BINGKISAN PENUNTUT ILMU BANTAHAN TERHADAP SYUBHAT ATH-THALIBI 1
إتحاف الطلاب برد على شبه الطالبي
حوار الثاني مع أبي عبد الرحمن الطالبي
BINGKISAN PENUNTUT ILMU
BANTAHAN TERHADAP SYUBHAT ATH-THALIBI
Dialog Kedua Bersama Abu ‘Abdirrahman ath-Thalibi
[Bagian 1]
Oleh :
Abu Salma bin Burhan al-Atsari
Telah hadir di hadapan saya, sebuah buku buah karya dari Saudara Abu ’Abdirrahman ath-Thalibi, ”Dakwah Salafiyah Dakwah Bijak 2 : Menjawab Tuduhan” [berikutnya disingkat DSDB2]. Sebelum buku ini sampai di tangan saya, beberapa ikhwan telah mengirim saya email dan sms dan meminta saya untuk membaca buku ini dan mengomentarinya. Jujur saja, semula saya tidak begitu berkeinginan untuk membaca buku ini, apalagi mencari buku ini di kota Malang sangatlah sulit. Namun banyaknya email dan sms yang masuk menyebabkan saya menjadi penasaran dengan isi buku ini. Akhirnya saya memutuskan untuk mencari buku ini dan alhamdulillah, sayapun mendapatkan buku ini melalui perantaraan seorang guru dan sahabat saya, al-Ustadz Imam Wahyudi, Lc., salah seorang staf pengajar di Ma’had al-Irsyad as-Salafi Surabaya, yang kebetulan rumah mertua beliau bersebelahan dengan kontrakan saya, dan beliau setiap pekan selalu pulang ke rumah mertuanya ini.
Setelah mendapatkan buku ini, saya mulai membolak-balik halaman satu persatu, membaca buku ini lembar per lembar hingga sampai ke lembar halaman terakhir. Sebenarnya, tidak ada yang istimewa di dalam buku ini, apalagi pada mulanya saya tidak berselera menanggapi buku ini, lebih-lebih saudara ath-Thalibi hanya membawa pengulangan diskusi kita dari dunia ’maya’ ke dalam dunia ’nyata’ dalam bentuk buku berikut beberapa penambahan.
Biar bagaimanapun, saya sedikit terperanjat juga, karena hampir semua bahan yang ditulis oleh ath-Thalibi adalah diskusi dan materi yang beliau dapatkan dari internet, bahkan lebih dari 50% isi buku ini adalah tanggapan dan bantahan terhadap saya. Sisanya adalah tanggapan terhadap muslim.or.id, Ustadz Abu ’Umar Basyir, Saudara Abu Shilah (yang memakai nama tholib, karena beliau memiliki website bermanfaat yaitu www.tholib.wordpress.com) dan saudara Abu ’Amr murid Ustadz Luqman Ba’abduh.
Pada awalnya, saya tidak begitu berkeinginan untuk memberikan tanggapan dan komentar terhadap buku ini, karena apa yang dipaparkan ath-Thalibi –menurut saya- tidak begitu ilmiah, kurang mantap dan kokoh di dalam berhujjah dan syubhatnya tidak begitu berbahaya. Namun, saya bisa mengatakan bahwa syubhat yang berbahaya di dalam buku ini adalah catatan kaki dan tambahan (lampiran) dari seorang yang bernama Abu ’Abdillah al-Mishri. Wallohu a’lam, siapakah gerangan Abu ’Abdillah al-Mishri ini, namun melihat dari gaya penulisan dan metode penukilan, saya menduga kuat bahwa Abu ’Abdillah al-Mishri ini adalah Ustadz Abduh Zulfidar Akaha, wallohu a’lamu bish showab. Dan akan saya turunkan secara tersendiri tanggapan atas tulisan Abu ’Abdillah al-Mishri ini, semoga Alloh memudahkan dan memberikan kelapangan waktu.
Sebenarnya, apa yang dipaparkan oleh ath-Thalibi ini, jika dikritisi dan dikomentari semuanya, niscaya risalah ini bisa setebal berkali-kali lipat dari buku DSDB2 karya ath-Thalibi inii. Oleh karena itu, saya hanya akan mengkritisi dan mengomentari hal-hal yang paling penting saja dan beberapa syubhat yang dihembuskan ath-Thalibi –juga termasuk Abu ’Abdillah al-Mishri- berkenaan dengan dakwah salafiyah serta segala talbis dan tadlis yang dilakukan mereka berdua. Apabila ada keluangan waktu, masalah-masalah lain yang juga penting akan saya bahas juga.
Meluruskan Pemahaman Terhadap Istilah Salafiy, Salafiyah, Salafiyyin dan as-Salafi.
Sekali lagi saya minta maaf apabila pembahasan yang satu ini akan saya bahas dengan sedikit panjang lebar dibandingkan lainnya. Karena mau tidak mau syubhat terbesar dalam paparan ath-Thalibi adalah pembatalan terhadap nisbat kepada Salafiyyah.
Sebetulnya, pembahasan masalah ini sudah banyak dan panjang sekali dipaparkan oleh para ulama, namun sayangnya saudara ath-Thalibi –entah karena apa- telah menjadi salah seorang yang kontra dan menolak dengan penggunaan istilah salafi, salafiyah dan as-Salafi –padahal saya menduga ia cukup banyak menelaah buku-buku yang membahas mengenai hal ini, namun dugaan saya ini menjadi patah oleh paparan dan uraian ath-Thalibi sendiri.
