Puasa Sunnah Hari Sabtu (5) : Ta'qib Terakhir

 Mar, 05 - 2007   no comments

ملحق

الرد على تعقيب أبي اسحاق حول مسألة صيام يوم السبت في غير الفرض

MULHAQ (TAMBAHAN)

TANGGAPAN TERHADAP “SANGGAHAN SINGKAT BAGI ABU SALMA DAN ABU AL-JAUZAA’ MENGENAI HUKUM PUASA HARI SABTU” OLEH ABU ISHAQ AS-SUNDAWI

 

(Bagian 5 – Terakhir)

 

 

Tanggapan 6 : Qiyas Dengan Tasmiyah Ketika Wudhu’

Al-Akh Al-Ustadz Abu Ishaq berkata :

Pernah mendengar hadits:

لا صلاة لمن لا وضؤ له ولا وضؤ لمن لم يذكر اسم الله عليه

Tidak ada sholat jika tanpa wudhu, dan tidak ada wudhu jika tanpa mengucapkan bismillah”?

Ditinjau dari sisi sanadnya, hadits ini juga ‘penuh masalah’ seperti halnya hadits Abdullah bin Busr yang ‘penuh masalah.’

Analogi dengan kasus puasa hari sabtu, apakah kita akan berpegang pada zhahir hadits ini bahwa kalau tidak baca bismillah maka tidak sah wudhu? Adakah ulama yang berpendapat demikian?

Bukankah mereka yang menerima keabsahan hadits ini tidak ada yang semata bersandar pada zhahir lafazh yang begitu tegas dan lugasnya selugas redaksi hadits Ibnu Busr, bahkan jauh lebih lugas dan berpendapat bahwa basmalah merupakan syarat sahanya wudhu seperti halnya wudhu merupakan syarat shanya sholat? Bukankah para ulama sedari dulu hingga kini hanya mengatakan bahwa basmalah sebelum wudhu itu hanya mustahab saja? Bukankah mereka yang berpendapat haramnya puasa hari sabtu dengan berpegang pada zhahir hadits pun hanya mengatakan bahwa basmalah itu wajib –dan ini juga tidak tepat-, serta tidak menghukumi sebagai syarat sah wudhu’? (periksa Tamamul Minnah hlm. 89).

Akankah kita gunakan semua argument pihak yang mengatakan haram puasa sunnah hari sabtu pada masalah pengucapan bismillah sebelum wudhu’?! Zhahir hadits ini mengharuskan posisi basmalah terhadap wudhu sama dengan posisi wudhu terhadap sholat, dengan dalil adanya wawu yang merupakan dilalah iqtiran. Falyatafadhdhol untuk mendatangkan qaul ulama mana di mana yang mengatakan bahwa basmalah merupakat syarat shah wudhu. “

 

Jawaban :

Qiyas yang dihadapkan oleh al-Akh al-Ustadz Abu Ishaq dalam hal ini –insya Allohakan menjadi hujjah lana (yang memperkuat argumen kami) dan hujjah ‘alahi (yang melemahkan pendapat beliau). Saya katakan, dalam masalah tasmiyah (mengucapkan basmalah) ketika akan wudhu’ ini, para ulama salaf dan kholaf berbeda pendapat di dalamnya. Untuk itu mari kita telaah pandangan para ulama tentangnya. Hal ini sekaligus dalil yang akan mematahkan klaim al-Akh Abu Ishaq yang mengatakan “Bukankah para ulama sedari dulu hingga kini hanya mengatakan bahwa basmalah sebelum wudhu itu hanya mustahab saja”, padahal apabila kita menelaah uraian para ulama, maka akan jelaslah bahwa para ulama sedari dulu ada yang menyatakan wajibnya tasmiyah ketika akan wudhu’ bahkan menganggap wudhu’ tanpa tasmiyah tidak sah. Insya Alloh akan saya turunkan sebagian penjelasannya.

Dikarenakan al-Akh Abu Ishaq menyarankan untuk memeriksa Tamamul Minnah, maka kita telaah dulu Tamamul Minnah dan Fiqhus Sunnah lalu kita lanjutkan dengan kitab-kitab fikih para ulama lainnya di dalam masalah ini.

Syaikh Sayyid Sabiq rahimahullahu memasukkan tasmiyah sebagai sunnah-sunnah di dalam wudhu’, beliau berkata di dalam Fiqhus Sunnah, bab al-Wudhu’, pada pembahasan Sunanul Wudhu’ (hal. 34) sebagai berikut :

Sunanul Wudhu’ yaitu yang telah tsabat dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Salam dari ucapan dan perkataan beliau yang tidak harus (dikerjakan) dan tidak diingkari orang yang meninggalkannya. Penjelasannya adalah sebagai berikut : (1) Tasmiyah (mengucap basmalah) pada permulaan wudhu’. Hadits-hadits yang datang di dalam tasmiyah ketika wudhu’ adalah hadits-hadits yang dha’if, namun penghimpunan (banyaknya hadits tentang hal ini) menambah kekuatannya yang menunjukkan bahwa hal ini memiliki asal…” [lihat Fiqhus Sunnah, hal. 34].

Imam al-Albani rahimahullahu di dalam Tamamul Minnah mengomentari sebagai berikut :

Aku (Syaikh al-Albani) berkata : Lebih kuat lagi adalah hadits yang datang dari Abu Hurairoh secara marfu’ dengan lafazh لا صلاة لمن لا وضؤ له ولا وضؤ لمن لم يذكر اسم الله عليه (yang artinya) “Tidak ada sholat bagi orang yang tidak berwudhu’ dan tidak ada wudhu’ bagi orang yang belum menyebut nama Alloh.” (Shohih Sunan Abi Dawud no. 90). Apabila penulis (yaitu Syaikh Sayyid Sabiq, pent.) mengakui bahwa hadits ini qowiy (kuat), maka seharusnya beliau berpendapat dengan apa yang ditunjukkan oleh zhahir hadits, yaitu wajibnya tasmiyah, sedangkan tidak ada dalil yang dapat menetapkan untuk keluar dari zhahir-nya dimana perintah di dalamnya dibawa kepada istihbab (sunnah) saja. Telah tsabat akan kewajibannya dan ini merupakan madzhab Zhahiriyah, Ishaq dan salah satu riwayat dari Ahmad. Shiddiq Khan dan Syaukani lebih memilih pendapat ini (yang mewajibkan tasmiyah, pent.) dan pendapat inilah yang benar insya Alloh Ta’ala. Rujuklah Sailul Jarar (I/766-77) [karya Imam Syaukani, pent.]” (Lihat Tamamul Minnah, hal. 89).

