POLIGAMI DIHUJAT (1)
POLIGAMI DIHUJAT
Jawaban rasional bagi para penghujat syariat dan sunnah para Nabi : Poligami
[Bagian 1]
Oleh : Abu Salma al-Atsari
Beberapa waktu lalu, penulis sempat singgah di toko buku Gramedia Basuki Rachmat Malang. Penulis sengaja datang ke toko buku ini untuk mencari informasi buku-buku terbaru, baik seputar masalah kesehatan, kedokteran, herbal maupun masalah keislaman.
Setelah berputar-putar melihat-lihat buku Agama di koridor rak buku khusus Islam –yang isinya bermacam-macam, mulai dari buku shufi, syi’i, aqlani (rasionalis), liberalis,dll- mata penulis tertuju pada sebuah buku yang judulnya sangat unik –namun menghujat-, yaitu “Poligami itu Selingkuh”, tulisan seorang psikolog yang saya ingat nama depannya adalah Dono…
Di cover depan ada gambar beberapa tokoh yang sedang ramai dibicarakan, diantaranya seorang da’i kondang yang pamornya sedang merosot saat ini ditimpa isu poligami, sedangkan di sisi lain ada gambar seorang tokoh sebuah partai besar yang terlibat skandal video mesum yang menyebar di ponsel.
Karena penasaran, akhirnya penulis pun membuka-buka buku tersebut untuk mengetahui apa isi buku tersebut. Setelah melihat sekilas isinya, tampak sekali bahwa penulisnya ini sangat anti dengan yang namanya poligami dan syariat Islam lainnya. Tidak jauh dari situ, juga ada buku-buku serupa yang banyak sekali, berbicara masalah poligami, mulai dari yang menghujat sampai yang membelanya.
Dari situ, penulis tergelitik untuk menuliskan sedikit komentar dan klarifikasi serta menyumbangkan secuil apa yang penulis fahami dan ketahui, dalam rangka untuk membela syariat Islam dan sunnah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Salam –bahkan sunnah para Nabi dan Rasul-.
Penulis di sini tidak akan banyak berbicara tentang sisi istidlal (penggalian dalil) dari al-Qur’an dan as-Sunnah ash-Shahihah (hadits yang valid/autentik) atapun penjelasan para ulama salaf dan kholaf. Karena buku-buku yang membicarakan hal ini sudah banyak, baik di buku-buku yang berbicara masalah fikih, pernikahan maupun masalah poligami secara khusus.
Sepengetahuan penulis –dari iklan majalah Nikah-, al-Ustadz Abu ‘Umar Basyir hafizhahullahu (staf ahli Majalah Nikah) memiliki buku yang membahas masalah ini secara khusus, yang berjudul “Poligami Anugerah Yang Terzhalimi”. Walaupun penulis belum mendapatkan buku ini dan belum membacanya, namun penulis menganjurkan kepada para pembaca untuk membacanya dan beristifadah (mengambil faidah) darinya dan juga buku-buku lainnya yang ditulis oleh para ulama dan penulis Islam yang lurus.
Mengapa Bicara Poligami
Poligami merupakan nizham (peraturan/syariat) di dalam Islam yang semenjak dahulu dijadikan sasaran bulan-bulanan oleh kaum orientalis dan kuffar untuk menghantam dan mencela agama Islam dan Rasulullah Shallalallahu ’alaihi wa Salam.
Bahkan semenjak zaman Rasulullah Shallallahu ’alaihi wa Salam, kaum kafir Yahudi sudah mulai menghembuskan celaan-celaan dan hujatan-hujatan kepada Nabi dan syariat Poligami ini. Diriwayatkan oleh ’Umar Maula (mantan budak) Ghufroh [dia berkata] :
قالت اليهود لما رأت الرسول يتزوج النساء: أنظروا إلى هذا الذي لا يشبع من الطعام، ولا والله ماله همة إلا النساء
”Orang Yahudi berkata ketika melihat Rasulullah menikahi wanita : Lihatlah orang yang tidak pernah kenyang dari makan ini, dan demi Alloh, ia tidaklah punya hasrat melainkan kepada para wanita.” [Thobaqot al-Kubra karya Ibnu Sa’ad, juz VIII hal. 233, melalui perantaraan Hamdi Syafiq, Zaujaat Laa Asyiiqoot at-Ta’addudi asy-Syar’i Dhorurotul Ashri].