Hal ini tampak sekali dalam pendahuluan bukunya dan bahkan ia mengkhususkan satu bab yang berjudul ” Pro Kontra Istilah Salafi” dalam bentuk diskusi. Namun sayang beribu sayang, diskusi imajinatif dalam bab itu yang ia tulis sangat lemah dari hujjah dan ia berhenti pada hujjah fihak yang kontra tanpa menjawab lebih jauh argumentasi fihak yang pro, bahkan ia lebih banyak menggunakan akal daripada naql di dalam berargumentasi –dan ini akan lebih banyak ditemui di dalam bukunya ini-.
Suatu hal yang mengambil perhatian saya pertama kali adalah ucapannya pada bab ”Pergeseran Istilah Salafi” (hal. 1), dimana saudara ath-Thalibi berkata :
”Secara bahasa, kalimat ”Ana Salafi! adalah kalimat yang rancu. Jika diterjemahkan ia memiliki arti, ”Aku ini Salafi! Salaf artinya dahulu, telah lalu, atau orang zaman dahulu. Salafi berarti orang zaman dahulu. Tidak mungkin orang seseorang yang hidup di zaman sekarang mengatakan, ”Aku ini orang zaman dahulu!”.
Tanggapan :
Inilah ucapan saudara ath-Thalibi yang pertama kali membuat saya terheran-heran. Bahkan saya menjadi bertanya-tanya kembali8 sebagaimana di dalam tulisan saya terdahulu yang berjudul ”Perisai Penuntut Ilmu”, apakah ath-Thalibi ini benar-benar memahami kata salaf-salafi dan faham akan bahasa Arab ataukah tidak. Untuk itu saya katakan, pemahamannya di ataslah yang rancu. Berikut ini penjelasannya.
Kata ”Ana Salafi” (mungkin yang lebih benar adalah ”Ana Salafiy”), ini merupakan transliterasi dari kata أنا سلفي bukan أنا سلف. Karena apabila yang dimaksudkan oleh ath-Thalibi dengan أنا سلف maka seharusnya dibaca “Ana Salaf” (atau ”Ana Salafu” dan ini pun juga kurang benar, yang benar seharusnya ”Ana Salifu”) bukan “Ana Salafi”, karena apabila saudara ath-Thalibi faham bahasa Arab, tidak mungkin kata salaf di situ menjadi jar (dikasrahkan pada huruf terakhir) karena kata أنا سلف apabila dii’rabkan maka ia adalah i’rab rafa’ (yang huruf akhirnya dhommah) yang sama dengan kata أنا طالب (Baca : ”Ana Tholibu”, bukan ”Ana Tholibi”).
Apabila saudara ath-Thalibi faham tentang hal ini, namun kenapa anehnya saudara ath-Thalibi dengan enaknya melarikan makna ”Salafi” kepada makna bahasa dengan begitu saja, dan langsung berkesimpulan bahwa orang yang mengatakan ”Ana Salafi” maksudnya adalah “Aku ini orang zaman dulu”. Lantas dimana fungsi huruf ya’ nisbah sebagaimana dalam nisbat ath-Thalibi? Samakah artinya orang yang mengatakan “Ana Yaman” dengan perkataan “Ana Yamani”?!! Samakah orang yang mengatakan ”Ana Malik” dengan orang yang mengatakan ”Ana Maliki”. Allohumma. Dari mana anda datangkan pemahaman anda ini wahai saudaraku ath-Thalibi?!!
Ath-Thalibi berkata dalam lanjutan perkataan sebelumnya :
“Kalimat “Ana Salafi! jika dikaitkan dengan Salafus Shalih, mengandung makna kesombongan. Di sana seseorang atau sebagian orang merasa diri telah menjadi pengikut terbaik Salafus Shalih.”
Tanggapan :
Subhanalloh, darimanakah gerangan pemahaman ath-Thalibi ini datang?! Sebelum saya komentari lebih jauh, saya ingin bertanya, apakah ketika seseorang berkata ”Saya ahlus sunnah” apakah ini merupakan bagian dari kesombongan atau mengandung makna kesombongan?!! Ketika seseorang mengatakan ”Saya Muhammadi” (pengikut Nabi Muhammad Shallallahu ’alaihi wa Salam) apakah merupakan kesombongan?!! Atau ketika seseorang berkata ”Saya mukmin” tanpa disertai istitsna` (pengecualian, yaitu disertai kata Insya Alloh) mengandung makna kesombgngan dikarenakan ia merasa bahwa dirinya telah menjadi orang-orang mukmin?!! Jawablah wahai orang-orang yang adil…
Kembali ke kata ”ana salafiy”, di dalam memahami perkataan ini sepatutnya bagi kita bersikap sebagaimana kita memahami perkataan ”Ana Muhammadiy”, ”Ana Sunniy”, ”Ana Ahlus Sunnah”, atau semisalnya. Untuk itu kita harus tahrirul ishtilah (menegaskan makna istilah) itu terlebih dahulu. Telah banyak dan berlalu pembahasan tentang definisi salaf secara lughoh (etimologi), ishtilaah/syar’i (terminologi) maupun tahdidu az-Zamani (pembatasan waktunya) diantaranya dalam risalah saya ”Menjawab Tuduhan Meluruskan Kesalahfahaman”, rujuklah karena pembahasan ini cukup panjang.
