SALAH KAPRAH TERHADAP UCAPAN SALAF

 Nov, 06 - 2007   6 comments   Nasehat Ulama

SALAH KAPRAH TERHADAP UCAPAN SALAF

 

Seringkali kita mendengar atau membaca ucapan-ucapan hikmah ulama salaf, terutama yang berkaitan dengan pensikapan terhadap ahli bid’ah. Misalnya :

Al-Imam Al-Fudhail bin Iyyadh berkata :

Siapa yang duduk dengan ahli bid’ah maka berhati-hatilah darinya dan siapa yang duduk dengan ahli bid’ah tidak akan diberi Al- Hikmah. Dan saya ingin jika antara saya dan ahli bid’ah ada benteng dari besi yang kokoh. Dan saya makan di samping yahudi dan nashrani lebih saya sukai daripada makan di sebelah ahli bid’ah.” (Al Lâlikâ`i 4/638 nomor 1149)

Al-Imam Hanbal bin Ishaq berkata, saya mendengar Abu Abdillah (Imam Ahmad) berkata :

Tidak pantas seseorang itu bersikap ramah kepada ahli bid’ah, duduk dan bergaul dengan mereka.” (Al-Ibânah 2/475 nomor 495)

Al-Imam Al Barbahary berkata :

Apabila tampak bagimu satu perkara bid’ah pada seseorang maka jauhilah dia sebab sesungguhnya yang dia sembunyikan darimu jauh lebih banyak dari yang dia tampakkan.” (Syarhus Sunnah 123 nomor 148)

Dan masih banyak lainnya

Sungguh ucapan para imam di atas adalah ucapan hikmah dan haq, sebagai upaya untuk menjaga kemurnian agama umat. Namun, suatu hal penting yang patut dicatat di sini adalah : ucapan para imam tersebut akan menjadi hikmah apabila ditempatkan pada proporsi dan tempatnya, sebab diantara makna hikmah adalah : wadh’u asy-Syai` fil mahallihi (menempatkan sesuatu pada tempatnya). Sesuatu yang tidak ditempatkan pada tempatnya adalah sia-sia, bahkan dapat memadharatkan.

Ironinya, betapa sering kita lihat sebagian pemuda dan sahabat kita, yang dibakar oleh semangat tanpa ilmu, menerapkan ucapan para ulama salaf dengan serampangan dan asal-asalan. Ketika bertemu dengan saudaranya seislam ia tidak mau salam maupun menjawab salam, tidak mau senyum, bersikap kaku lagi keras, dan sifat-sifat buruk lainnya. Anehnya, ketika ditanyakan sebab mereka melakukan ini, mereka menjawab bahwa mereka sedang menerapkan ucapan ulama salaf untuk menjauhi ahli bid’ah dan bersikap keras terhadap mereka.

Parahnya lagi, terhadap sesama ahlus sunnah, mereka halalkan ghîbah (menggunjing) dengan alasan tahdzîr (memperingatkan dari kesesatan), mereka halalkan muqôtho’ah (pemboikotan) dengan alasan hajr (isolir), mereka halalkan sikap keras dan bengis dengan alasan tabdî’ (menvonis bid’ah) terhadap hizbî mubtadi’!? Mereka sibukkan diri dengan tatabbu’ al-Aktho’ (mencari-cari kesalahan) dengan alasan jarh wa ta’dîl!? Ketika ditanya, maka jawaban yang meluncur adalah : Bertetangga dengan yahudi dan nashrani lebih aku sukai daripada bertetangga dengan pengekor hawa nafsu (ahli bid’ah) karena ini menyebabkan hatiku berpenyakit.” (Ucapan Imam Abu Musa dalam Al-Ibânah 2/468 nomor 469) dan ucapan semisal…

Akhirnya syiar mereka terhadap siapa saja yang menyelisihi mereka adalah :

نَسَبَ اليَوْمَ وَلاَ خُلَّةً اتُّسَعَ الخَرْقُ عَلَى الرَّاقِعِ

Tidak ada nasab pada hari ini dan tidak pula hubungan persahabatan

Perpecahan benar-benar telah melebar atas keretakan yang ada

Al-Ustadz Abu Sumayyah, ‘Abdur Ra’ŭf Muhammad hafizhahullahu mengabarkan : Setelah menyelesaikan ibadah ‘Umrah dengan keluargaku pada hari Kamis malam, 5 Juli 2007, saya menghadiri durus (pelajaran) Fadhîlatusy Syaikh Shâlih bin Muhammad al-Luhaidân hafizhahullahu (ketua Mahkamah Tinggi Agama Arab Saudi) di al-Haram al-Makki pada hari Jum’at Juli 2007 ba’da sholat Maghrib. Syaikh ketika itu menyampaikan ceramah yang bermanfaat tentang rukun Islam, kemudian diikuti sesi tanya jawab. Syaikh ditanya dalam salah satu sesi :

