BINGKISAN PENUNTUT ILMU BANTAHAN TERHADAP SYUBHAT ATH-THALIBI 4

 Jun, 03 - 2007   no comments   Tahdzir

ittihafu-thullab-copy.gif

إتحاف الطلاب برد على شبه الطالبي

حوار الثاني مع أبي عبد الرحمن الطالبي

 

BINGKISAN PENUNTUT ILMU

BANTAHAN TERHADAP SYUBHAT ATH-THALIBI

Dialog Kedua Bersama Abu ‘Abdirrahman ath-Thalibi

[Bagian 4]

 

Oleh :

Abu Salma bin Burhan al-Atsari

 

 

Menjawab Tuduhan ath-Thalibi (1) : Tuduhan Kepada Abduh ZA

Siapa sangka bahwa di dalam buku DSDB2 ”Menjawab Tuduhan” ternyata penuh dengan beraneka ragam tuduhan. Kita bisa melihat bagaimana ath-Thalibi menuduh saya melakukan takfir kepada Ikhwanul Muslimin atau PKS, saya melakukan kedustaan, tidak jujur dalam berbeda pendapat, dan tuduhan-tuduhan lainnya.

Sebenarnya bukanlah maksud saya di sini melakukan pembelaan pribadi, namun saya sengaja menyusun bab ini tersendiri karena adanya tendensi dan opini yang tidak baik, yang berangkat dari kesalahfahaman dan kekurangfahaman ath-Thalibi. Bahkan sebagiannya berangkat dari suu’ azh-Zhon dan pemahaman pribadinya di dalam memahami ucapan saudaranya tidak pada tempatnya.

Dalam DSDB2 hal. 151-153, ath-Thalibi menurunkan satu pasal seputar tuduhannya kepada saya bahwa saya telah menuduh al-Ustadz Abduh Zulfidar wafaqohullahu wa iyana telah mencela ulama-ulama sebelum Ibnu Taimiyah rahimahullahu. Lebih lengkapnya baca tanggapan saya tentang hal ini di ”Perisai Penuntut Ilmu”. Ath-Thalibi mengangkat kembali masalah ini dengan maksud memperkukuh tuduhannya –wallohu a’lam– dengan mengangkat masalah ”penamaan” (tasammi) dan ”penerimaan” madzhab Salaf. Untuk itu tidak ada salahnya saya nukilkan kembali ucapan Ustadz Abduh, tanggapan saya kepada ucapan tersebut dan komentar ath-Thalibi terhadap tanggapan saya tersebut. Lalu klarifikasi saya terhadap tanggapan ath-Thalibi dan akhirnya ditanggapi kembali oleh ath-Thalibi.

Ustadz Abduh berkata :

Pada Bedah buku “SIAPA TERORIS? SIAPA KHAWARIJ?”, Ahad, 3 September 2006, di Widyaloka Convention Hall Universitas Brawijaya, Malang. Abduh Zulfikar Akaha, Lc mengatakan bahwa pemakaian kata ‘ana salafiy‘ adalah  muhdats (sesuatu yang baru). Tidak ada satu ulama pun, terutama sebelum Ibnu Taimiyah, yang menisbatkan dirinya pada salafiy. Bahkan Ibnu Taimiyah dan Syaikh Muhammad bin Abdil Wahhab pun tidak pernah menyebut dirinya sebagai ‘as-salafiy’. Dalam kitab-kitab mu’jam atau kamus-kamus Arab, seperti;  Mukhtar Ash-Shihah, Lisan al-‘Arab, al-Qamus al-Muhith, dan  al-Munjid; pun tidak ada disebutkan kata ‘as-salafiy‘.

Lalu dalam risalah “Menjawab Tuduhan Meluruskan Kesalahpahaman” saya mengomentari ucapan tersebut sebagai berikut –akan saya nukil seluruhnya agar gambaran keseluruhannya jelas dan juga dapat menambah faidah tentang masalah nisbat salafiy ini- :

Tanggapan : Ucapan al-Ustadz Abduh –hadahullahu- di atas adalah suatu perkataan yang ijmal perlu ditafshil. Sebelum masuk ke dalam bantahan, saya ingin menyebutkan dulu istilah salaf dan definisinya menurut bahasa dan istilah, dan saya yakin –insya Alloh- al-Ustadz Abduh telah mengetahuinya :

Kata salaf secara bahasa artinya adalah :

  1. Ibnu Faris berkata di dalam Mu’jam Maqoyisil Lughah :

سلف، السين واللام والفاء أصل يدل على تقدم وسبق، من ذلك السلف الذين مضوا، والقوم السلاف: المتقدمون

Salaf, sin lam dan fa` asalnya menunjukkan kepada arti yang telah mendahului dan telah lalu. Dengan demikian as-Salaf artinya adalah orang-orang yang telah lalu. Kaum as-Salaf artinya adalah orang-orang yang terdahulu.”

  1. Raghib al-Ashfahani berkata di dalam al-Mufrodaat :

السلف: المتقدم، قال الله تعالى: فَجَعَلْنَاهُمْ سَلَفاً وَمَثَلاً لِلْآخِرِينَ {الزخرف} أي : معتبرا متقدما ولفلان سلف كريم:أي آباء متقدمون، جمعه: أسلاف وسلوف

As-Salaf artinya adalah al-Mutaqoddam (yang terdahulu). Alloh Ta’ala berfirman : “Maka kami jadikan mereka sebagai salaf (pelajaran) dan contoh bagi orang-orang yang belakangan.” (Az-Zukhruf : 56), artinya yaitu sebagai contoh dari orang terdahulu… Apabila dikatakan, si Fulan memiliki salaf yang mulia artinya adalah dia memiliki kakek moyang yang terdahulu. Jamak (plural)-nya adalah aslaaf dan suluuf.

  1. Ibnu Manzhur berkata di dalam Lisanul ‘Arob :

والسلف –ايضامن تقدمك من آبائك وذوي قرابتك الذين هم فوقك في السبق والفضل ، ولهذا سمي الصدر الأول من التابعين: السلف الصالح

Dan as-Salaf juga berarti orang-orang yang mendahuluimu baik dari bapak-bapakmu dan kaum kerabatmu yang mana mereka berada di atasmu dari sisi usia dan keutamaan. Dengan demikian dinamakan generasi awal dari para tabi’in sebagai as-Salaf ash-Sholih.

Dari sini menunjukkan bahwa di dalam kamus-kamus yang mu’tabar ada istilah salaf. Adapun tuduhan al-Ustadz bahwa pada kamus-kamus tersebut tidak ada istilah as-Salafiy bukanlah artinya bahwa istilah tersebut adalah istilah baru dan tidak ada mutlak di dalam kamus-kamus sebagaimana disebutkan oleh al-Ustadz. Karena kata as-Salafiy bukanlah kata dasar yang seringkali dimuat di dalam kamus-kamus tersebut, sebagaimana beberapa perubahan (shorof) kata tidak termuat di dalam kamus-kamus tersebut.