Banyak buku yang telah ditulis mengenai pembahasan ini, akan saya sebutkan terlebih dahulu yang telah diterjemahkan lalu beberapa buku yang belum diterjemahkan sejauh pengetahuan saya, maka silakan dirujuk dan difahami, diantaranya adalah :
-
Basha`ir Dzawi Syarf bi Marwiyaati Manhaj as-Salaf karya asy-Syaikh Salim bin Ied al-Hilaali, buku ini telah diterjemahkan dan diterbitkan oleh Pustaka As-Sunnah dengan judul ”Mulia Dengan Manhaj Salaf”.
-
Limaadza Ikhtartu al-Manhajas Salafi karya asy-Syaikh Salim bin Ied al-Hilaali, buku ini telah diterjemahkan dan diterbitkan oleh Pustaka Imam Bukhari dengan judul ”Mengapa Memilih Manhaj Salaf.”
-
Minhaaj al-Firqoh an-Naajiyah karya Syaikh Muhammad bin Jamil Zainu, buku ini telah diterjemahkan dan diterbitkan oleh darul Haq dengan judul ”Jalan Golongan Yang Selamat”.
-
Al-Manhajus Salafi ’inda asy-Syaikh al-Albani karya asy-Syaikh ’Amru ’Abdul Mun’im Salim al-Mishri, buku ini telah diterjemahkan dan diterbitkan oleh Najla Press dengan judul ”Albani dan Manhaj Salaf.”
-
Malaamih Ro`isiyiah li Manhaj as-Salafi : Muhadhoroot fis Salafiyyah karya DR. Ala’ Bakar(?!), buku ini telah diterjemahkan dan diterbitkan oleh Pustaka Barokah dengan judul ”Studi Dasar-Dasar Manhaj Salaf”.
-
Kun Salafiyyan ’alal Jaadah karya Syaikh DR. ’Abdus Salam bin Salim as-Suhaimi, buku ini telah diterjemahkan dan diterbitkan oleh Pusta at-Tazkia dengan judul ”Jadilah Salafi Sejati”.
-
Usus Manhaj as-Salaf fid Da’wah ilallohi karya Syaikh Fawwaz bin Hulail Rabah as-Suhaimi, buku ini telah diterjemahkan dan diterbitkan oleh Griya Ilmu dengan judul ”Pokok-Pokok Dakwah Manhaj Salaf”.
-
Al-Wajiz fi Manhajis Salaf karya Syaikh ’Abdul Qodir al-Arna`uth rahimahullahu, bisa didownload di blog ini.
-
Al-Wajiz fi Aqidatis Salafish Sholih karya asy-Syaikh ‘Abdullah bin ‘Abdul Hamid al-Atsari, buku ini telah diterjemahkan dan diterbitkan oleh beberapa penerbit diantaranya oleh Pustaka Imam Syafi’i, Pustaka Ibnu Katsir dan selainnya.
-
Ushul wa Qowa’id fil Manhajis Salafi karya Syaikh ’Ubaid bin ’Abdillah al-Jabiri, bisa didownload di www.sahab.org
-
Durus Manhajiyah oleh Fadhilatusy Syaikh ’Abdullah bin Shalih al-’Ubailaan, bisa didownload di www.sahab.org.
-
As-Salafiyyah wal Qodhoya al-Ashri karya DR. ’Abdurrahman bin Zaid az-Zunaidi.
-
Ushul Manhaj as-SalafI karya Syaikh Khalid bin ‘Abdirrahman al-‘Ikk.
-
Qowa’idul Manhaj as-Salafi karya DR. Mustofa Hilmi.
-
Irsyadul Bariyyah ila Syar’iyyatil Intisaab lis Salafiyyah wa Dahdhu asy-Syubahi al-Bid’iyyah karya Syaikh Abu ‘Abdis Salam Hasan bin Qosim al-Husaini ar-Raimi as-Salafi. Dan buku terakhir inilah pembahasannya yang lebih lengkap dan komprehensif.
Selain yang disebut di atas, masih sangat banyak sekali para ulama di penjuru dunia yang membahas kemasyru’annya istilah salafiy ini, diantaranya adalah :
Di Mesir ada Syaikh Musthofa al-‘Adawi yang memiliki ceramah bermanfaat yang berjudul “Hal Salafiyyun Salbiyyun?” dapat didownload di www.islamway.com, Syaikh Muhammad Isma’il al-Muqoddam yang juga memiliki kaset seputar salafi dan salafiyah juga bisa didownload di islamway. Selain itu ada Syaikh ‘Abdul ‘Azhim Badawi, ‘Abdus Salam Bali, Abu Ishaq al-Huwaini, Usamah bin ‘Abdil Lathif al-Qushi, ‘Amru ‘Abdul Mun’im Salim, Abul ‘Ainain al-Mishri, Muhammad Sa’id Ruslan, Ahmad Farid, Sa’id ‘Abdul Azhim, Yasir Burhami, ‘Asyrof bin ‘Abdil Maqshud, ‘Ali Hasysisy, Mahmud al-Mishri, Abul Asybal Husain az-Zuhairi, Jamal al-Marokibi, Ahmad Hathibah, Usamah ‘Abdul Aziz, Abdul ‘Aal ‘Ali ath-Thohthowi, dan sebelum mereka ini ada al-‘Allamah Hamid al-Faqi, Shufut Nuruddin, Khalil Hirras, Ahmad al-Banna, dan selain mereka hafizhahumullahu hayyahum wa rahimallohu mayyitahum. Ceramah-ceramah mereka bertebaran, dan mayoritas diantara mereka yang disebut memiliki pembahasan tentang disyariatkannya istilah salafiyah.