Bagi yang memperhatikan ucapan Imam al-Albani rahimahullahu di atas, jelaslah bahwa telah ada ulama dari salaf dan kholaf yang berpendapat akan wajibnya tasmiyah ketika wudhu’. Dan ini adalah konsekuensi dari zhahir hadits Abu Hurairoh di atas, dan barangsiapa yang menganggapnya shahih, maka wajib mengamalkannya dan memahami sebagaimana zhahirnya, kecuali apabila ada qorinah yang memalingkannya sedangkan qorinah ini tidak ada.

Sebenarnya satu nukilan dari Imam al-Albani ini telah cukup untuk mematahkan klaim al-Akh al-Ustadz Abu Ishaq hafizhahullahu. Dan pernyataan beliau pada akhir kalimatnya sangat benar, yaitu “Zhahir hadits ini mengharuskan posisi basmalah terhadap wudhu sama dengan posisi wudhu terhadap sholat, dengan dalil adanya wawu yang merupakan dilalah iqtiran.” Dengan demikian, barangsiapa yang tidak bertasmiyah ketika wudhu’ maka wudhu’nya tidak sah. Demikian ini pembahasannya lebih jauh…

Al-‘Allamah Alu Bassam rahimahullahu berkata di dalam Taudhihul Ahkam ketika mensyarah hadits Abu Hurairoh yang terdapat di dalam Bulughul Marom (hadits no. 18 dalam bab Wudhu’ ini) :

Derajat hadits ini adalah hadits dha’if namun ada jalan-jalan lainnya yang menguatkannya. Berkata al-Hafizh di dalam at-Talkhish : “Ahmad berkata : “tidak ada di dalamnya syariat yang tetap dan semua yang diriwayatkan di dalam bab ini (tasmiyah) tidaklah kuat.” Al-‘Uqoili berkata : “Sanad-sanad hadits di dalam bab ini di dalamnya terdapat kelemahan (layyin)”. Ahmad berkata ketika ditanya tentang tasmiyah : “Aku tidak tahu di dalam hal ini ada hadits yang shahih.” Abu Hatim dan Abu Zur’ah berkata : “Sesungguhnya hadits ini tidak shahih.” Kemudian Ibnu Hajar berkata : “Yang tampak, pengumpulan hadits-haditsnya dapat menguatkannya dan menunjukkan bahwa hal ini ada asalnya.” Asy-Syaukani berkata : “tidak ragu lagi, bahwa banyaknya jalan-jalan periwayatan hadits ini dapat menjadikannya untuk berhujjah, dan telah menghasankannya Ibnu Sholah dan Ibnu Katsir.” (Syaikh Alu Bassam berkata) Dan diantara yang menshahihkan hadits ini adalah : Al-Mundziri, Ibnul Qoyyim, Ash-Shon’ani, Syaukani dan Ahmad Syakir.” (lihat Taudhihul Ahkam hal. 227)

Kemudian Syaikh Alu Bassam rahimahullahu menjelaskan beberapa faidah yang dapat dipetik dari hadits ini sebagai berikut :

  1. Wajibnya mengucapkan bismillah di permulaan wudhu’.

  2. Zhahir hadits ini menafikan sahnya wudhu’ bagi yang tidak mengucapkan basmalah.

  3. Hadits ini dengan banyaknya jalannya maka shalih untuk dijadikan hujjah, oleh karena itu para fuqoha’ dari madzhab kami mewajibkan tasmiyah ketika wudhu’ apaila ia ingat dan tidak wajib (mengulang) apabila ia lupa.

(Lihat Taudhihul Ahkam hal 228).

Imam Muhammad bin ‘Ali asy-Syaukani adalah diantara para ulama yang tegas-tegas menyebutkan akan wajibnya tasmiyah, beliau berkata di dalam as-Daroriy al-Mudhiyyah Syarh ad-Durorul Bahiyyah (matan dan syarh oleh Imam Syaukani), Bab Ahkamil Wudhu’ (hal. 40-42) :

Matannya berbunyi :

يجب على كل مكلف أن يسمي إذا ذكر ويتمضمض ويستنشق

Wajib atas setiap mukallaf (ketika berwudhu’, pent.) untuk bertasmiyah apabila ia ingat, berkumur dan beristinsyaq…”

Di dalam mensyarh ini, Imam asy-Syaukani rahimahullahu berkata :

Aku berkata: adapun wajibnya tasmiyah, maka sisi (pendalilannya) adalah hadits yang datang dari Abu Hurairoh radhiyallahu ‘anhu dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Salam bahwasanya beliau bersabda : “Tidak ada sholat bagi orang yang tidak berwudhu’ dan tidak ada wudhu’ bagi orang yang belum menyebut nama Alloh”, dikeluarkan oleh Ahmad, Abu Dawud, Ibnu Majah, at-Turmudzi di dalam al-‘Ilal, Baihaqi, Ibnu Sakkan dan al-Hakim, dan tidak ada di dalam sanadnya yang dapat menjatuhkannya dari tingkatan i’tibar (diterima), hadits ini juga punya jalan-jalan lainnya dari hadits Abu Hurairoh yang dikeluarkan Daruquthni dan Baihaqi, dan dikeluarkan pula yang serupa oleh Ahmad dan Ibnu Majah dari Sa’id bin Zaid dan dari hadits Abu Sa’id. Yang lainnya mengeluarkan yang serupa dari hadits Aisyah, Sahl bin Sa’d, Abu Sabroh, ‘Ali dan Anas.

