BINGKISAN PENUNTUT ILMU BANTAHAN TERHADAP SYUBHAT ATH-THALIBI 2

 May, 09 - 2007

ittihafu-thullab-copy.gif

إتحاف الطلاب برد على شبه الطالبي

حوار الثاني مع أبي عبد الرحمن الطالبي

 

BINGKISAN PENUNTUT ILMU

BANTAHAN TERHADAP SYUBHAT ATH-THALIBI

Dialog Kedua Bersama Abu ‘Abdirrahman ath-Thalibi

[Bagian 2]

 

Oleh :

Abu Salma bin Burhan al-Atsari

 

 


Pada halaman 6 bukunya, ath-Thalibi berkata :

Mengikuti Salafus Shalih adalah jalan yang hak, sebagaimana disebutkan dalam Surat At Taubah ayat 100. Tetapi di sana tidak ada perintah agar kita menyebut diri sebagai Salafi atau memakai nama Salafi. Carilah dalam Al-Qur’an atau Sunnah, adakah perintah seperti itu?”

Tanggapan :

Saya juga bisa memakai logika yang sama dengan ath-Thalibi. Di dalam al-Qur’an dan as-Sunnah tidak ada perintah menyebut kita sebagai Ahlus Sunnah wal Jama’ah atau sebutan-sebutan syar’i lainnya yang tersebut di dalam hadits shahih. Carilah di dalam Al-Qur’an atau Sunnah yang shahih bahwa kita diperintahkan memakai nama ahlus sunnah wal jama’ah.

Bahkan, logika seperti ini sangat mendukung sekali pemahaman seorang pembesar Jahmiyah abad ini, yaitu Hasan Ali as-Saqqof ghofarollohu lahu, yang menyatakan bahwa pembagian tauhid menjadi tiga (yaitu Rububiyah, Uluhiyah dan Asma` wa Shifat) adalah pembagian yang bathil dan mirip dengan aqidah tatslits (trinitas)-nya kaum Nashrani. Dia berhujjah di dalam buku gelapnya yang berjudul at-Tandid biman ’adadit-Tauhid wa Ibthalu Muhawalatut-Tatslits fit Tauhid wal ’Aqidah Islamiyyah bahwa pembagian Tauhid menjadi tiga adalah hal bid’ah yang dimunculkan pada abad ke-8, dan ia mengisyaratkannya kepada Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah sebagai pencetus istilah bid’ah ini, karena tidak ada satupun ayat atau hadits yang menyebutkan pembagian tauhid ini dan istilah tauhid Rububiyah, Uluhiyah dan Asma` wa Shifat.

As-Saqqof menggunakan qiyas yang serupa dengan metode logika ath-Thalibi, yaitu menafikan adanya metode tatabu’ dan istiqro’ di dalam menetapkan suatu istilah. Memang, tidak ada satupun ayat al-Qur’an dan hadits yang menyebutkan kata Tauhid Rububiyah, Tauhid Uluhiyah dan Tauhid Asma’ wa Shifat. Namun ketiga macam pembagian ini adalah pembagian yang syar’i yang berangkat dari dalil-dalil yang tegas dan bisa difahami secara nazhori (analisis). Walau tidak ada kata Rububiyah, namun banyak sekali bertebaran kata Robb. Walau tidak ada kata Uluhiyah, namun banyak sekali bertebaran kata Ilaah. Demikian dan seterusnya. Namun pembahasan kita sekarang bukan masalah ini.

Demikian pula dengan kata as-Salaf ash-Shalih, adakah ayat al-Qur’an yang menyebutkan kata ini seperti ini?! Tentu tidak ada!! Namun, kata ini tidak ada yang menolaknya bahkan ia merupakan sebuah istilah yang syar’i. Di dalam Al-Qur’an, Alloh menyebut beberapa kali kata Salaf dengan makna dan maksud yang berbeda-beda, diantaranya adalah firman-Nya Ta’ala :

{ فجعلناهم سلفاً ومثلاً للآخرين }

Dan kami jadikan mereka sebagai salaf (pendahulu) dan contoh bagi orang-orang kemudian.” [QS az-Zukhruf : 5].

Imam al-Baghowi di dalam Tafsir-nya berkata :

والسلف من تقدم من الآباء فجعلناهم متقدمين ليتعظ بهم الآخرون

Dan Salaf adalah orang-orang terdahulu dari kalangan nenek moyang, maka kami jadikan mereka sebagai pendahulu agar orang-orang kemudian mengambil pelajaran dari mereka.”

Imam Ibnul Atsir berkata :

سلف الإنسان من تقدمه بالموت من آبائه ، وذوي قرابته ولهذا سمي الصدر الأول من التابعين السلف الصالح

Salaf seseorang adalah orang yang lebih dahulu meninggal dari kalangan nenek moyang dan kerabatnya. Oleh karena itulah dinamakan generasi awal dari kalangan tabi’in sebagai as-Salaf ash-Shalih.”

Secara logika sederhana dan konsekuensi dari pemahaman bahasa –ini apabila ath-Thalibi faham bahasa Arab- maka sebutan salafiy dengan Ya’ Nisbah di belakangnya adalah suatu yang tidak salah, karena maksud kata Salafiy adalah penisbatan kepada as-Salaf ash-Shalih. Apabila para sahabat, tabi’in dan atba’ut tabi’in yang merupakan generasi terbaik disebut dengan as-Salaf ash-Shalih, maka mengikuti mereka para salaf yang sholih ini secara logika sederhana -bahkan merupakan aksioma-, bisa dikatakan sebagai Salafiy, yaitu pengikut as-Salaf ash-Shalih.

