BINGKISAN PENUNTUT ILMU BANTAHAN TERHADAP SYUBHAT ATH-THALIBI 3

 May, 30 - 2007   Tahdzir

ittihafu-thullab-copy.gif

إتحاف الطلاب برد على شبه الطالبي

حوار الثاني مع أبي عبد الرحمن الطالبي

 

BINGKISAN PENUNTUT ILMU

BANTAHAN TERHADAP SYUBHAT ATH-THALIBI

Dialog Kedua Bersama Abu ‘Abdirrahman ath-Thalibi

[Bagian 3]

 

Oleh :

Abu Salma bin Burhan al-Atsari

 

 

Setelah kita mengulas mengenai istilah salafiyyah yang disalahfahami dan disalahartikan oleh ath-Thalibi, mari kita sekarang masuk ke pembahasan mengenai ”tafsiran kalimat Ibnu Taimiyah”. Demikianlah sub judul dalam buku DSDB2 ini (hal. 139). Membaca ulasan ath-Thalibi di dalam bab ini, saya semakin mantap dengan kesimpulan ke-7 risalah saya sebelumnya, ”Perisai Penuntut Ilmu”, yaitu ath-Thalibi tidak faham Bahasa Arab, dan hal ini semakin diperkuat dengan ucapannya sendiri yang menyatakan : ”Terus terang, saya masih kurang ilmu di bidang bahasa Arab. Masih butuh banyak belajar lagi.” (lih. Hal. 147 paragraf terakhir). Bahkan, saya sangat jarang sekali mendapatkan nukilan-nukilan di dalam bukunya dari ucapan para ulama, menukil fatwa lajnah daimah pun dalam edisi Bahasa Inggeris. Padahal apabila ath-Thalibi mau sedikit bersusah payah, apalagi sampai menurunkan buku ”Menjawab Tuduhan” ini, ia dapat dengan mudah mendapatkan nukilan Fatwa Lajnah Daimah secara mudah… oleh karena itulah, al-Mishri memasukkan fatwa ini ke dalam lampiran…

Baiklah, sekarang mari kita kupas analisa ath-Thalibi terhadap ucapan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullahu yang menunjukkan bahwa pemahamannya terhadap ucapan Syaikhul Islam ini adalah timpang dan cacat… cacat dari segi makna dan bahasa…

Ada beberapa poin yang ingin saya luruskan, yaitu :

  1. Latar belakang ucapan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dan Balaghoh ucapan beliau yang merupakan ushlub peningkaran.

  2. Kesalahan penterjemahan ath-Thalibi dan Qiyas ath-Thalibi adalah qiyas ma’al Faariq dan menunjukkan kejahilannya akan Bahasa Arab.

  3. Tuduhan ath-Thalibi bahwa saya adalah mufassir ucapan Syaikhul Islam sedangkan dia hanya memahami saja, dan sah-sah saja memahami perkataan seorang ulama…

Baik, mari sekarang kita kupas satu persatu ulasan ath-Thalibi ini.

 

Latar Belakang Ucapan Syaikhul Islam

Ini adalah perjalanan awal kita, untuk mengetahui konteks dan maksud ucapan Syaikkhul Islam, oleh karena itu kita perlu menilik ucapan dan pembahasan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dalam pembahasan dan kalimat sebelumnya. Syaikhul Islam di dalam ucapannya yang sedang kita diskusikan ini, sebenarnya sedang menyanggah ucapan Syaikh al-’Izz bin ’Abdis Salam rahimahullahu dalam pasal yang berjudul Fashlu Fi Qouli man Qoola innal Hasyawiyah ’alal Dhorbain (Pasal tentang ucapan orang yang mengatakan bahwa sesungguhnya Hasawiyah itu ada dua bentuk). Syaikh al-’Izz bin ’Abdis Salam menyatakan :

إن الحشوية على ضربين، أحدهما‏:‏ لا يتحاشى من الحشو والتشبيه والتجسيم، والآخر‏:‏ تستر بمذهب السلف‏.‏ ومذهب السلف إنما هو التوحيد والتنزيه، دون التشبيه والتجسيم

Sesungguhnya Hasyawiyah (sebutan bagi orang yang linglung atau bodoh terhadap apa yang diucapkannya; sebutan ini biasanya julukan ahlu bid’ah kepada ahli sunnah, pent.) ada dua bentuk, yaitu orang yang tidak menjauhkan diri dari sisipan, penyerupaan dan penyifatan jism (raga) bagi Alloh dan yang lainnya adalah orang yang menyamarkan madzhab salaf. Madzhab salaf itu sesungguhnya adalah tauhid dan tanzih (pensucian) saja tanpa tasybih (penyerupaan) dan tajsim…”

Syaikhul Islam memberikan komentar :

، وكذا جميع المبتدعة يزعمون هذا فيهم كما قال القائل‏: ‏ وكل يدعي وصلاً لليلى ** وليلى لا تقر لهم بذاكا. فهذا الكلام فيه حق وباطل ‏.‏

Demikianlah, semua ahli bid’ah mengira bahwa ini semua ada pada mereka, sebagaimana ucapan seorang penyair :

Semua mengaku-ngaku punya hubungan dengan Laila

Namun Laila memungkiri pengaku-ngakuan itu

Ucapannya ini di dalamnya ada yang benar dan ada yang salah…”

Syaikhul Islam dengan anggunnya membantah ucapan di atas secara panjang lebar, sampai bantahan beliau tentang menyamarkan madzhab salaf. Beliau rahimahullahu berkata :

الوجه الثالث‏:‏ قوله‏:‏‏ [‏والآخر يتستر بمذهب السلف]‏، إن أردت بالتستر الاستخفاء بمذهب السلف، فيقال‏:‏ ليس مذهب السلف مما يتستر به إلا في بلاد أهل البدع، مثل بلاد الرافضة والخوارج ،فإن المؤمن المستضعف هناك قد يكتم إيمانه واستنانه، كما كتم مؤمن آل فرعون إيمانه، وكما كان كثير من المؤمنين يكتم إيمانه حين كانوا في دار الحرب‏.‏

فإن كان هؤلاء في بلد أنت لك فيه سلطان ـ وقد تستروا بمذهب السلف ـ فقد ذممت نفسك، حيث كنت من طائفة يستر مذهب السلف عندهم، وإن كنت من المستضعفين المستترين بمذهب السلف فلا معنى لذم نفسك، وإن لم تكن منهم ولا من الملأ، فلا وجه لذم قوم بلفظ التستر‏.‏ وإن أردت بالتستر‏:‏ أنهم يجتنون به، ويتقون به غيرهم، ويتظاهرون به، حتى إذا خوطب أحدهم قال‏:‏ أنا على مذهب السلف ـ وهذا الذي أراده، والله أعلم ـ فيقال له‏:‏ لا عيب على من أظهر مذهب السلف وانتسب إليه واعتزى إليه، بل يجب قبول ذلك منه بالاتفاق؛ فإن مذهب السلف لا يكون إلا حقًا، فإن كان موافقًا له باطنًا وظاهرًا، فهو بمنزلة المؤمن الذي هو على الحق باطنًا وظاهرًا، وإن كان موافقًا له في الظاهر فقط دون الباطن، فهو بمنزلة المنافق فتقبل منه علانيته وتُوكَل سريرته إلى الله، فإنا لم نؤمر أن نُنَقِّب عن قلوب الناس ولا نشق بطونهم‏.‏

 

Sisi ketiga : Ucapan beliau ”dan yang lainnya orang yang menyamarkan madzhab salaf”. Apabila yang anda maksudkan dengan tasattur (menyamarkan) di sini adalah al-Istikhfa` (menyembunyikan) madzhab salaf, maka dijawab : tidaklah madzhab salaf itu disembunyikan melainkan hanya di negeri ahli bid’ah, seperti negerinya kaum Rafidhah dan khowarij. Karena sesungguhnya seorang mukmin yang dalam keadaan lemah di sana, terkadang menyembunyikan keimanannya dan pelaksanaan sunnahnya, sebagaimana keluarga Fir’aun memyembunyikan keimanannya, dan sebagaimana pula mayoritas kaum mukminin yang sedang menyembunyikan keimanannya tatkala mereka berada di daarul harb (negeri kuffar).