Tidak disangsikan dan diragukan lagi bahwa hadits ini dapat terangkat sehingga menjadi dapat berhujjah dengannya, bahkan dengan hadits pertama saja sudah cukup untuk dijadikan hujjah karena derajatnya yang hasan, lantas bagaimana lagi jika banyak hadits-hadits lainnya yang warid dalam makna yang sama? Dengan demikian tidaklah perlu lagi memperpanjang takhrijnya dan pendapat tentangnya telah ma’ruf. Hadits ini telah menerangkan dengan gamblang penafian wudhu’ bagi orang yang tidak mengucapkan basmalah, dan dengan demikian hadits ini membuahkan faidah syarat yang mengharuskan ketiadaannya (tasmiyah) meniadakan (wudhu’) dikarenakan sifatnya yang wajib, maka sesungguhnya inilah yang paling sedikit dapat dipetik faidahnya dari hadits ini.

Adapun mentaqyid (membatasi) wajibnya tasmiyah hanya pada saat ingat adalah implikasi dari jama’ hadits ini dengan hadits “barangsiapa yang berwudhu’ dan menyebut basmalah maka ia sebagai pensuci seluruh tubuhnya, dan barangsiapa berwudhu’ dan tidak menyebut basmalah maka ia sebagai pensuci anggota tubuh yang dibasuh dengan wudhu’ saja.” Dikeluarkan oleh Daruquthni dan Baihaqi dari Ibnu ‘Umar, namun di dalam sanadnya ada perawi yang matruk, dikeluarkan oleh Baihaqi dari hadits Ibnu Mas’ud dan di dalamnya juga ada perawi yang matruk, Meriwayatkan pula Daruquthni dan Baihaqi dari hadits Abu Hurairoh namun di dalamnya ada dua kelemahan… “ (Lihat as-Daroriy al-Mudhiyyah hal. 40-42).

Di dalam Subulus Salam Syarh Bulughul Marom (jilid 1, Babul Wudhu’, hadits no.18-19), Al-Imam Muhammad Isma’il al-Amir ash-Shon’ani rahimahullahu setelah menjelaskan status hadits tasmiyah dari nukilan para ulama beserta jalan-jalan hadits lainnya, beliau berkata : “Di dalam banyaknya ucapan-ucapan (pendapat dalam masalah ini), hanya saja riwayat-riwayat ini saling menguatkan sebagian dengan sebagian lainnya sehingga tetap menjadikannya kuat, oleh karena itulah Ibnu Abi Syaibah mengatakan : “telah tsabat bagi kami bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Salam benar-benar menyabdakannya.” Apabila anda telah mengetahui hal ini, maka hadits ini menunjukkan akan disyariatkannya tasmiyah ketika berwudhu’. Zhahir sabda Nabi : “Laa Wudhu’a” berarti tidak sah dan (dianggap) tidak berwudhu’ tanpa (ucapan) basmalah karena asal di dalam nafi (peniadaan) adalah hakikatnya.” (Lihat Subulus Salam hal 52).

Syaikh Fahd bin ‘Abdurrahman asy-Syuwayib dalam Shifatu Wudhu’in Nabiy Shallallahu ‘alaihi wa Salam (hal. 17-18) di dalam mensifatkan sifat wudhu’ Nabi menyebutkan tasmiyah setelah niat, beliau berkata : “Dari Abu Hurairoh Radhiyallahu ‘anhu berkata : Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Salam bersabda : Tidak ada wudhu’ bagi orang yang tidak mengucapkan basmalah.” Dikeluarkan oleh Ibnu Majah no 399, Turmudzi no 26, Abu Dawud no. 101 dan selainnya. Berkata Syaikh al-Albani : “Hadits Shahih” di dalam Shahihul Jami’ (no. 7444). Imam Ahmad berpendapat di dalam salah satu dari dua pendapatnya bahwasanya tasmiyah ini wajib di dalam segala hal, baik wudhu’, mandi dan tayamum. Dan ini merupakan pendapat yang dipilih oleh Abu Bakr dan Madzhab Hasan serta Ishaq. Hal ini disebutkan oleh penulis al-Mughni (I/84) dan menyebutkan dalilnya hadits yang terdahulu. Ibnu Qudamah berkata : “Apabila kita berpendapat dengan wajibnya tasmiyah maka meninggalkannya secara sengaja menyebabkan thoharoh-nya tidak sah, karena meninggalkan yang wajib di dalam thoharoh serupa dengan meninggalkan niat. Namun apabila ia meninggalkannya karena lupa maka thoharohnya tetap sah (sebagaimana di dalam referensi yang telah lewat) dan inilah yang kami rajih-kan. Adapun Ibnu Taimiyah rahimahullahu, beliau berpendapat akan kewajibannya apabila haditsnya itu shahih sebagaimana yang terdapat di dalam kitabnya al-Iman, dan hadits ini adalah hadits yang shahih maka menjadilah pendapat beliau rahimahullahu mewajibkannya.

Di dalam Shahihain dari Anas Radhiyallahu ‘anhu berkara : Ada sebagian sahabat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Salam mencari air wudhu’ maka Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Salam bersabda : “Apakah ada salah seorang diantara kalian mempunyai air?” lalu beliau meletakkan tangannya di dalam air sembari bersabda : “Berwudhu’lah dengan mengucapkan basmalah” Lantas aku melihat air keluar memancar dari sela-sela jari jemari beliau sehingga mereka semua orang berwudhu sampai orang terakhir diantara mereka. Tsabit berkata : Aku bertanya kepada Anas : “Berapa orang yang kamu lihat (berwudhu’)?”, Ia menjawab : “sekitar 70 orang.” Dikeluarkan oleh Bukhari (I/236), Muslim (VIII/411) dan Nasa’i (no. 78).