Bahkan di dalam hadits Nabi pun Rasulullah mempergunakan kata salaf sebagaimana ucapan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Salam kepada puterinya Fathimah az-Zahra` :

فإنه نعم السلف أنا لك

Sesungguhnya sebaik-baik salaf bagimu adalah aku” (HR Muslim)

Adapun menurut istilah, makna salaf adalah sebagaimana perkataan al-Qolsyani rahimahullahu di dalam Tahrir al-Maqolah fi Syarhir Risalah :

السلف الصالح، و هو الصدر الأول الراسخون فى العلم، المهتدون بهدي النبى صلى الله عليه وسلم، الحافظون لسنته، اختارهم الله تعالى لصحبة نبيه، وانتخبهم لإقامة دينه، ورضيهم أئمة للأمة، وجاهدوا فى سبيل الله حق جهاده، وأفرغوا فى نصح الأمة ونفعهم، وبذلوا فى مرضاة الله أنفسهم

As-Salaf ash-Shalih adalah generasi pertama yang kokoh keilmuannya, yang berpetunjuk dengan petunjuk Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Salam, yang senantiasa menjaga sunnah beliau Shallallahu ‘alaihi wa Salam, Alloh Ta’ala memilih mereka untuk menemani Nabi-Nya dan untuk menegakkan agama-Nya. Para imam pun ridha dengan mereka dan mereka telah berjuang di jalan Alloh dengan sebenar-benarnya perjuangan, mereka menyeru umat dengan nasehat dan memberi manfaat kepada mereka, dan mereka juga mengerahkan jiwa mereka untuk menggapai keridhaan Alloh.

Thufail al-Ghonawi rahimahullahu pernah berkata meratapi kaumnya :

مضوا سلفا قصد السبيل عليهم وصرف المنايا بالرجال تقلّب

Pendahulu kita telah lewat dan kitapun akan mengikuti mereka

Kita akan menjadi sepertinya terhadap orang-orang setelah kita

Yaitu, kita akan mati sebagaimana mereka mati, dan kita akan menjadi salaf (pendahulu) bagi orang-orang setelah kita sebagaimana mereka menjadi salaf bagi kita.

Dari al-Hasan al-Bashri Rahimahullahu, beliau berdo’a di dalam sholat Jenazah terhadap seorang anak kecil :

اللهم اجعله لنا سلفا

Ya Allah jadikanlah dia salaf bagi kami.”

Oleh karena itulah, generasi pertama dinamakan dengan as-Salaf ash-Sholih.

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Salam, para sahabatnya dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik, mereka adalah salaful ummah (pendahulu ummat), dan siapa saja yang menyeru kepada apa yang diserukan oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam, para sahabatnya dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik, mereka juga salaful ummah. Serta siapa saja yang menyeru kepada apa yang diserukan oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam, para sahabatnya dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik, maka mereka berada di atas manhaj as-Salaf ash-Sholih.

Adapun kata Salafiyah adalah nisbat (afiliasi) kepada salaf, intisab terhadap manhaj yang ma’shum (terjaga) yang mana penisbatan ini adalah suatu nisbat yang terpuji tidak tercela, karena penisbatan ini adalah nisbat kepada manhaj pendahulu yang shalih lagi lurus, bukanlah nisbat kepada manhaj bid’ah yang baru. Sebagaimana perkataan as-Sam’ani rahimahullahu di dalam al-Ansaab (VII/104) : Salafi adalah nisbat kepada salaf dan menelusuri jalan mereka”.

Berikut ini adalah perkataan para ulama tentang terpujinya nisbat kepada salaf dan salafiyah :

  • Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah Rahimahullahu berkata :

لا عيب على من أظهر مذهب السلف و انتسب إليه أو اعتزى إليه ، بل يجب قبول ذلك منه بالاتفاق فإن مذهب السلف لا يكون إلا حقاً

Tidak tercela orang yang menampakkan madzhab salaf dan dia menisbatkan diri kepadanya serta berbangga dengan madzhab salaf, bahkan wajib menerima hal tersebut menurut kesepakatan karena tidaklah madzhab salaf kecuali benar”. (Majmu’ Fatawa IV:149). Ucapan Syaikh, “menisbatkan diri kepadanya” maksudnya menisbatkan diri kepada madzhab salaf, dan sebutan nisbat kepada madzhab salaf adalah salafiy.

  • Imam Adz-Dzahabi Rahimahullahu berkata :

فالذي يحتاج إليه الحافظ أن يكون تقياً ذكياً . . .، زكياً حيياً ، سلفياً

Yang dibutuhkan oleh seorang Al-Hafidz (ahli hadits) adalah ketakwaan, kecerdasan, kesucian hati, pemalu serta menjadi Salafiy…”. (Siyar A’laamin Nubalaa` XIII:380). Syaikh Salim al-Hilali hafizhahullahu di dalam ceramah beliau Ushulus Sunnah karya Imam Ahmad, mengatakan bahwa Imam Dzahabi menyebutkan kata salafiy lebih dari 200 kali di dalam bukunya ini.

  • Imam Ibnu Baz Rahimahullahu berkata :

Sesungguhnya salaf adalah generasi pertama dan yang mulia dari umat ini. Barangsiapa yang mengikuti jejak mereka dan berjalan diatas metode mereka maka dialah as-Salafiy dan barangsiapa yang menyelisihi mereka maka dia adalah al-kholaf.” (Ta’liq Aqidah Hamawiyah oleh Syaikh Hamd at-Tuwaijiri).

  • Imam Ibnu Utsaimin Rahimahullahu berkata : “Salafiyyah adalah ittiba’ (penauladanan) terhadap manhaj Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam dan sahabat-sahabatnya, dikarenakan mereka adalah salaf kita yang telah mendahului kita. Maka, ittiba’ terhadap mereka adalah salafiyyah.” (Liqo`ul Bab al-Maftuuh no 1322).

  • Imam al-Albani Rahimahullahu berkata : “Sesungguhnya nisbat ini (salafiyah) bukanlah nisbat kepada perseorangan atau orang-orang tertentu, sebagaimana penisbatan yang dilakukan oleh jama’ah-jama’ah yang ada di bumi Islam saat ini. Nisbat ini (salafiyah) sesungguhnya bukanlah nisbat kepada seorang individu atau berpuluh-puluh individu lainnya, namun nisbat ini adalah nisbat kepada ishmah (keterjagaan), karena kaum as-Salaf ash-Shalih sangat tidak mungkin mereka bakal bersepakat di atas kesesatan.” (as-Salaf was Salafiyah oleh Syaikh Salim al-Hilali)

  • Lajnah Daimah mengatakan : “Salafiyah adalah nisbat kepada salaf dan salaf itu adalah para sahabat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Salam serta para imam petunjuk dari tiga generasi Islam yang pertama yang telah dipuji oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Salam dalam sabda beliau :

خَيرُ النَاسِ قَرنِي ثُمَّ الذِينَ يَلُونَهُم ثُمَّ الذِينَ يَلُونَهُم

Sebaik-baik generasi adalah generasiku (sahabat) kemudian setelah mereka (tabi’in) kemudian setelah mereka (Tabi’ut tabi’in)” (HR.Bukhori, Muslim dan Ahmad).

Salafiyun jamak dari Salafi yang merupakan nisbat kepada salaf yang artinya orang-orang yang berjalan diatas manhaj salaf dengan mengikuti Al-Qur’an dan sunnah serta berdakwah kepada keduanya dan mengamalkannya, maka mereka itulah yang disebut sebagai ahlu sunnah wal jama’ah“. (Fatawa al-Lajnah no 1361)

  • Dan masih banyak lagi.

Kesimpulan : nisbat kepada salaf adalah suatu hal yang syar’i, tidak tercela dan juga tidak muhdats (bid’ah). Maka batal-lah dengan demikian klaim al-Ustadz Abduh bahwa istilah salafiy adalah muhdats.