Namun apabila mereka berada di negeri yang anda memiliki kekuasaan di dalamnya, dan mereka menyembunyikan madzhab salaf, maka sungguh anda telah mencela diri anda sendiri, ketika anda termasuk golongan yang menyembunyikan madzhab salaf di tengah-tengah mereka. Namun apabila anda adalah orang yang lemah dan menyembunyikan madzab salaf maka tidak ada gunanya celaan bagi anda. Apabila anda bukan termasuk mereka dan tidak pula termasuk orang yang terkemuka, maka tidak ada aspek celaan bagi suatu kaum terhadap lafazh tasattur (penyembunyian/penyamaran).

Apabila yang anda maksudkan dengan tasattur adalah mereka menutupi madzhab salaf dan takut kepada selain mereka kemudian mereka menampakkan madzhab salaf, sampai-sampai ketika dipanggil salah seorang dari mereka, ia mengatakan : Aku berada di atas madzhab salaf – dan inilah yang ia maksudkan, wallohu ‘alam– maka dikatakan padanya : Tidaklah aib (tercela) bagi orang yang menampakkan madzhab salaf, bernisbat kepadanya dan berbangga dengannya. Bahkan wajib menerima pernyataan tersebut darinya dengan kesepakatan, karena sesungguhnya tidaklah madzhab salaf itu melainkan kebenaran. Apabila ia selaras dengan madzhab salaf secara bathin dan zhahir maka ia berada di atas kedudukan seorang mukmin yang berada di atas kebenaran secara bathin dan zhahir. Namun apabila ia hanya selaras dengan madzhab salaf hanya zhahirnya saja tanpa bathinnya, maka ia berada pada posisi munafik. Maka diterima yang tampak darinya dan diserahkan apa yang ia rahasiakan kepada Alloh, karena sesungguhnya kita tidaklah diperintahkan untuk menilai hati-hati manusia dan menvonis apa yang ada pada bathin mereka.”

Bagi mereka yang memperhatikan ucapan Syaikhul Islam rahimahullahu akan tampaklah padanya suatu kejelasan, bahwa balaghoh ucapan beliau ini adalah suatu pengingkaran, karena beliau menyanggah ucapan Syaikh al-‘Izz bin ‘Abdis Salam rahimahullahu mengenai tasattur madzhab salaf. Beliau menyokong orang yang menyatakan : Ana ‘ala Madzhab Salaf (Aku berada di atas madzhab salaf), bahkan beliau nyatakan bahwa menampakkan, bernisbat dan berbangga dengan madzhab salaf bukanlah aib, bahkan wajib menerima pernyataan tersebut darinya dengan kesepakatan. Menurut Syaikhul Islam, tidaklah madzhab salaf itu melainkan hanyalah kebenaran.

Dengan demikian, ini jawaban pertama tuduhan ath-Thalibi yang mempertanyakan darimana kesimpulan yang saya ambil tentang balaghoh pengingkaran ini. Bahkan, sekiranya kita hanya mencuplik ucapan Syaikhul Islam laa aiba dst saja, maka ini sudah cukup bagi mereka yang faham Bahasa Arab. Namun supaya ath-Thalibi tidak bertanya-tanya, maka tidak ada salahnya saya kemukakan ulasannya yang panjang.

Anehnya, ath-Thalibi menuduh saya menukil ucapan Syaikhul Islam hanyalah dari nukilan orang lain, sedangkan dia sendiri juga melakukan hal yang sama. Bahkan, anehnya lagi ath-Thalibi ini, ia menurunkan buku DSDB2 ini yang telah tersebar di pasaran dan menjadi konsumsi khayalak, namun ia tidak bertatsabut dengan ucapan Syaikhul Islam di dalam Majmu’ Fatawa lalu ia fahami menurut pikirannya sendiri.

 

Kesalahan Penterjemahan ath-Thalibi dan Qiyas Fasid

Ath-Thalibi di dalam pembelaan terhadap pemahaman dan penterjemahannya terhadap ucapan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullahu melepaskan argumen-argumen dan qiyas-qiyas fasid, yang semakin membuka kedok akan jati dirinya. Sebagai informasi saja, saya telah menyodorkan ucapan ath-Thalibi dalam pembahasan ini (DSDB2 hal. 148-151) kepada beberapa asatidzah dan thullabul ilmi yang menekuni Bahasa Arab –sebagai bahan masukan- beserta dengan nukilan kopian ucapan Syaikhul Islam dalam Majmu’ Fatawa jilid IV. Ketika mereka membaca ucapan Syaikhul Islam dan membandingkan dengan apa yang dilontarkan ath-Thalibi, mereka semua mengatakan bahwa uraian ath-Thalibi ini lucu dan aneh, menunjukkan hakikat orang yang tidak faham Bahasa Arab.

Bahkan, al-Ustadz al-Fadhil Abu Hamzah Agus Hasan Bashori hafizhahullahu –beberapa bukunya diterbitkan Pustaka Al-Kautsar-, waktu saya sodorkan ucapan ath-Thalibi dan ucapan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullahu pada hari Jum’at (18 Mei 2007) sebelum khutbah Jum’at di kantor saya, beliau mengatakan : “orang ini –maksudnya ath-Thalibi- jahil…”, lalu beliau menjelaskan bahwa dua jalan utama metode berdalilnya ahlul bid’ah adalah, dari jalan lughoh (bahasa) dan qiyas. Dan dua hal ini terhimpun pada uraian ath-Thalibi. Dan jangan difahami bahwa kita menvonis ath-Thalibi sebagai ahli bid’ah, karena tidaklah setiap orang yang jatuh pada kebid’ahan maka otomatis menjadi ahli bid’ah. Apalagi terhadap seorang yang jahil…

Saya harap ath-Thalibi tidak tersinggung ketika dikatakan jahil, karena kita semua ini adalah jahil. Saya pribadi jika dicela dan disebut jahil, tidak merasa marah ataupun tersinggung. Bahkan saya anggap itu suatu kebenaran, bahwa saya memang orang yang masih jahil. Namun, saya hanya sering menelaah argumentasi orang yang menuduh tersebut, apabila benar maka alhamdulillah kita mendapatkan ilmu. Jika salah maka alhamdulillah, ternyata masih ada orang yang lebih jahil daripada kita…

Baiklah, sekarang mari kita menelaah uraian penterjemahan dan pemahaman yang dilakukan ath-Thalibi… ada beberapa poin yang ingin saya tanggapi :

  1. Ucapan Syaikhul Islam بل يجب قبول ذلك منه dianggap ath-Thalibi bermakna satu saja lalu ia mengkiaskan dengan penggunaan kata bertumpuk dan berulang.