Mereka -kaum Yahudi- mendengki kepada Rasulullah dan ketika mereka melihat Rasulullah berpoligami maka mereka jadikan hal ini sebagai sarana untuk menjatuhkan dan merendahkan beliau ’alaihi Sholatu wa Salam. Mereka menyebarkan kedustaan dengan berkata : ”Kalau seandainya Muhammad itu benar-benar seorang Nabi, niscaya ia tidak akan begitu berhasrat kepada wanita.” [ibid].
Diantara para pencela tersebut adalah seorang orientalis klasik yang bernama Ricoldo De Monte Croce (w. 1320 M) yang menulis buku “Contra Sectam Mahumeticam Libellius” (Menentang Gaya Hidup Sekte Muhammadanism), ia menyebut agama Islam sebagai Muhammadisme yaitu agama yang diciptakan oleh Muhammad Shallallahu ’alaihi wa Salam, selain itu dengan keji orang laknat ini menyebut Rasulullah sebagai setan antikristus yang amoral dan gila seks. Dia menuduh Rasulullah dengan tuduhan-tuduhan keji –semoga Alloh mengutuknya-. [Harmutz Bobzin, A Treasury of Heresies hal. 16]
Apa yang dipaparkan oleh De Monte Croce ini, diikuti oleh seorang reformis agama kristiani, pencipta aliran Protestanisme, Martin Luther yang menterjemah karya Ricoldo ke dalam bahasa Jerman. Ia memiliki pandangan yang sama dengan Ricoldo, menghina Islam dan Rasulullah dan menuduh beliau Shallallahu ‘alaihi wa Salam dengan tuduhan keji dan dusta. [ibid]
Mereka –semoga Alloh melaknatnya dan membinasakan mereka-, mencela Nabi yang mulia ’alaihi Sholatu wa Salam dengan celaan yang keji. Seakan-akan Rasulullah adalah manusia yang ’gila dengan wanita’ –wal’iyadzubillah-, dan tuduhan-tuduhan keji ini terus berlangsung secara estafet, hingga kepada para orientalis kuffar, yang akhirnya turut merasuk dan mengkontaminasi pemikiran sebagian kaum muslimin yang terpukau dengan hadharah (peradaban) barat yang buruk, mengungkit-ungkit syariat –bahkan menghujatnya- dan menganggap bahwa syariat Islam itu barbar dan tidak manusiawi (merendahkan kaum wanita). Allohul Musta’an.
Pemahaman ini pun dibawa dan dikumandangkan oleh para cendekiawan (baca : cendawan) muslim(?) yang menggembargemborkan madzhab bid’ah liberalisme, sosialisme islam, feminisme, dan isme isme lainnya yang merupakan produk impor dari sampah pemikiran (afkar/thought) dan peradaban (hadharah/civilitation) kaum herecies (kuffar), semisal Hasan Hanafi, Syed Hossen Nasr, Nasr Abou Zaed, Khaled Abou Fadl, Mohamed Arkoun, Fatima Mernissi, Amina Wadud, dan selain mereka dari kaum zanadiqoh, para pengagum kesesatan dan bid’ah.