Di anak benua India dan Pakistan ada Syaikh ‘Abdul Hamid ar-Rehmani, ‘Abdus Salam al-Mubarokfuri (sebenarnya al-Mabarkapuri, nisbat kepada kota Mabarkapur dan ditranlasikan menjadi Mubarokfuri, atau bisa jadi asalnya Mubarokfuri namun berubah menjadi Mabarkapur karena lisan orang India, wallohu a’lam), Shafiyyurrahman al-Mubarokfuri, Nadzi Ahmad ar-Rehmani, Muhammad Ra’is an-Nadwi, Badi’udin Syah ar-Rasyidi, ‘Ubaidillah ar-Rehmani, Muhammad Sulaiman al-Manshurfuri, Abul Wafa’ Tsana’ullah al-Amru Tasri, Abul Kalam Azad, ‘Ubaidillah al-Benaresi, DR. Fadhl Ilahi, al-‘Allamah Ihsan Ilahi Zhahir, Shalahudin Maqbul Ahmad, Washiyullah ‘Abbasi, dll rahimahumullahu mayyitahum wa hafizhallohu hayyahum. Dan masih banyak lagi.
Kembali ke istilah salaf-salafiy, mari kita sekali lagi menelaahnya. Di dalam di dalam buku al-’Allamah Bakr Abu Zaid hafizhahullahu yang sangat anggun, buku yang kecil namun sarat faidah, yaitu Hukmul Intima` ilal Firoqi wal Ahzaab wal Jama’aat al-Islamiyyah (hal. 46-47); -sengaja saya membawakan ucapan al-’Allamah Bakr Abu Zaid karena saudara ath-Thalibi cukup sering menukil ucapan Syaikh Bakr dan berihtijaj dengannya untuk menyerang Syaikh Robi’ –padahal realitanya tidaklah demikian-. Syaikh Bakr hafizhahullahu berkata :
وإذا قيل : السلف, أو السلفيون أو السلفية: فهي هنا نسبة إلى السلف الصالح : جميع الصحابة رضي الله عنهم فمن تبعهمم بإحسان دون من مالت بهم الأهواء بعد الصحابة رضي الله عنهم من الخلوف الذين انشقوا عن السلف الصالح باسم أو رسم… وعليه فإن لفظة السلف هنا يعني: السلف الصالح, بدليل أن هذا اللفظ عند الإطلاق يعني كل سالك في الاقتداء بالصحابة رضي الله عنهم حتى ولو كان في أصرنا… وهكذا وعلى هذا كلمة أهل العلم فهي نسبة ليس لها رسوم خارجة عن مقتضى الكتاب والسنة وهي نسبة لم تنفصل لحظة واحدة عن الصدر الأول, بل هي منهم وإليهم, أما من خالفهم باسم أو رسم, فلا, فإن عاش بينهم وعاصرهم ولهذا تبرأ الصحابة رضي الله عنهم من القدرية والمرجعة ونحوهم.
”Apabila dikatakan as-salaf atau as-Salafiyyun atau as-Salafiyyah, maksudnya di sini ia nisbat kepada as-Salaf ash-Sholih, yaitu seluruh sahabat radhiyallahu ’anhum dan siapa saja yang mengikuti mereka dengan baik, tidak termasuk mereka yang condong kepada hawa nafsu pasca sahabat radhiyallahu ’anhum berupa orang-orang belakangan yang tercerai berai dari as-Salaf ash-Shalih dengan nama atau tanda tertentu… dengan demikian maka sesungguhnya lafazh salaf di sini bermakna as-Salaf ash-Sholih, dengan argumentasi (dalil) bahwa lafazh ini secara mutlak bermaksud siapa saja yang meniti di dalam keteladanan terhadap para sahabat radhiyallahu ’anhum walaupun orang tersebut ada di zaman ini… demikianlah, oleh karena itu perkataan ahli ilmu, (menyatakan bahwa salafiyah) merupakan nisbat yang tidak ada padanya tendensi yang keluar dari ketentuan al-Kitab dan as-Sunnah, ia adalah nisbat yang tidak terpisah barang satupun dari generasi awal, bahkan ia adalah dari mereka dan untuk mereka. Adapun mereka yang menyelisihi kaum salaf baik dengan nama ataupun ciri-ciri, maka bukanlah (salafiyah) walaupun mereka hidup di tengah-tengah kaum salaf dan sezaman dengan mereka. Oleh karena itulah para sahabat radhiyallahu ’anhum berlepas diri dari Qodariyah, Murji’ah dan semisal mereka.”
Al-’Allamah Bakr Abu Zaed dalam buku Hilyatu Tholibil ’Ilmi (hal. 8) juga berkata :
كن سلفيا على الجادة الطريق السلف الصالح من الصحابة رضي الله عنهم فمن بعدهم ممن وقفى أثرهم في جميع أبواب الدين من التوحيد والعبادات ونحوها…
”Jadilah kamu salafi sejati yang mengikuti jalan as-Salaf ash-Sholih dari kalangan sahabat dan generasi setelah mereka yang meniti atsar mereka di dalam segala perkara agama, baik tauhid, ibadah dan selainnya…”
Demikianlah yang dikatakan oleh al-’Allamah Bakr Abu Zaid. Maukah ath-Thalibi menerimanya ataukah ia perlu memilah-milih ucapan Syaikh Bakr menurut seleranya. Apabila sesuai dengan seleranya diambil dan apabila tidak ditolak…
Mungkin ath-Thalibi akan berargumentasi bahwa ucapan Syaikh Bakr di atas bukanlah suatu anjuran untuk mengatakan ”Ana Salafi!”.