  2. Kata بالاتفاق difahami ath-Thalibi dengan menyepakati madzhab salaf

  3. Kejanggalan metode berfikir ath-Thalibi di dalam berargumentasi dengan فإن مذهب السلف لا يكون إلا حقًا

  4. Kejahilan ath-Thalibi di dalam memahami أظهر مذهب السلف وانتسب إليه واعتزى إليه dianggap bukan bukti penerimaan terhadap madzhab salaf.

  5. Kejahilan ath-Thalibi dalam masalah انتساب dan تسمي

 

Dzalika minhu tidak bermakna satu

Ath-Thalibi berargumen bahwa ucapan Syaikhul Islam بل يجب قبول ذلك منه bermakna satu dan maknanya itu-itu juga. Ia mengkiaskan dengan :

  • Firman Alloh إِنَّكَ أَنْتَ الْوَهَّابُ menurut ath-Thalibi maknanya satu, sudah ada innaka yang mengandung dhamir anta ditambah lagi dengan anta.

Tanggapan :

Memang benar bahwa kata إِنَّكَ أَنْتَ الْوَهَّابُ maknanya satu yaitu tertuju pada Alloh al-Wahhab. Namun di sini tidak serta merta demikian. Karena Al-Qur’an itu adalah Kalamullah yang tidaklah Alloh berfirman melainkan ada suatu maksud dan tujuan serta hikmah di dalamnya. Dalam hal ini ada suatu penekanan, karena kata annaka itu sendiri telah tersimpan dhamir anta yang disebut dengan dhamir bariz muttashil (kata ganti yang tampak dan berhubungan), lalu diikuti oleh dhamir bariz munfashil (kata ganti tampak yang terpisah). Sebenarnya menyebut innakal Wahhab atau Antal Wahhab saja sudah cukup. Namun, mengapa Alloh tetap menggandengkan dua dhamir bariz muttashil dengan munfashil? Tentulah ada maksud dan hikmah-Nya, karena tidaklah Alloh menyebutkan dua kata yang sama melainkan memiliki makna dan tujuan tertentu, yang berfungsi mengukuhkan. Apabila dalam kalimat yang mengandung dhamir mustatar (kata ganti tersembunyi) yang bersifat wajib saja berfungsi sebagai pengukuhan, misalnya dikatakan if’al, kata perintah (fi’il amr) yang wajib dimaksudkan kepada mukhtahab (orang kedua yang diseru) dan taqdir (perkiraan)-nya pasti anta. Maka apabila dikatakan if’al anta!!! Bermakna pengukuhan dan penekanan perintah, padahal ini dhamir mustatir wajib, lantas bagaimana dengan dhamir bariz yang dhamirnya telah tampak secara muttashil, ditekankan dengan pengukuhan dhamir yang munfashil

Qiyas ini dengan kalimat dzalika minhu tidaklah tepat, karena dzalika sebagai ismul isyarah tidaklah sama dengan minhu yang menyimpan dhamir huwa (ghaib atau orang ketiga).

  • Firman Alloh أولائك هم الخاسرون menurut ath-Thalibi maknanya satu, sudah ada ula`ika masih ditambah dengan hum.

Tanggapan :

Qiyas ath-Thalibi ini juga tidak tepat, dan pembahasannya serupa dengan pembahasan di atas. Hanyasaja ula`ika itu adalah lafazh isyarah untuk bentuk jamak yang jauh, baik mudzakar (pria) maupun mu’anats (wanita) dan penggunaannya lazim digunakan sebagai isyarat kepada makhluk berakal (manusia, jin atau malaikat) dan jarang sekali digunakan sebagai isyarat makhluk tidak berakal. Dikarenakan ula`ika itu bisa untuk jamak mudzakar ataupun mu’anats, maka kata hum di sini merupakan penjelas dan pengukuh.

  • Firman خالدين فيها أبدًا menurut ath-Thalibi maknanya satu, sudah ada kholidina yang artinya mereka kekal masih ditambah dengan abada yang artinya abadi

Tanggapan :

Dalam Tafsir Ibnu Katsir juz III, bab 87, hal. 169 dikatakan : خَالِدِينَ فِيهَا maknanya yaitu ساكنين (mereka tinggal) atau ماكثين (menetap); فيها أبدًا yaitu لا يحولون ولا يزولون (senantiasa dan terus menerus). Imam Al-Alusi di dalam Tafsirnya (juz VII/189) dengan lebih tegas dan secara anggun menjelaskan maksud خالدين فيها أبدًا adalah : تأكيد لما يدل عليه الخلود ودفع احتمال أن يراد منه المكث الطويل (Memperkuat apa yang ditunjukkan oleh al-Khulud (kekal) dan menghilangkan kemungkinan dimaksudkannya ayat tersebut dengan maksud berdiam/tinggal dalam waktu lama).

Sesungguhnya kalimat وهم فيها خالدون (tanpa أبدًا) dengan خالدين فيها أبدًا memiliki penekanan yang berbeda. Di dalam tafsir al-Bahrul Muhith (I/142) dikatakan bahwa kata al-Khulud sendiri terjadi perselisihan di tengah kaum muslimin, sebagian mu’tazilah memahaminya kekal untuk selama-lamanya, dan sebagian lagi memahaminya dengan waktu yang lama bisa terputus dan bisa tidak terputus. Oleh karena itulah lafazh Abada di sini berfungsi sebagai penekan bahwa makna kekal di sini adalah abadi untuk selama-lamanya bukan untuk waktu yang lama.

Maka klaim ath-Thalibi yang menyatakan bahwa al-Khulud dan al-Abad bermakna satu dalam al-Qur’an kurang tepat. Sekiranya dikatakan bermakna murodif maka ada suatu titik penekanan berbeda di sana.

  • Firman Alloh كَفَى بِنَفْسِكَ الْيَوْمَ عَلَيْكَ حَسِيبًا menurut ath-Thalibi maknanya adalah satu, karena sudah ada binafsika masih ditambah lagi ’alaika.

Tanggapan :

Apabila yang dimaksud dhamir ka di sini kembalinya satu, maka ucapan ath-Thalibi benar. Namun apabila ath-Thalibi memahami kata binafsika dan ’alaika itu maknanya satu, maka ini tidak benar.

Di dalam Tafsir ath-Thobari (tahqiq Syaikh Ahmad Syakir, surat al-Israa` : 14) dikatakan :

حسبك اليوم نفسك عليك حاسبا يحسب عليك أعمالك، فيحصيها عليك، لا نبتغي عليك شاهدا غيرها، ولا نطلب عليك محصيا سواها.

Cukuplah pada hari ini bagi dirimu sendiri sebagai penghisab atasmu sendiri menurut atas hitungan/hisab amalmu, yang terhitung atasmu dan tidaklah layak bagimu menjadi saksi atas selainnya dan kami tidaklah menuntut atasmu menghitung selainnya.”

