Puasa Sunnah Hari Sabtu 4 : Ta'qib Terhadap Sanggahan Singkat Abu Ishaq

 Mar, 03 - 2007   no comments

ملحق

الرد على تعقيب أبي اسحاق حول مسألة صيام يوم السبت في غير الفرض

MULHAQ (TAMBAHAN)

TANGGAPAN TERHADAP “SANGGAHAN SINGKAT BAGI ABU SALMA DAN ABU AL-JAUZAA’ MENGENAI HUKUM PUASA HARI SABTU” OLEH ABU ISHAQ AS-SUNDAWI

 

(Bagian 4)

 

Tanggapan 3 : Pendapat tahrim adalah pendapat tidak dikenal sama sekali sebelum abad 20.

Berkata al-Akh al-Ustadz Abu Ishaq : “Penghukuman haram berpuasa sunnah pada hari sabtu dengan semata bersandar pada zhahir lafazh adalah tidak pernah dikenal sama sekali sebelum abad 20 bahkan di kalangan madzab zhahiri sekalipun! Pendapat yang dipegang oleh Al-Imam Al-Albani dan mereka yang sependapat dengannya adalah pendapat yang tidak dikenal sama sekali sebelumnya. Tidak ada seorangpun yang mengatakan demikian selama 14 abad lamanya. Kitab-kitab dirayah hadits dan fiqih sudah mudawwan, aqwal ulama sudah jelas tertulis dan sempurna diwariskan, maka siapakah atau dimanakah anda jumpai pendahulu anda yang mengatakan bahwa larangan ini bermakna haram?

Bahkan mereka yang menolak hadits ini semisal Ibnu Taimiyyah dan Ibnu Qayyim pun berujung pada kesimpulan yang sama –‘ala fardhi sihhatihi- dengan para ulama lain yang menerima hadits ini.

Al-Akh Abu Ishaq juga berkata : “Berpulang pada hadits yang sama, muncul kemudian pendapat ketiga tentu dengan kesimpulan yang berbeda, yaitu haram. Argumentasi yang digunakan hanya 2 macam: pertama zhahir lafazh, kedua jama’ dengan hadits lain yang ternyata pada kenyataannya adalah tarjih. Menariknya, argumentasi ini juga dipakai oleh sebagian ulama jaman dahulu semisal Ibnu Taimiyyah dan Ibnul Qayyim, tapi kesimpulannya berbeda, mereka menolak hadits ini karena tidak mungkin dijama’ dan tidak berterima juga jika diunggulkan dalam tarjih, namun ‘ala fardhi sihhatihi mereka berujung pada salah satu dari dua kesimpulan yang ada, yaitu makruh. Semuanya selaras dengan apa yang ternukil secara sempurna sampai abad 20 tiba.

 

Jawaban :

Pandangan al-Akh al-Ustadz Abu Ishaq di atas perlu ditelaah kembali. Mengklaim bahwa pendapat tahrim dalam puasa sunnah pada hari Sabtu sebagai pendapat pendapat baru (muhdats) yang tidak dikenal setelah abad ke-20 adalah suatu klaim yang menurut saya terlalu jauh dan berlebihan. Bahkan konsekuensi dari ucapan ini seakan-akan menyatakan bahwa pendapat yang diperpegangi oleh Imam al-Albani ini adalah pendapat yang muhdats, hal ini tersirat dalam ucapan beliau :

Nah, satu hal yang saya kira kita sepakat, apabila sampai kepada kita bahwa sedari dulu hingga kini para ulama terbagi ke dalam dua pendapat, maka tidak boleh bagi kita mendatangkan pendapat ketiga. Dalilnya adalah hadits yang penggalannya digunakan oleh Al-Akh Abu Salma sebagai header blognya, yaitu:

لا تزال طائفة من أمتي ظاهرين على الحق حتى تقوم الساعة

Akan senantiasa ada sekelompok orang dari umatku yang berada di atas kebenaran sampai datang hari kiamat.” (Ash-Shahihah No. 270)

Ini berarti kebenaran ada diantara salah satu dari dua pendapat tersebut sepanjang masa. Jika kemudian muncul pendapat ketiga, maka hanya ada dua pilihan, imma pendapat ketiga itu benar, yang berarti hadits ini hanyalah kalimat tanpa makna karena selama ini berarti tidak ada kebenaran dalam umat ini atau ada masa yang kosong dari mereka yang tegak di atas kebenaran. Atau pendapat ketiga itulah yang salah sejak awalnya, dan ini tentunya yang lebih berterima. Wal’ilmu ‘indallahi ta’ala.