Maka saya jawab, mengatakan ”ana salafi” adalah sebagaimana kita mengatakan ”ana sunni”, maka semuanya kembali kepada hajat (kebutuhan) dan maksud. Apabila ia hanya ingin menyombongkan diri dengannya tentu saja haram, haram dikarenakan niatnya bukan dikarenakan penisbatan itu sendiri, karena penisbatan ini adalah penisbatan yang mulia.
Pada asalnya mengatakan ’ana sunni’, ’ana salafi’, ’ana atsari’ dan semisalnya adalah suatu hal yang mubah, dan tidak ada seorang ulamapun yang pernah saya tahu mewajibkan untuk mengatakan ’ana salafi!’. Dan perlu diingat, semua orang berhak menisbatkan dirinya kepada ahlus sunnah atau salafiyah, namun pengakuan belaka tanpa bukti hanyalah ’isapan jempol’ saja. Jadi apabila ada kaum yang mengatakan ’ana salafi ’ namun ia menyelisihi manhaj salaf, maka kritiklah orangnya bukan penisbatan itu sendiri.
Intinya, kritik ath-Thalibi kepada kata ’ana salafi’ adalah terlalu berlebih-lebihan dan takalluf, sampai-sampai ia mengatakan bahwa perkataan ini mengandung kesombongan. Padahal, sangat mungkin orang yang mengatakan ’ana salafi’ maka maksudnya adalah : ’saya adalah orang yang berupaya untuk meniti manhaj salaf dalam segala hal, baik aqidah, ibadah, dakwah, akhlak, dls.’ Oleh karena itulah al-’Allamah Bakr Abu Zaid menasehatkan kepada kaum muslimin untuk menjadi salafi sejati (Kun Salafiyyan ’alal Jaadah).
Al-Imam al-Albani rahimahullahu pernah berkata :
قولنا نحن سلفية إنما هي تعريف وليست عبادة كقولنا مهاجري وأنصاري وسوري وو.. الخ فقد ينتسب (المسلم) الى جماعة تكون منكرة اذا كانت توحي بمعنى يخالف الشرع كالذين ينتسبون إلى إمام معين فكل خير في اتباع من سلف وكل شر في اتباع من خلف فلما وجد إسم يربط الناس بهؤلاء القوم المشهود لهم بالخيرة في الحديث الصحيح ، قالوا هذا بدعه والإنتساب إلى السلف الصالح بدعة ، ويزعمون أننا يجب ان نقول مسلمون فمسلمو اليوم منهم العلوي والدرزي وصوفي وو… الخ فأنت إذن لم تعرف نفسك وعقيدتك مكتفيا بقولك مسلما. والمسلمون بنص الرسول إنقسموا إلى ثلاثة وسبعين فرقة ، فإذا لا يكفي أن نقول نحن مسلمون . والانتساب للسلف الصالح ليس كالانتساب لأي جماعة أخرى مثال جماعة حزب الحرير وجماعة الاخوان فهذه انتساب لشخص, أما قول أنا سلفي فهذا يعني الانتساب إلى السلف الصالح وفهم الدين كما جاء في القرآن والسنة وعلى فهم السلف الصالح
”Ucapan kita yang mengatakan ’nahnu salafiyyah’ (kita salafi) sesungguhnya ia merupakan definisi bukanlah ibadah, sebagaimana ucapan kita seperti Muhajiriyun, Anshoriyun, Suriyun dan seterusnya… Terkadang seorang muslim ia berafiliasi kepada sebuah jama’ah yang bisa jadi mungkar apabila dengan artian menyelisihi syariat sebagaimana mereka yang berafiliasi kepada seorang imam tertentu… Setiap kebaikan itu adalah dengan menauladani para salaf dan setiap keburukan itu adalah mengikuti para kholaf, namun tatkala memperoleh suatu nama yang terikat dengan mereka, yaitu kaum yang dipersaksikan dengan kebaikan (sebagaimana) di dalam hadits shahih, mereka dengan serta merta berkata ”ini bid’ah” dan berafiliasi kepada as-Salaf ash-Shalih itu bid’ah. Mereka beranggapan bahwa wajib bagi kami untuk mengatakan ”muslimun” (saja), padahal kaum muslim pada hari ini ada (kelompok) Alawiyun, Druziyun, Shufiyun, dll… Anda kalau begitu tidak mengenal diri anda dan akidah anda hanya cukup dengan mengatakan muslim. Kaum muslimin dengan penegasan dari Rasulullah, terpecah-belah menjadi tujuh puluh tiga kelompok, oleh karena itu tidaklah cukup apabila hanya mengatakan ”kita muslimin”. Maka afiliasi kepada as-Salaf ash-Sholih tidaklah sama sebagaimana dengan afiliasi jama’ah lainnya, seperti jama’ah Hizbut Tahrir, jama’ah al-Ikhwan, ini semua adalah afiliasi kepada individu. Adapun perkataan ”Ana Salafi” maka ini bermaksud afiliasi kepada as-Salaf ash-Shalih dan pemahaman agama sebagaimana yang datang di dalam al-Qur’an dan as-Sunnah berdasarkan pemahaman as-Salaf ash-Shalih.” [Dinukil dari Syabakah al-Furqon as-Salafiyyah].