Penulis katakan, apabila ada orang yang mencela poligami, maka pada hakikatnya ia mencela syariat Islam itu sendiri, bahkan ia mencela sang Pembuat Syariat, Alloh Azza wa Jalla Sang Pencipta : yang menciptakan alam semesta dan makhluk-Nya secara berpasang-pasangan, yang menurunkan syariat poligami (poligini) bagi hamba-hamba-Nya dan Dia Maha Mengetahui atas kebaikan bagi makhluk-makhluk-Nya, sedangkan makhluk-Nya tidak memiliki pengetahuan melainkan hanya sedikit saja yang tidak lebih dari setetes air di samudera. Akan tetapi kebanyakan manusia itu sombong dan membangkang, mereka lebih mengagungkan akalnya ketimbang mengagungkan Alloh dan syariat-Nya, apa yang menurut mereka buruk maka mereka anggap buruk, padahal betapa sering terjadi apa yang mereka anggap buruk ternyata baik di sisi Alloh, dan apa yang mereka anggap baik ternyata buruk di sisi Alloh, dan Alloh adalah lebih mengetahui daripada mereka…
Para Nabi dan Rasul Melakukan Poligami
Orang yang mengatakan bahwa poligami itu sama dengan selingkuh, maka secara tidak langsung ia menuduh bahwa Rasulullah Shallallahu ’alaihi wa Salam itu juga selingkuh, bahkan para nabi dan rasul juga selingkuh. Nabi-nabi yang diakui oleh umat Yahudi dan Kristiani, dan termaktub di dalam kitab suci mereka –walau telah ditahrif / diubah-ubah- juga melakukan poligami. Nabi Ibrahim (Abraham) ’alaihi Salam, memiliki beberapa orang isteri, diantaranya adalah : Sarah (Sara) yang melahirkan Ishaq (Isaac) –kakek buyut bangsa Israil- dan Hajar (Hagar) yang melahirkan Ismail (Ishmael) –kakek buyut bangsa Arab- ’alaihimus Salam.
Nabi Ya’qub (Jacob) ’alaihi Salam dikisahkan juga memiliki dua orang isteri kakak adik puteri dari saudara ibunya, yang bernama Lia (Liya) dan Rahil (Rachel) [catatan : mengumpulkan dua orang saudara (adik kakak) dalam satu pernikahan dahulu diperbolehkan lalu dilarang pada zaman Rasulullah oleh al-Qur’an]. Demikian pula dengan Nabi Dawud (David) dan puteranya Nabi Sulaiman (Solomon) ’alaihima Salam yang memiliki banyak isteri dan budak wanita.
Lantas, apakah mereka semua ini dikatakan telah melakukan selingkuh, manusia yang ’gila wanita’, hipersex, atau tuduhan-tuduhan keji lainnya? Na’udzu billahi min dzaalik. Semua umat beragama pasti faham dan yakin, bahwa para Nabi itu ma’shum (infallible/terjaga dari dosa) dan menuduh keburukan pada salah satu Nabi berimplikasi pada kekafiran… Tidakkah mereka juga mengetahui bahwa Nabi Dawud itu adalah seorang Nabi yang paling banyak beribadah kepada Alloh, bahkan beliau adalah orang yang paling sering melaksanakan puasa. Beliau berpuasa sehari dan berbuka sehari dan sunnah ini pun akhirnya dikenal di dalam Islam dengan mana Puasa Dawud. Apakah mungkin orang yang sibuk dengan ibadah dan banyak puasanya dikatakan sebagai manusia ’haus seks’ –wal’iyadzubillah-? Bahkan bisa jadi orang-orang yang menghujat itulah yang sebenarnya haus seks sehingga ia menuduh untuk menyembunyikan sifat buruknya ini.
Umat Terdahulu Juga Melakukan Poligami
Poligami bukan merupakan praktek yang dikenalkan oleh Islam pertama kali. Namun poligami merupakan praktek yang telah berlangsung semenjak zaman dahulu, setua dengan tuanya usia peradaban manusia.
Hamdi Syafiq mengatakan :
It is not Islam that has ushered in polygamy. As historically confirmed, polygamy has been known since ancient times a phenomenon as old as mankind itself With polygamy having been a commonplace practice since Paranoiac times
”Islam bukanlah yang pertama kali memperkenalkan poligami. Secara historis ditetapkan bahwa poligami telah dikenal semenjak masa lalu, sebuah fenomena yang usianya setua manusia itu sendiri dimana poligami telah menjadi sebuah praktek yang lazim semenjak masa Paranoiak” [Hamdi Syafiq, Wives Rather Than Mistress].
Hamdi Syafiq melaporkan bahwa, Ramses II, Raja Fir’aun yang terkenal (berkuasa 1292-1225 SM) memiliki 8 orang isteri dan memiliki banyak selir dan budak wanita yang memberikannya 150 putra dan putri. Dinding biara pemujaan merupakan bukti sejarah terkuat, dimana tercantum nama-nama isteri, selir dan anak-anak dari tiap wanita tersebut. Ratu cantik Neferteri merupakan isteri termasyhur Ramses II, yang terkenal berikutnya adalah Ratu Asiyanefer atau Isisnefer yang melahirkan puteranya, Raja Merenbatah, yang naik tahta setelah ayah dan kakaknya mangkat.