Al-Imam Ibnu Qoyyim al-Jauziyah rahimahullahu dalam I’laamul Muwaqqi’in (IV/120) ketika menafsirkan firman Alloh Ta’ala :

{ واتبع سبيل من أناب إلي }

Dan ikutilah jalan orang yang kembali kepada-Ku.” (QS Luqman : 15)

Beliau berkata :

وكل من الصحابة منيب إلى الله فيجب اتباع سبيله وأقواله واعتقاداته من أكبر سبيله

Semua sahabat kembali kepada Alloh, maka wajib mengikuti jalannya, ucapannya dan aqidahnya yang merupakan jalan terbesar.”

Apabila para sahabat adalah Salaf kita yang sholih, maka kita haruslah mengikuti jalan mereka dan meneladani mereka, oleh karena itu kita haruslah menjadi pengikut Salaf, yang secara bahasa dikatakan salafiy!!!

Al-Imam as-Safarini rahimahullahu berkata di dalam Lawami’ul Anwar (I/20) :

المراد بمذهب السلف ما كان عليه الصحابة الكرام رضوان الله عليهم وأعيان التابعين لهم بإحسان وأتباعهم وأئمة الدين ممن شهد له بالإمامة وعرف عظم شأنه في الدين وتلقى الناس كلامهم خلفاً عن سلف دون من رمي ببدعة أو شهر بلقب غير مرض مثل الخوارج والروافض والقدرية والمرجئة والجبرية والجهمية والمعتزلة والكرامية ونحو هؤلاء

Yang dimaksud dengan madzhab as-Salaf adalah apa yang para sahabat yang mulia –semoga Ridha Alloh tercurahkan atas mereka – berada di atasnya, dan para tabi’in yang mengikuti mereka dengan lebih baik, para tabi’ut tabi’in dan para imam agama yang dipersaksikan keimamannya, dikenal akan keagungan kedudukannya di dalam agama dan umat mengambil ucapan mereka, kaum kholaf (belakangan) dari kaum salaf yang tidak dituduh dengan kebid’ahan, atau terkenal dengan julukan yang tidak disukai, seperti khowarij, rofidhoh, qodariyah, murji’ah, jabariyah, jahmiyah, mu’tazilah, karomiyah atau yang semisalnya.”

Saya berkata, apabila orang yang bermadzhab dengan madzhab Imam Syafi’i disebut Syafi’iyah, dengan madzhab Imam Malik disebut Malikiyah, dengan madzhab Imam Abu Hanifah disebut Hanafiyah (atau Ahnaaf), dengan madzhab Imam Ahmad bin Hanbal dengan Hanbaliyah (atau Hanabilah), padahal mereka semua ini adalah Salaf kita yang Shalih, mereka ini adalah individu-individu yang tidak ma’shum –bisa salah dan bisa benar-, lantas apabila kita bermadzhab dengan madzhab mereka ini semua, yaitu para imam Salafuna ash-Shalih, yaitu bermadzhab salaf, apakah salah dikatakan Salafiy?!! Apabila dikatakan salah, maka saya tidak ragu lagi mengatakan bahwa orang yang mengatakan demikian ini adalah jahil murokkab tidak faham Bahasa Arab!!!

Sungguh benarlah apa yang dikatakan oleh Fadhilatusy Syaikh Ibrahim bin ’Amir ar-Ruhaili, dalam buku beliau yang bermanfaat Mauqifu Ahlis Sunnah wal Jama’ah min Ahlil Ahwa` wal Bida’ (I/163) :

إذا فليس من الابتداع في شيء أن يتسمى أهل السنة بالسلفيين بل إن مصطلح السلف يساوي تماماً مصطلح أهل السنة والجماعة ويدرك ذلك بتأمل اجتماع كل من المصطلحين في حق الصحابة فهم السلف وهم أهل السنة والجماعة

Dengan demikian, bukanlah termasuk perbuatan mengada-ada (bid’ah) menamakan ahlus sunnah dengan Salafiyyin, bahkan sesungguhnya istilah salaf itu sama persis dengan istilah ahlus sunnah wal jama’ah. Hal ini dapat diketahui dengan memperhatikan terhimpunnya setiap istilah ini kepada diri para sahabat, yang mana mereka adalah as-Salaf dan Ahlus Sunnah wal Jama’ah.”

Tepat pula kiranya apa yang dipaparkan oleh Fadhilatusy Syaikh ’Abdus Salam bin Salim as-Suhaimi dalam buku beliau yang bermanfaat Kun Salafiyyan ’alal Jaadah (hal. 38) :

فكما يصح لنا القول سني نسبة إلى أهل السنة يصح لنا القول ( سلفي ) نسبة إلى السلف لا فرق إذا فإنه بعد وجود الفرق وحصول الافتراق أصبح مدلول السلف منطبقاً على من حافظ على سلامة العقيدة والمنهج طبقا لفهم الصحابة والقرون المفضلة ويكون هذا المصطلح ( السلف ) مرادفاً للأسماء الشرعية الأخرى لأهل السنة كما تقدم

Sebagaimana sah-sah saja atas kita mengatakan Sunniy sebagai nisbat kepada Ahlus Sunnah, maka tentu saja juga sah-sah saja atas kita mengatakan Salafiy sebagai nisbat kepada as-Salaf, tidak ada bedanya, karena ketika mulai bermunculannya kelompok-kelompok dan berlangsungnya perpecahan, maka apa yang ditunjukkan oleh istilah salaf telah menjadi suatu yang tepat bagi orang yang menjaga keselamatan aqidah dan manhajnya yang selaras dengan pemahaman sahabat dan generasi yang utama, maka jadilah istilah as-Salaf ini sebagai murodif (padanan kata/sinonim) dengan nama-nama syar’i ahlus sunnah lainnya sebagaimana telah lewat pembahasannya.”