Dengan demikian, menyatakan diri sebagai ”Ana Salafiy” harusnya difahami sebagai ”Saya seorang yang meniti dan menyusuri atsar kaum as-Salaf ash-Shalih di dalam beragama, baik dalam masalah aqidah, manhaj, ibadah, akhlaq dan lain sebagainya.” Bukanlah bermakna ”Aku merasa diri telah menjadi pengikut terbaik salafus shalih” sebagaimana dikatakan oleh ath-Thalibi di atas. Ini adalah tahrif dan penyelewengan maksud dari ath-Thalibi, sebagaimana kebiasaan ath-Thalibi yang suka menebak-nebak fikiran dan perasaan orang lain, jadi jangan heran apabila ia mengatakan bahwa kata ”Ana Salafiy” adalah bermaksud MERASA DIRI sebagai pengikut terbaik. Tahrif ath-Thalibi semisal ini cukup banyak dan akan datang dalam pembahasannya dimana ia mentahrif maksud ucapan dan perkataan yang difahaminya dengan ’semau gue’.
يَكُ ذَا فَمٍ مُرٍّ مَرِيْضٍ يَجِدُ مَرًّا بِهِ المَاءَ الزُّلالا
Barangsiapa yang merasa sakit mulutnya karena sakit
Niscaya air yang tawar akan terasa pahit baginya
Pada halaman 5, DSDB2, ada sebuah dialog unik yang imajinatif antara fihak yang Pro dan Kontra dengan istilah Salafi. Di sini tampak bahwa saudara ath-Thalibi menempatkan dirinya sebagai yang kontra, maka dengan demikian saya akan menempatkan diri sebagai fihak yang pro. Ia berkata di dalam menjawab fihak yang pro yang berdalil tentang masyru’nya istilah salafi dengan hadits Rasulullah Shallallahu ’alaihi wa Salam kepada Fathimah radhiyallahu ’anha :
”Dua hadits di atas sebenarnya tidak menunjukkan bahwa Rasulullah Shallallahu ’alaihi wa Salam menyuruh Fathimah dan Ummatnya menggunakan nama atau istilah Salafi. Terbukti Fathimah tidak pernah menyebut atau disebut namanya dengan sebutan Fathimah binti Rasulillah as-Salafi.”
Tanggapan :
Ini adalah diantara kejanggalan metodologi berfikir ath-Thalibi, ia suka membawa makna suatu ucapan kepada makna yang ia fahami sendiri lalu ia berargumentasi dengannya. Padahal yang menjadi pembahasan sebagaimana di dalam sub judul (bab) bukunya adalah ”Pro Kontra Istilah Salafi”, jadi yang menjadi titik utamanya adalah masyru’ tidaknya istilah salafi. Adapun dalam masalah perkataan ”Ana Salafi” atau ”Nahnu Salafiyun”, maka telah lewat pembahasannya di atas. Penggunaan nisbat al-Atsari atau as-Salafi-pun telah lewat pula pembahasannya dalam ”Menjawab Tuduhan Meluruskan Kesalahfahaman” dan ”Perisai Penuntut Ilmu”.
Dengan metode berfikir seperti ath-Thalibi, bukankah saudara ath-Thalibi menerima istilah ahlus sunnah?! Jika iya, pernahkah ath-Thalibi mendengar atau membaca bahwa sahabat Abu Bakar atau ’Umar radhiyallahu ’anhuma, sebagai manusia terbaik setelah Rasulillah Shallallahu ’alaihi wa salam mengatakan diri mereka adalah ahlus sunnah? Atau menyebut diri mereka sebagai sunniy-ahlus sunnah? Jika ada Haat burhanak in kunta shodiq!! (berikan dalil anda jika anda orang yang benar). Jika tidak pernah didapatkan hal ini, lantas bisakah Sahabat Abu Bakr dan ’Umar ini dikatakan bukan ahlus sunnah dikarenakan mereka tidak pernah menyatakan diri sebagai ahlus sunnah? Wal’iyadzubillah. Tidak ada satupun yang pernah berpendapat demikian melainkan ahlul bid’ah yang luar biasa kebid’ahannya atau orang bodoh yang amat sangat kebodohannya.
Para sahabat Nabi ridhwanullahi ’alaihim ajma’in adalah ahlus sunnah, dan siapa saja yang meniti jalan mereka semuanya adalah ahlus sunnah. Dan ahlus sunnah ini adalah salah satu nama dan sifat untuk mengidentifikasi kelompok yang selamat atau mendapat pertolongan, atau dengan kata lain adalah al-Firqoh an-Najiyah dan ath-Thoifah al-Manshuroh. Mereka ini adalah sebaik-baik generasi (khoirul qurun atau khoirun Naas) yang terdahulu dan telah berlalu masanya atau dengan kata lain mereka adalah as-Salaf as-Shalih.
Mereka meninggalkan ilmu dari Nabi yang berantai dan bersanad yang disebut sebagai sunnah atau hadits, dan siapa saja yang menapaki dan memelihara sunnah ini maka dia disebut sebagai ahlus sunnah atau ahlul hadits. Mereka ini adalah kaum yang asing di tengah-tengah umatnya, yang disebut dengan al-Ghuroba’. Kaum ghuroba’ ini senantiasa berpijak dengan sunnah-sunnah Nabi sehingga mereka disebut Sunniy, mereka juga berpegang dengan atsar-atsar para salaf sehingga mereka disebut Atsariy, dan mereka juga senantiasa berusaha meniti jalan dan manhaj kaum salaf yang shalih dalam segala hal sehingga mereka disebut Salafiy. Siapa saja yang berpegang dengan semua hal ini, maka silakan saja menyebut mereka sebagai Ahlus Sunnah, Sunniy, Ahlul Atsar, Ahlul Hadits, Atsariy, Salafiy, Ghuroba’ atau nama-nama lainnya yang kesemua nama ini bukanlah nama-nama baru yang diada-adakan tanpa ada dalilnya. Semua ada dalilnya dan akan saya turunkan nanti pada pembahasannya –insya Alloh-.