Adapun yang kami berpendapat dengannya di dalam hadits kedua ini adalah sabda Nabi : “beliau bersabda : berwudhu’lah dengan mengucapkan basmalah”. Adapun siapa yang berpendapat bahwa tasmiyah hukumnya hanya sunnah mu’akkadah saja, maka mereka telah menyandarkan kepada pendapat bahwa hadits yang warid di dalam masalah ini dha’if (yaitu hadits, tidak ada wudhu’…) sedangkan (realitanya) hadits ini shahih sebagaimana telah kami jelaskan, maka mereka ini tidak punya hujjah dan kamilah yang memiliki hujjah. Wallohu a’lam. Maka hukumnya adalah wajib sebagaimana yang kami jelaskan, adapun orang yang lupa melakukannya maka hendaklah ia bertasmiyah ketika ia ingat.” (Lihat Shifatu Wudhu’in Nabiy, hal. 17-18)

Bahkan, Syaikh ‘Abdul Azhim Badawi hafizhahullahu di dalam Al-Wajiz fi Fiqhis Sunnah, Kitab ath-Thoharoh, bab al-Wudhu’ (hal. 32) memasukkan tasmiyah sebagai syarat sahnya wudhu’.

Al-‘Allamah Shalih Fauzan al-Fauzan hafizhahullahu di dalam Mulakhosh al-Fiqhiyyah, Kitab ath-Thoharoh, bab Ahkamul Wudhu’ (hal. 43) mengatakan : “Para ulama telah berbeda pendapat di dalam hukum tasmiyah pada permulaan wudhu’, apakah ia hukumnya sunnah ataukah wajib? Hal ini menurut mayoritas adalah suatu hal yang disyariatkan dan tidak sepatutnya meninggalkannya, maka hendaklah mengucapkan bismillah dan apabila ditambah ar-Rahman ar-Rahim maka tidaklah mengapa…”

Dari paparan para ulama di atas, telah jelas bahwa masalah tasmiyah ini adalah adalah suatu khilaf yang mu’tabar semenjak salaf dan kholaf. Bagi mereka yang menyatakan akan ketidakwajibannya, maka mereka berpandangan bahwa hadits tasmiyah ini dha’if dan tidak kuat dijadikan hujjah, sedangkan bagi mereka yang menshahihkan hadits ini, maka haruslah mengambil zhahir hadits ini, bahwa tasmiyah adalah wajib hukumnya, dan meninggalkan suatu yang wajib di dalam wudhu’ maka wudhu’-nya tidak sah.

Dengan demikian, maka masalah tasmiyah yang dicontohkan oleh al-Akh al-Ustadz Abu Ishaq ini merupakan hujjah bagi kami, bahwa para ulama yang menshahihkan hadits ini maka haruslah mengambil zhahir lafazh hadits ini, kecuali apabila ada qorinah yang memalingkan dari zhahirnya sedangkan qorinah itu tidak ada.

Oleh karena itu, pertanyaan Abu Ishaq yang mengatakan “Analogi dengan kasus puasa hari sabtu, apakah kita akan berpegang pada zhahir hadits ini bahwa kalau tidak baca bismillah maka tidak sah wudhu? Adakah ulama yang berpendapat demikian?” Maka dengan mudah dapat dijawab –sebagaimana paparan di atas, bahwa iya! Kita pegang zhahir hadits bahwa apabila tidak membaca bismillah maka tidak sah wudhu’nya. Dan ulama yang berpendapat demikian tidaklah sedikit, baik dari kalangan salaf maupun kholaf. Apabila Abu Ishaq menganalogkan hal ini dengan masalah puasa sunnah hari Sabtu yang tengah kita diskusikan di sini, maka ini menjadi hujjah yang memperkuat argumen kami, alhamdulillah.

 

 

Tanggapan 7 : Tidak Memalingkan Yang Zhahir dengan Mayoritas Ucapan Ulama

Al-Akh al-Habib memberikan catatan terhadap kaidah yang saya nukil dari buku Ushul Fiqh ‘ala Manhaj Ahlil Hadits. Catatan beliau sungguh sangat bermanfaat dan benar sekali, dan catatan yang beliau berikan merupakan tambahan sekaligus koreksi buat saya. Saya sangat bersepakat terhadap al-Akh Abu Ishaq bahwa “Wajib memahami dalil dengan apa yang dipahami oleh As-Salafus Shalih”, dan ini adalah perkara yang niscaya.

Adapun pendapat yang saya pegang –yaitu merajihkan tahrim dalam masalah puasa sunnah hari Sabtu- sebagaimana telah berlalu penjelasannya, tidaklah menyelisihi kaidah salaf dan manhaj salaf dalam hal ini. Bahkan insya Alloh selaras dengan kaidah dan manhaj mereka, sebagaimana sebagiannya telah saya turunkan penjelasannya. Ketiadaan penyebutan nama-nama salaf bukanlah artinya tidak ada salafnya atau pendapat yang kami pegang ini adalah pendapat baru yang tidak dikenal kecuali setelah abad ke-20 ini.

Tidak dipungkiri, kaidah-kaidah yang saya nukil tersebut tidaklah mutlak. Kaidah tersebut saya nukil di sini karena berkorelasi dengan pembahasan dan tentunya tidak dapat dibawa kepada konteks yang tidak tepat. Dalam pembahasan ini, tampak pada saya bahwa zhahir hadits Alu Busr adalah tegas dan kuat, tidak dapat dipalingkan melainkan harus dengan qorinah yang lebih kuat, sedangkan qorinah yang digunakan tidak cukup kuat untuk memalingkan zhahir-nya. Kecuali apabila al-Akh Abu Ishaq menguatkan hadits Ummu Salamah dan Aisyah yang notabene merupakan pengkontradiksi yang kuat dalam hal ini, maka bisa dimungkinkan dilakukannya pemalingan makna dari zhahir sebagai implikasi dari jama’.