Di dalam Fathul Qodir dikatakan bahwa huruf ba dalam binafsika adalah huruf zaidah (tambahan) sebagai ta’kid (penekanan). Sedangkan حسيباً maknanya adalah حاسباً (fa’il) sebagai tamyiz, sebagaimana Sibawaih berpendapat bahwa ضريب القادح maknanya adalah ضاربها, atau bisa juga bermakna المحاسب sebagaimana dalam kata al-Jaliis dan asy-Syariik. Kata an-Nafsu dalam nafsaka di sini bermakna الشخص (individu/figur) sedangkan ’ala dalam ’alaika berfungsi sebagai syahid atas individu tersebut. Hal serupa juga disebutkan dalam Tafsir Nazhmud Duror karya al-Baqo’i dan Tafsir al-Lubab karya Ibnu ’Adil dalam tafsir surat al-Isra’ ayat 14 di atas.

Al-Khulashoh… tidak tepat menyatakan bahwa kata binafsika yang didahului kafa (semakna dengan hasbuka) dan memiliki huruf ba zaidah sebagai taukid dan bermakna kepada syakhsh memiliki makna yang sama dengan ’alaika sebagai syahid dari amalannya sendiri atau haasib (penghisab)…

  • Sabda Nabi بسمك اللهم وبحمدك menurut ath-Thalibi maknanya satu, karena sudah ada ka masih ditambah Allohumma.

Tanggapan :

Apabila menurut ath-Thalibi apabila kata bismika maka dhamir –ka di sini kembali kepada Alloh dan sama dengan kalimat seruan (nida’) Allohumma yang kembali kepada Alloh adalah benar. Namun, apabila dikatakan keduanya sama secara fungsi dan makna maka saya rasa kurang tepat.

Kata Allohumma di sini adalah penegas dan pengukuh maksud dhamir –ka sebelumnya, dan Allohumma di sini merupakan nida’ (seruan) yang tegas. Sesungguhnya apabila keduanya disamakan, maka menurut ath-Thalibi kata Bismika dengan Bismillah [kata bismi Allohumma kurang tepat] adalah sama. Padahal apabila dikatakan bismika saja masih mengandung ihtimal (probabilitas) siapa yang dituju dalam dhamir ka tersebut, walaupun dhamir ka di sini termasuk dhamir bariz mukhothob. Sedangkan bismillah bukanlah seruan mukhothob dan lafazh Alloh di sini statusnya ghaib yang sudah disebutkan secara tegas. Sedangkan kalimat Bismika Allohumma, maka kalimat ini lebih tegas dan kuat, karena dhamir ka dalam kalimat ini khithab-nya dipertegas dengan nida’ kepada Alloh. Jadi qiyas ath-Thalibi dalam hal ini kurang tepat.

  • Sabda Nabi بارك الله لك وبارك عليك menurut ath-Thalibi maknanya satu, karena sudah ada laka masih ditambah ’alaika.

Tanggapan :

Di dalam Fathul Bari (XVIII/180) bab ad-Du’a` lil Mutazawwij, al-Hafizh membedakan makna barokallohu laka dengan baroka ’alaika. Beliau menyatakan bahwa :أَنَّ الْمُرَاد بِالْأَوَّلِ اِخْتِصَاصه بِالْبَرَكَةِ فِي زَوْجَته وَبِالثَّانِي شُمُول الْبَرَكَة لَهُ [Maksud lafazh pertama (yaitu barokallohu laka) adalah pengkhususan baginya berkah terhadap isterinya sedangkan lafazh kedua (yaitu baroka ‘alaika) adalah kesempurnaan berkah atasnya.] hal yang serupa dijelaskan oleh penulis Faidhul Qadir (I/40). Kata laka dan ’alaika bukanlah kata yang sama, bahkan memiliki makna yang berbeda pada tiap kata yang diiringinya. Misalnya kata hujjah lanaa dan hujjah ’alaina maknanya jauh berbeda. Hujjah lana adalah hujjah yang menyokong kita sedangkan hujjah ’alaina adalah hujjah yang melawan kita. Demikian pula apabila dikatakan du’a` lana dan du’a` ’alaina, yang pertama merupakan do’a kebaikan sedangkan yang kedua do’a keburukan.

Saya benar-benar terheran-heran, bagaimana bisa ath-Thalibi berargumentasi dan berdalih dengan qiyas ini?! Saya rasa ath-Thalibi ini terlalu bertakalluf (memberat-beratkan diri) di dalam menyokong qiyas fasid (analogi rusak)-nya…

  • Sabda Nabi إن الحمد لله نحمده menurut ath-Thalibi maknanya satu, karena sudah ada innal Hamda lillah masih ditambah dengan nahmaduhu

Tanggapan :

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullahu dalam Majmu’ Fatawa (IV/115) bab Fashlu Ma’na Hadits Khuthbah al-Haajah menjelaskan syarh khutbah al-Haajah dengan begitu anggunnya. Diantaranya ucapan beliau di dalam menjelaskan tentang kalimat Innal Hamda lillah nahmaduhu di atas. Beliau rahimahullahu berkata :

{ الْحَمْدُ لِلَّهِ نَحْمَدُهُ وَنَسْتَعِينُهُ } مُوَافِقٌ لِفَاتِحَةِ الْكِتَابِ حَيْثُ قُسِّمَتْ نِصْفَيْنِ : نِصْفًا لِلرَّبِّ وَنِصْفًا لِلْعَبْدِ فَنِصْفُ الرَّبِّ مُفْتَتَحٌ بِالْحَمْدِ لِلَّهِ وَنِصْفُ الْعَبْدِ مُفْتَتَحٌ بِالِاسْتِعَانَةِ بِهِ فَقَالَ نَحْمَدُهُ وَنَسْتَعِينُهُ

Alhamdulillah Nahmaduhu wa Nasta’inuhu (Segala puji hanyalah milik Alloh yang kita menyanjung dan memohon pertolongan-Nya) selaras dengan Fatihatul Kitab (surat al-Fatihah) yang terbagi menjadi dua bagian : bagian pertama adalah milik Rabb dan bagian kedua adalah milik hamba. Yang milik Rabb dibuka dengan alhamdulillah sedangkan bagian hamba dibuka dengan isti’anah (meminta tolong) kepada Alloh dengan ucapan Nahmaduhu wa Nasta’inuhu…”

Inilah diantara kejahilan ath-Thalibi –maaf- untuk kesekian kalinya. Ia menyamakan makna al-Hamdu lillah dengan nahmaduhu. Padahal orang yang pemula di dalam belajar Bahasa Arab saja sudah tahu, bahwa kedua makna ini berbeda…

Demikian inilah qiyas fasid yang dikemukakan oleh ath-Thalibi untuk memperkuat argumennya, bahwa kata bal yajibu qobulu dzalika minhu, kata dzalika dan minhu di sini bermakna satu. Apakah benar bahwa dzalika dan minhu di sini bermakna satu? Mari kita telaah bersama…

Sebelumnya kita kembali lagi kepada ucapan Syaikhul Islam rahimahullahu yang menyatakan :