Yang perlu digarisbawahi, tidak pernah ada seorangpun yang mewajibkan kita harus menyebut diri sebagai ”Ana Salafi” atau menggandengkan nama kita dengan ”As-Salafi”. Semua ini pada asalnya adalah salah satu bentuk penerimaan dan penerapan manhaj as-Salaf serta berbangga dengannya, karena manhaj salaf itu adalah ma’shum dan tidaklah keluar daripadanya melainkan kebenaran, walaupun ath-Thalibi memahami ini sebagai bentuk fanatisme, dan akan datang jawaban hal ini pada pembahasannya.
Penyebutan nama al-Atsari atau as-Salafi atau as-Sunni atau semisalnya, atau mengatakan ’Ana Salafiy’, ’Ana Sunniy’ atau semisalnya adalah suatu hal yang tidak tercela sama sekali dan bukanlah perkara bid’ah. Karena itu semua merupakan bentuk penisbatan, yang mana penisbatan ini bisa beragam bentuk penerapannya. Orang yang tidak menyebut dirinya sebagai as-Salafiy namun ia menerapkan manhaj salaf dalam semua bab cara beragamanya, maka ia adalah salafiy walaupun tidak mengatakan dirinya salafiy. Demikian pula orang yang mengklaim dan menggembar-gemborkan dirinya sebagai salafiy namun aqidah, akhlak, manhaj dan cara beragamanya rusak, jauh dari cara beragama kaum salaf yang shalih, maka ia bukanlah salafiy walaupun ia bernisbat dengannya atau mengklaim berada di atasnya.
Namun ini semua tidak bisa menafikan nisbat dengan salafiy, dimana orang yang bernisbat dengannya berupaya meniti jalannya dengan semaksimal mungkin, mengajak ummat untuk meniti manhaj as-Salaf ash-Shalih dan meninggalkan segala bentuk syirik, bid’ah dan kemaksiatan, maka mereka ini adalah salafiy.
Kata Salafiy itu adalah kata yang masyru’ karena Al-Qur’an dan as-Sunnah menggunakannya walaupun dengan makna berbeda. Namun hujjah yang paling kuat dalam hal ini adalah hadits-hadits Rasulullah yang difahami secara Tattabu’ wa Istiqro’ (penelitian dan pendalaman). Apabila ath-Thalibi tidak menolak istilah ahlus sunnah wal jama’ah dengan argumentasi hadits iftiroq, maka tentunya ath-Thalibi juga tidak berkeberatan dengan hadits-hadits yang menyebutkan tentang kata salaf juga atsar-atsar yang bertebaran.
Ath-Thalibi berkata di dalam DSDB2 hal. 2-3 :
”Ketika Menulis buku Menjawab Tuduhan (MT) ini, saya sudah tidak lagi memakai istilah salafi, tetapi memakai istilah ahlus sunnah wal jama’ah (atau ahlus sunnah). Sepengetahuan saya, istilah terakhir lebih memiliki dasar syar’i daripada istilah pertama [dalam catatan kaki ath-Thalibi berkata : Dalilnya ialah hadits-hadits iftiroqul Ummah yang juga dikenal sebagai ”hadits 73 golongan”. Dari sana lahir ungkapan Ahlus Sunnah wal Jama’ah.].
Tanggapan :
Apabila ath-Thalibi memahami bahwa kata Ahlus Sunnah wal Jama’ah lahir dari hadits iftiroqul ummah, maka apabila ia konsekuen maka istilah Salafiyyah juga lahir dari hadits-hadits semisal, bahkan kedua istilah ini adalah sama dan murodif (sinonim). Adapun istilah ahlus sunnah yang dikatakan ath-Thalibi lebih memiliki dasar syar’i, maka sesungguhnya istilah Salafiy, Atsariy, Firqoh Najiyah, Tho`ifah Manshuroh, Ghuroba’ dan semisalnya, juga memiliki dasar syar’i yang kuat.