Saya berkata : Syaikhuna Salim bin Ied al-Hilali di dalam Dauroh 1427 silam di Ciloto Bogor, ketika membahas mengenai ilmu tafsir pada hari terakhir, beliau sempat menjelaskan tentang masalah khilaf. Apabila khilaf yang warid dari salaf hanya dua pendapat saja, kemudian datang orang belakangan membawa pendapat baru, maka pendapat yang baru ini adalah pendapat bid’ah!!! Menilik ucapan al-Akh al-Ustadz Abu Ishaq yang mengatakan “Jika kemudian muncul pendapat ketiga, maka hanya ada dua pilihan, imma pendapat ketiga itu benar, yang berarti hadits ini hanyalah kalimat tanpa makna karena selama ini berarti tidak ada kebenaran dalam umat ini atau ada masa yang kosong dari mereka yang tegak di atas kebenaran” menunjukkan bahwa al-Akh al-Ustadz Abu Ishaq memahami bahwa pendapat tahrim yang diperpegangi Imam al-Albani ini adalah pendapat muhdats yang beliau adakan pada abad ke-20 ini tanpa ada salaf sebelumnya. Padahal pada risalah saya bagian pertama dan tiga telah saya singung jawabannya sekilas masalah ini.

Saya benar-benar harus mengernyitkan dahi ketika membaca ucapan al-Akh al-Ustadz Abu Ishaq ini. Apabila benar dakwaan beliau ini maka mau tidak mau kita harus mengatakan bahwa Imam al-Albani dan orang-orang yang merajihkan pendapat beliau berarti telah jatuh kepada suatu pendapat bid’ah –walau tidak semua orang yang teratuh kepada kebid’ahan otomatis menjadi ahlu bid’ah-. Ini konsekuensi dari ucapan al-Akh al-Ustadz Abu Ishaq di atas walaupun beliau tidak menegaskan hal ini.

Padahal, saya belum menemukan dakwaan sebagaimana yang didakwakan oleh al-Ustadz Abu Ishaq ini dari para ulama yang memperbolehkan berpuasa sunnah hari Sabtu, yang menulis artikel-artikel seputar masalah ini yang turut membantah pendapat tahrim ini. Mungkin bisa saya katakan bahwa, Allohu a’lam, bahwa al-Akh Abu Ishaqlah orang yang pertama, atau orang yang secara tegas menyatakan bahwa “Pendapat yang dipegang oleh Al-Imam Al-Albani dan mereka yang sependapat dengannya adalah pendapat yang tidak dikenal sama sekali sebelumnya. Tidak ada seorangpun yang mengatakan demikian selama 14 abad lamanya”!!!

Baiklah, barokallohu fikum ya ustadz atas ta’qib antum yang berat dan sulit dijawab ini. Namun insya Alloh, saya akan berupaya menjawabnya dengan memaparkan pandangan para ulama di dalam masalah ini.

Berkata Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullahu di dalam Iqtidha’ ash-Shirathal Mustaqim (II/572) :

ولا يقال: يحمل النهي على إفراده: لأنَّ لفظه لا تصوموا يوم السبت إلا فيما افترض عليكموالاستثناء دليل التناول، وهذا يقتضي أنَّ الحديث يعم صومه على كل وجه؛ وإلا لو أريد إفراده لما دخل الصوم المفروض ليستثنى فإنه لا إفراد فيه، فاستثناؤه دليل على دخول غيره، بخلاف يوم الجمعة فإنه بين أنه إنما نهى عن إفراده، وعلى هذا: فيكون الحديث إما شاذاً غير محفوظ، وإما منسوخاً…

(Hadits larangan berpuasa pada hari Sabtu) tidak boleh diartikan dengan larangan apabila bersendirian, karena lafazh hadits itu berbunyi : “Janganlah kalian berpuasa pada hari Sabtu melainkan puasa yang diwajibkan atas kalian.” Sedangkan istitsna` (pengecualian) itu adalah dalil tanawul (yang mencakup semuanya selain yang dikecualikan, pent.), maka hadits tersebut mencakup segala bentuk puasa (yang diwajibkan). Apabila tidak demikian dan apabila larangan yang dimaksud adalah larangan secara bensendirian (tidak digandeng dengan hari sebelum dan setelahnya, pent.), tentu (nabi) tidak akan menyebutkan puasa yang wajib sebagai pengecualiannya. Karena tidak mengandung makna bersendirian maka pengecualian dalam hadits ini merupakan dalil masuknya segala hal yang tidak dikecualikan. Berbeda dengan hadits berpuasa pada hari Jum’at yang Rasulullah menjelaskan larangannya jika dikerjakan dengan bersendirian. Oleh karena itulah hadits ini bisa jadi syadz atau ghoiru mahfuzh (tidak shahih), atau bisa jadi juga mansukh…”