Adapun ucapan al-Ustadz Abduh yang mengatakan : “Tidak ada satu ulama pun, terutama sebelum Ibnu Taimiyah, yang menisbatkan dirinya pada salafiy” adalah perkataan yang tertolak dan rancu. Karena tidak jelas al-Ustadz memahami kata as-Salafiy di sini sebagai apa? Sebagai nisbat kepada madzhab-kah? Ataukah sebagai nisbat kepada kelompok?

Apabila al-Ustadz menafikan sebagai nisbat kepada madzhab salaf, maka berarti al-Ustadz telah jatuh kepada celaan terhadap mereka –para ulama sebelum Ibnu Taimiyah-. Karena apabila mereka tidak bernisbat kepada madzhab salaf maka kepada apakah mereka bernisbat???

Padahal Abdullah bin Mas’ud Radhiyallahu ‘anhu seorang sahabat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Salam berkata : “Barangsiapa yang ingin mencari suri tauladan yang baik maka jadikan yang telah meninggal sebagai suri tauladan, karena yang masih hidup tidak bisa dijamin selamat dari fitnah. Mereka adalah para sahabat Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa Salam. Mereka adalah semulia-mulianya umat ini, yang paling baik hatinya, yang paling mendalam ilmunya, yang paling sedikit berlebih-lebihan. Mereka adalah sekelompok orang yang Allah pilih untuk menemani Nabi-Nya serta untuk menegakkan agama-Nya. Maka kenalilah jasa-jasa mereka dan ikuti jejak mereka serta berpegang teguhlah dengan akhlak serta agama mereka karena mereka berada diatas jalan yang lurus“. (Syarh Ath-Thahawiyah II;546 oleh Ibnu Abil Izz)

Perhatikanlah!!! Siapakah yang dimaksud oleh Ibnu Mas’ud Radhiyallahu ‘anhu sebagai orang yang telah meninggal??? Apakah bukan salaf, baik dari yang didefinisikan dari sisi bahasa maupun istilah??? Sungguh jika yang dimaksud bukan salaf maka siapa lagi yang dimaksud???

Imam Al-‘Auza’i Rahimahullahu berkata : “Bersabarlah dirimu diatas sunnah, berhentilah sebagaimana mereka berhenti, dan katakanlah seperti apa yang mereka katakan serta cegahlah dari apa yang mereka cegah. Telusurilah jejak salafush sholeh“. (Syarhu ushul I’tiqod Ahlis Sunnah wal Jama’ah 1/154 oleh Al-Lalika’i).

Kepada siapa Imam al-Auza’i memaksudkan ucapannya? Kepada madzhab salaf ataukah selainnya???

Imam Ahmad bin Hambal Rahimahullahu berkata di dalam awal kitabnya Ushulus Sunnah : “Termasuk prinsip aqidah kita adalah berpegang teguh dengan metode para sahabat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Salam serta mengikuti jejak mereka.

Apakah para sahabat bukan termasuk generasi salaf shalih yang seharusnya kita mengikuti jejak mereka??

Dan masih banyak lagi ucapan para imam ahlus sunnah sebelum Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, yang mana mereka memuji dan menisbatkan diri kepada madzhab salaf, lantas bagaimana bisa al-Ustadz Abduh menafikan penisbatan mereka kepada madzhab salaf?!! Apakah al-Ustadz membedakan antara penisbatan kepada madzhab salaf dengan salafiy??? Jika demikian, maka al-Ustadz tampaknya perlu belajar Bahasa Arab lagi saja…

Ataukah mungkin ustadz tidak mau mengatakan bahwa para sahabat dan ulama-ulama yang mengambil ilmu dari para sahabat bukanlah generasi as-Salaf ash-Shalih?!! Yang mana dengan demikian penisbatan salafiy adalah penisbatan yang keliru, muhdats dan bid’ah. Ataukah ustadz punya definisi sendiri terhadap istilah salaf sehingga nisbat kepada salaf tidak benar disebut dengan salafiy?!!

Apabila al-Ustadz Abduh berkilah : “yang saya maksud dengan salafiy bukanlah madzhab salaf seperti yang Anda katakan, namun yang saya maksud adalah suatu kelompok tertentu…” atau dengan kata lain al-Ustadz mengatakan bahwa salafiy adalah nisbat kepada kelompok tertentu.

Maka saya katakan : kelompok yang bagaimanakah yang Anda maksudkan wahai al-Ustadz?!! Apakah kelompok yang mempunyai pendiri, asas tersendiri yang mana al-Wala` wal Baro` ditegakkan dengannya, keanggotaan khusus dan lain sebagainya… jika demikian ini maksudnya, maka saya katakan bahwa ini bukanlah salafiyah sedikitpun walaupun mereka mengklaim sebagai salafiy atau mencatut nama salafiy. Karena ibrah bukanlah pada nama, namun ibrah adalah pada hakikatnya dan tidaklah setiap orang yang mendakwakan dirinya kepada sesuatu maka otomatis dia akan langsung berada di atasnya… tidak!!! Sekali kali tidak!!!

كل يدعي وصلا بليلى وليلى لا تقر لهم بذاك

Semua mengaku-ngaku punya hubungan dengan Laila

Namun Laila memungkiri pengakuan-pengakuan mereka tersebut

Betapa banyak orang yang menggunakan nama sebagai Ahlus Sunnah namun Ahlus Sunnah berlepas diri darinya karena banyaknya kebid’ahan padanya. Betapa banyak pula orang yang mengaku-ngaku sebagai salafiy namun aqidah dan amalnya tidak menunjukkan akan kesalafiyahannya…

Oleh karena itu, saya tanyakan kembali kepada Anda wahai al-Ustadz, salafiy yang bagaimanakah yang Anda maksudkan??? Apakah yang Anda maksudkan adalah adanya sebagian orang yang mencatut nama salafiy kemudian dia melakukan kesalahan, lantas yang Anda salahkan adalah istilah salafiy-nya bukan pelakunya?!! Kemudian Anda kritisi pula istilah salafiy ini dan Anda katakan muhdats dan Anda nafikan eksistensi nisbat para ulama sebelum Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah kepada madzhab ini?!!

Jika benar demikian, maka berarti Anda telah membedakan antara istilah salafiy sebagai nisbat kepada ­as-Salaf ash-Shalih dengan nisbat kepada madzhab sahabat, tabi’in dan tabi’ut tabi’in, padahal tidak ada beda antara keduanya dan hal ini adalah terang seterang matahari di siang bolong.

Jika al-ustadz mengatakan bahwa nisbat kepada salafiy adalah muhdats, padahal nisbat ini adalah nisbat kepada generasi terbaik dan nisbat kepada manhaj mereka yang ma’shum. Lantas bagaimana dengan nisbat kepada individu tertentu yang tidak ma’shum, seperti Syafi’iiyah, Malikiyah, Hanabilah, Hanafiyah, Maturidiyah, Asy’ariyah dan semacamnya?!! Padahal istilah ini lebih layak untuk dikatakan sebagai muhdats dan tafriq (pemecahbelahan). Namun, bukankah para imam mempergunakan istilah ini –atau ulama setelahnya menisbatkannya-, seperti Ibnu Abil Izz al-Hanafi, Ibnu Rojab al-Hanbali, al-Qurofi al-Maliki, Jalaludin as-Suyuthi asy-Syafi’i dan lain sebagainya.

Padahal, mereka semua ini adalah imam Ahlus Sunnah –insya Alloh-, mereka semua senantiasa berusaha untuk menauladani generasi as-Salaf ash-Shalih. Dengan demikian, nisbat kepada seluruh imam salaf dan para imam yang menauladani salaf adalah lebih terpuji, mulia dan selamat. Dan tidak ada kata yang lebih layak dan tepat untuk menyebut penauladan dan nisbat kepada as-Salaf selain daripada salafiy!!!