Namun, apabila al-Akh Abu Ishaq berpegang dengan pendapat bahwa hadits Ummu Salamah dan Aisyah ini tidak shahih dan tidak kuat untuk dijadikan dalil, maka mau tidak mau untuk memalingkan hadits Alu Busr dengan hadits Juwairiyah dan hadits puasa nafilah lainnya tidak cukup kuat. Oleh karena itulah Abu Ishaq harus menurunkan pembahasan masalah hadits-hadits yang dikontradiksikan ini dulu, baru menginjak ke masalah jama’ atau tarjih di dalamnya. Apabila Abu Ishaq menguatkan penshahihan hadits Aisyah dan Ummu Salamah, maka ta’qib terhadap pendhaifan Syaikh ‘Ali dan Ra’id Alu Thahir sangatlah diperlukan…

Adapun masalah puasa kafarat dan nadzar apakah termasuk bagian dari puasa fima ufturidha ‘alaikum, maka ini memerlukan pembahasan tersendiri. Namun, yang menjadi catatan di sini, para ulama yang memasukkan puasa nadzar, kaffarah dan qodho’ ke dalam fima ufturidha ‘alaikum tidaklah keluar dari zhahir. Karena, mereka yang memasukkan jenis dan macam puasa ini ke dalamnya memahami bahwa macam puasa tersebut termasuk bagian dari puasa faridhah. Maka, tentu saja tidak menyelisihi lafazh fima ufturidha ‘alaikum tersebut. Oleh karena itulah tidak heran apabila kita melihat pendapat Imam al-Albani yang menyatakan bahwa, barangsiapa berpuasa sunnah pada hari Jum’at dan ia lupa atau lalai belum berpuasa pada hari Kamis, maka ia wajib berpuasa pada hari Sabtu. Karena menurut Imam al-Albani rahimahullah, terlarang hukumnya berpuasa sunnah pada hari Jum’at secara bersendirian, apabila ia lupa berpuasa pada hari Kamis yang merupakan mukhoyyar (pilihan), maka ia harus berpuasa pada hari Sabtu dan puasanya pada hari Sabtu (sebagai pengiring hari Jum’at) menjadi wajib statusnya sehingga masuk ke dalam fima ufturidha ‘alaikum.

Al-Muhim (yang penting) di sini adalah, selama bisa difahami dengan dalil yang kuat bahwa puasa tersebut adalah puasa wajib, maka masuk ke dalam lafazh fima ufturidha ‘alaikum. Allohu A’lam. Adapun hadits yang dinukil oleh al-Akh Abu Ishaq tidaklah membatasi hanya puasa Ramadhan saja yang merupakan puasa wajib, namun perlulah kiranya menelaah dalil-dalil lainnya dalam masalah ini dan perlunya pembahasan tersendiri.

 

 

Tanggapan 8 : Mengamalkan Dalil Walaupun Salaf Shalih Menyelisihinya

Al-Akh Al-Karim Abu Ishaq berkata :

Ucapan beliau ini didasari kaedah:

يجب العمل بالدليل ولو خالفه من خالفه من السلف الصالح رضوان الله عليهم

Wajib mengamalkan dalil walaupun kaum salafus shalih menyelisihinya.”

Allahumma! Kaedah ini tentu perlu pencermatan sempurna agar tidak salah dalam menerapkan dan melangkah. Kaedah ini tidak bisa diterapkan seperti zhahirnya. Jika demikian, maka benarlah mereka yang menolak mengikuti manhaj salaf dengan alasan yang penting adalah mengamalkan dalil dan ucapan salaf bukanlah hujjah.

Salaf yang mana atau dalam kondisi bagaimana yang menyelisihi dan dianggap bukan hujjah? Apakah berlaku secara mutlak ataukah tidak? Perlu perincian tentunya sebelum kita menggunakan kaedah ini.

Bukankah kita senantiasa mendengung-dengungkan Al-Kitab was Sunnah bi Fahmi Salafil Ummah!? Maka bagaimana implementasi kaedah ini dengan apa yang kita suarakan secara lantang itu? Kembali kepada kaedah awal yang saya bawakan di atas yang diambil dari buku yang sama dan bab yang sama,

يجب فهم الدليل على ما فهمه السلف الصالح

Wajib memahami dalil dengan apa yang dipahami oleh As-Salafus Shalih.”

Dan bandingkan juga dengan sederet kaedah lain di bab Qaulush Shahabi, masih di buku yang sama. Wal’ilmu ‘indallahi ta’ala.

 

Jawaban :

Apa yang dipaparkan oleh Abu Ishaq adalah benar adanya, bahwa tidak mutlak kaidah ini bisa digunakan dalam segala kondisi. Saya menukil kaidah di atas tentu saja di dalam pembahasan yang sedang kita diskusikan ini maka penempatannya juga harus di dalam masalah yang kita diskusikan ini. Bukankah sering kita dengar ucapan :

لكلّ مقال مقام و لكلّ مقام مقال

Setiap ucapan itu ada tempatnya (konteksnya) dan setiap tempat (pembahasan) itu ada ucapannya (tersendiri).

Demikian pula dengan kaidah yang saya gunakan, yaitu “Wajib mengamalkan dalil walaupun salaf shalih menyelisihinya”. Kaidah ini tentu saja tidak berbenturan dengan kaidah “wajib memahami dalil dengan apa yang difahami oleh salaf shalih.” Karena kedua konteks ini berbeda. Dalam hal ini, kaidah pertama selaras dengan mendahulukan ucapan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Salam ketimbang lainnya, sedangkan kaidah kedua wajibnya mendahulukan pemahaman salaf shalih dibandingkan pemahaman selainnya. Dan kaidah ini sangat butuh perincian dan tidak mutlak sebagaimana adanya. Saya setuju dengan al-Akh Abu Ishaq bahwa perincian-perincian di dalam masalah ini sangatlah penting. Dikarenakan kaidah di atas tidak saya turunkan dengan perinciannya secara lengkap, maka bisa jadi pemahaman kaidah di atas akan bisa diselewengkan.