حتى إذا خوطب أحدهم قال‏:‏ أنا على مذهب السلف ـ وهذا الذي أراده، والله أعلم ـ فيقال له‏:‏ لا عيب على من أظهر مذهب السلف وانتسب إليه واعتزى إليه، بل يجب قبول ذلك منه بالاتفاق؛ فإن مذهب السلف لا يكون إلا حقًا

Sampai-sampai ketika diseru salah seorang dari mereka, ia mengatakan ‘Aku berada di atas madzhab salaf’ – dan inilah yang ia maksudkan, wallohu ‘alam– maka kita katakan padanya : Tidaklah aib (tercela) bagi orang yang menampakkan madzhab salaf, bernisbat kepadanya dan berbangga dengannya. Bahkan wajib menerima pernyataan tersebut darinya dengan kesepakatan, karena sesungguhnya tidaklah madzhab salaf itu melainkan kebenaran…”

Saya telah mendiskusikan masalah ini dengan beberapa du’at dan thullabatul ‘ilmi yang mendalami Bahasa Arab dan telah terbiasa dengan Bahasa Arab, maka hampir kesemua dari mereka yang saya ajukan pernyataan ucapan Syaikhul Islam ini tidak ada yang menyetujui pemahaman ath-Thalibi… bahkan mereka mengkritik pemahaman ath-Thalibi yang ganjil ini… baiklah mari kita urut analisa dan pembahasan ucapan Syaikhul Islam ini…

  1. Ucapan Syaikhul Islam di sini adalah dalam konteks sanggahan atau bantahan. Sebagaimana telah disebutkan di atas. Seakan-akan beliau menyanggah orang yang tidak mau menampakkan madzhab salaf apalagi yang menolak penisbatan madzhab salaf.

  2. Syaikhul Islam mengomentari orang yang menyatakan “Ana ‘ala madzhab salaf”, yang mana kata ini semakna dengan ucapan “Ana Salafiy” [sebagaimana perkataan “Ana ‘ala Madzhab Syafi’i” dengan “Ana Syafi’y”] dengan pernyataan laa ‘aiba… jadi menyatakan “Ana ‘ala Madzhab Salafi” itu bukanlah suatu bentuk kesombongan. Bahkan syaikhul Islam memperbolehkannya dan bahkan memujinya, serta mengingkari orang yang menolaknya…

  3. Beliau (Syaikhul Islam) menyatakan tidaklah tercela orang yang menampakkan (izhhar), mengafiliasikan (intisab) dan berbangga (i’tizaa`) [Sebenarnya ketiga kata ini maknanya dekat] dengan madzhab salaf ketika beliau mengomentari ucapan orang yang menyatakan “Ana ‘ala Madzhab Salaf”…

  4. Syaikhul Islam melanjutkan Bal Yajibu Qobulu Dzalika minhu [Bahkan wajib menerima hal itu darinya]. Maksudnya qobulu dzalika adalah menerima pernyataan (qobulu qoulihi) orang itu, yaitu pernyataannya yang menyatakan “Ana ‘ala madzhab salaf”, dan minhu di sini, dhamir-nya kembali kepada orang yang mengucapkan “Ana ‘ala madzhab salaf” atau qo`il. Jadi maknanya, bal yajibu qobulu qoulihi minhu ay minal qo`il. Demikian ini lebih jelas dan benar secara bahasa.

  5. Apabila dikatakan : dzalika ‘kan ismul isyarah untuk mufrod (singular), sedangkan izhhar, intisab dan i’tizaa` kan bentuknya jama’ (plural), seharusnya untuk menjelaskan ketiga hal ini tidak menggunakan dzalika, namun menggunakan ula`ika, atau kullun ula`ika. Maka saya jawab, argumen ini berangkat dari orang yang jahil dengan Bahasa Arab, karena izhhar, intisab dan i’tizaa` ini terangkum dalam satu statement atau satu qoul yang merupakan bentuk penerimaan dari madzhab salaf, dimana Syaikhul Islam mengucapkannya ketika mengomentari seorang yang berkata : ana ‘ala madzhab salaf. Maka bisa dikatakan bahwa dzalika di sini kembali kepada qoul (perkataan) al-qo`il (orang yang berkata) tersebut, dan ucapan itu dikomentari oleh Syaikhul Islam dengan la ‘aiba ‘ala man azhharo madzhab as-Salaf, wantasaba ilayhi wa’taza ilayhi, dimana syaikhul Islam menggambarkan bahwa perkataan ana ‘ala madzhab salaf itu bentuk dari izhhar, intisab dan i’tizaa` ila madzhab salaf dan ini bukanlah suatu cela, bal yajibu qobulu dzalika minhu, bahkan wajib menerima pernyataan ini darinya, yaitu menerima ucapan dari orang itu.

  6. Ucapan Syaikhul Islam, bil ittifaq (dengan kesepakatan), maknanya yaitu secara ijma’ atau konsensus, yaitu wajib menerima pernyataan orang itu bil ittifaq. Lantas bagaimana apabila difahami bahwa bil ittifaq di sini bermakna bittifaqin fiihi atau dengan kata lain bil muwafaqoh (menyepakatinya) sebagaimana klaim ath-Thalibi? Saya jawab, secara bahasa memang kata bil ittifaq bisa diartikan dengan bil muwafaqoh, namun untuk memahami suatu perkataan maka harus dikembalikan kepada konteks kalimat dan zhahir perkataan secara logis. Pembahasan ini akan saya turunkan pada sub bab tersendiri di bawah ini.

 

Bil ittifaq maknanya adalah dengan kesepakatan

Supaya kita bisa melihat konteks kalimat Syaikhul Islam, mari kita perhatikan lagi ucapan beliau rahimahullahu :

بل يجب قبول ذلك منه بالاتفاق؛ فإن مذهب السلف لا يكون إلا حقًا، فإن كان موافقًا له باطنًا وظاهرًا، فهو بمنزلة المؤمن الذي هو على الحق باطنًا وظاهرًا، وإن كان موافقًا له في الظاهر فقط دون الباطن، فهو بمنزلة المنافق فتقبل منه علانيته وتُوكَل سريرته إلى الله، فإنا لم نؤمر أن نُنَقِّب عن قلوب الناس ولا نشق بطونهم

Bahkan wajib menerima pernyataan tersebut darinya dengan kesepakatan, karena sesungguhnya tidaklah madzhab salaf itu melainkan kebenaran. Apabila ia selaras dengan madzhab salaf secara bathin dan zhahir maka ia berada di atas kedudukan seorang mukmin yang berada di atas kebenaran secara bathin dan zhahir. Namun apabila ia hanya selaras dengan madzhab salaf hanya zhahirnya saja tanpa bathinnya, maka ia berada pada posisi munafik. Maka diterima yang tampak darinya dan diserahkan apa yang ia rahasiakan kepada Alloh, karena sesungguhnya kita tidaklah diperintahkan untuk menilai hati-hati manusia dan menvonis apa yang ada pada bathin mereka.”

Dalam konteks di atas, kata bil ittifaq lebih dekat kepada makna dengan kesepakatan, hal ini dengan beberapa alasan :

  1. Secara umum, apabila dikatakan oleh para ulama bil ittifaq maka maknanya adalah bil ijma’, dan ini adalah suatu hal yang tidak tersamar bagi para penuntut ilmu yang menekuni kitab-kitab para ulama terutama kitab fikih.