 

Ath-Thalibi berkata padahal hal. 7 bukunya setelah menjelaskan bolehnya menisbatkan diri kepada negara, kota, suku dan selainnya :

Jadi, penisbatan kepada perkara-perkara ini adalah hal yang boleh. Tetapi menisbatkan diri (baca: memakai penamaan) kepada suatu kaum yang terbaik (Khoiru Ummah atau Salaful Ummah), akan menimbulkan setidaknya dua akibat buruk. Pertama : penisbatan itu akan menimbulkan kesombongan di hati orang yang menisbatkan diri kepadanya. Kedua, penisbatan itu bisa meremehkan kebaikan umat Islam lain yang tidak bernisbat kepadanya. Bahkan umat lain bisa dituduh tidak sesuai dengan Salafus Shalih hanya karena tidak memakai nama Salafi.”

Tanggapan :

Ini adalah suatu hal yang sangat aneh datang dari seorang yang menisbatkan dirinya sebagai tholibul ’Ilmi. Bagaimana mungkin dia memperbolehkan menisbatkan diri kepada negara, kota, suku, keluarga besar namun ia enggan memperbolehkan menggunakan nisbat kepada Salafi, dengan mengasumsikan setidaknya ada dua akibat buruk, yaitu menimbulkan kesombongan dan meremehkan kebaikan umat Islam lainnya yang tidak bernisbat kepadanya.

Saya katakan, ini adalah asumsi kosong dan omong kosong ath-Thalibi belaka. Apabila ia menerima nisbat kepada hal-hal di atas secara konsekuen dia juga harus menerima nisbat kepada as-Salaf. Apabila ia mengkhawatirkan adanya dua akibat buruk, maka sesungguhnya bernisbat kepada kota, negara, suku, dan semisalnya juga dapat berimplikasi buruk. Apakah bernisbat kepada negara –misalnya- jika dilakukan oleh seseorang namun dengan maksud berbangga-bangga dan sombong tidak masuk ke dalam kekhawatiran ath-Thalibi?!! Apakah jika ada orang bernisbat kepada suku atau kabilah dengan maksud menyombongkan kabilahnya tidak termasuk kekhawatiran ath-Thalibi?!! Apakah ada kaum yang menisbatkan dirinya kepada keluarga besarnya lalu ia menyombongkan diri dengannya dan menganggap keluarganya lebih superioritas dibanding selainnya tidak termasuk apa yang dikhawatirkan ath-Thalibi?!! Semuanya tentu bisa masuk kepada kekhawatiran ath-Thalibi berupa setidaknya dua akibat buruk di atas.

Dengan demikian, yang menjadi sorotan kita bukanlah nisbatnya. Apabila mereka ini bernisbat kepada negara, kabilah, keluarga atau semisalnya, namun dengan maksud untuk saling mengenal, maka tentu saja ini suatu hal yang mubah, diperbolehkan. Oleh karena itulah banyak para sahabat hingga ulama zaman ini yang menisbatkan diri kepada keluarga, kabilah ataupun negerinya.

Sama halnya dengan nisbat kepada as-Salafiy atau Salafiy. Jika ia dilakukan dengan maksud menyombongkan diri dan meremehkan selainnya maka ini adalah kesalahan. Namun apabila ada yang menisbatkan diri kepada nama mulia ini, dalam rangka untuk memuliakan manhaj salaf, berupaya meniti manhaj dan jalannya, apakah suatu hal yang buruk?!!

Imam ’Abdul ’Aziz bin ’Abdillah bin Baz rahmatullahi ’alayhi pernah ditanya dengan pertanyaan berikut :

ما تقول فيمن تسمّى بالسلفي و الأثري هل هي تزكية ؟

Apa pendapat anda terhadap orang yang menamakan dirinya dengan salafiy atau atsariy, apakah ini termasuk tazkiyah (memuji diri sendiri/sombong)?

Beliau rahimahullahu menjawab :

إذا كان صادقاً أنه أثري أو سلفي لا بأس ، مثل ما كان السلف يقولون : فلان سلفي ، فلان أثري ، تزكية لا بد منها تزكـيـة واجـبـة .

Apabila benar bahwa dirinya memang seorang Atsariy atau salafiy maka tidaklah mengapa. Seperti apa yang dikatakan oleh para salaf yang mengucapkan ”Fulan Salafiy”, ”Fulan Atsariy”, merupakan tazkiyah (pujian) yang harus karena merupakan tazkiyah yang wajib.” [Pengajian Haqqul Muslim yang disampaikan di Thaif; lihat penukilan ini dalam risalah saya ”Menjawab Tuduhan Meluruskan Kesalahfahaman” dari hasyiyah Al-Ajwibah Al-Mufidah]

Lantas bagaimana dengan penyebutan nama Salafiy atau Atsariy dengan maksud kesombongan, atau hanya sekedar pengakuan tanpa meniti jalannya? Dalam hal ini, apa yang diucapkan oleh al-’Allamah Shalih Fauzan al-Fauzan adalah tepat. Beliau hafizhahullahu berkata :

فالتسمي ( سلفي ، أثري ) أو ما أشبه ذلك ، هذا لا أصل له ، نحن ننظر إلى الحقيقة ولا ننظر إلى القول والتسمي والدعاوى ، قد يقول إنه سلفي وما هو بسلفي ، أو أثري وما هو بأثري ، وقد يكون سلفياً أو أثرياً وهو ما قال إنه أثري أو سلفي . فالنظر إلى الحقائق لا إلى المسميات ولا إلى الدعاوى