Poligami juga sudah lazim dilakukan oleh masyarakat negeri Slavia yang sekarang menjadi Rusia, Serbia, Cechnia dan Slovakia, juga lazim dilakukan oleh penduduk negeri Lituania, Estonia, Macedonia, Rumania dan Bulgaria. Jerman dan Sakson, yang merupakan dua ras utama mayoritas populasi di Jerman, Austria, Switzerland, Belgia, Belanda, Denmar, Swedia, Nirwagia dan Inggris, juga merupakan negeri yang melakukan praktek poligami secara meluas. Masyarakat paganis (watsaniy) di Afrika, India, Cina, Jepang dan asia tenggara juga banyak melakukan poligami. [ibid]
Gereja Dan Masyarakat Kristiani Zaman Dulu Mengenal Poligami
DR. Muhammad Fu’ad al-Hasyimi, mantan pemeluk kristiani yang akhirnya masuk Islam, di dalam bukunya ”Religions on The Scales” (hal. 109) berkata :
the Church as having recognized polygamy up to the 17th century. None of the four gospels is known to have explicitly barred polygamy. It so happened that some European peoples, dictated only by non polygamy pagan traditions, barred the practice of keeping more than one wife. When that anti polygamy minority converted to Christianity, it clamped the traditional polygamy ban down on the rest of Christians. As time passed by, Christianity was increasingly, falsely though, believed to have essentially barred polygamy. It is only an old tradition clamped by some down on the others throughout ages.
“Gereja telah mengenal praktek poligami sampai abad ke-17. Tidak ada satupun dari injil yang empat diketahui adanya larangan yang secara jelas melarang poligami. Perubahan terjadi ketika orang-orang Eropa yang bertaklid kepada tradisi non poligami kaum paganis (hanya beberapa kalangan saja yang diketahui melarang poligami, karena mayoritas masyarakat Eropa –sebagaimana disebutkan sebelumnya- mempraktekan poligami secara luas, pen). Ketika kaum minoritas anti poligami itu masuk agama kristen, tradisi mereka menggeser tradisi poligami dan mereka memaksakan (tradisi ini) bagi penganut kristen lainnya. Seiring berlalunya waktu, kaum kristiani mengira bahwa larangan poligami itu merupakan esensi ajaran kristen, padahal hal ini berangkat dari sikap taklid kepada para pendahulu mereka, yang sebagian orang (non poligamis) memaksakannya kepada lainnya (tradisinya) dan akhirnya terus berlangsung selama bertahun-tahun…” [M.F. Al-Hasyimi, Religions on The Scales hal. 109]
Bahkan, kami bernani menantang kaum Kristiani untuk menunjukkan satu buah ayat saja dari “Kitab Suci” (?!) mereka yang menunjukkan bahwa poligami itu terlarang. Jika mereka mau bersikap obyektif, bukankah kitab “Perjanjian Lama” yang diklaim sebagai Taurat (Torah), membatalkan klaim mereka yang menolak poligami?! Karena kitab “Perjanjian Lama” ini secara eksplisit menunjukkan akan adanya praktek poligami di kalangan para Nabi dan Rasul, mulai dari Prophet Abraham “the Friend of Allah” (Nabi Ibrahim Khalilullah), Isaac (Ishaq), Jacob (Ya’qub), David (Dawud) dan Solomon (Sulaiman) ‘alaihimus Salam yang kesemuanya diklaim sebagai Rasul bagi kalangan Bani Israil. [ibid, dengan sedikit perubahan redaksi]
Islam Datang Membatasi Praktek Poligami Hanya Empat Isteri
Ketika Islam datang dibawa oleh Rasulullah al-Amin, untuk menyampaikan Rahmat bagi alam semesta, maka Islam tidak melarang poligami dengan begitu saja dan tidak pula membiarkan poligami secara bebas. Islam datang dan membatasi poligami maksimal hanya 4 isteri saja. Zaman pra Islam telah mengenal poligami, bahkan poligami bukanlah suatu hal yang asing dimana ada seorang lelaki beristiri puluhan bahkan ratusan wanita.
