستعمل اللين ومتى نستعمل الشدة في الدعوة إلى الله وفي المعاملات مع الناس؟

Pertanyaan : Kapankah kita mempergunakan sikap lemah lembut dan kapan kita bersikap keras di dalam dakwah ilallôh dan ketika bermu’âmalah (berinteraksi) dengan manusia?

 

الجواب: الأصل في الدعوة اللين ،والرفق والحكمة ، هذا الأصل فيها ، فإذا ـ بارك الله فيك ـ وجدت من يعاند ولا يقبل الحق وتقيم عليه الحجة ويرفض حينئذٍ تستخدم الرد ، وإن كنت سلطانا وهذا داعية فتأدبه بالسيف ، وقد يؤدي إلى القتل إذا كان يصر على نشر الفساد. فهناك من العلماء من شتى المذاهب يرون أن هذا أشد فسادا من قطاع الطرق ، فهذا يُنصح ثم تقام عليه الحجة ، فإن أبى فحينئذٍ يلجأ الحاكم الشرعي إلى عقوبته ، قد يكون بالسجن ،قد يكون بالنفي قد يكون بالقتل ، وقد حكموا على الجهم بن صفوان وعلى غيره وعلى بشر المريسي وعلى ـ بارك الله فيك ـ غيرهم ـ بارك الله فيك ـ بالقتل ، منهم الجعد بن درهم ، وهذا حكم العلماء على من يعاند ويصر على نشر بدعته ، وإذا نفعه الله وتراجع فهذا هو المطلوب .

Jawab :

Hukum asal di dalam dakwah adalah dengan al-Lîyn (lemah lembut), ar-Rifq (ramah) dan al-hikmah, inilah yang asal di dalam dakwah. Apabila –barokallôhu fîka– anda temui orang yang menentang dan tidak mau menerima kebenaran padahal anda telah menegakkan hujjah padanya namun ia menolaknya, maka pada saat itu anda dapat menggunakan ar-Radd (bantahan). Apabila anda adalah seorang sulthan (penguasa) sedangkan orang tersebut adalah seorang da’î (yang menyeru kepada kebatilannya, pent.), maka luruskan ia dengan pedang. Dan acapkali perlu sampai dihukum mati apabila ia tetap bersikeras menyebarkan kerusakannya. Dari sinilah ada sebagian ulama dari berbagai madzhab yang berpendapat bahwa orang semisal ini memiliki kerusakan yang lebih besar daripada orang yang merampok di jalanan. Orang semisal ini perlu dinasehati dan ditegakkan hujjah atasnya. Apabila ia masih enggan (menerima kebenaran), maka pada saat itu seorang penguasa (hâkim) syar’î harus menghukumnya, baik dengan memenjarakannya, menghentikannya atau membunuhnya. Para ‘ulamâ` menghukumi al-Jahm bin Shofwân dan selainnya, juga Bisyr al-Marîsî dan selainnya, agar dihukum mati (dibunuh) –barokallôhu fîka-. Diantara mereka juga adalah al-Ja’d bin Dirham. Ini adalah hukuman para ’ulamâ` terhadap orang-orang yang menentang dan bersikeras di dalam menyebarkan bid’ahnya. Apabila Alloh memberikannya menfaat dan mereka mau tarôju’ (bertaubat), maka inilah yang dikehendaki.

[http://www.sahab.com]

 

Silakan Download


Related articles

 Comments 3 comments

  • agorsiloku says:

    Setuju Pak Ust. Bukankah Allah juga meminta nabinya datang ke Fir’aun dengan lemah lembut. Bahwa dak’wah untuk mengingatkan dan hukuman atas kesalahan adalah sisi yang berbeda. Kalaupun seorang mencuri lalu mengembalikan hasil curiannya, masih mungkin (dan harus) dihukum karena pencuriannya. Mengembalikan hasil curian adalah sisi yang meringankan. Itu konsekuensi kepatuhan kepada hukum dunia. Pada hukum Tuhan, ada konsepsi bertobat. Tobat tidak ada pada hukum manusia. Memaafkan tidak ada pada hukum positif. Dalam keberagamaan, Allah maha pengampun yang memungkinkan terbukanya semua pintu pengampunan…
    Terimakasih untuk keindahan nasihat ini….

  • pasak64 says:

    assalamu’alaikum
    Ust.ane bukan mo komentar ,tapi ane mo nanya,siapakah yang layak untuk mentahzir ?
    apa syarat seseorang boleh mentahzir ?

    jazakumullah khoiron

  • jenangputih says:

    mohon tanggapannya,
    bagaimanakah dengan sifat keras dari perseorangan kepada perseorangan yang lain? apakah dapat dibenarkan. juga sifat keras dari suatu organisasi kepada organisasi yang lain. karena dari penjelasan artikel diatas, penguasalah yang secarah bisa menggunakan ‘pedang’.
    jazakallah

    Sifat keras diterapkan menurut situasi dan kondisi tertentu dan bergantung pada maslahat dan madharat. Adapun merubah kemungkaran dengan kekuatan atau ‘pedang’, maka ini hak mutlak penguasa, bukan organisasi, individu ataupun jum’iyah tertentu. Allohu a’lam.

  • Leave a Reply

    Your email address will not be published. Fields with * are mandatory.