Penamaan salafiy, atsariy atau yang semisal dengannya, hal ini sesungguhnya suatu hal yang tidak ada asalnya. Kita menilai dari hakikatnya bukan dari ucapan, penamaan ataupun dakwaan belaka. Terkadang ada orang mengatakan dia salafiy padahal dia bukan salafiy, dia atsariy padahal dia bukan atsariy. Terkadang pula ada orang yang (benar-benar) salafi atau atsari namun ia tidak pernah mengatakan dirinya atsari atau salafi. Karena itu penilaian itu dari hakikatnya bukan dari penamaan atau dakwaan belaka…” [Pengajian Syarh Aqidah ath-Thohawiyah, 1425 H, dinukil dari Kasyful Khola`iq karya al-Ushaimi; ucapan ini juga dinukil oleh Abu ‘Abdillah al-Mishri dalam DSDB2, hal. 290-291 dan berhujjah dengannya untuk menolak penamaan Salafi]

Fadhilatus Syaikh juga berkata :

فلا حاجة إنك تقول : ” أنا سلفي ، أنا أثري أنا كذا ، أنا كذا ، عليك أن تطلب الحق وتعمل به تصلح النية ، والله الذي يعلم – سبحانه الحقائق

Maka tidak ada perlunya kamu mengatakan “aku salafiy”, “aku atsariy”, “aku ini” atau “aku itu”. Namun yang wajib atas kalian adalah mencari kebenaran dan mengamalkannya untuk meluruskan niat. Hanya Alloh Subhanahu wa Ta’ala-lah yang mengetahui hakikat keadaan sebenarnya.” [sumber yang sama].

Jika ada yang berkata, bukankah ucapan Imam Ibnu Baz dan al-‘Allamah Fauzan di atas saling bertentangan dan kontradiktif? Di satu sisi Imam Ibnu Baz memperbolehkan penamaan Salafiy, namun di sisi lain al-‘Allamah al-Fauzan mengatakan tidak ada perlunya, bahkan dikatakan tidak ada asalnya. Sebagaimana yang dituduhkan oleh Abu ‘Abdillah al-Mishri, dimana ia berkata (DSDB2, hal. 291) :

Demikian fatwa Fadhilatus Syaikh Shalih Fauzan tentang pemakaian kata “As-Salafi” dan “Al-Atsari” yang banyak sekali digunakan oleh sebagian kaum muslimin akhir-akhir ini di belakang namanya, baik di timur tengah maupun di Indonesia. Padahal, menurut yang mulia Syaikh Shalih Fauzan, perbuatan ini tidak ada dasarnya sama sekali dalam syariat Islam dan tidak ada gunanya. Karena yang paling penting adalah mencari kebenaran, mengamalkannya dan meluruskan niat.”

Tanggapan :

Melihat sekilas pendapat al-‘Allamah al-Fauzan orang mungkin akan berpikiran yang sama dengan apa yang dilontarkan oleh Abu ‘Abdillah al-Mishri ini. Apalagi bila tidak pernah membaca tulisan-tulisan dan ceramah-ceramah Syaikh Fauzan lainnya yang membahas masalah yang serupa. Sebuah fatwa, biasanya keluar melihat keadaan situasi dan kondisi.

Hal serupa juga pernah difatwakan oleh al-‘Allamah Robi’ bin Hadi ketika banyak para pengaku-ngaku salafiyyah melakukan kesalahan, jatuh kepada fanatisme hizbiyah dan salah kaprah di dalam menerapkan manhaj salaf. Para pengaku-ngaku ini mewajibkan gelar as-Salafiy dan menghizbikan mereka yang menolaknya, padahal hakikatnya tidak demikian karena penamaan atau penyebutan Salafiy ini adalah suatu hal yang mubah, dapat menjadi afdhol apabila ditempatkan untuk pembedaan terhadap kelompok-kelompok sesat dan bisa menjadi haram apabila dilakukan untuk kesombongan dan pengaku-ngakuan belaka.

Al-‘Allamah Robi’ bin Hadi menasehatkan supaya tidak perlu menyebut diri dengan “Ana Salafiy” atau menggandengkan nama dengan as-Salafi. Karena menurut beliau yang wajib dan utama bagi para pemuda itu adalah tholabul ‘ilmi dan mempelajari ushul dan manhaj salafi. Ucapan beliau ini termuat di dalam sahab.net, lalu menyebar ke website-website luar negeri termasuk salafitalk.net, siraat.net, calltoislam.net dan sebagainya.

Namun apakah benar bahwa penyebutan nama as-Salafiy itu adalah tidak ada asalnya -sebagaimana zhahir yang diucapkan al-‘Allamah al-Fauzan-, apakah mutlak demikian? Jika mutlak demikian maka ucapan al-‘Allamah al-Fauzan ini bertolak belakang dengan ucapan Imam Ibnu Baz, al-Albani rahimahumallahu dan selainnya. Bahkan ucapan Imam Ibnu Baz di atas yang mengatakan :

إذا كان صادقاً أنه أثري أو سلفي لا بأس ، مثل ما كان السلف يقولون : فلان سلفي ، فلان أثري ، تزكية لا بد منها تزكـيـة واجـبـة .

Apabila benar bahwa dirinya memang seorang Atsariy atau salafiy maka tidaklah mengapa. Seperti apa yang dikatakan oleh para salaf yang mengucapkan ”Fulan Salafiy”, ”Fulan Atsariy”, merupakan tazkiyah (pujian) yang harus karena merupakan tazkiyah yang wajib.”