Telah berlalu di dalam risalah sebelumnya, nukilan dari al-Imam Ibnul Qoyyim di dalam I’lamul Muwaqqi’in akan wajibnya mengamalkan hadits Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Salam walaupun tidak ada imam yang mengamalkannya. Bahkan hal ini merupakan manhajnya para sahabat dan tabi’in ridhwanullah ‘alaihim ajma’in. Imam Ibnul Qoyyim rahimahullahu juga berkata di dalam ash-Showa’iqul Mursalah (III/1063) : “Dahulu ’Abdullah bin ‘Abbas berhujjah di dalam masalah haji tamattu’ dengan sunnah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Salam dan beliau perintahkan para sahabatnya untuk melakukannya. Para sahabat beliau berkata kepadanya : Sesungguhnya Abu Bakr dan ‘Umar melakukan haji secara bersendirian dan tidak melakukan tamattu’, maka tatkala jumlah mereka semakin banyak Ibnu ‘Abbas berkata : “Nyaris saja turun bebatuan dari atas langit menimpa kalian, aku berkata kepada kalian bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Salam bersabda, kalian malah berkata Abu Bakr dan ‘Umar berkata…” dan yang semisal pula adalah ‘Abdullah bin ‘Umar ketika haji tamattu’ beliau memerintahkan sahabatnya untuk melakukannya, namun sahabatnya berkata : “Sesungguhnya bapakmu (‘Umar bin Khaththab Radhiyallahu ‘anhu) melarangnya!” Maka Ibnu ‘Umar menjawab : “Aku tanya, Rasulullah kah yang lebih berhak kalian tiru ataukah ‘Umar?”

Dan contoh dalam hal ini sangatlah banyak. Hal ini menunjukkan bahwa ucapan Rasulullah haruslah lebih didahulukan daripada siapapun setinggi apapun derajatnya. Karena hujjah itu berada di lisan Rasulullah bukan di lisan orang-orang selain beliau. Hal ini bukanlah artinya kita memahami bahwa, ucapan sahabat bukanlah hujjah sama sekali. Tidak! Sekali-kali bukan demikian maksudnya! Ucapan sahabat dapat menjadi hujjah, berikut ini adalah penjelasan singkatnya :

  1. Ucapan sahabat yang tidak ada nash-nya (dari Al-Qur’an dan As-Sunnah) –walaupun tidak masyhur– dianggap sebagai hujjah apabila tidak ada sahabat lainnya yang menyelisihinya.

  2. Ucapan sahabat apabila masyhur tersebar luas dan tidak ada seorang sahabatpun yang menyelisinya maka dianggap sebagai ijma’ dan hujjah.

  3. Apabila para sahabat berselisih di dalam suatu masalah yang tidak ada asal di dalamnya, maka tidaklah dikedepankan ucapan sebagian dari sebagian lainnya.

  4. Apabila para sahabat berselisih di dalam suatu masalah kepada dua pendapat, maka pendapat yang di dalamnya ada salah seorang dari Khulafa`ur Rasyidin adalah lebih rajih dibandingkan selainnya.

  5. Para sahabat lebih mengetahui tentang suatu riwayat dibandingkan selainnya.

  6. Apabila seorang sahabat menyelisihi apa yang ia riwayatkan, maka yang dianggap (dijadikan dalil) adalah apa yang ia riwayatkan bukan yang ia fahami.

(Lihat pembahasan ini secara detailnya di Ushulul Fiqhi ‘ala Manhaj Ahlil Hadits bab Qoulu ash-Shohabiy).

 

Apabila ucapan para sahabat saja memiliki persyaratan tertentu untuk bisa dijadikan dalil, terlebih lagi ucapan selain sahabat. Namun, bagaimanapun tidak diingkari bahwa para salaf shalih adalah mereka yang lebih ‘alim tentang suatu dalil, pendapat mereka lebih a’lam, aslam dan ahkam dibandingkan selainnya. Namun, hal ini tidaklah seratus persen demikian, karena mereka juga sama dengan manusia lainnya, terkadang salah dan terkadang benar, walaupun kesalahan mereka jauh lebih sedikit dibandingkan lainnya.

Yang harus digarisbawahi di sini adalah, pembahasan kita di sini bukanlah berbicara tentang ijma’us salaf yang tidak syak lagi merupakan hujjah. Namun yang kita bicarakan di sini adalah pendapat orang perorang dari salaf. Tentu saja ucapan orang perorang dari salaf bukanlah hujjah. Dan yang menjadi hujjah itu adalah Sunnah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Salam.

Dengan demikian, mendahulukan Sunnah Rasulullah Shallalallahu ‘alaihi wa Salam adalah suatu kewajiban sedangkan mengikuti ucapan (orang perorang) dari salaf shalih tidak wajib, dan ini sendiri merupakan bagian dari manhaj salaf. Tidak menerima ucapan salaf shalih bukan artinya tidak menerima manhaj salaf, bahkan menolak ucapan salaf shalih yang menyelisihi hujjah termasuk bagian dari manhaj salaf, yang salaf sendiri mengamalkannya.

Dengan demikian mudah-mudahan menjadi jelas apa saya paparkan sebelumnya dari kaidah yang saya nukil di atas. ‘Ala kulli hal, suatu ucapan itu ada tempat pembahasannya tersendiri dan suatu pembahasan tentulah ada ucapannya tersendiri.

Jangan sampai ada yang kembali berfikir, bahwa pendapat yang merajihkan tahrim di dalam puasa sunnah hari Sabtu adalah pendapat yang la salafa lahu (tidak ada salafnya), pendapat yang baru (muhdats), yang baru muncul pada abad XX Masehi atau XIV Hijriah!!! Sehingga, untuk menguatkan pendapat yang tidak ada salafnya ini maka kaidah di atas digunakan. Sekali-kali tidak demikian!! Ini adalah suatu fikiran yang tidak benar, berangkat dari minimnya penelaahan dan kurangnya pemahaman. Masalah ini telah dijawab pada risalah sebelumnya dan mudah-mudahan telah mencukupi.

 

 

Penutup

Demikian inilah sekelumit tentang tanggapan dan ta’qib (sanggahan) saya kepada al-Akh al-Habib, saudara yang saya cintai karena Alloh, senior saya dalam hal amal dan ilmu, Abu Ishaq Umar Munawwir as-Sundawi hafizhahullahu wa nafa’allohu bihi. Saya tidak bisa pungkiri, bahwa ta’qib beliau kepada risalah saya, walaupun ringkas dan singkat adanya namun merupakan ta’qib yang berat. Saya banyak mengambil faidah dan manfaat darinya.

Tiada tujuan saya di dalam masalah ta’qib menta’qib ini melainkan untuk mencari al-Haq. Saya telah kemukakan kepada al-Akh al-Karim Abu Ishaq beberapa waktu silam ketika beliau menelpon saya, bahwa saya sangat butuh ifadah dari beliau yang mungkin beliau bisa mendatangkan hujjah yang lebih kuat sehingga saya dapat meninggalkan pendapat yang saya pegang ini.