  2. Apabila yang dimaksud oleh Syaikhul Islam rahimahullahu dengan bil ittifaq adalah dengan menyepakatinya, tentunya Syaikhul Islam akan menggunakan makna yang tegas, yaitu bil muwafaqoh, karena ucapan beliau setelahnya adalah berkaitan dengan muwafaqoh madzhab salaf secara zhahir maupun bathin.

  3. Apabila kita baca ucapan Syaikhul Islam berikutnya, kita dapati bahwa beliau menjelaskan tentang keselarasan seseorang dengan madzhab salaf, apabila selaras zhahir dan bathin maka ia bagaikan seorang mukmin sebenarnya, dan apabila hanya selaras secara zhahir saja maka ia bagaikan munafik. Hal ini merupakan poin penting makna bil ittifaq di sini adalah bil ijma’, karena apabila dimaknai dengan bil muwafaqoh, maka perlu ada penegasan di sini, jika dikatakan bal yajibu qobulu dzalika bil muwafaqoh, bahkan wajib menerimanya dengan menyepakatinya. Menyepakati bagaimana? Apabila menyepakati secara zhahir dan bathin maka ia bagaikan mukmin yang sebenarnya, dan apabila menyepakati secara zhahir saja maka ia bagaikan munafik dan tidak ada manusia yang mengetahui isi bathin seseorang. Apabila ada dua kondisi mukmin dan munafik, sedangkan yajibu qobulu dzalika minhu bil ittifaq, wajib menerima pernyataan itu darinya dengan “menyepakatinya”, padahal menyepakati madzhab salaf imma bisa dalam posisi mukmin dan imma bisa pada posisi munafik, tentu saja makna ini tidak logis dan tidak benar. Karena madzhab as-Salaf la yakunu illa haqqo, madzhab salaf itu tidaklah padanya melainkan hanyalah kebenaran.

  4. Sebagai penguat saja, di dalam Ushul wa Qowa’id fi Manhajis Salaf karya Syaikh ‘Ubaid al-Jabiri, beliau kita menukilkan ucapan Syaikhul Islam di atas menyebutkan, bal yajibu qobulu dzalika minhu ittifaqonIttifaqon tentu saja bermakna ijma’an

  5. Para penterjemah ucapan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah ini ke dalam buku-buku Bahasa Indonesia, belum pernah saya dapatkan model terjemahannya seperti ath-Thalibi. Padahal jelas mereka lebih ‘alim dalam Bahasa Arab dibandingkan ath-Thalibi, sedangkan ath-Thalibi sendiri mengakui dengan jujur atas kekurangannya di dalam ilmu Bahasa Arab. Dalam hal ini, manakah yang kita terima, orang yang ahli dan berpengalaman dalam hal penterjemahan Bahasa Arab, ataukah seorang penuntut ilmu yang menyatakan kekurangan dirinya dalam hal Bahasa Arab?!!!!

 

Kejanggalan metode berfikir ath-Thalibi di dalam berargumentasi dengan فإن مذهب السلف لا يكون إلا حقً

Ath-Thalibi, di dalam memperkuat argumennya berkata (DSDB2 hal. 149) : “Di bagian akhir kalimat, Syaikhul Islam membuat penegasan, “Fa inna madzhab As Salaf la yakuunu illa haqqo.” Ini merupakan bukti jelas. Jika perhatiannya pada azhhar, intisab dan i’tazza, maka lebih tepat jika ucapan tersebut diucapkan : “Fa inna azhhara madzhabas salaf, wa intisaba bihi wa i’tazza ilaihi, la yakununa illa haqqo.” (Karena sesungguhnya, menampakkan madzhab salaf, berintisab kepadanya dan berbangga karenanya, tidaklah semua itu melainkan kebenaran.)” [selesai ucapan ath-Thalibi].

Tanggapan :

Ini adalah kelucuan argumentasi ath-Thalibi untuk kesekian kalinya. Saya memiliki beberapa catatan ringan terhadap argumentasi ‘lucu’nya ini.

  1. Pertama dari sini Bahasa, ucapan ath-Thalibi : “Fa inna azhhara madzhabas salaf, wa intisaba bihi wa i’tazza ilaihi, la yakununa illa haqqo.” tidaklah benar secara gramatikal. Saya tidak tahu apakah beliau sengaja atau tidak sengaja menulis kata ini. Atau mungkin beliau kurang teliti sehingga melakukan kesalahan di dalam buku yang seharusnya sebelum diterbitkan diteliti dan diedit terlebih dahulu secara mendalam. Apabila ath-Thalibi menggunakan dari awal berbentuk fi’il madhi maka seharusnya semuanya fi’il madhi karena adanya wawu athof di sini, sehingga jadinya azhhara madzhab as-Salaf wantasaba ilaihi wa’tazaa ilaihi. Apabila menggunakan bentuk mashdar maka jadinya izhhaar madzhab as-Salaf wantisaab ilaihi wa’tizaa` ilaihi. Kemudian kata intisaab yang bermakna afiliasi adalah intasaba ila bukan intasaba bihi.

  2. Argumen ath-Thalibi di atas terlalu mengada-ada dan takalluf, karena izhhaar, intisaab dan i’tizaa` madzhab salaf merupakan bentuk penerimaan terhadap madzhab salaf, dikarenakan madzhab salaf itu pasti haq, sehingga wajib menerima izhhaar, intisab dan i’tizaa` kepada madzhab salaf. Karena suatu yang haq maka haruslah ditampakkan, berafiliasi dengannya dan berbangga dengannya. Di sini tampak sekali ath-Thalibi melakukan pemisahan antara madzhab salaf dengan izhhaar, intisaab dan i’tizaa` kepadanya, dan pemisahan yang ia lakukan ini tanpa dalil dan bayyinah.

  3. Kata fa inna madzhab as-Salaf la yakunu illa haqqo tidak menafikan izhhar, intisaab dan i’tizaa` madzhab salaf. Bahkan keduanya saling menguatkan dan menjelaskan. Dikarenakan madzhab salaf itu pasti haq maka perlu berizhhar, intisab dan i’tizaa` kepadanya, dan mengizhhar, intisab dan i’tizaa` kepada madzhab salaf itu bukanlah suatu hal yang aib, karena madzhab salaf itu pasti haq.

Dengan demikian, saya katakan bahwa ucapan fa inna madzhab as-Salaf la yakunu illa haqqo merupakan hujjah lana bukan hujjah ‘alaina, dan metode berdalil ath-Thalibi di atas untuk memisahkan antara kebenaran madzhab salaf dengan perlunya izhhar, intisab dan fa inna madzhab as-Salaf la yakunu illa haqqo adalah suatu hal yang aneh, takalluf, mengada-ada, lucu dan berangkat dari kejahilannya.

 

Kejahilan ath-Thalibi di dalam memahami أظهر مذهب السلف وانتسب إليه واعتزى إليه dianggap bukan bukti penerimaan terhadap madzhab salaf.