Perlu diketahui, ucapan Imam Ibnu Baz di atas berada di dalam hasyiyah (catatan kaki) buku Al-Ajwibah al-Mufiidah ’an As`ilatil Manaahij al-Jadiidah himpunan fatwa al-’Allamah al-Fauzan yang dikumpulkan oleh Syaikh Abu ’Abdillah Jamal Furaihaan al-Haritsi, dan dikoreksi serta dita’liq oleh Syaikh Fauzan sendiri. Apabila istilah Salafiy tidak ada asalnya niscaya Syaikh Fauzan akan mengoreksi ucapan Imam Ibnu Baz ini dan tidak membiarkannya.

Selain itu, al-’Allamah al-Fauzan sendiri pernah berkata :

كيف يكون التمذهب بالسلفية بدعة والبدعة صلالة و كيف يكون بدعة وهو اتباء السلف واتباع مذهبهم واجب بالكتاب والسنة وحق وهدى

Bagaimana mungkin bermadzhab dengan Salafiyah itu dikatakan bid’ah padahal setiap bid’ah itu sesat, bagaimana bisa dikatakan bid’ah padahal ia madzhab yang ittiba’ (mencontoh) as-Salaf sedangkan mengikuti madzhab mereka ini hukumnya wajib dengan al-Kitab, as-Sunnah, kebenaran dan petunjuk.” [Al-Bayan hal. 116; lihat Irsyadul Bariyyah hal. 22].

Syaikh Fauzan hafizhahullahu juga pernah berkata :

السلفية هي السير على منهج السلف من الصحابة والتابعين والقرون المفضلة في العقيدة والفهم والسلوك ويجب على المسلم سلوك هذا المنهج .

Salafiyyah adalah menempuh manhaj salaf dari kalangan sahabat, tabi’in dan generasi utama di dalam masalah aqidah, faham, akhlak dan wajib atas setiap muslim untuk menempuh jalan ini.” [Al-Ajwibah Al-Mufidah hal. 103; lihat pula Kun Salafiyyan ’alal Jaadah hal. 44].

Syaikh ’Abdus Salam as-Suhaimi berkata setelah menukil ucapan para ulama salaf dan kholaf –termasuk diantaranya adalah ucapan al-’Allamah al-Fauzan di atas- dalam bukunya yang bermanfaat Kun Salafiyyan ’alal Jaadah (hal. 44) –Perlu diketahui pula, bahwa buku ini juga diberi pengantar oleh Syaikh Fauzan- :

فهؤلاء الأفاضل من أهل العلم وغيرهم لم يروا بأساً في إطلاق لقب سلفي أو السلفيةأو السلفيين وأن المقصود بذلك هو من سار على منهاج السلف وطريقتهم

Mereka semua ini adalah orang-orang yang mulia dari kalangan ahli ilmu dan selainnya yang berpendapat akan tidak mengapanya (bolehnya) memutlakkan sebutan Salafiy atau as-Salafiyyah atau as-Salafiiyun dan yang dimaksud dengan sebutan ini adalah orang yang menempuh manhaj dan jalan para salaf.”

Dengan demikian, perlu kiranya kita menjama’ (mengkompromikan) pendapat-pendapat para ulama, karena seringkali mereka mengucapkan ucapan yang ijmal dan ditafshil pada kesempatan dan waktu yang lain. Mereka mengucapkan suatu perkataan atau memberi jawaban melihat kondisi mad’u atau penanya di saat itu.

Saya teringat ucapan guru saya, al-Ustadz al-Fadhil Mubarak Bamu’allim saat memberikan ceramah di hadapan mahasiswa saat Dauroh Syar’iyyah beberapa tahun silam ketika saya masih mahasiswa, di gedung BPKB Surabaya. Al-Ustadz pernah ditanya ”bolehkah kita tidak menggunakan nama Salafiy karena nama ini telah buruk di lingkungan kampus dan banyak mahasiswa yang fobia dengannya?”, maka al-Ustadz menjawab yang intinya adalah Salafiyun haruslah menunjukkan akhlak dan adab yang baik terhadap kaum muslimin, jangan sampai mereka menjadi fobia atau takut dengan dakwah salafiyah, ini semua adalah buah dakwah yang tidak hikmah. Lalu beliau melanjutkan bahwa apabila kondisinya telah demikian, maka tidak mengapa tidak menyebut sebagai salafiyah, agar mereka tidak fobia dan mau menerima dakwah salafiyah yang mubarokah ini.

Ada beberapa poin yang ingin saya garis bawahi di sini, yaitu :

Pertama, hendaknya kita memahami bahwa likulli maqoomi maqool wa likulli maqooli maqoom (tiap tempat itu ada pembahasannya dan tiap ucapan itu ada tempatnya sendiri). Kita harus menempatkan sesuatu pada tempatnya dan jangan menempatkan ucapan tidak pada tempatnya.

Kedua, perlunya mengembalikan ucapan ulama yang ijmal dan terkesan kontradiktif kepada yang tafshil atau terperinci dari ucapan-ucapannya yang lain pada pembahasan dan waktu yang lain serta memadukannya sehingga tidak kontradiktif

Ketiga, perlunya tahrirul mushtholah (penegasan definisi istilah), karena apabila tidak ada tahrirul mushtholah, maka gambaran terhadap suatu istilah itu akan berbeda-beda pada tiap orang.