Tidak ada maksud dan tujuan dari diskusi ini melainkan untuk mencari kebenaran, meningkatkan semangat dan gairah untuk belajar dan muthola’ah kitab-kitab ilmu yang sarat faidah dan manfaat, dan untuk meramaikan kajian-kajian ilmiah yang selama ini sudah mulai –sedikit banyak- dilupakan dan ditinggalkan umat. Yang ada kebanyakan mereka malah sibuk dengan sikap saling mencela, menjelekkan, menfitnah dan semacamnya yang berangkat dari fanatisme buta dan kebodohan.

Sungguh indah dan tepat apa yang diucapkan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullahu di dalam al-Majmu’ 24/172) yang mengatakan :

وقد كان العلماء من الصحابة والتابعين ومن بعدهم إذا تنازعوا في الأمر اتبعوا أمر الله تعالى في قوله: “فإنْ تنازعتم في شيء فردوه إلى الله والرسول إنْ كنتم تؤمنون بالله واليوم الآخر ذلك خير وأحسن تأويلاً، وكانوا يتناظرون في المسألة مناظرة مشاورة ومناصحة، وربما اختلف قولهم في المسألة العلمية والعملية مع بقاء الألفة والعصمة وأخوة الدين

Adalah para ulama dari kalangan sahabat, tabi’in dan generasi setelah mereka, apabila berselisih di dalam suatu perkara, mereka ikuti perintah Alloh Ta’ala di dalam firman-Nya (yang artinya) : “Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, Maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.” Mereka dahulu sering berdiskusi di dalam suatu masalah dengan dialog, musyawarah dan munashohah (sikap saling menasehati). Betapa banyak perbedaan pendapat dari mereka di dalam permasalahan ‘ilmiyah dan ‘amaliyah namun dengan tetap saling bersatu, menjaga kehormatan dan ukhuwwah fid dien…

Saya di dalam menyusun ini, tidak ada keinginan untuk membela pendapat Imam al-Albani salah maupun benar, atau fanatik kepada beliau. Sama sekali tidak!!! Saya mencintai beliau sebagai salah satu imam besar di zaman ini, namun hal ini tidaklah menjadikan beliau ma’shum dari kesalahan-kesalahan. Saya juga mencintai Imam Ibnu ‘Utsaimin yang berseberangan dengan beliau di dalam masalah ini. Saya juga mencintai para ulama dan thullabul ‘ilmi yang turut berdiskusi ilmiah di dalam masalah ini, menyumbangkan ilmu dan pembahasannya secara mendalam yang benar-benar sarat akan faidah dan manfaat, seperti Syaikhuna ‘Ali Hasan al-Halabi, Syaikh ‘Ali Ridha, Syaikh Ra’id Alu Thahir, Syaikh Luqman Abu ‘Abdillah al-Anshori, Syaikh Abu ‘Umar al-Utaibi, Syaikh Abul Baro’ al-Kinani, Syaikh ‘Abdul Hamid al-‘Arobi dan selain mereka hafizhahumullahu. Dan janganlah masalah ini dijadikan sebagai sarana untuk berpecah belah dan saling mencela.

Saya sangat salut kepada saudara-saudara saya penuntut ilmu di Bandung, terutama para ikhwah salafiyah alumnus ITB Bandung yang menyibukkan diri mereka untuk ilmu yang bermanfaat dan tidak menyibukkan diri dengan qilla wa qoola dan desas-desus dari para futtan (penyebar fitnah) dan munaffirin yang berpakaian dan berkedok salafiyyah namun amal dan ilmu mereka jauh darinya. Semoga semangat ilmiah seperti ini senantiasa terpelihara dan kita tetap istiqomah di manhaj yang lurus dan salim ini. Amien ya Robbal ‘Alamien.

Saya juga perlu menghaturkan permintaan maaf kepada semua fihak, terutama al-Akh al-Habib Abu Ishaq apabila ada kata-kata yang tidak berkenan atau salah, harap kiranya dikoreksi dan diluruskan dengan cara yang baik dan hikmah. Kepada ikhwah lainnya juga, saya sangat mengharapkan saran dan tegur sapa, kritik dan ta’qib ilmiah yang membangun dan bermanfaat, agar semakin bertambah kecintaan kita dan ilmu kita di dalam meniti manhaj ilmiah yang mulia ini.

Segala yang benar dari risalah ini adalah hanya dari Alloh dan kema’shuman itu milik Alloh semata yang diberikan hanya kepada Rasul dan Nabi-Nya, dan segala yang salah dari risalah ini berasal dari diri saya dan syaithan yang senantiasa mengintai dan menyeru agar mengikuti langkahnya, na’udzu billahi min syururi anfusina wa min sayyi’ati a’malina wa min waswasi syayathina.

وجزى الله تعالى كلَّ من شارك في هذا النقاش العلمي، وشجَّع عليه، وأسأله تعالى أن يوفقنا لما يرضاه، وأن يسدد أقوالنا وأعمالنا، وأن يرزقنا الإخلاص وتجريد المتابعة.

والسلام عليكم ورحمة الله وبركاته.

وصل اللهم على سيدنا محمد وعلى آله و صحبه وسلم.

 

Diselesaikan tanggal 15 Shofar 1428 bertepatan dengan 5 Maret 2007 di Malang

Muhibbukum Fillah

Al-Faqir ila’ Afwa Robbihi

Abu Salma bi Burhan bin Yusuf al-Atsari

 

Daftar Bacaan :

  • Ad-Darooriy al-Mudhiyyah Syarh as-Durorul Bahiyyah, Muhammad bin ‘Ali asy-Syaukani, tanpa tahun, Darul Kutub al-‘Ilmiyyah, Beirut, Libanon.

  • Al-Wadhih fi Ushulil Fiqhi lil Mubtadi`in, DR. Muhammad Sulaiman ‘Abdullah al-Asyqor, cetakan IV, 1412 H/1996 M, Darun Nafa`is, Amman, Yordanina.