Apa pandangan anda terhadap beberapa pemuda yang menggunakan ucapan para salaf berkenaan tentang hajr dan tahdzîr terhadap ahli bid’ah, dalam rangka untuk menjustifikasi (membenarkan) hajr dan tahdzîr mereka terhadap ahli sunnah, yang memiliki beberapa perbedaan dalam beberapa masalah dengan mereka (yang tidak melibatkan perbuatan bid’ah) atau di dalam suatu perkara yang ada ikhtilâf pendapat di dalamnya?”

Syaikh menjawab :

Pemahaman ini tidak benar dan seorang thôlibul ‘ilmi tidak boleh mengikuti cara seperti ini di dalam berhubungan dengan orang-orang yang berbeda dengannya. Perbuatan ini disebabkan oleh karena kesesatan dan kejâhilan para pemuda ini. Allôhu a’lam” [http://madeenah.com]

Sungguh benar apa yang dinyatakan oleh Fadhîlatusy Syaikh Shâlih bin Muhammad al-Luhaidân hafizhahullâhu, bahwa tindakan seperti itu bukanlah tindakan para thôlibul ‘ilmi, namun tidak lebih tindakan dari para pemuda yang jâhil namun bersikap muta’âlim (sok berilmu) !!! Dan sikap seperti ini sungguhlah jauh dari sifat dan hakikat salaf. [Masalah hakikat dan sifat salaf, akan saya turunkan tersendiri dari buku al-‘Allâmah asy-Syaikh Zaid bin Muhammad bin Hâdi al-Madkholî yang berjudul “Quthŭf min Nu’ŭtis Salaf”, semoga Allôh memudahkannya].

 

Silakan Download

 


Related articles

 Comments 6 comments

  • […] kadang mereduksi pikiran-pikiran kita, dan Allah menjadi alat untuk eksploitasi kebenaran yang kita inginkan. Dengan kata lain, kita mereduksi nafsu dan harapan untuk dekat denganNya, kemudian kita mengambil […]

  • santrimuslim says:

    Ibnu Taymiyah dalam Al Fatawa (I/2460 berkata:

    “Perkataan-perkataan yang dinukil dari para ulama Salaf perlu diperhatikan dan dipahami benar-benar lafaznya dan perlu akurat dalam menempatkan perkataan-perkataan tersebut sebagai dalil sebagaimana keterangan dari Al Qur’an dan Al Hadits.

    [dikutip dari: Ar Radd al mufhim, pasal 7 ,syaikh Al Albani]

    Abu Ismail

  • kuliahkilat says:

    Assalamu‘alaikum warahmatullahi wabarakatuh,

    ana ingin menanggapi pernyataan di bawah, ini dari saudara Haitan Rachman:

    “Apakah segala sesuatunya perlu ditanyakan kepada Ulama dari kalangan Salafi sendiri? Sehingga HIKMAH ini baru dapat diperoleh. Sehingga dalam tulisan seorang salafi dalam blog menjelaskan bahwa kebenaran itu perlu diambil dari mana saja, termasuk dari musuh sendiri.”

    Menurut ana, wajib mempertanyakan segala sesuatu kepada ulama Salafi, (ingat bukan satu ulama), maka kita akan mendapatkan hikmah.

    Apakah ana mengajak kepada taqlid, ya.. ana mengajak kepada taqlid tapi bukan taqlid buta. Bukanlah suatu kesalahan kita melakukan taqlid kepada orang yang telah jelas keilmuannya. Taqlid yang dimaksud disini adalah i’tiba dan ulama yang paling utama sebagai pewaris Nabi adalah para sahabat.

    Imam Ahmad ibnu Hanbal berkata “Yang dinamakan ittiba’ yaitu mengikuti apa yang datang dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabatnya, sedangkan yang datang dari para tabi’in boleh dipilih”

    Maka perhatikanlah, jika suatu perkataan bertentangan dengan manhaj Rosulullah dan Sahabat, maka pendapat itu wajib ditolak.

    Akan tetapi sering terjadi suatu perkataan adalah benar dengan pelaksanaanya juga harus benar.

    Seperti perkataan orang – orang khawarij, mereka berkata : “Tegakkan hukum Allah, Tegakkan hukum Allah”.