Jika al-Ustadz kembali mengatakan : “yang saya maksud adalah penyebutan nama as-Salafy, seperti penyebutan nama Fulan dan Fulan as-Salafy. Hal yang demikian ini kan tidak pernah dilakukan oleh ulama-ulama terdahulu.”

Maka saya katakan, Anda benar wahai ustadz. Namun hal ini bukan artinya terlarang secara mutlak, namun ada qoyid (pengikat) dan syaratnya. Penyebutan nama “as-Salafy” dengan maksud tazkiyatun lin Nafsi (membanggakan diri) adalah tercela. Sebagaimana yang diutarakan oleh Fadhilatus Syaikh DR. Shalih bin Fauzan al-Fauzan :

فالتسمي ( سلفي ، أثري ) أو ما أشبه ذلك ، هذا لا أصل له ، نحن ننظر إلى الحقيقة ولا ننظر إلى القول والتسمي والدعاوى ، قد يقول إنه سلفي وما هو بسلفي ، أو أثري وما هو بأثري ، وقد يكون سلفياً أو أثرياً وهو ما قال إنه أثري أو سلفي . فالنظر إلى الحقائق لا إلى المسميات ولا إلى الدعاوى

Penamaan salafiy, atsariy atau yang semisal dengannya, hal ini sesungguhnya suatu hal yang tidak ada asalnya. Kita menilai dari hakikatnya bukan dari ucapan, penamaan ataupun dakwaan belaka. Terkadang ada orang mengatakan dia salafiy padahal dia bukan salafiy, dia atsariy padahal dia bukan atsariy. Terkadang pula ada orang yang (benar-benar) salafi atau atsari namun ia tidak pernah mengatakan dirinya atsari atau salafi. Karena itu penilaian itu dari hakikatnya bukan dari penamaan atau dakwaan belaka…(Pengajian Syarh Aqidah ath-Thohawiyah, 1425 H, dinukil dari Kasyful Khola`iq karya al-Ushaimi)

Fadhilatus Syaikh juga berkata :

فلا حاجة إنك تقول : ” أنا سلفي ، أنا أثري أنا كذا ، أنا كذا ، عليك أن تطلب الحق وتعمل به تصلح النية ، والله الذي يعلم – سبحانه الحقائق

Maka tidak ada perlunya kamu mengatakan “aku salafiy”, “aku atsariy”, “aku ini” atau “aku itu”. Namun yang wajib atas kalian adalah mencari kebenaran dan mengamalkannya untuk meluruskan niat. Hanya Alloh swt-lah yang mengetahui hakikat keadaan sebenarnya.” (sumber yang sama).

Adapun jika maksudnya adalah sebagai penisbatan kepada madzhab salaf, sebagai pengakuan bahwa madzhab salaf adalah madzhab yang paling haq, bukan dalam rangka tazkiyatun lin nafsi apalagi hizbiyah. untuk membedakan diri dari firqoh-firqoh yang sedang berkembang pesat di zaman ini, untuk membedakan diri dari hizbiyah yang membinasakan dimana tiap hizb bangga dengan apa yang ada pada mereka masing-masing, maka penisbatan dan penyebutan kata as-salafiy, al-Atsariy, as-Sunniy atau yang semisalnya adalah suatu pensibatan terpuji. Selama dia berupaya untuk benar-benar mengikuti manhaj salaf dalam segala hal, baik aqidah, manhaj, fikih, akhlak dan selainnya. Selama ciri-ciri berikut ini terhimpun pada dirinya, yaitu ciri-ciri yang disebutkan oleh Syaikh Abdus Salam bin Qasim al-Husaini as-Salafy di dalam kitabnya Irsyadul Barriyah ila Syar’iyyatil Intisab Lis-Salafiyyah sebagai berikut :

  1. Menjadikan Al-Qur’an dan sunnah sebagai pedoman hidup dalam segala perkara.

  2. Memahami agama ini sesuai dengan pemahaman para sahabat terutama dalam masalah aqidah.

  3. Tidak menjadikan akal sebagai landasan utama dalam beraqidah.

  4. Senantiasa mengutamakan dakwah kepada tauhid ibadah (Seruan hanya Allah satu-satunya Dzat yang berhak disembah).

  5. Tidak berdebat kusir dengan ahli bid’ah serta tidak bermajlis dan tidak menimba ilmu dari mereka.

  6. Berantusias untuk menjaga persatuan kaum muslimin serta menyatukan mereka diatas Al-Qur’an dan sunnah sesuai pemahaman salafush sholeh.

  7. Menghidupkan sunnah-sunnah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Salam dalam bidang ibadah, akhlak dan dalam segala bidang kehidupan hingga merekapun terasing.

  8. Tidak fanatik kecuali hanya kepada Al-Qur’an dan sunnah.

  9. Memerintahkan kepada yang baik dan mencegah dari kemungkaran.

  10. Membantah setiap yang menyelisihi syariat baik dia seorang muslim atau non muslim.

  11. Membedakan antara ketergelinciran ulama ahli sunnah dengan kesesatan para dai-dai yang menyeru kepada bid’ah.

  12. Selalu taat kepada pemimpin kaum muslimin selama dalam kebaikan, berdoa untuk mereka serta menasehati mereka dengan cara yang baik dan tidak memberontak atau mencaci-maki mereka.

  13. Berdakwah dengan cara hikmah.

  14. Bersungguh-sungguh dalam menuntut ilmu agama yang bersumberkan kepada Al-Qur’an dan sunnah serta pemahaman salaf, sekaligus meyakini bahwa umat ini tidak akan menjadi jaya melainkan dengan ilmu tersebut.

  15. Bersemangat dalam menjalankan Tashfiyah (membersihkan Islam dari kotoran-kotoran yang menempel kepadanya seperti syirik, bid’ah, hadits-hadits lemah dan lain sebagainya) dan Tarbiyah (mendidik umat diatas Islam yang murni terutama dalam bidang tauhid).

Dan seterusnya…

Maka yang demikian ini adalah tidak mengapa, tidak tercela dan bahkan terpuji sebagaimana dijelaskan oleh Syaikh Ibnu Bazz Rahimahullahu tatkala ditanya oleh pertanyaan sebagai berikut : “Bagaimana pendapat Anda terhadap orang yang menamakan dirinya as-Salafiy dan al-Atsariy, apakah ini termasuk tazkiyatun lin nafsi (memuji diri)? Beliau Rahimahullahu menjawab : “Apabila dia benar-benar seorang Atsariy atau Salafiy maka tidak mengapa. Hal ini seperti yang pernah dikatakan oleh para salaf dahulu : Fulan Salafiy, fulan Atsariy. Ini termasuk pujian yang harus dan wajib”. (Hasyiyah / catatan kaki Al-Ajwibah Al-Mufidah ‘an As`ilatil Manahij al-Jadiidah hal.17 oleh Syaikh Sholeh Al-Fauzan hafizhahullah).

Dengan demikian memutlakkan pelarangan penyebutan as-Salafy atau al-Atsariy adalah muhdats, terlarang, bagian dari tazkiyatun lin Nafsi adalah tidak tepat dan keliru.

Apabila al-Ustadz Abduh berkata : “Apabila nisbat salafiy itu benar, lantas mengapa banyak salafiyin yang tidak berakhlak sebagaimana akhlak salafiy, mereka mudah menvonis sesat siapa saja yang menyelisihi mereka. Mereka fanatik dengan guru, tokoh atau ulama-ulama mereka. Siapa saja yang menyelisihi pendapat guru, tokoh atau ulama mereka maka telah sesat.”