Maksud saya adalah, apabila ada orang yang menisbatkan diri kepada salafiyah atau as-Salafi, maka kita lihat. Apabila dia memaksudkannya untuk kesombongan, atau hanya pengaku-ngakuan belaka yang tidak disokong bukti, bahkan amal dan manhajnya menyelisihi manhaj salaf, maka nisbatnya kepada salafiy adalah tidak ada gunanya dan tidak berfaidah. Namun, apabila ia bernisbat kepada as-Salafiy dalam rangka meniti manhaj as-Salaf, maka ini adalah suatu hal yang boleh bahkan afdhol, apalagi untuk membedakan diri dari ahli bid’ah…

Al-’Allamah al-Fauzan berkata :

والسلف ومن سار على نهجهم ما زالوا يميزون اتباع السنة عن غيرهم من المبتدعة والفرق الضالة ويسمونهم أهل السنة والجماعة و اتباع السلف

Para salaf dan siapa saja yang meniti jalan mereka, senantiasa para pengikut sunnah ini membedakan diri dari selain mereka dari kalangan ahli bid’ah dan kelompok-kelompok sesat, dan mereka dinamakan dengan Ahlus Sunnah wal Jama’ah dan Atba’us Salaf…”

Ala kulli haal… intisab dengan salafiyah itu adalah wajib namun menyebut diri sebagai as-Salafi atau Salafiyyah adalah tidak wajib.

 

Ath-Thalibi berkata kembali (hal. 7-8) ketika menjawab fihak yang pro yang menyatakan bahwa penisbatan kepada golongan yang ma’shum yaitu Salafus Shalih lebih tepat daripada penisbatan kepada kelompok-kelompok yang tidak selamat dari kesalahan :

Jika pemikiran seperti itu benar, tentu lebih layak kita menisbatkan diri kepada Rasulullah Shallallahu ’alaihi wa Salam. Mengapa tidak memakai nama Muhammadi atau Ahmadi saja? Bukankah beliau terjaga dari kesalahan? Atau jika yang dijadikan tolok-ukur adalah ’ishmah (keterjagaan dari kesalahan), mengapa tidak sekalian saja memakai nama-nama Alloh yang Maha Suci dari kesalahan dan penyimpangan? Mengapa tidak memakai istilah Haqqi, Hakimi, Quddusi, ’Alimi, Khabiri dan lainnya? Atau mungkin menisbatkan diri dengan para Malaikat, misalnya Jibrili, Mikhali, Maliki, Izraili dsb.?”

Tanggapan :

Saya memiliki beberapa catatan terhadap ucapan ath-Thalibi ini :

Pertama, Saya ingin memperbaiki redaksi dan maksud ucapan fihak yang pro yang redaksinya dipilih sendiri oleh ath-Thalibi berdasarkan pemahamannya sendiri. Sebenarnya penisbatan yang dimaksud kepada golongan yang terjaga (ma’shum) kurang tepat, karena ucapan ini adalah ucapan ijmaal (global) yang perlu ditafshil. As-Salaf Ash-Shalih sebagai individu-individu tidaklah ma’shum, mereka sebagaimana manusia lainnya bisa salah dan benar, pendapat-pendapat mereka juga bisa salah dan bisa benar. Namun, as-Salaf ash-Shalih dalam artian ijma’ (konsensus) mereka maka ijma’ as-Salaf adalah hujjah tak terbantahkan yang sifatnya qoth’i dan dhoruri (aksioma), karena Alloh tidak pernah menghimpun ummat Muhammad di atas kesesatan. Jadi menisbatkan diri kepada as-Salaf ash-Shalih adalah menisbatkan diri kepada manhaj mereka yang ma’shum dan kepada kesepakatan mereka yang juga ma’shum.

Kedua, Menisbatkan diri kepada Rasulullah Muhammad Shallallahu ’alaihi wa Salam tidak pernah terlarang, bahkan merupakan penisbatan yang mulia. Yaitu Muhammadi atau Ahmadi, tidak ada seorangpun ulama Ahlus Sunnah yang saya ketahui pernah ada yang melarangnya. Bahkan Ahlus Sunnah yang sejati mereka adalah Muhammadi atau Ahmadi (pengikut Rasulullah Shallallahu ’alaihi wa Salam).

Ketiga, tolok ukur penisbatan bukanlah terletak pada ishmah itu sendiri, namun terletak pada manhaj dan cara beragama yang benar dan terjaga (ishmah) dari kebathilan, bid’ah maupun penyelewengan. Menisbatkan diri kepada Nama-Nama Alloh Yang Maha Suci atau para malaikat yang mulia adalah suatu hal yang tidak ditetapkan dan ditolak. Tidak ada anjurannya dan tidak diketahui adanya larangannya. Melihat masalah ini, saya teringat istilah Wahhabi yang dihembuskan oleh kaum kuffar dan ahli bid’ah untuk merusak citra dakwah tajdid dan salafiyyah yang diemban oleh Syaikhul Islam Muhammad bin ’Abdul Wahhab rahimahullahu, diantara para ulama yang menjawab tuduhan dan pembatalan istilah Wahhabi berargumen bahwa nama Wahhabi itu sendiri bukanlah nama yang buruk, namun nama yang baik. Karena ia merupakan penyandaran pada Nama Alloh Al-Wahhab.

Keempat, Ath-Thalibi menyebutkan diantara nama Malaikat adalah Izrail. Saya minta kepadanya untuk menunjukkan hadits ataupun atsar yang shahih yang menjelaskan bahwa nama Izrail ini adalah tsabat di dalam Islam, dan bukan sisipan dari Israiliyat.

Kelima, Dalam hal ini ath-Thalibi sangat menunjukkan akan sikap takalluf-nya hanya untuk menolak penisbatan kepada Salafiyah, Wallohul Musta’an.