Berkata Imam Ibnul Qoyyim rahimahullahu di dalam Hasyiah ‘ala Tahdzibis Sunan (VII/50) :

قوله في الحديث: “لا تصوموا يوم السبت إلا فيما افترض عليكمدليل على: المنع من صومه في غير الفرض مفرداً أو مضافاً؛ لأنَّ الاستثناء دليل التناول، وهو يقتضي: أنَّ النهي عنه يتناول كل صور صومه إلا صورة الفرض، ولو كان إنما يتناول صورة الإفراد؛ لقال: “لا تصوموا يوم السبت إلا أن تصوموا يوماً قبله أو يوماً بعدهكما قال في الجمعة!! … وقد ثبت صوم يوم السبت مع غيره بما تقدم من الأحاديث وغيرها؛ كقوله في يوم الجمعة إلا أن تصوموا يوماً قبله أو يوماً بعدهفدلَّ على أنَّ الحديث غير محفوظ وأنه شاذ!!

Sabda beliau di dalam hadits : “Janganlah kalian berpuasa pada hari Sabtu melainkan puasa yang diwajibkan atas kalian” merupakan dalil petunjuk atas larangan berpuasa yang bukan wajib di hari Sabtu baik secara bersendirian maupun bergandengan (dengan hari lain). Karena istitsna` itu merupakan dalil tanawul, dan dalil tanawul ini menghukumi bahwa larangan puasa hari Sabtu itu mencakup semua bentuk puasa kecuali hanya puasa yang wajib saja. Kalau ia juga mencakup bentuk puasa secara bersendirian, maka niscaya Rasulullah bersabda : ”Janganlah kalian berpuasa hari Sabtu kecuali diikuti oleh berpuasa sehari sebelum dan setelahnya” sebagaimana sabda beliau tentang puasa hari Jum’at!!… Namun telah tetap adanya puasa pada hari Sabtu yang disertai hari lainnya sebagaimana telah berlalu penyebutan hadits-haditsnya, seperti sabda Nabi tentang puasa hari Jum’at : “kecuali puasa yang diikuti oleh berpuasa sehari sebelum dan setelahnya.” Hal ini menunjukkan bahwa hadits (larangan) ini ghoiru mahfuzh dan haditsnya syadz…”

Dari paparan kedua imam di atas kita dapat beristifadah darinya :

  1. Dari zhahir hadits menunjukkan akan larangan, karena Syaikhul Islam dan Imam Ibnul Qoyyim rahimahullahu menyebutkan kata larangan dengan shighat umum, sedangkan telah ma’ruf bahwa larangan itu littahrim.

  2. Keduanya berpendapat bahwa istitsna` dalam hadits ini mencakup semua bentuk puasa kecuali yang wajib.

  3. Keduanya berpendapat bahwa zhahir hadits menunjukkan larangan berpuasa pada hari Sabtu baik secara bersendirian maupun secara bergandengan dengan hari-hari lain. Bahkan keduanya membantah pendapat yang menyatakan larangan hanya untuk bersendirian saja.

  4. Keduanya menghukumi hadits larangan ini ghoiru mahfuzh, syadz dan atau mansukh.

Syaikh ‘Ali Hasan dan Syaikh Ro`id Alu Thohir menyatakan bahwa kedua imam ini ‘ala fardhi shihhati hadits tentulah akan berpegang pada zhahir hadits larangan, namun mereka menghukumi hadits ini sebagai syadz dan ghoiru mahfuzh. Telah lewat pembahasannya bahwa hadits ini shahih dalam artikel “Kontroversi Puasa Sunnah Hari Sabtu”. Dakwaan Syadz terhadap hadits ini telah dijawab oleh al-Imam al-Albani dan Syaikh ‘Ali Hasan dan selain mereka berdua. Sedangkan hadits shahih itu hujjah binafsihi, tidak membutuhkan adanya seorang imam yang mengamalkannya agar bisa dijadikan hujjah atau diamalkan. Dan ini adalah kaidah yang telah ma’ruf di kalangan ahli hadits.