Datangnya Islam, membawa Rahmat bagi semesta alam (Rahmatan lil ’Alamin). Selain membatasi poligami, Islam juga menjelaskan persyaratan-persyaratan dan kriteria dianjurkannya berpoligami yang sebelumnya tidak ada. Masalah ini akan dibicarakan setelahnya –insya Alloh-.
Diriwayatkan oleh Imam Bukhari rahimahullahu dengan sanadnya bahwa Ghaylan ats-Tsaqofi masuk Islam sedangkan dirinya memiliki 10 orang isteri. Maka Nabi Shallallahu ’alaihi wa Salam bersabda kepada beliau :
(( أختر منهن أربعا ))
”Pilihlah empat orang saja dari isteri-isterimu.”
Diriwayatkan oleh Imam Abu Dawud rahimahullahu degan sanadnya bahwasanya ’Umairoh al-Asadi berkata :
أسلمت وعندي ثماني نسوة ، فذكرت ذلك للنبي فقال : (( أختر منهن أربعا ))
”Aku masuk Islam dan aku memiliki 8 orang isteri, lalu aku sampaikan hal ini kepada Nabi dan beliau pun bersabda : ”pilihlah empat diantara mereka”.”
Demikianlah, mereka melakukannya sebagai pengejawantahan Firman Alloh Azza wa Jalla :
وإن خفتم ألا تقسطوا في اليتامى فانكحوا ما طاب لكم من النساء مثنى وثلاث ورباع
”Apabila kamu takut tidak dapat berbuat adil terhadap anak yatim (yang hendak kamu nikahi), maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi : dua, tiga atau empat…” (QS an-Nisaa` : 3)
Sembilan Isteri Hanya Khusus Bagi Nabi
Ayat 3 Surat an-Nisaa` di atas merupakan dalil yang terang dan tegas akan batasan jumlah isteri. Demikian pula dengan beberapa riwayat hadits di atas, dimana Rasulullah memerintahkan para sahabatnya yang baru masuk Islam sedangkan mereka memiliki isteri lebih dari empat supaya menceraikan selebihnya.
Adapun 9 isteri yang dimiliki oleh Rasulullah Shallallahu ’alaihi wa Salam, maka ini adalah kekhususan yang dimiliki oleh beliau dan tidak dimiliki oleh selain beliau, sedangkan beliau berbeda dengan manusia lainnya, karena beliau adalah orang yang ma’shum dan terpelihara dari kesalahan. Kekhususan beliau ini banyak, diantaranya adalah beliau Shallallahu ’alaihi wa Salam dan keluarga beliau tidak boleh menerima zakat…
Adapun yang diklaim oleh Syiah Rafidhah dan aliran sekte sesat lainnya yang menyatakan bahwa, penafsiran ayat di atas (QS 4:3) adalah : nikahilah dua atau tiga atau empat maksudnya dua + tiga + empat = sembilan, maka ini adalah penafsiran yang menyimpang dan menyeleweng dari Islam. Islam membatasi hanya 4 isteri dan ini adalah kesepakatan ulama Islam semenjak dahulu maupun sekarang.
Hanya Islam Yang Menyatakan ”(maka nikahilah) satu saja” dan Mensyaratkan Untuk Berlaku Adil Terhadap Isteri-Isteri
Alloh Ta’ala berfirman :
وإن خفتم ألا تقسطوا في اليتامى فانكحوا ما طاب لكم من النساء مثنى وثلاث ورباع فإن خفتم إلا تعدلوا فواحدة أو ما ملكت أيمانكم ذلك أدنى ألا تعولوا
”Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yang yatim (bilamana kamu mengawininya), Maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi : dua, tiga atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, Maka (kawinilah) seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki. yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya.” (QS an-Nisaa’ : 3)
Dari Surat an-Nisaa` di atas, Al-Qur’an memerintahkan untuk berbuat adil dan apabila tidak mampu berbuat adil (dalam hal nafkah, baik nafkah lahiriyah dan batiniyah), maka Alloh memerintahkan untuk menikahi seorang wanita saja, agar tidak terjatuh kepada perbuatan aniaya dan kezhaliman. Syariat yang mulia ini menunjukkan bahwa poligami bukanlah syariat yang merupakan kewajiban yang harus dilakukan begitu saja. Namun poligami memiliki syarat-syarat dan kriteria yang harus dipenuhi –yang akan disebutkan pada risalah berikutnya insya Alloh-.