    Maka Imam Ali radiyallahu’anhu menanggapi, “Apa yang dikatakan oleh mereka benar, tetapi apa yang dilakukan oleh mereka salah”.

    Maka perkataan – perkataan para ulama Salafush Sholeh terdahulu tentang sikap mereka terhadap ahli bid’ah tidak bisa kita telan begitu saja, tetapi harus kita tanyakan kepada ulama yang mumpuni keilmuan, bagaimana pelaksanaan dari perkataan itu.”

    Boleh jadi kita hanya mengetahui perkataannya saja, akan tetapi pelaksanaannya dalam situasi seperti bagaimananya kita tidak mengetahui.

    “Dan tanyakanlah kepada ahli zikr (ulama) bila kamu tidak tahu.” (QS An-Nahl: 43)

    sehingga HIKMAH dari perkataan itu bisa kita ketahui.

    Adapun pernyataan bahwa kita bahwa terkadang kebenaran datang dari musuh kita adalah suatu yang hak.

    Ini didasarkan pada hadist shohih, tentang kisah Abu Hurairah radiyallahu’anhu yang beliau menjaga gudang, di kisahkan bahwa beliau menangkap pencuri dan pencuri itu minta belas kasihan agar dibebaskan, akan tetapi pencuri itu berbohong sampai tiga kali, sehingga yang ketiganya beliau tidak akan memberi ampun lagi.

    Tetapi pencuri itu, dengan belas kasihannya minta ampun dan tidak akan datang lagi, dan sebagai tebusan pembebasannya, dia akan mengajarkan sesuatu. Lalu pencuri itu mengajarkan kepada Abu Hurairah, barangsiapa membaca ayat kursi maka orang tersebut akan dijaga dari gangguan setan.

    Lalu apakah Abu Hurairah serta merta melaksanakan ajaran itu, padahal yang dikatakan si pencuri adalah kebaikan, yaitu membaca ayat kursi. TIDAK, sekali lagi TIDAK.

    Abu Hurairah menanyakan dahulu kepada Rosulullah Shallahu’alaihi wasallam kebenaran hal itu dan dijawab oleh Rosulullah bahwa itu benar hanya saja pencuri itu tetap saja pendusta, karena pencuri adalah syaitan.

    Dari sini kita bisa mengambil himah, pertama ketawadhuan Abu Hurairah, dia hari pertama dan kedua menangkap pencuri dan melepaskannya karena belas kasihan tapi tidak sedikitpun diceritakan kepada Rosulullah akan perbuatannya itu. Karena seandainya dipuji oleh Rosulullah maka boleh jadi menyebabkan hati Abu Hurairah goncang dengan pujian itu.

    Kedua adalah, beliau adalah orang yang bersemangat dalam ilmu tetapi berhati – hati. Alasannya :

    1. Beliau tidak begitu saja menganggap remeh perkataan pencuri itu karena boleh jadi itu kebenaraan, padahal bisa saja seandainya bukan Abu Hurairah tapi kita yang menangkap, mungkin kita akan berfikiran, “ah tahu apa dia”.

    2. Beliau berhati – hati tidak melaksanakan hal itu, karena takut bid’ah, padahal kalau dilihat itu hanyalah membaca ayat kursi dan ini adalah amalan umum. Tetapi amalan umum ini (membaca alQura’an) itu sudah dengan maksud/tujuan khusus, maka harus ada dalil khusus juga. Sehingga beliau bercerita kepada Rosulullah dan menanyakan kebenaran itu.

    Kesimpulan, terimalah ilmu dari mereka orang – orang barat, pelajari teknologi mereka, tetapi tetapi rujukan ulama harus dikedepankan, karena boleh jadi teknologi itu bertentangan dengan syariat.

    “Dan tanyakanlah kepada ahli zikr (ulama) bila kamu tidak tahu.” (QS An-Nahl: 43)

    Ulama yang berada diatas manhaj salaf.

    wallahu’alam.

  • didinna says:

    ustadz tolong apa hukum google adsense, adbrite, dan sejenisnya. afwan

    Wallohu a’lam. Setahu saya segala hal dalam masalah mu’amalah adalah mubah, melainkan ada dalil yang menunjukkan akan keharamannya. Dalam hal ini, saya belum tahu banyak, padahal al-hukmu far’un ‘an tashowwurihi (hukum itu gambaran dari keadaan realitanya).

  • salafy says:

    Subhanallah.. Tulisan yang sangat bagus dan menyentuh… Terus maju [akh] Abu Salma… Insya Allah tulisan ini akan kami muat di bolg kami. Mohon Bimbingan antum…

  • Leave a Reply

    Your email address will not be published. Fields with * are mandatory.