وإذا لم تر الهلال فسلم لأناس رأوه بالأبصار

Apabila engkau tidak melihat bulan sabit maka serahkanlah

Kepada manusia yang melihatnya dengan mata kepala

 

Pada dialog imajinatif selanjutnya (hal. 8-9), ath-Thalibi lebih memperkuat nama bagi ummat Islam hanya dengan ”Muslim” saja sebagaimana dalam al-Qur’an surat al-Hajj ayat 78. Dan inilah penamaan yang syar’i sesuai dengan Kitabullah dan Sunnah menurutnya. Lalu ath-Thalibi mengemukakan argumentasi fihak yang pro yang menunjukkan bahwa penamaan Muslim saja tidak cukup, karena penamaan Muslim itu benar apabila kita berada di zaman awal sebelum berkembangnya kelompok-kelompok sesat. Namun ketika berkembangnya kelompok-kelompok sesat, seperti Rafidhah, Khowarij, Nushairiyah, Druze, Al-Alawiy dan selainnya, yang nota bene mereka ini mengatakan bahwa ”Kami Muslim!”, namanya sama-sama muslim tapi aqidahnya berbeda-beda, maka untuk itu diperlukan pembeda, yaitu salafi. Menjawab argumentasi ini, ath-Thalibi berkata :

Pandangan Anda itu salah dari beberapa sisi. Pertama, Al-Qur’an telah menjelaskan bahwa Islam telah sempurna, lengkap dan diridhai. ”Di hari Aku (Alloh) sempurnakan bagi kalian agama kalian (Islam), telah Aku cukupkan nikmatku atas kalian, dan Aku ridhai Islam sebagai agama kalian.” (Surat Al Maa’idah : 3). Kedua, jika dibenarkan pandangan Anda itu, maka setiap masalah yang timbul dalam sejarah Ummat Islam mengharuskannya dimunculkannya Syariat-syariat* baru. Inilah bid’ah yang sesat itu. Ketiga, jika karena kesesatan suatu kaum kita memunculkan istilah baru sebagai pembeda, berarti kita telah menuduh agama ini sejak lama tidak siap menghadapi munculnya kelompok-kelompok sesat. Lalu dimana akan kita letakkan hadits-hadits Rasulullah yang berkaitan dengan perpecahan atau perselisihan ummat? Keempat, seandainya salafi dianggap sebagai istilah pembeda paling akhir (final), apakah tidak mungkin muncul kesesatan dari orang-orang yang mengaku diri sebagai Salafi atau Salafiyin? Di Indonesia sendiri, sejak lama kita telah mengenal pesantren-persantren Salafiyah, padahal di dalamnya diajarkan aqidah Asy’ariyah, thariqoh shufi, ilmu kalam, madzhab fikih, logika mantiq, dll. Juga ada suatu kaum tertentu yang menyebut dirinya Salafi, kemudian mereka membentuk kelompok jihad. Di kemudian hari mereka disebut sebagai Haddadi.”

Catatan : * Penebalan dari saya.

Tanggapan :

Saya juga memiliki beberapa catatan terhadap uraian ath-Thalibi ini.

Pertama, menisbatkan diri kepada Salafiy atau istilah syar’i lainnya, semisal Ahlus Sunnah atau lainnya, tidaklah kontradiksi atau bertentangan dengan kesempurnaan Islam. Karena Islam itu sendiri adalah sunnah dan sunnah itu adalah Islam. Ahlus Sunnah atau dengan sebutan lainnya semisal al-Ghuroba’, al-Firqoh an-Najiyah, ath-Thoifah al-Manshuroh, Ahlul Hadits, Ahlul Atsar, Salafiy, Muhammadi atau selainnya, adalah bagian dari umat Islam dan mereka adalah kaum yang senantiasa menegakkan dakwah Islamiyyah untuk tetap memelihara agama ini dari penyelewengan baik berupa nuqshon (pengurangan) maupun ziyadah (penambahan). Bahkan mereka inilah yang berupaya memelihara kesempurnaan Islam dan memerangi bid’ah yang merusak citra kesempurnaan Islam. Maka hujjah pertama ath-Thalibi adalah hujjah lana (hujjah bagi kita) bukan hujjah ’alaina (hujjah yang membantah kami).

Kedua, pernyataan ath-Thalibi ”jika dibenarkan pandangan Anda itu, maka setiap masalah yang timbul dalam sejarah Ummat Islam mengharuskannya dimunculkannya Syariat-syariat baru. Inilah bid’ah yang sesat itu” adalah suatu ucapan yang faudho (kacau). Apakah ath-Thalibi memaksudkan bahwa penisbatan kepada as-Salaf ash-Shalih itu melazimkan munculnya syariat-syariat baru?!! Wallohul Musta’an!! Isy Hadza?!! Syariat apakah yang dimaksudkan ath-Thalibi?!! Apakah nisbat kepada as-Salaf merupakan syariat baru yang notabene adalah bid’ah yang sesat?!! Siapakah salaf anda dalam masalah ini wahai ath-Thalibi? Apakah al-Buthi? Ataukah al-Kautsari? Atau kaum fanatikus madzhabi yang menolak madzhab salaf?!!!!