Jadi, letak perbedaannya adalah : Syaikhul Islam dan Ibnul Qoyyim meng’ilal (mencacat) hadits larangan dengan syadz dan ghoiru mahfuzh, dan hadits syadz itu merupakan bagian dari hadits dha’if, sedangkan Imam al-Albani yang telah mengumpulkan thuruqul haditsnya, meyakini akan keshahihan hadits ini, dan beliau tidak menjama’ hadits larangan ini dikarenakan apabila dijama’ akan berbuntut pada ditelantarkannya makna istitsna´ dan tasydidun nahyi dalam larangan ini, sehingga seakan-akan sabda Nabi tersebut menjadi tidak bermakna.

 

Apabila dikatakan : “Siapakah salaf Imam al-Albani di dalam masalah tahrim ini? Bukankah para salaf yang berbeda dalam masalah ini hanya berujung pada dua kesimpulan saja, yaitu makruh dan mubah?”

Maka saya jawab, hal ini telah berlalu penjelasannya pada risalah bagian ketiga, yaitu para imam yang menyebutkan tentang adanya perselisihan ini, semisal Imam ath-Thohawi, Ibnu Rusyd dan Ibnu Taimiyah rahimahumullahu menyebutkan akan adanya khilaf di dalam masalah ini secara umum dan tidak membatasi hanya pada dua kesimpulan makruh dan mubah. Juga telah dijawab bahwa tidak selamanya makna makruh itu adalah littanzih, karena seringkali para salaf memahami kata karohah itu sebagai tahrim. Jadi kesimpulannya, tidak dapat dibatasi bahwa para salaf berselisih di dalam masalah ini hanya berujung pada dua kesimpulan yaitu makruh (lit tanzih) dan mubah saja.

 

Apabila dikatakan : “Bisakah anda sebutkan siapa salaf yang mentahrim puasa sunnah pada hari Sabtu?”

Maka saya jawab, dari nukilan terdahulu terutama pada risalah saya yang ketiga telah jelas, bahwa khilaf di dalam masalah ini telah mu’tabar dan tidak hanya berujung pada dua kesimpulan makruh tanzih dan mubah. Namun sangat mungkin adanya para salaf yang menghukumi keharamannya. Menyebutkan orang perorang, fulan dan fulan bukanlah hal yang dituju di dalam hal ini, namun cukuplah bahwa ada khilafiyah dalam masalah ini baik semenjak dahulu sampai sekarang. Yang menjadi hujjah bagi kita bukanlah ucapan-ucapan fulan dan fulan dari salaf atau kholaf, namun yang menjadi hujjah adalah dalil-dalil dari hadits Nabi.

Bukankah pendapat Syaikhul Islam dan Imam Ibnul Qoyyim rahimahumallohu di atas apabila mereka tidak mencacat haditsnya niscaya mereka akan berpegang pada zhahir hadits yaitu larangan? Bahkan lebih jauh lagi, hadits Nabi yang shahih itu adalah hujjah binafsihi (hujjah dengan sendirinya dari dzatnya), tidak membutuhkan adanya seorang imam yang mengamalkannya.

Imam al-Albani rahimahullahu berkata di dalam Silsilah al-Ahadits ash-Shahihah :

لا يضر الحديث ولا يمنع العمل به عدم العلم بمن قال به من الفقهاء ، لأن عدم الوجدان لا يدل على عدم الوجود

Tidaklah menjadikan suatu hadits itu cacat dan tidaklah mencegah untuk mengamalkannya ketidaktahuan kita akan siapa dari kalangan fuqoha’ yang berpendapat dengannya, karena ketiadaan akan orang yang berpegang dengannya tidak otomotis menunjukkan akan ketiadaan hadits tersebut.”