  • Al-Wajiz fi Fiqhis Sunnah wal Kitabil Aziz, ‘Abdul Azhim Badawi, cetakan I, 1416 H/1995 M, Dar Ibnu Rojab, Dimyathi, Mesir.

  • Fiqhus Sunnah, Sayyid Sabiq, jilid 1, tanpa tahun, Darul Fath lil I’lam ar-Arobiy, Kairo, Mesir.

  • Puasa Sunnah Hukum dan Keutamaannya, (terjemahan dari Shiyamut Tathowwu’ Fada`il wa Ahkam), Usamah ‘Abdul Aziz, pent. Abillah, Lc., cetakan I, 1425 H/2005 M, Darul Haq, Jakarta, Indonesia.

  • Subulus Salam Syarh Bulughul Maram min Jam’i Adillatil Ahkam, Muhammad bin Isma’il Al-Amir Ash-Shon’ani, Juz 1, tanpa tahun, Maktabah al-Hidayah (terbitan lokal), Surabaya, Indonesia.

  • Shifatu Wudhu’ an-Nabiy Shallallahu ‘alaihi wa Salam, Fahd bin ‘Abdurrahman as-Syuwayib, cetakan IV, 1407 H/1986 M, Darul Hijrah lin Nasyr wat Tauzi’, Riyadh, KSA.

  • Syarhul Ushul min ‘Ilmil Ushul, Muhammad bin Sholih al-‘Utsaimin, Cetakan I, 1425 H/2003 M, Darul Aqidah, Iskandaria & Kairo, Mesir.

  • Syarh Manzhumah al-Baiquniyah fi Mustholahil Hadits, Muhammad bin Shalih al-‘Utsaimin, cetakan I, 1423 H/2002 M, Dar ats-Tsuroya lin Nashr wat Tauzi’, Riyadh, KSA.

  • Tamamul Minnah fit Ta’liq ‘ala Fiqhis Sunnah, Muhammad Nashiruddin al-Albani, cet II, Darur Royah, didownload dari http://www.waqfeya.com.

  • Zahru Roudhi fi Hukmi Shiyami Yaumas Sabti fi Ghoiril Fardhi, ‘Ali bin Hasan bin ‘Ali bin ‘Abdul Hamid al-Halabi, cetakan I, 1412 H/1996 M, Darul Asholah, Zarqo, Yordania.

  • Al-I’lam bianna Shouma as-Sabti fin Nafli laysa biharam, Abul Bara’ al-Kinani, didownload dari http://www.ahlalhdeeth.com

  • Al-Qoulul Mubram fi Shiyami Yaumas Sabti, Abu ‘Abdil Bari ‘Abdul Hamid al-‘Arobi, http://www.sahab.net

  • Al-Qoul ats-Tsabt fi Hurmati Shiyami Yaumas Sabti Munazhoroh ‘Ilmiyyah haula Hukmi Shiyami Yaumas Sabti, Abu Sanad Muhammad, didownload dari http://www.sahab.net

  • Al-Qoulu ats-Tsabt fi Ma’na Haditsin Nahyi ‘an Shiyami Yaumas Sabti, Abu ‘Abdirrahman ‘Athiyah Bayazid, http://www.barq.com

  • Al-Qoulu ats-Tsabit fi Hukmi Shiyami Yaumas Sabti, Abu ‘Ubaidah Mahmud, http://www.sahab.net

  • Al-Qoul al-Qowim fi Istihbabi Shiyami Yayma as-Sabti fi Ghoyril Fardhi min Ghoyri Takhshish wa Qoshdi Ta’zhim, Abu ‘Umar Usamah bin ‘Athoya bin ‘Utsman al-‘Utaibi, didownload dari http://www.otiby.net

  • At-Tanbi’ah wat Ta’rifah fi Ahkami Shiyami Yauma ‘Arofah, Syaikh Salim bin “ied al-Hilali, http://www.islamfuture.net

  • Hiwar Baina asy-Syaikh al-Albani wa asy-Syaikh ‘Abdul Muhsin al-‘Abbad haula Shiyami Yaumas Sabti, ditranskrip oleh Syaikh Luqman Abu ‘Abdillah al-Anshari al-Ajurri, didownload dari http://www.ajurry.com

  • Inkarus Shomat ‘ala Shiyami Yaumas Sabti, Abu ‘Abdillah Nashiruddin asy-Syafi’i, http://www.sahab.ws/3853

  • Jawabus Syaikh Muhammad al-Hammud an-Najdi fi Hukmi Shiyami Yaumas Sabti, http://www.alathary.net

  • Madzahibu Ahlil ‘Ilmi fi Ifradi Yaumis Sabti bish Shiyam, Al-Amin al-Haj Muhammad, http://islamadvice.com

  • Shiyamus Sabti La Yajuz illa fil Faridhah : Ta’qib Syaikh ‘Ali Ridha ‘ala Maqulati Syaikh Abi ‘Umar al-Utaibi, http://www.sahab.net

  • Tanbih Dzawil ‘Uquli as-Sadidah ila Hukmi Shoumis Sabti fi Ghoyri Faridhah, Abu Hisamuddin ath-Thorfawi {dikirim oleh al-Akh Abu Aqil}.

  • Ta’qib Syaikh Abi Mu’adz Ro`id Alu Thohir ‘ala Maqulatani Syaikh Abu ‘Umar al-Utaibi wa Syaikh ‘Abdul Hamid al-‘Arobi

  • Ta’qib Syaikh Abu ‘Abdillah al-Ajurri Ridha ‘ala Maqulati Syaikh Abi ‘Umar al-Utaibi, http://www.sahab.net

  • Waqofaat wa Masa`il Haula Yawmi ‘Arofah, http://www.saaid.net

  • Yasyro’u Shiyama Yauma ‘Arofah wa in Wafaqo Yaumas Sabti, DR. Hisamuddin ‘Afanah, http://www.yasaloonak.net

  • Dan artikel-artikel lainnya seputar masalah puasa sunnah hari Sabtu di beberapa wesbite.

 


Leave a Reply

Your email address will not be published. Fields with * are mandatory.