احذر لسانك أن يقول فتبتلى إن البلاء موكل بالمنطق

Jaga lidahmu untuk berujar dari petaka

Sebab petaka itu bergantung pada ucapan

Ketiga, ucapan ath-Thalibi ”jika karena kesesatan suatu kaum kita memunculkan istilah baru sebagai pembeda, berarti kita telah menuduh agama ini sejak lama tidak siap menghadapi munculnya kelompok-kelompok sesat. Lalu dimana akan kita letakkan hadits-hadits Rasulullah yang berkaitan dengan perpecahan atau perselisihan ummat?” adalah ucapan yang tidak tepat, dari beberapa sisi :

  1. Ucapan ath-Thalibi di atas berkonsekuensi menolak atau membatalkan istilah ahlus sunnah, atau al-Firqoh an-Najiyah, atau sebutan-sebutan syar’i lainnya. Karena tidaklah sebutan ini muncul melainkan setelah merebaknya kelompok-kelompok sesat. Rujuk kembali ucapan al-Allamah Bakr Abu Zaid yang telah berlalu penyebutannya di atas.

  2. Menggunakan istilah syar’i dan bernisbat kepadanya dalam rangka membedakan diri dari kelompok-kelompok sesat yang notabene semuanya masih dalam lingkaran Islam, bukan artinya menuduh agama ini sejak lama tidak siap menghadapi munculnya kelompok-kelompok sesat. Bahkan hal ini menunjukkan sebaliknya, bahwa agama ini telah siap menghadapi kelompok-kelompok sesat dan mereka akan senantiasa zhahir (tampak/menang) sampai datangnya hari kiamat sebagaimana dalam hadits ath-Thaifah al-Manshuroh.

  3. Dimana kita letakkan hadits-hadits Rasulullah yang berkaitan dengan iftiroqul ummah? Tentu saja kita letakkan di hadapan kita, di pemikiran dan pemahaman kita, untuk kita baca, fahami, renungi, amalkan, dan berhati-hati dari kelompok-kelompok yang diancam dengan neraka. Kita fahami hadits tersebut untuk mengetahui bagaimana ciri-ciri dan tanda-tanda kelompok yang selamat (Al-Firqoh An-Najiyah) dan kita implementasikan ciri-ciri tersebut.

  4. Apabila ath-Thalibi hanya mencukupkan dengan istilah ”Muslim” sedangkan tidak ada seorangpun yang mengingkari bahwa kita semua ini disebut sebagai muslim, lantas dimanakah ath-Thalibi akan berada? Apakah di kelompok syi’ah? Kelompok khowarij? Murji’ah? Jabariyah? Qodariyah? Atau selainnya, bukankah kelompok-kelompok ini mengklaim bahwa mereka adalah muslim? Ataukah ath-Thalibi telah berpemahaman bahwa kelompok mana saja yang menyimpang maka telah kafir, yang tentu saja konsekuensi ucapan ath-Thalibi di atas menjadi logis.

  5. Seorang muslim yang ’Arif lagi ’Aqil, tentulah apabila ia disuruh untuk memilih perkataan ”bahwa saya muslim yang mengikuti al-Qur’an dan as-Sunnah, mengikuti pemahaman Rasulullah dan para sahabatnya, dan pemahaman para tabi’in dan atba’ut tabi’in yang mengambil agama ini secara estafet dan berantai, sehingga terjaga kemurniannya lalu diikuti oleh orang-orang kemudian yang menerapkan cara beragama mereka”; dengan perkataan ”saya salafiy” yang telah mencakup semua makna di atas, maka ia akan memilih ucapan yang paling ringkas namun mencakup makna yang luas. Kecuali apabila ia bukan orang yang aqil (berakal)…

  6. Golongan yang selamat dari ancaman neraka dalam hadits iftiroqul ummah, Siapakah mereka ini? Adakah sebutan bagi mereka? Ataukah cukupkah mereka ini disebut sebagai muslim saja –mengingat kelompok-kelompok sesat lainnya juga memakai nama muslim-? Bagi orang yang mempelajari dalil-dalil dari Kitabullah dan Sunnah Rasulullah, baik secara tatabu’ maupun istiqro’, tentu akan mendapatkan bahwa mereka ini memiliki sebutan yang syar’i, diantaranya : Ahlus Sunnah, Al-Jama’ah, Ahlus Sunnah wal Jama’ah, Ahlul Hadits, As-Salaf, Ahlul Atsar, Atsari, Salafi, Al-Firqoh an-Najiyah, ath-Thoifah al-Manshuroh, Al-Ghuroba’, As-Sawadul A’zham (sebutan terakhir ini khilaf antara ulama, karena ada yang mendha’ifkan haditsnya dan ada pula yang menghasankan.), dan sebutan-sebutan syar’i lainnya. Mana saja sebutan itu mereka gunakan selama mereka masih berada di atas manhaj para salaf yang shalih ini, maka semuanya benar, baik itu Anshorus Sunnah al-Muhammadiyah di Mesir, atau Jum’iyah Ahlil Hadits di India dan Pakistan, atau Ahlul Qur’an was Sunnah di Mesir dan Kanada, ataupun sebutan lainnya. Karena yang menjadi ibrah bukanlah sebutan itu, namun kesesuaian mereka di atas sunnah dan atsar.

Keempat, ucapan ath-Thalibi ”seandainya salafi dianggap sebagai istilah pembeda paling akhir (final), apakah tidak mungkin muncul kesesatan dari orang-orang yang mengaku diri sebagai Salafi atau Salafiyin?”, saya katakan sangat mungkin dan amat sangat mungkin. Karena pengakuan belaka itu tidak selamat begitu saja, karena sekali lagi yang menjadi ibrah bukanlah pengakuan, namun yang menjadi ibrah adalah hakikat penerapan manhaj as-Salaf dalam semua hal.

Lagi pula, siapa gerangan yang menganggap istilah salafi sebagai istilah final?! Haat bayanak, siapa ulama Salafiyyun yang menjelaskan bahwa istilah salafi itu adalah istilah final?!

 

[Bersambung Insya Alloh Bagian 3]