Imam Ibnul Qoyyim rahimahullahu berkata pula di dalam I’lamul Muwaqqi’in :

إذا كان عند الرجل الصحيحان أو أحدهما أو كتاب من سنن رسول الله صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ موثوق بما فيه فهل له أن يفتي بما يجده ؟، فقالت طائفة من المتأخرين : ليس له ذلك لأنه قد يكون منسوخاً أو له معارض أو يفهم من دلالته خلاف ما دل عليه فلا يجوز له العمل ولا الفتيا به حتى يسأل أهل الفقه والفتيا . وقالت طائفة بل له أن يعمل به ويفتي به بل يتعين عليه كما كان الصحابة يفعلون إذا بلغهم الحديث عن رسول الله صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وحدث به بعضهم بعضاً بادروا إلى العمل به من غير توقف ولا بحث عن معارض ولا يقول أحد منهم قط : هل عمل بهذا فلان وفلان ، ولو رأوا من يقول ذلك لأنكروا عليه أشد الإنكار وكذلك التابعون وهذا معلوم بالضرورة لمن له أدنى خبرة بحال القوم وسيرتهم وطول العهد بالسنة ، ولو كانت سنن رسول الله صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لا يسوغ العمل بها بعد صحتها حتى يعمل بها فلان أو فلان لكان قول فلان أو فلان عياراً على السنن ، ومزكيا لها ، وشرطاً في العمل بها ، وهذا من أبطل الباطل وقد أقام الله الحجة برسوله دون آحاد الأمة وقد أمر النبي صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بتبليغ سنته ودعا لمن بلَّغها ، فلو كان من بلغته لا يعمل بها حتى يعمل بها الإمام فلان والإمام فلان لم يكن في تبليغها فائدة وحصل الاكتفاء بقول فلان وفلان

Apabila ada pada seseorang suatu hadits shahihain, atau hadits salah satu dari shahihain (yaitu diriwayatkan oleh Imam Bukhari atau Muslim saja, pent.) atau dari kitab Sunan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Salam yang telah tetap keshahihannya, apakah ia boleh dengan serta merta menfatwakan hadits yang ia peroleh? Sekelompok ulama kontemprer berpendapat tidak boleh langsung menerimanya, karena bisa jadi hadits itu mansukh atau ada hadits pengkontradiksinya, atau difahami dari penunjuk hadits menyelisihi dengan apa yang dimaksud oleh hadits itu, maka tidak boleh mengamalkannya dan menfatwakannya sampai ditanyakan kepada ahli fikih dan ahli fatwa. Sekelompok ulama lainnya berpendapat : Bahkan wajib atasnya mengamalkannya dan berfatwa dengannya, bahkan wajib atasnya menta’yinnya sebagaimana para sahabat mengamalkan hadits apabila telah sampai kepada mereka suatu hadits dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Salam, mereka sampaikan kepada satu dengan lainnya dan mereka bersegera untuk mengamalkannya tanpa bertawaquf (mendiamkannya) dulu, atau mencari dulu dalil yang kontradiksi dengannya. Bahkan tidak ada satupun diantara mereka yang mengatakan : “apakah Fulan dan Fulan mengamalkannya?”, apabila mereka melihat ada orang yang berkata seperti ini maka mereka akan ingkari mereka dengan pengingkaran yang amat sangat, demikian pula dengan para Tabi’in. Hal ini adalah suatu hal yang telah ma’lum bidh dharurah bagi mereka yang mengetahui sedikit saja keadaan dan sejarah para sahabat dan tabi’in dan masa interaksi mereka yang panjang dengan sunnah… Seandainya sunnah-sunnah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Salam tidak diperbolehkan mengamalkannya walaupun shahih sampai diamalkan oleh Fulan dan Fulan, maka niscaya ucapan Fulan dan Fulan merupakan cela bagi sunnah, pensucinya dan syarat untuk mengamalkannya, dan ini merupakan kebatilan yang paling batil padahal Alloh menegakkan hujjah dengan Rasul-Nya bukan dengan orang perorang dari umat ini. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Salam telah memerintahkan untuk menyampaikan sunnahnya dan menyeru bagi yang menyampaikannya, sekiranya tidak perlu menyampaikanya sampai imam Fulan dan Fulan mengamalkannya, maka niscaya tidak ada faidahnya menyampaikan hadits dan cukuplah dengan ucapan Fulan dan Fulan.”

Penjelasan para imam di atas menunjukkan bahwa hadits itu hujjah binafsihi tidak membutuhkan amalan seorang imam baik salaf maupun kholaf yang mengamalkannya untuk bisa menjadikannya sebagai hujjah atau bisa diamalkan. Bahkan ini lebih tinggi daripada mempertanyakan “siapa salaf anda”, karena yang diterima dan diambil di sini adalah ucapan para imamnya dan penghulu salaf, yaitu Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Salam sendiri.