Maka saya jawab : Sesungguhnya telah lewat penjelasannya bahwa tidak setiap orang yang mengaku-ngaku maka pengakuannya selamat. Pengaku-ngakuan tidaklah berfaidah apa-apa, namun yang berfaidah adalah hakikat atau realita sebenarnya, apakah selaras dengan manhaj salaf ataukah tidak.

Adapun akhlak salafiyin adalah sebagaimana yang telah disebutkan oleh Syaikh Samir Mabhuh al-Kuwaiti di dalam risalahnya yang berjudul Hiyas Salafiyyah fa’rifuuha :

Mereka adalah manusia yang paling baik akhlaknya, paling banyak bersikap lembut, lapang dan tawadhu’-nya. Mereka adalah yang paling bersemangat berdakwah menyeru kepada akhlak yang mulia dan amal yang paling bagus, dengan wajah yang ceria, menyebarkan salam, memberikan makan, menahan marah, menghilangkan kesusahan manusia, mendahulukan kepentingan kaum muslimin dan berusaha memenuhi kebutuhan mereka. Mereka senantiasa mengerahkan daya upaya di dalam menolong mereka, bersikap lembut dengan fakir miskin, bersikap kasih sayang terhadap tetangga dan kerabat, lemah lembut dengan penuntut ilmu, menolong dan berbuat kebajikan kepada mereka, berbakti kepada orang tua dan ulama dan memelihara kedua orang tua (di waktu tuanya). Alloh Ta’ala berfirman :

وَإِنَّكَ لَعَلَى خُلُقٍ عَظِيمٍ

Sesungguhnya pada dirimu (Muhammad) terdapat akhlak yang agung” (al-Qolam : 4) dan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Salam bersabda :

((أثقل شئ فى الميزان الخلق الحسن))

Sesuatu yang paling berat di timbangan adalah akhlak yang baik.” Shahih diriwayatkan oleh Imam Ahmad.” (Hiyas Salafiyyah oleh Samir al-Kuwaiti).

Namun bukan artinya tidak ada sikap keras dan tegas di dalam dakwah. Terkadang sikap keras dan tegas diperlukan di dalam dakwah apabila situasi dan kondisi mengharuskannya dan mashlahat yang ditimbulkannya semakin besar. Sebagaimana yang dikatakan oleh Imam Ibnu Bazz Rahimahullahu :

ولا شك أن الشريعة الإسلامية جاءت بالتحذير من الغلو في الدين ، وأمرت بالدعوة إلى سبيل الحق بالحكمة والموعظة الحسنة والجدال بالتي هي أحسن ، ولكنها مع ذلك لم تهمل جانب الغلظة والشدة في محلها حيث لا ينفع اللين والجدال بالتي هي أحسن

Tidak diragukan lagi bahwa syariat Islam datang dengan memperingatkan dari sikap ekstrim di dalam beragama, dan memerintahkan untuk berdakwah ke jalan al-Haq dengan hikmah, pelajaran yang baik dan diskusi dengan cara yang lebih baik. Walau demikian tidaklah hal ini berarti meniadakan sikap tegas dan keras yang pada tempatnya apabila kelemahlembutan dan diskusi dengan cara yang lebih baik tidak bermanfaat lagi.” (Majmu’ Fatawa wa Maqolat Mutanawwi’ah III:204 oleh Imam Ibnu Bazz).

Dengan demikian, berdakwah dengan cara keras terus, atau lembut terus adalah suatu kesalahan dan kejahilan akan syariat Islam yang mulia ini. Oleh karena itu, seorang salafiy adalah orang yang mampu menempatkan dirinya, kapan dia harus bersikap keras dan kapan harus bersikap lemah lembut. Sesungguhnya tidaklah akan memudharatkan celaan para pencela kepada mereka, karena orang-orang yang berdakwah dengan jalan lemah lembut saja akan menuduh salafiy sebagai orang yang keras, sedangkan di sisi lain, orang-orang yang berdakwah dengan keras saja akan menuduh salafiy sebagai orang yang lunak (tamyi’).

Adapun tuduhan bahwa salafiyun mudah menvonis sesat kepada siapa saja yang menyelisihi mereka, adalah tuduhan yang tidak benar. Karena salafiy sejati tidaklah menvonis sesat, bid’ah, fasik bahkan kafir melainkan dengan ilmu dan kehati-hatian. Mereka tidaklah akan menerapkan hukum sebelum menegakkan syarat-syaratnya dan menghilangkan penghalang-penghalangnya. Mereka senantiasa berpijak atas dasar ilmu dan bashiroh. Apabila ada sekelompok kaum yang menyelisihi hal ini, maka ketahuilah, ia bukanlah salafiyah sedikitpun. Sebagaimana yang dikatakan oleh al-Faqih Ibnu Utsaimin Rahimahullahu :

Salafiyyah adalah ittiba’(penauladanan) terhadap manhaj Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam dan sahabat-sahabatnya, dikarenakan mereka adalah salaf kita yang telah mendahului kita. Maka, ittiba’ terhadap mereka adalah salafiyyah. Adapun menjadikan salafiyyah sebagai manhaj khusus yang tersendiri dengan menvonis sesat orang-orang yang menyelisihinya walaupun mereka berada di atas kebenaran, maka tidak diragukan lagi bahwa hal ini menyelisihi salafiyyah!!!”

Beliau rahimahullahu melanjutkan :

Akan tetapi, sebagian orang yang meniti manhaj salaf pada zaman ini, menjadikan (manhajnya) dengan menvonis sesat setiap orang yang menyelisihinya walaupun kebenaran besertanya. Dan sebagian mereka menjadikan manhajnya seperti manhaj hizbiyah atau sebagaimana manhaj-manhaj hizbi lainnya yang memecah belah Islam. Hal ini adalah perkara yang harus ditolak dan tidak boleh ditetapkan.”

Syaikh melanjutkan lagi :

Jadi, salafiyah yang bermakna sebagai suatu kelompok khusus, yang mana di dalamnya mereka membedakan diri (selalu ingin tampil beda) dan menvonis sesat selain mereka, maka mereka bukanlah termasuk salafiyah sedikitpun!!! Dan adapun salafiyah yang ittiba’ terhadap manhaj salaf baik dalam hal aqidah, ucapan, amalan, perselisihan, persatuan, cinta kasih dan kasih sayang sebagaimana sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam :

((مثل المؤمنين في توادهم وتراحمهم وتعاطفهم كمثل الجسد الواحد إذا اشتكى منه عضو تداعى له سائر الجسد بالحمى والسهر))

Permisalan kaum mukminin satu dengan lainnya dalam hal kasih sayang, tolong menolong dan kecintaan, bagaikan tubuh yang satu, jika salah satu anggotanya mengeluh sakit, maka seluruh tubuh akan merasa demam atau terjaga.” Maka inilah salafiyah yang hakiki!!!”. (Liqo’ul Babil Maftuuh, pertanyaan no. 1322)

Fadhilatus Syaikh DR. Shalih bin Fauzan al-Fauzan berkata :