Untuk itu ada baiknya lagi kita menyimak apa yang dipaparkan oleh al-’Allamah Bakr Abu Zaed hafizhahullahu Ta’ala dalam Hukmul Intima’ (hal. 21) sebagai berikut :
لما حصلت تلك الفرق منتسبة إلى الإسلام منشقة عن العمود الفقري للمسلمين ظهرت ألقابهم الشرعية المميزة لجماعة المسلمين لنفي الفرق و الأهواء عنهم ، سواءً ما كان لهم من الأسماء ثابتاً لهم بأصل الشرع : الجماعة ، الفرقة الناجية ، الطائفة المنصورة ، أو بواسطة التزامهم بالسنن أمام أهل البدع و لهذا حصل لهم الربط بالصدر الأول فقيل لهم ( السلف ) ( أهل الحديث ) ( اهل الأثر ) ( أهل السنةو الجماعة ) و هذه الألقاب الشريفة تخالف أي لقب كان لأي فرقة كانت من وجوه :
”Tatkala kelompok-kelompok yang mengafiliasikan diri kepada Islam mulai bermunculan yang menyelisihi landasan pemikiran kaum muslimin, maka lahirlah laqob (julukan/gelar) syar’i yang memiliki ciri khas tersendiri bagi jama’ah muslimin dalam rangka menolak kelompok-kelompok tersebut dan hawa nafsu mereka, sama saja tidak ada bedanya nama-nama bagi mereka yang telah tetap (tsabat) dari pokok syariat, seperti al-Jama’ah, al-Firqoh an-Najiyah, ath-Tho`ifah al-Manshuroh atau melalui cara berpegangnya mereka dengan sunnah-sunnah di hadapan ahli bid’ah, dengan demikian muncullah bagi mereka suatu ikatan dengan generasi awal, maka mereka disebut sebagai as-Salaf, Ahlul Hadits, Ahlul Atsar, Ahlus Sunnah wa Jama’ah. Dan sebutan-sebutan yang mulia bagi mereka ini, menyelisihi setiap julukan bagi kelompok mana saja, dari beberapa segi :
الأول : أنها نسب لم تنفصل و لو للحظة عن الأمة الإسلامية منذ تكوينها على منهاج النبوة فهي تحوي جميع المسلمين على طريقة الرعيل الأول و من يقتدي بهم في تلقي العلم و طريقة فهمه و بطبيعة الدعوة إليه و ضرورة انحصار الفرقة الناجية في ( أهل السنة و الجماعة ) و هم أصحاب هذا المنهج و هي لا تزال باقية إلى يوم القيامة أخذاً من قوله صلى الله عيه و سلم ” لا تزال طائفة من أمتي منصورة على الحق “
Pertama : Bahwasanya sebutan-sebutan ini merupakan penisbatan yang tidak terpisahkan walau barang sedikit dari umat Islam, semenjak terbentuknya di atas manhaj Nubuwwah yang ia mencakup keseluruhan kaum muslimin yang berada di atas manhaj generasi awal dan siapa saja yang meneladani mereka di dalam mengambil ilmu, cara memahaminya dan sifat dasar berdakwah kepadanya serta perlunya membatasi al-Firqoh an-Najiyah itu hanya pada Ahlus Sunnah wal Jama’ah, yang mana mereka adalah penganut manhaj ini yang akan senantiasa ada sampai hari kiamat, terambil dari sabda Nabi Shallallahu ’alaihi wa Salam : ”Akan senantiasa ada sekelompok dari umatku yang mendapatkan pertolongan di atas kebenaran.”
الثاني : أنها تحوي كل الإسلام ، الكتاب و السنة ، فهي لا تختص برسم يخالف الكتاب و السنة زيادةً أو نقصاً .
Kedua : Bahwasanya sebutan-sebutan yang mulia ini mencakup Islam seluruhnya, mencakup al-Kitab dan as-Sunnah, dan sebutan ini tidak terkhususkan dengan suatu tanda yang menyelisihi al-Kitab dan as-Sunnah, baik dengan penambahan atau pengurangan.
الثالث : أنها ألقاب منها ما هو ثابت بالسنة الصحيحة و منها ما لم يبرز إلاّ في مواجهة أهل الأهواء و الفرق الضالة لرد بدعتهم و التميز عنهم و إبعاد الخلط بهم و لمنابذتهم فلما ظهرت البدعة تميّزوا ( بالسنة ) و لما حُكّم الــرأي تميّـزوا ( بالحديث و الأثر ) و لما فشت البدع و الأهواء في الخلوف تميّزوا ( بهدي السلف ) و هكذا ..
Ketiga : Bahwasanya sebutan-sebutan tersebut, sebagiannya telah tetap dengan sunnah yang shahih, dan sebagian lagi tidaklah muncul melainkan untuk menghadapi ahli hawa dan kelompok-kelompok sesat dalam rangka membantah kebid’ahan mereka dan membedakan diri dari mereka serta menjauhkan diri dari bercampur dengan mereka dan menentang mereka. Maka tatkala bid’ah mulai bermunculan, mereka terbedakan dengan sunnah; tatkala pemikiran dijadikan hukum, mereka membedakan diri dengan berhukum dengan al-Hadits dan al-Atsar; dan tatkala bid’ah dan hawa nafsu telah tersebar di zaman belakangan ini, mereka membedakan diri dengan petunjuk as-Salaf, dan demikianlah seterusnya…
الرابع : أن عقد الولاء و البراء و الموالاة و المعاداة لديهم هو على الإسلام لا على رسم باسم معيّن ، و لا على رسم مجرد إنما هو الكتاب و السنة فحسب
Keempat : Bahwasanya ikatan al-Wala’ (loyalitas) dan al-Baro` (disloyalitas) atau al-Muwalah (kecintaan/pembelaan) dan al-Mu’adah (permusuhan) pada mereka adalah berdasarkan di atas Islam, tidak berdasarkan atas sifat atau nama tertentu, ataupun atas sifat belaka yang kosong, namun sesungguhnya berdasarkan di atas al-Kitab dan as-Sunnah, maka perhatikanlah
الخامس : أن هذه الألقاب لم تكن داعية لهم للتعصب لشخص دون رسول الله صلى الله عليه و سلم …
Kelima : Bahwasanya sebutan-sebutan ini tidaklah menjadikan mereka menyeru kepada fanatisme kepada selain Rasulullah Shallallahu ’alaihi wa salam…
السادس : أن هذه الألقاب لا تفضي إلى بدعة و لا معصية و لا عصبية لشخص معيّن و لا لطائفة معيّنة … “
Keenam : Bahwasanya sebutan-sebutan ini, tidaklah menghantarkan kepada bid’ah, maksiat ataupun fanatisme terhadap figur tertentu atau kelompok tertentu… ” [selesai penukilan]
[Bersambung Insya Alloh Bagian 2]