Keshahihan suatu hadits baik sanad dan matan menunjukkan secara yakin bahwa hadits itu adalah benar-benar ucapan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Salam yang mana Rasulullah menyabdakannya dengan Bahasa Arab yang fasih, yang bisa difahami secara mudah baik oleh orang awam maupun alimnya, yang sabda beliau Shallallahu ‘alaihi wa Salam adalah jawami’ul kalim, dan semua ucapan beliau membuahkan faidah dan tidak ada yang sia-sia.

Sebagai tambahan pula, bisa dikatakan bahwa salaf kita di dalam masalah ini adalah para sahabat yang meriwayatkan hadits ini. Karena tidaklah mungkin para sahabat –yang telah jelas akan keshahihan sanadnya- ketika meriwayatkan sebuah hadits, mereka tidak mengamalkan hadits tersebut. Karena apabila tidak maka ini tentu saja merupakan celaan. Para sahabat yang menjadi salaf kita dalam masalah ini adalah ‘Abdullah bin Busr, saudari beliau Shamma’ binti Busr, dan bapak keduanya Busr bin Abu Busr al-Mazini serta Abu ‘Umamah al-Bahili Shuday bin ‘Ajlan radhiyallahu ‘anhum.

Lebih kuatnya lagi, adalah sebuah riwayat berikut : Diriwayatkan oleh Nasa’i di dalam al-Kubro (55/a/12) sebagaimana di dalam Tuhfatul Asyraf (IV/294-no.5195) dari Ahmad bin Ibrahim bin Muhammad [beliau adalah Abu ‘Abdil Malik al-Qurosyi al-Busri] dari Ishaq bin Ibrahim [beliau adalah Abun Nashri al-Faradisi] dari Abu Muthi’ Mu’awiyah bin Yahya : memberitakan padaku Arthah beliau berkata : Aku mendengar Abu ‘Amir al-Alhani [beliau adalah ‘Abdullah bin Ghobir] berkata : Aku mendengar Tsauban maula Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Salam ditanya tentang berpuasa pada hari Sabtu dan beliau menjawab : Tanyakan pada ‘Abdullah bin Busr, kemudian ‘Abdullah bin Busr ditanya tentang hal ini lalu beliau menjawab :

صيام يوم السبت لا لك ولا عليك

Berpuasa pada hari Sabtu itu, tidak ada bagimu dan tidak wajib atasmu.”

Ucapan ‘Abdullah bin Busr radhiyallahu ‘anhuLaa laka wa ‘alaika” tidak bermaksud pembolehan, oleh karena itulah Imam Nasa’i meletakkan atsar mauquf ini di dalam bab : “an-Nayhu ‘an Yaumis Sabti”.

Dan lafazh “laa laka wa ‘alayka” ini serupa dengan lafazh hadits :

مَنْ صام الدهر فلا صام ولا أفطر

Barangsiapa yang berpuasa dahr (selamanya) maka tidak (dianggap) berpuasa dan tidak pula berbuka.” Padahal telah maklum bahwa puasa dahr itu hukumnya terlarang.

Jadi, bukanlah suatu hal yang mengada-ada apabila kami mengatakan bahwa Sahabat yang mulia, ‘Abdullah bin Busr adalah salaf kami di dalam masalah ini. Jadi, menyatakan bahwa kami tidak punya salaf di dalam masalah ini adalah pendapat yang tidak tepat dan berangkat dari minimnya penelaahan dan pembahasan serta terlalu tergesa-gesa di dalam menghukumi sesuatu.

 

Jika dikatakan : “Kitab-kitab para ulama telah mudawwan dan tidak ditemukan satupun dari mereka yang menyebutkan nama ulama salaf yang memahami larangan di sini sebagai tahrim.”

Maka saya jawab, dikarenakan kitab-kitab para ulama telah mudawan-lah akhirnya para ulama hadits belakangan dapat dengan lebih mudah mengecek jalur-jalur periwayatan hadits sehingga semakin memperjelas rantai sanad periwayatan, apakah kuat ataukah tidak. Sehingga apabila telah tampak suatu hadits itu shahih, maka hadits itu akan menjadi hujjah binafsihi tidak memerlukan seorang imam untuk mengamalkannya supaya ia bisa menjadi hujjah untuk diamalkan. Dari kitab-kitab para ulama yang mudawan-lah akhirnya dapat ditelaah ucapan-ucapan para imam terdahulu di dalam masalah ini, sehingga tampaklah bahwa mereka mayoritas menganggap larangan di sini bersifat makruh karena mereka mencacat hadits Alu Busr ini, imma sebagai hadits kidzb, mansukh, syadz, mudhtarib, ghoiru mahfuzh, atau bentuk pencatatan lainnya. Karena pengilallan inilah akhirnya mereka melakukan tarjih : al-Ashoh muqoddamun ‘ala ash-Shahih (yang lebih shahih lebih didahulukan ketimbang yang shahih) dan suatu hadits yang shahih yang menyelisihi hadits yang lebih shahih darinya maka hadits tersebut dianggap syadz. Oleh karena itulah banyak para imam terdahulu melemahkan hadits ini sehingga mereka sampai kepada kesimpulan mubah.