فإذا أردت أن تتبع السلف لا بد أن تعرف طريقتهم ، فلا يمكن أن تتبع السلف إلا إذا عرفت طريقتهم وأتقنت منهجهم من أجل أن تسير عليه ، وأما مع الجهل فلا يمكن أن تسير على طريقتهم وأنت تجهلها ولا تعرفها ، أو تنسب إليهم ما لم يقولوه ولم يعتقدوه ، تقول : هذا مذهب السلف ، كما يحصل من بعض الجهال – الآن – الذين يسمون أنفسهم (سلفيين) ثم يخالفون السلف ،ويشتدون ويكفرون ، ويفسقون ويبدعون . السلف ما كانوا يبدعون ويكفرون ويفسقون إلا بدليل وبرهان ، ما هو بالهوى أو الجهل

Apabila kamu telah tahu bahwa meneladani salaf itu mengharuskanmu untuk mengetahui jalan mereka, maka tidaklah mungkin kamu bisa meneladani salaf kecuali apabila kamu mengetahui jalan mereka dan memahami manhaj mereka supaya kamu dapat meniti di atas jalan itu. Adapun dengan kebodohan maka tidak mungkin kamu dapat meniti di atas jalan mereka sedangkan kamu bodoh terhadapnya dan tidak mengetahuinya, atau kamu menyandarkan kepada mereka apa-apa yang tidak mereka ucapkan dan yakini, lantas kamu berkata : “ini madzhab salaf”, sebagaimana yang tengah terjadi saat ini pada sebagian orang-orang bodoh, yang menamakan diri mereka dengan salafiyin, namun mereka menyelisihi salaf, mereka bersikap arogan dan mengkafirkan, menfasikkan dan membid’ahkan (siapa saja yang menyelisihi mereka). Para salaf, mereka tidak pernah membid’ahkan, mengkafirkan dan menfasikkan melainkan dengan dalil dan burhan (bukti yang terang), bukannya dengan hawa nafsu dan kebodohan.” (Pengajian Syarh Aqidah ath-Thohawiyah, 1425 H, dinukil dari Kasyful Khola`iq karya al-Ushaimi).

Inilah hakikat dan penjelasan dari para pembesar ulama salafiyin zaman ini. Dan inilah yang seharusnya menjadi tolok ukur penilaian akan manhaj salaf. Bukannya menjadikan penilaian kepada aktivitas sebagian kalangan yang mengklaim sebagai salafiyun namun mereka jatuh ke dalam kesalahan-kesalahan yang menyelisihi manhaj salaf.

Adapun tuduhan salafiyin fanatik terhadap guru-guru, tokoh-tokoh dan ulama-ulamanya, ini juga tuduhan yang tidak benar. Karena salafiy tidak pernah fanatik kepada seorang pun kecuali kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Salam. Adapun fenomena yang ditangkap, tentang adanya sebagian oknum yang mengatasnamakan diri sebagai salafiy, lalu mereka menerapkan al-Wala’ (loyalitas) dan al-Baro’ (disloyalitas) kepada individu tertentu atas dasar fanatisme, maka ini bukanlah manhaj salaf.

Al-‘Allamah Abdul Muhsin al-‘Abbad menukil ucapan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah Rahimahullahu sebagai berikut :

وليس لأحد أن ينصب للأمة شخصاً يدعو إلى طريقته، ويوالي ويعادي عليها غير النبي صلى الله عليه وسلم، ولا ينصب لهم كلاماً يوالي عليه ويعادي غير كلام الله ورسوله وما اجتمعت عليه الأمة، بل هذا من فعل أهل البدع الذين ينصبون لهم شخصاً أو كلاماً يفرقون به بين الأمة، يوالون به على ذلك الكلام أو تلك النسبة ويعادون

Tidak seorangpun berhak menentukan untuk umat ini seorang figur yang diseru untuk mengikuti jalannya, yang menjadi tolok ukur dalam menentukan wala’ dan bara’ selain Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Salam, begitu juga tidak seorangpun yang berhak menentukan suatu perkataan yang menjadi tolok ukur dalam berwala’ dan baro’ selain perkataan Allah dan Rasul-Nya serta apa yang menjadi kesepakatan umat, tetapi perbuatan ini adalah kebiasaan Ahli bid’ah, mereka menentukan untuk seorang figur atau suatu pendapat tertentu, melalui itu mereka memecah belah umat, mereka menjadikan pendapat tersebut atau nisbat tersebut sebagai tolok ukur dalam berwala’ dan baro’.” (Majmu’ Fatawa XX:164 melalui perantaraan Rifqon Ahlas Sunnah oleh Syaikh Abdul Muhsin Abbad).

Demikian inilah manhaj Ahlus Sunnah salafiy. Mereka tidak menyeru kepada individu atau perseorangan, betapapun tinggi derajat kedudukannya dan tingkat keilmuannya. Karena al-Haq adalah lebih mereka cintai.

Sekarang saya ingin bertanya kepada al-Ustadz Abduh dan rekan-rekan beliau yang sepemahaman… Apabila istilah salafiy anda katakan muhdats, lantas bagaimana dengan dengan istilah harokah, hizb, tanzhim, ‘amal jama’i, Ikhwanul Muslimin, Hizbut Tahrir, Jama’ah Tabligh, mursyid ‘am, dan semisalnya??? Bagaimana pula dengan ucapan Syaikh Hasan al-Banna rahimahullahu dan ulama Ikhwanul Muslimin yang sering menggunakan istilah tashowuf dan shufi??? Bahkan bukankah ciri dakwah Ikhwanul Muslimin adalah :

دعوة سلفية ، وطريقة سنية ، وحقيقة صوفية ، وهيئة سياسية ، وجماعة رياضية ، وفكرة اجتماعية

(1) Dakwah Salafiyah, (2) Thoriqoh Sunniyah, (3) hakikat Shufiyah, (4) lembaga Siyasiyah, (5) Jama’ah Riyadhiyah dan (6) Fikrah Ijtima’iyah.

Apakah istilah-istilah di atas, seperti salafiyah (sebagaimana dakwaan al-Ustadz Abduh sendiri), shufiyah, siyasiyah, riyadhiyah dst bukanlah istilah muhdats?!!

Belum lagi istilah-istilah seperti anasyid al-islami, sandiwara Islami, demokrasi Islami, parlemen Islami, sosialisme Islami dan sebagainya yang diperkenalkan istilah-istilah ini oleh Ikhwanul Muslimin. Bagaimana bisa al-Ustadz menyatakan bahwa as-Salafiy adalah muhdats, tidak ada di dalam kamus-kamus mu’tabar terdahulu, tidak pula digunakan oleh para ulama terdahulu (terdahulu = salaf) dan dakwaan lainnya, namun al-Ustadz tidak menyinggung bid’ah yang lebih jelas lagi, semisal hizbiyah Ikhwanul Muslimin dan segala derivatnya…

Semoga Alloh memberikan hidayah dan taufiknya kepada diriku, kepada al-Ustadz Abduh dan kepada kaum muslimin lainnya. [selesai dari “Menjawab Tuduhan”]

Di dalam artikel “Mengkritisi Jawaban Abu Salma” [dalam thread di MyQ berjudul “Penyimpangan Pemikiran Abu Salma” namun judul ini telah ditarik oleh ath-Thalibi walaupun masih tetap bercokol di forum MyQ] ath-Thalibi berkata :

Setelah menyimpulkan tentang istilah Salafi (kesimpulan tuduhan pertama), Ustadz Abu Salma menukil perkataan Ustadz Abduh ZA, lalu mengomentarinya: “Apabila al-Ustadz (Abduh ZA. –pen) menafikan sebagai nisbat kepada madzhab salaf, maka berarti al-Ustadz telah jatuh kepada celaan terhadap mereka –para ulama sebelum Ibnu Taimiyah-. Karena apabila mereka tidak bernisbat kepada madzhab Salaf maka kepada apakah mereka bernisbat??”