Berbeda dengan syariat kaum terdahulu, mereka dapat melakukan poligami bebas berapa saja mereka mau. Mereka pun dapat menikahi wanita-wanita walaupun mereka tidak bisa bersikap adil baik di dalam nafkah maupun lainnya. Mereka menganggap bahwa kaum wanita bagaikan hewan yang rendah, yang status mereka di bawah kaum lelaki dan dianggap sebagai makhluk inferior.
Bersambung –Insya Alloh-
Assalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh,
Sekedar membagi informasi. Beberapa waktu yang lalu saya sempat menyaksikan diskusi para tokoh politik di Jepang yang membahas gejala penurunan jumlah anak di Jepang. Menurut mereka, salah satu solusinya adalah dengan membuka kesempatan untuk menikahi lebih dari 1 istri yang bahkan mereka berkata bahwa ini akan menyokong peningkatan semangat kerja si suami tersebut karena harus menghidupi keluarganya.
Ketika ana ceritakan ini ke ustadz Abdul Hakim bin Amir Abdat yang kebetulan datang, beliau berkata: Masya’Allah, ketika orang-orang kita menghujat poligami, orang-orang kafir malah memandang kembali tentangnya. Islam adalah fitroh, dan apa yang diajarkan Islam adalah fitroh manusia.
betulkah?…
assalamu’alaikum
kira2 ustadz ada niat untuk poligami ga nih ??
SubhanALLAH..hanya menambahkan…
untuk para lelaki, jgn jadikan ayat2 dan Al Quran sUpaya bisa poligami SEENAKNNYA y..poligami punya syarat dan aturan khusus dan itu berat loh klo gak bisa brtanggung jwb,gak adil dikit aja, urusannya dunia akherat…(ngerti kan)
trus juga untuk para akhwat yg menolak poligami, sebaiknya, jgn menggunakan kata menolak/gak mau, karena ditakutkan dari kata2tsb dpt menyebabkan kekufuran,seperti diriwayatkan Nabi bahwa beliau bersabda,seluruh umatku akan masuk surga, kecuali yg gak mau, lalu sahabat bertanya, memangnya ada yg gak mau?lalu di jawab,orang yg tidak mau mengikuti sunah2&ajaran2ku(kurang lebihnya seperti itu).
nah seperti yg kita ketahui,poligami itu firman ALLAH SWT dan sunah Rasul, klo kita menolak poligami, otomatis kita menolak ajaran Rasul donk??bukan umat nabi berarti,kufur.iya nggak??saran saya, jgn menolak, tapi bilanglah dgn kalimat yg baik2dan santun, seperti “saya blum siap”/ apalah itu..”mulut adalah pedang”,bisa bahaya jika salah digunakan, tapi bisa baik jika tepat sasaran.jika menurutkita gbaik, belum tentu dimata ALLAH gak baik juga..so husnudzon aja okeh…Wallahu a’lam bis sa’wab.
Assalamu’alaikum WrWb.
Tulisan yg sangat bagus Bro… Tulisan semacam inilah yg sejak lama saya harapkan dapat tampil ke permukaan; perpaduan harmonis antara ilmu, tsaqafah, ‘aql dan naql. Mudah2an dapat dipertahankan dan terus ditingkatkan. Barakallahu fikum…
Poligami Anugerah Yang Terzhalimi
Kalau tidak salah, ini judul cover majalah Nikah, bukan judul buku.
Tapi -wallahu a’lam- kalau ustad Abu Umar menulisnya dalam sebuah buku.