Kemudian, mengetahui nama-nama imam tertentu yang memahami larangan di sini sebagai tahrim bukanlah suatu hal yang dapat merubah hakikat bahwa masalah ini telah tsabat khilaf di dalamnya –sebagaimana penjelasan yang telah lalu-. Mengetahui nama-nama imam tertentu bukanlah merupakan pokok yang dikehendaki, namun mengetahui bahwa masalah ini adalah masalah khilaf yang telah tsabat terjadi semenjak salaf hingga kholaf itulah yang dituju. Tidak wajib atas kita mengetahui nama-nama imam yang berpendapat demikian, namun yang penting adalah adanya ulama salaf yang berpendapat dengan pendapat ini, dan inilah yang dituju walaupun tidak ada para ulama yang menyebutkan namanya. Terlebih, para imam salaf sendiri mereka semua telah bersepakat, bahwa ‘in shohhal hadits fahuwa madzhabiy’ (apabila telah shahih sebuah hadits maka itu adalah madzhabku). Dengan demikian, mengklaim bahwa pendapat tahrim adalah pendapat yang diada-adakan semenjak abad XX dan tidak dikenal sebelumnya, adalah tuduhan yang terlalu berlebihan kiranya dan tidak tepat. Kiranya ucapan Syaikh Ali lebih layak untuk mensifati tuduhan ini sebagai, ucapan yang berangkat dari minimnya penelaahan dan kurangnya pemahaman. Allohu a’lam bish showab.

 

 

Tanggapan 4 : Makruh tanzih atau makruh haram?

Berkata al-Akh al-Ustadz Abu Ishaq : Jika dikatakan, bukankah para ulama jaman dahulu ketika mengatakan makruh maknanya adalah haram?

Pertama, perkataan ini perlu dikaji kembali. Mereka yang menghukumi makruh, dalam sebagian kondisi juga menggunakan kata makruh untuk makna tanzih. Jadi tidak mutlak kata makruh yang mereka gunakan harus bermakna haram.

Kedua, mereka yang mengatakan makruh, berujung pada kesimpulan seperti ini dengan alasan jama’ yang sebenarnya dengan semua hadits yang ada, ini semakin membuktikan bahwa yang dimaksud dengan makruh di sana bukanlah haram. Lain halnya dengan mereka yang berpendapat haram, jama’ yang mereka lakukan pada hakekatnya adalah tarjih, sebab kaedah yang digunakan adalah kaedah tarjih bukan kaedah jama’. Sehingga klaim bahwa kata makruh yang digunakan para ulama jaman dahulu sebagai haram di sini adalah tidak berterima. Suatu usaha yang bagus untuk mencari pendahulu (salaf) namun sayang dimulai dengan jalan atau cara yang berbeda dengan mereka.

 

Jawaban :

Tidak dipungkiri, bahwa ketika para ulama salaf mengatakan kata makruh, maka bisa jadi ia bermaksud haram (dan ini adalah asal) dan bisa jadi ia bermaksud lit tanzih (ini adalah pemalingan dari asal yang memerlukan qorinah). Apabila kita menelaah ucapan para Imam dalam masalah ini, tidak dipungkiri ada yang memaksudkannya sebagai tanzih dan adapula yang memaksudkannya sebagai tahrim. Adapun nukilan dari Imam ath-Thohawi telah berlalu penjelasannya pada risalah bagian ketiga, yaitu yang lebih tepat kata karohah yang beliau maksudkan adalah lit tahrim. Demikianlah yang dijelaskan oleh Syaikh Ro`id Alu Thohir, Syaikh Abu Hisamuddin ath-Thorfawi, Syaikh Abu Abdillah Luqman al-Ajurri, Syaikh Abul Baro’ ‘Ali Ridho, dll hafizhahumullahu. Bahkan, Syaikhuna ‘Ali Hasan al-Halabi menukilkan riwayat ath-Thahawi, Ibnu Rusyd dan Syaikhul Islam, tanpa mengomentari kata karohah yang beliau nukil. Hal ini seakan-akan menunjukkan bahwa beliau ketika menukilkannya faham bahwa thullabul ilmi atau ahli ilmi yang membaca ulasannya memahami bahwa maksud karohah dalam nukilan tersebut maknanya adalah lit tahrim. Allohu a’lam.