CATATAN: Ustadz Abu Salma, Antum kan sering menasehati ikhwan Salafi tertentu dengan perkataan: “Ittaqillah ya Akhi!” Maka, saya pun mengharapkan Antum juga berhati-hati ketika mengomentari pernyataan orang lain. Perkataan Antum di atas jelas merupakan tuduhan kepada Abduh ZA. Antum menuduhnya TELAH MENCELA ulama-ulama sebelum Ibnu Taimiyyah rahimahullah. Sebenarnya apa yang disampaikan oleh Abduh ZA, hanyalah soal PENAMAAN (nisbat), bukan ruju’-nya seseorang kepada madzhab Salaf. Ulama-ulama sejak dulu ruju’ kepada madzhab Salaf, tetapi dalam soal nama, mereka kebanyakan tidak memakai nama As Salafi atau Al Atsari. Bahkan sampai saat ini banyak ulama-ulama Salafi yang tidak memakai nama itu. Contoh, Syaikh Rabi’ bin Hadi Al Madkhali, Syaikh Muqbil bin Hadi Al Wadi’i rahimahullah, Syaikh Yahya An Najmi, Syaikh Abdul Malik Ramadhani Al Aljazairi, dsb. Antum pernah melihat mereka menyebut namanya dengan nisbat As Salafi Al Atsari?

Antum berkata, “Karena apabila mereka tidak bernisbat kepada madzhab Salaf maka kepada apakah mereka bernisbat??” Akhi rahimakallah, Antum harus bedakan benar antara NISBAT dengan ITTIBA’. Nisbat itu memakai nama yang dikaitkan dengan perkara-perkara tertentu, sedangkan ittiba’ berarti mengikuti suatu ajaran tertentu. Kewajiban Syar’i yang kita terima ialah mengikuti (ittiba’) Salafus Shalih (Surat An Nisaa’: 115), adapun soal nama terserah masing-masing orang, asalkan baik dan terpuji.

Lalu dalam “Perisai Penuntut Ilmu” saya hanya menekankan pada kesimpulan ath-Thalibi yang terlalu berlebihan, yaitu ketika dia mengambil kesimpulan bahwa saya menuduh Abduh ZA telah mencela para ulama sebelum Syaikhul Islam, saya mengomentari ucapannya :

Wahai Aba Abdirrahman wafaqokallahu, fahamkah anda dengan bahasa? Pasti anda lebih faham daripada saya. Namun mengapa anda palingkan perkataan saya kepada makna yang tidak benar?

و كم من عائب قولا صحيحا و آفته من الفهم السقيم

Berapa banyak orang yang mencela ucapan yang benar

Sebabnya karena pemahaman yang salah/buruk

Tahukah anda kalimat syarth?? apabila anda tidak tahu maka perhatikan ucapan saya berikut ini. Misal dikatakan : “Apabila fulan mencuri niscaya dia saya sebut sebagai pencuri”. Bisakah dikatakan (baca : disimpulkan) bahwa saya telah menuduh fulan sebagai pencuri? Orang yang berakal tentu akan mengatakan, tidak bisa. Karena saya memberikan persyaratan pada awal kalimat, yaitu apabila si fulan mencuri. Lantas bagaimana bisa anda tuduh dan vonis saya bahwa saya telah menuduh Ustadz Abduh ZA TELAH MENCELA para ulama sebelum Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullahu??? Oleh karena itu saya kembalikan ucapan anda, “saya pun mengharapkan Antum juga berhati-hati ketika mengomentari pernyataan orang lain.”

Di sini, anda juga tidak faham beda antara nisbat dengan tasammi (penamaan). nisbat bermakna at-Tanasub (perimbangan), at-Ta’aluq (pertalian) dan at-Tanaasub (persesuaian). Nisbatpun juga bermacam-macam, bisa dengan nasab (keturunan), bisa dengan tanah air, wilayah, daerah, madzhab, karakteristik dan lain sebagainya. Dan menisbatkan diri kepada madzhab salaf adalah suatu keniscyaan, karena penisbatan ini adalah penyandaran kepada madzhab dan cara beragama kepada as-Salaf ash-Shalih. Adapun at-Tasammi itu hukumnya boleh-boleh saja dan sah-sah saja, baik berbentuk nisbat maupun bukan. Baik nisbat kepada daerah, madzhab ataupun selainnya.

Apabila kita tidak menolak istilah Syafi’iyah, Hanabilah, Malikiyah dan lain sebagainya, padahal penisbatan ini adalah penyandaran kepada individu-individu yang tidak ma’shum maka tentunya kita tidak akan menolak istilah salafiyah, karena ini adalah penisbatan kepada madzhab salaf seluruhnya, bukan kepada indivdiu tertentu. Bahkan, bukankah antum juga menggunakan nisbat ath-Tholibi??? Kepada apakah antum bernisbat? Apakah nisbat antum bukan bagian dari tazkiyah linafsi? Apabila bukan, tentu penisbatan ke salaf adalah lebih mulia dan utama.

Saudara ath-Thalibi, sesungguhnya apabila anda melihat adanya praktek yang salah dari para muntasibin kepada manhaj salaf, maka salahkanlah oknum-oknumnya, bukan nisbat itu sendiri. Karena siapa saja berhak untuk menisbatkan diri kepada manhaj salaf. Namun penilaian itu bukanlah dari penamaan belaka, namun dari hakikatnya. Apabila ada orang yang menggembargemborkan dirinya sebagai salafi sejati tetapi ia menyelisihi manhaj salaf dalam banyak hal, maka dakwaannya atau klaimnya tidak selamat begitu saja. Karena klaim (dengan penisbatan misalnya) haruslah dibuktikan dengan realita, sebagaimana perkataan seorang penyair :

وإذا الدعاوى لم تقم بدليلها بــ النص فهي على السفاه دليل

Jika para pendakwa tidak menopang dalilnya dengan argumentasi

Maka dia berada di atas selemah-lemahnya dalil

Oleh karena itu saya sarankan kepada saudara ath-Thalibi agar membaca kembali ulasan saya tentang nisbat kepada salafiyah ini pada risalah “Menjawab Tuduhan Meluruskan Kesalahpahaman” jawaban terhadap tuduhan pertama. [selesai dari “Perisai Penuntut Ilmu].

Kemudian, ath-Thalibi dalam DSDB2 “Menjawab Tuduhan” (hal. 152) menanggapi kembali dan berkata :

Inilah persoalannya, Abduh sudah membatasi perhatiannya pada soal PENAMAAN. Hal itu bisa pembaca baca sendiri pada kalimat-kalimat di muka yang sengaja saya tebalkan atau ditulis dalam huruf kapital. Namun Abu Salma justru menarik persoalan ke masalah lain. Dia mengatakan : “Apabila al-Ustadz (Abduh ZA. –pen) menafikan sebagai nisbat kepada madzhab salaf, maka berarti al-Ustadz telah jatuh kepada celaan terhadap mereka –para ulama sebelum Ibnu Taimiyah-. Karena apabila mereka tidak bernisbat kepada madzhab Salaf maka kepada apakah mereka bernisbat??” Lihatlah di sini, dari perkara PENAMAAN yang disebutkan Abduh, kemudian bergeser ke soal PENERIMAAN para ulama terhadap madzhab salaf. Jelas ini merupakan pergeseran yang nyata. Bahkan Abu Salma mengkaitkannya dengan celaan kepada para ulama sebelum Ibnu Taimiyah, meskipun hal itu diakuinya sebagai kalimat bersyarat.