Sebenarnya pasal ini berkaitan dengan pasal di atas. Untuk lebih jelasnya mari kita telaah ucapan ath-Thalibi yang memisahkan antara izhhar, intisab dan i’tiza` bukan sebagai bentuk penerimaan madzhab salaf, dan ini adalah puncak kejahilan dan takalluf-nya. Ath-Thalibi berkata (DSDB2 hal. 149) :

Secara syar’i, jika menampakkan, bernisbat dan berbangga kepada madzhab salaf dianggap sebagai kewajiban, maka hal itu harus didukung oleh dalil-dalil syar’i, baik dari Al-Qur’an maupun Sunnah. Harus dicatat, menampakkan, bernisbat dan berbangga itu bagian dari perkara-perkara zhahir, bukan bukti penerimaan seseorang terhadap kebenaran madzhab Salafus Shalih. Apakah ada dalil Syar’i yang berisi perintah (amr) untuk berbuat seperti itu? Untuk menentukan suatu perkara bersifat wajib jelas harus ada perintahnya. Seperti sebuah kaidah fiqih, “Al aslu fil amri lil wujub” (Hukum asal perkara perintah itu ialah menunjukkan kewajiban). Jika perkara-perkara zhahir di atas dianggap wajib, sungguh pasti akan terkenal di kalangan ahli ilmu. Dalam hadits shahih justru dijelaskan bahwa penampilan zhahir tidak menjadi ukuran, namun yang menjadi ukuran ialah keikhlasan hati. Nabi Shallalallahu ‘alaihi wa Salam bersabda : “Sesungguhnya Allah tidak melihat ke tubuh-tubuh dan wajah kalian, namun Dia melihat ke hati-hati kalian.” (HR. Muslim).” [selesai ucapan ath-Thalibi]

Tanggapan :

Sebuah pepatah mengatakan : Faaqidu Syai’ la yu’thii (seorang yang tidak memiliki tidak dapat memberi), dan pepatah ini tepat sekali bagi ath-Thalibi. Namun anehnya, walau tidak memiliki, ath-Thalibi tetap bersikeras memberi, sehingga pemberiannya adalah suatu hal yang sia-sia dan tidak berfaidah, bahkan pemberian menunjukkan hakikat dirinya dan membongkar kedok keadaannya…

Ucapannya di atas menunjukkan bahwa ia tidak menelaah ucapan Syaikhul Islam dan tidak bertabayun dengannya. Padahal, apabila ia hendak menulis sebuah buku, maka selayaknya baginya mempersiapkan diri dengan muthola’ah (penelaahan) dan tatsabut. Jangan hanya ia menuduh orang lain hanya bisa asal nukil sedangkan ia tidak mau bersusah-susah menukil… seharusnya ath-Thalibi ini malu dengan dirinya sendiri sebelum ia menuduh orang lain tidak punya malu… Apabila kita telaah ucapan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, menunjukkan bahwa ucapan ath-Thalibi dan Syaikhul Islam saling bertolak belakang… bahkan ini bukti puncak kejahilan ath-Thalibi. Miskin…

Perhatikan kata yang ditebalkan pada ucapan ath-Thalibi, penebalan tersebut bukan dari saya, namun dari ath-Thalibi sendiri. Perhatikan bagaimana ia menyatakan : “Harus dicatat, menampakkan, bernisbat dan berbangga itu bagian dari perkara-perkara zhahir, bukan bukti penerimaan seseorang terhadap kebenaran madzhab Salafus Shalih.” Kalimat ini jelas-jelas menyelisihi maksud Syaikhul Islam dan puncak kejahilannya yang memisahkan antara perkara zhahir bukan sebagai bukti penerimaan. Saya katakan ini adalah madzhab murji’ah yang khobits, dimana ath-Thalibi memisahkan masalah zhahir dengan bathin padahal tidak ada yang mengetahui masalah bathin melainkan Alloh. Ahlus sunnah menilai seseorang adalah dari zhahirnya, sedangkan kita tidak dibebani untuk menilai seseorang dari bathinnya atau hatinya.

Saya ingin bertanya kepada ath-Thalibi, apabila izhhar, intisab dan i’tiza` bukan merupakan bukti penerimaan madzhab salaf, lantas seperti apakah bukti penerimaan itu? Apakah hanya cukup di dalam bathin? Padahal jelas-jelas Syaikhul Islam menyatakan La ‘aiba ‘ala man azhharo madzhabas salaf, wantasaba ilaihi wa’taza ilaihi, bal yajibu qobulu dzalika minhu bil ittifaq fa inna madzhabas salaf la yakunu ilaa haqqo ketika mengomentari orang yang menyatakan ana ‘ala madzhabis salaf, sebagai bantahan terhadap kaum yang menyatakan tasattur (menyembunyikan) madzhab salaf.

Bagaimana mungkin orang yang menampakkan madzhab salaf, berafiliasi padanya dan berbangga dengannya, dan tidaklah madzhab salaf itu melainkan pasti benar, yang konsekuensinya adalah menampakkan kebenaran, berafiliasi pada kebenaran dan bangga dengan kebenaran bukan termasuk penerimaan kepada kebenaran madzhab salaf?!! Apakah perkara zhahir itu bukan bukti penerimaan madzhab salaf? Padahal syaikhul Islam mengatakan :

فإن كان موافقًا له باطنًا وظاهرًا، فهو بمنزلة المؤمن الذي هو على الحق باطنًا وظاهرًا، وإن كان موافقًا له في الظاهر فقط دون الباطن، فهو بمنزلة المنافق فتقبل منه علانيته وتُوكَل سريرته إلى الله، فإنا لم نؤمر أن نُنَقِّب عن قلوب الناس ولا نشق بطونهم

Apabila ia selaras dengan madzhab salaf secara bathin dan zhahir maka ia berada di atas kedudukan seorang mukmin yang berada di atas kebenaran secara bathin dan zhahir. Namun apabila ia hanya selaras dengan madzhab salaf hanya zhahirnya saja tanpa bathinnya, maka ia berada pada posisi munafik. Maka diterima yang tampak darinya dan diserahkan apa yang ia rahasiakan kepada Alloh, karena sesungguhnya kita tidaklah diperintahkan untuk menilai hati-hati manusia dan menvonis apa yang ada pada bathin mereka.”

Perhatikan ucapan Syaikhul Islam yang ditebalkan!!! Ini merupakan kaidah ahlus sunnah di dalam menilai, karena tidak ada seorang makhluk pun yang mengetahui tentang isi hati seseorang. Maka kewajiban kita adalah menilai dari zhahirnya, sedangkan bathinnya kita serahkan kepada Alloh. Maka zhahir di dalam menampakkan, berafiliasi dan berbangga dengan madzhab salaf adalah bukti kongkrit penerimaannya.