(Untuk al-Ustadz Abu Salma, jika memungkinkan, harap komentar ini digabungkan menjadi komentar sebelumnya sehingga menjadi 1 komentar)
Berikut ini ada yang ingin saya diskusikan dan tanyakan, mungkin lebih ditujukan kepada karib saya, al-Ustadz Andi Abu Thalib.
Seingat saya, Syaikh Ibn al-‘Utsaimin dalam Syarh al-Mumti’ menyebutkan perbedaan pendapat tentang al-ashl fin nikah (hukum asal terkait pernikahan), apakah monogami ataukah poligami. Beliau sendiri lebih me-rajih-kan monogami (meskipun tentunya dg tidak mengingkari pembolehan poligami). Artinya, yg sunnah dan afdhal adalah monogami, sekiranya tidak didapati alasan untuk menjadikan poligami lebih afdhal.
Terkait dengan masalah poligami, tadi statement al-Ustadz menyebutkan bahwa apa yg diajarkan Islam (dhi. dipahami bahwa maksudnya: poligami) adalah fithrah. Jika mengacu pada tarjih Syaikh Ibn al-‘Utsaimin di atas, dapatkah kiranya dikatakan bahwa poligami adalah fithrah? Kemudian, apakah fithrah yg dimakudkan berlaku secara umum? Hal ini mengingat dapat dikatakan bahwa pada umumnya menginginkan agar suaminya tidak menikah lagi.
Selanjutnya, apakah menyebutkan bagian tertentu dari aturan syariat (seperti poligami) sebagai fithrah itu tidak membutuhkan dalil yg lebih spesifik? Telah kita ketahui bersama bahwa secara umum seorang Mukmin meyakini Islam sejalan dg fithrah, dan banyak dalil yg menyatakan hal itu. Namun, dapatkah kemudian kita katakan bahwa shalat lima waktu itu fithrah, zakat itu fithrah, jihad itu fithrah, dst?
Kita dapat katakan khitan itu fithrah, misalnya, karena ada dalil spesifik yg menyebutkan hal itu. Nah, utk case di atas gimana?
Tentunya saya pun bukan termasuk yg berdiri dalam penentang poligami, bahkan termasuk pendukung… ^_^ dan sedang menunggu untuk dapat jadi pelaksana, entah kapan… ^_^
yah,…… sedih deh,…
@Adni Abu Faris an-Nuri
Bisakah antum Syaikh Ibn al-’Utsaimin bahwa beliau sendiri lebih me-rajih-kan monogami. Apa dasar-dasar yang me-rajih-kan monogami. Bukankah sebaliknya?
Rasulullah saw bersabda:
“Wahai para pemuda! Barang siapa diantara kalian yang telah mampu, maka menikahlah, karena demikian (nikah) itu lebih menundukkan pandangan dan menjaga kemaluan. Barang siapa yang belum mampu, maka berpuasalah, karena puasa akan menjadi perisai baginya“.[HR. Al-Bukhoriy (4778), dan Muslim (1400), Abu Dawud (2046), An-Nasa’iy (2246)]
Terkait dengan hadits di atas, Syaikh Bin Baz mengatakan bahwa hadits di atas tidak hanya ditujukan bagi pemuda yang belum menikah saja, akan tetapi kepada pemuda secara umum. Jika ia belum menikah maka menikahlah, jika sudah menikah satu kali, maka menikahlah untuk yang ke-2, jika sudah yang ke-2 maka yang ke-3 dst.
Dan juga di dalam shahih bukhori hadits no 4823
Dari Sa’id bin Jubair ra, katanya: “Telah berkata Ibnu Abbas kepadaku: “Apakah engkau sudah kawin?” Saya menjawab: “Belum”. Ibnu Abbas berkata: “Kawinlah, karena sesungguhnya sebaik-baik ummat ini adalah yang paling banyak istrinya.”
Maka dari mana pendapat yang merajihkan monogami?
Bisakah antum membuktikan dan menjelaskan sehingga antum berpendapat Syaikh Ibn al-’Utsaimin bahwa beliau sendiri lebih me-rajih-kan monogami. Apa dasar-dasar yang me-rajih-kan monogami. Bukankah sebaliknya?
~ paragraph ini mohon digunakan untuk mengedit paragah yang pertama dari comment ana yang sebelumnya?