Baiklah, saya mengakui bahwa kalimat yang digunakan Abu Salma adalah kalimat bersyarat (diawali dengan kata ‘apabila’). Artinya, jatuhnya celaan itu bisa benar atau tidak, tergantung terpenuhinya syarat-syarat yang ditetapkan. Kemungkinannya bisa 50-50. tetapi masalahnya, Abduh telah bicara soal PENAMAAN, bukan PENERIMAAN madzhab salaf, lalu apa gunanya dibuat syarat-syarat lain di luar itu? Persoalan sudah dibatasi, mengapa harus diperluas ke masalah lain, lebih hebatnya, perluasan itu dikaitkan dengan kemungkinan seseorang telah MENCELA ulama-ulama sebelum Ibnu Taimiyah rahimahullahu. Bagi orang yang tidak mengerti, atau yang tidak merunut masalah dari awal, mereka bisa membuat kesimpulan yang jauh, misalnya: “Fulan telah mencela ulama-ulama sebelum Ibnu Taimiyah!” Di sini, kejujuran hati seseorang ketika berbeda pendapat sangat dibutuhkan.” [Selesai penukilan].

Tanggapan :

Saya memiliki beberapa catatan atas uraian ath-Thalibi di atas…

Pertama : Di dalam ucapan Ustadz Abduh ada empat hal : yaitu (1) pemakaian kata “ana salafiy” adalah muhdats, (2) tidak ada seorang pun yang menisbatkan diri pada salafiy, terutama sebelum Ibnu Taimiyah, (3) Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dan Muhammad bin Abdil Wahhab tidak pernah menyebut diri sebagai ‘as-Salafiy’ dan (4) kata ‘as-Salafiy’ tidak pernah disebutkan dalam kamus-kamus Arab seperti Mukhtaruss Shihah, Lisanul Arob, dll.

Keempat hal di atas dari ucapan Ustadz Abduh adalah suatu hal yang ijmal (global) perlu ditafshil (diperinci) maksudnya. Oleh karena itulah di awal tanggapan saya mengatakan : “Ucapan al-Ustadz Abduh –hadahullahu- di atas adalah suatu perkataan yang ijmal perlu ditafshil.” Oleh karena itulah saya menjawab kesemua 4 hal di atas –silakan baca kembali uraian saya di atas-. Dengan demikian, klaim ath-Thalibi bahwa saya memperluas masalah dari PENAMAAN kepada PENERIMAAN adalah kesimpulan ath-Thalibi belaka yang kosong…

Kedua : Pemakaian kata “ana salafiy” bukanlah termasuk bab PENAMAAN sebagaimana klaim ath-Thalibi. Bahkan ia adalah pengakuan di dalam menyandarkan madzhab beragamanya. Sebagaimana seseorang yang mengatakan “ana sunni”, “ana min ahlis sunnah”, “ana ‘ala madzhabis salaf” dan lain-lain. Masalah ini telah saya bahas dalam bab-bab sebelumnya. Bahkan, tidakkah kita masih ingat di dalam Majmu’ Fatawa (IV) Syaikhul Islam yang mengucapkan Laa ‘aiba… dst, bukankah beliau mengomentari ucapan seseorang yang mengatakan “ana ‘ala madzhabis salaf”. Oleh karena itu saya menduga bahwa Ustadz Abduh tampaknya faham akan ucapannya, sehingga beliau mengatakan tidak ada seorang ulamapun, terutama sebelum Ibnu Taimiyah. Beliau sepertinya faham tentang nukilan ucapan Syaikhul Islam dalam Majmu’ Fatawa ini… namun sayangnya ath-Thalibi tidak faham…

Ketiga : Mengenai menisbatkan diri pada salafiy. Menisbatkan diri pada salafiy sebagaimana telah berlalu pembahasannya yang cukup panjang bahkan berulang-ulang, bukanlah identik dengan tasammi, penggunaan nama as-Salafy atau semisalnya di belakang nama seseorang. Namun, kami memahami bahwa menisbatkan diri kepada salafiy adalah penisbatan kepada cara beragama kaum salaf shalih. Lihat tanggapan saya selengkapnya pada uraian-uraian sebelumnya. Oleh karena itulah saya mengatakan bahwa ucapan Ustadz Abduh ini adalah ucapan ijmal perlu ditafshil. Karena saya ingin tahrirul ishtilah (menegaskan istilah), apa yang dimaksud dengan salafiy itu dan bagaimanakah bentuk nisbat tersebut?!!

Keempat : Soal penamaan as-Salafiy, telah saya singgung berkali-kali. Saya telah menyatakan bahwa tidak ada satupun ulama yang mewajibkan penamaan as-Salafiy, dan bukanlah artinya orang yang tidak menyebut as-Salafiy di belakangnya maka serta merta ia bukan salafiy. Maka ini haruslah difahami. Baca kembali uraian-uraian saya sebelumnya.

Kelima : Soal tidak disebutkannya kata as-Salafiy dalam kamus-kamus B.Arab, telah saya tanggapi dalam tanggapan saya kepada Ustadz Abduh di atas. Maka silakan dirujuk kembali.

Keenam : Ucapan saya :Apabila al-Ustadz (Abduh ZA. –pen) menafikan sebagai nisbat kepada madzhab salaf, maka berarti al-Ustadz telah jatuh kepada celaan terhadap mereka –para ulama sebelum Ibnu Taimiyah-. Karena apabila mereka tidak bernisbat kepada madzhab Salaf maka kepada apakah mereka bernisbat??” yang dikomentari ath-Thalibi secara berlebihan bahwa saya memperluas maksud, maka saya katakan : ath-Thalibi lah yang salah faham atau tidak mau memahami. Apabila ia menelaah ucapan saya maka telah jelas, bahwa nisbat yang saya sebut adalah kepada madzhab salaf, karena menisbatkan diri kepada madzhab salaf adalah wajib. Ingat! Jangan difahami nisbat itu semata-mata tasammi, maka ini maknanya mempersempit makna. Oleh karena itulah saya mempertanyakan, jika para ulama ahlus sunnah sebelum Syaikhul Islam rahimahullahu tidak bernisbat kepada madzhab salaf, lantas kepada apakah mereka –para ulama- tersebut bernisbat???

Ketujuh : Orang yang berakal dan memahami bahasa, tidak akan berkesimpulan sebagaimana kesimpulan yang ditarik ath-Thalibi, yaitu “Fulan telah mencela ulama-ulama sebelum Ibnu Taimiyah!”. Saya katakan, orang yang berkesimpulan demikian maka ia patut mempertanyakan akal sehatnya, karena ucapan saya jelas : :Apabila al-Ustadz menafikan sebagai nisbat kepada madzhab salaf, maka berarti al-Ustadz telah jatuh kepada celaan terhadap mereka –para ulama sebelum Ibnu Taimiyah-. Karena apabila mereka tidak bernisbat kepada madzhab Salaf maka kepada apakah mereka bernisbat??”

Kepada ath-Thalibi, kesekian kalinya saya hanya bisa berkata :

و كم من عائب قولا صحيحا و آفته من الفهم السقيم

Berapa banyak orang yang mencela ucapan yang benar

Sebabnya karena pemahaman yang salah/buruk

 

 

Bersambung ke Bagian 5 –insya Alloh-

 


Related articles

Leave a Reply

Your email address will not be published. Fields with * are mandatory.