Seakan-akan ath-Thalibi memaksudkan bahwa orang yang menampakkan, berafiliasi dan berbangga dengan madzhab salaf adalah munafik seluruhnya, karena yang penting adalah hati sedangkan itu hanyalah masalah zhahir belaka, dan Alloh tidak melihat dari zhahir manusia namun dari hati-hati manusia…

Kepada ath-Thalibi saya hanya bisa berkata :

والنفس كالطفل إن تهمله شب على *** حب الرضاع وإن تفطمه ينفطم

Hawa nafsu itu bagaikan anak kecil, bila kau manjakan maka sampai besar

ia akan terus senang menyusu dan bila kau hentikan maka akan berhenti

Adapun hadits yang dikemukakan ath-Thalibi :

إن الله لا ينظر إلى أجسامكم ولا إلى صوركم ولكن ينظر إلى قلوبكم وأعمالكم

Sesungguhnya Alloh tidak melihat kepada badan kalian dan tidak pula kepada rupa kalian, namun Ia melihat kepada hati-hati kalian dan amal-amal kalian.” [HR. Muslim dan Ibnu Majah dari Abi Hurairoh]

Dalam riwayat lain dikatakan :

إنَّ الله لا ينظرُ إلى صُورِكُم وأموالِكم ، ولكن ينظرُ إلى قلوبكم وأعمالكم

Sesungguhnya Alloh tidak melihat kepada rupa-rupa kalian dan harta-harta kalian, akan tetapi Ia melihat hati dan amal-amal kalian.” [HR Ahmad (II/285,539), Muslim (VIII/11 : 2564, 34), Ibnu Majah (4143), Ibnu Hibban (394), Abu Nu’aim di dalam al-Hilyah (IV/98) dan Baghowi (4150) dari Abi Hurairoh).

Hadits ini merupakan mizan amalan bahwa niat adalah mizan suatu amal apakah diterima ataukah tidak, sebagaimana dijelaskan oleh Al-Hafizh Ibnu Rojab ketika mensyarah hadits ke-35 dalam Jami’ul Ulum wal Hikam, beliau berkata :

وإذا كان أصلُ التَّقوى في القُلوب ، فلا يطَّلعُ أحدٌ على حقيقتها إلا الله عز وجل ، كما قال صلى الله عليه وسلم – : (( إنَّ الله لا ينظرُ إلى صُورِكُم وأموالِكم ، ولكن ينظرُ إلى قلوبكم وأعمالكم )) وحينئذ ، فقد يكونُ كثيرٌ ممَّن له صورةٌ حسنةٌ ، أو مالٌ ، أو جاهٌ ، أو رياسةٌ في الدنيا ، قلبه خراباً من التقوى ، ويكون من ليس له شيء من ذلك قلبُه مملوءاً مِنَ التَّقوى ، فيكون أكرمَ عند الله تعالى

Oleh karena itu asal takwa itu adalah di dalam hati, maka tidak seorangpun mengetahui hakikatnya melainkan hanya Alloh Azza wa Jalla, sebagaimana sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Salam : “Sesungguhnya Alloh tidak melihat kepada rupa-rupa kalian dan harta-harta kalian, akan tetapi Ia melihat hati dan amal-amal kalian.” Dan saat itulah terkadang banyak orang yang memiliki rupa yang indah, atau harta (yang melimpah), atau kehormatan (yang tinggi) atau kedudukan di dunia namun hatinya kosong dari ketakwaan, dan kadang pula ada orang yang tidak memiliki sesuatu apapun dari hal-hal tersebut, namun hatinya dipenuhi dengan ketakwaan, maka ia menjadi orang yang paling mulia di sisi Alloh Ta’ala ” (Jami’ul Ulum wal Hikam, 35/24).

Faidah :

Para pembaca silakan lihat kata ويكون من ليس له شيء من ذلك, andaakan lihat bahwa kata ذلك di sini yang merupakan ismul isyarah untuk mufrod namun menggantikan صورةٌ حسنةٌ ، مالٌ ، جاهٌ ، رياسةٌ في الدنيا padahal kesemuanya itu bentuknya jama’ (plural), apakah ath-Thalibi akan memprotesnya untuk menggunakan kullu u`laika sehingga jadinya wa yakunu man laysa lahu sya’i min kulli ula`ika atau semisalnya… Haihata haihata…

Saya katakan, penggunaan dalil hadits ini untuk mementahkan izhhar, intisab dan i’tizaa` kepada madzhab salaf adalah suatu bentuk pendalilan yang tidak pada tempatnya. Karena menampakkan, berafiliasi dan i’tizaa` itu bukanlah bentuk fisik (jism atau jasad), bukan pula shuwar (rupa), namun ia merupakan salah satu bentuk amal zhahir, dimana dalam hadits di atas dijelaskan bahwa Alloh melihat kepada hati dan amal. Lagipula ini adalah dalil yang merupakan hak milik Alloh untuk menilai hakikat bathin atau hati seorang hamba, sedangkan makhluk lainnya hanya bisa menilai dari zhahir. Karena zhahir adalah cermin dari bathin, apabila ia selaras maka ia adalah mukmin sejati, namun apabila ia tidak selaras maka ia bagaikan seorang munafik. Kita nilai zhahirnya dan kita serahkan bathinnya kepada Alloh.

Dari sini tampaklah bagaimana cara berdalil ath-Thalibi yang rusak ini… Allohul Musta’an

 

Kejahilan ath-Thalibi dalam masalah انتساب dan تسمي

Masalah ini sebenarnya telah saya jelaskan dalam risalah “Perisai Penuntut Ilmu”, namun ia semakin memperkokoh dirinya di dalam kejahilan dalam masalah ini. Hal ini nampak sekali bahwa ia tidak bisa membedakan antara intisab dengan tasammi, dimana dalam uraiannya (STSK hal. 149-150) ia membawa pemahaman Syaikhul Islam dalam ucapan beliau rahimahullahu : azhharo madzhab as-salaf, intasaba ilaihi wa’taza ilaihi kepada bentuk penampilan zhahir belaka. Padahal izhhar, intisab dan i’tiza` ini bukanlah berkaitan dengan penampilan zhahir belaka, namun pengamalan madzhab salaf : menampakkan madzhab salaf di dalam amalannya, berafiliasi atau bernisbat dengan madzhab salaf di dalam cara beragama, berakhlaq, beraqidah, bermanhaj, dst serta bangga dengan madzhab salaf karena madzhab salaf itu pasti benar.

Adapun tasammi dalam hal nisbat, maka menyebutkan kata as-Salafi setelah nama, maka ini tidak ada kewajiban padanya. Saya belum pernah mendengar ada seorangpun ulama yang mewajibkan tasammi ini, namun mereka mewajibkan nisbat kepada as-Salaf di dalam beragama dan memahami agama. Walaupun ath-Thalibi memahami kata nisbat ketika diucapkan maka berkaitan dengan keterikatan suatu nama dengan perkara-perkara tertentu seperti negara, kota, suku dan lainnya, maka saya katakan, ini semua adalah tidak wajib. Sama pula dengan menyebut as-Sunni, as-Salafi ataupun al-Atsari. Ini semua merupakan bentuk penerimaan madzhab salaf : menampakkan madzhab salaf, bernisbat padanya dan berbangga dengannya.

Adapun masalah dakwaan, maka ini haruslah dipisahkan. Apabila ada orang menisbatkan diri kepada as-Salaf lalu ia menggunakan nama as-Salafi pada belakang namanya, sedangkan amalannya tidak menunjukkan hakikatnya, maka ini jatuhnya adalah pada dakwaannya belaka. Karena dakwaan tidak selamat begitu saja tanpa diiringi dengan bukti. Dengan demikian menyalahkan nisbat as-Salafi hanya karena kekurangan di dalam pengamalan kuranglah tepat. Masalah ini telah saya bahas panjang lebar dalam risalah sebelumnya.

 

Bersambung –insya Alloh-

 


Related articles