 

 

Tanggapan 5 : Al-Jam’u Muqoddamun ‘alat Tarjih

Berkata al-Akh al-Ustadz Abu Ishaq : Alasan jama’ dengan menggunakan kaedah al-qaulu muqaddamun ‘ala al-fi’lu serta al-hazhiru muqaddamun ‘ala al-mubihu adalah keliru. Kedua kaedah yang digunakan adalah kaedah tarjih bukan kaedah jama’. Silakan lihat di Syarhu Al-Kaukab Al-Munir (4/617).

Hanya dua pilihan, ganti kata jama’ dengan kata tarjih yang berarti sejak awal sudah berfikir adu unggul yang berarti hadits-hadits lain harus gugur, diabaikan, dan tidak diamalkan. Dan tentu ini bertentangan dengan apa yang ditetapi oleh salafus shalih bahwa selagi masih bisa diusahakan jama’ maka jangan ditarjih. Al-Imam Asy-Syaukani dalam Irsyadul Fuhul (276) mengatakan: “Dan diantara syarat tarjih yang harus jelas terpenuhi adalah apabila sudah tidak dimungkinkan lagi dilakukan jama’ diantara dua hal yang kontradiksi tentunya dengan cara yang berterima. Apabila jama’ ini masih dimungkinkan maka inilah yang harus dilakukan dan tidak boleh sama sekali menerapkan tarjih.”

 

Jawaban :

Tidak dipungkiri, memang secara asal al-Jam’u muqoddamun ‘alat Tarjih. Namun telah kita fahami pula bahwa tidak semua dalil yang diduga bertentangan maka bisa dijama’. Suatu hal yang telah ma’ruf –sebagaimana di dalam nukilan masalah ini pada risalah ke-3, bahwa para ulama terkadang berbeda di dalam memandang kondisi dimungkinkannya jama’.

Imam Ibnu ‘Utsaimin rahimahullahu di dalam Syarhul Ushul min ‘Ilmil Ushul (hal. 45) menjelaskan : “Anda dapatkan bahwa ada sebagian ulama mengkompromikan antara kedua dalil (yang kontradiktif) dengan begitu mudah dan terangnya. Anda temukan ada sebagian ulama tidak mampu mengkompromikannya, dan ada juga dapat anda temukan ulama lainnya mengkompromikan ­nushush (dalil-dalil) namun dengan cara yang memaksakan diri jauh (dari hakikatnya). Yang demikian ini adalah dikarenakan ilmu dan kefahaman yang dianugerahkan-Nya kepada seseorang (berbeda-beda tingkatnya, -pent.).”

Sebagai contohnya adalah berikut, kita tentu masih ingat penjelasan Imam Ibnu ‘Utsaimin seputar masalah tarjih (sebagaimana di dalam risalah ke-3), dimana beliau mencontohkan masalah pada bab tarjih ini adalah masalah “massu adz-dzakar” (menyentuh kemaluan). Ada dua hadits yang tampak saling kontradiktif di dalam masalah ini, yaitu : sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Salam : “Barangsiapa yang menyentuh dzakar (kemaluan)nya maka hendaklah ia berwudhu” (HR Abu Dawud (181), Turmudzi (82) dan Nasa’i (I/216) dari hadits Busroh) dan hadits ketika Nabi ditanya oleh seorang lelaki yang memegang dzakar-nya apakah wajib berwudhu’, lantas Nabi menjawab : “Tidak, sesungguhnya ia hanyalah bagian dari tubuhmu.” (HR Ahmad dan selainnya).

Tidak asing bagi kita bahwa masalah menyentuh kemaluan ini apakah membatalkan wudhu’ atau tidak merupakan masalah khilafiyah yang mu’tabar. Para ulama di dalam masalah ini terbagi menjadi banyak pendapat, diantaranya :

  1. Mereka yang menyatakan bahwa kedua riwayat di atas bisa dijama’. Syaikh Masyhur Hasan Alu Salman hafizhahullahu diantara yang berpendapat bisanya kedua hadits di atas dijama’. Beliau berpendapat bahwa kedua hadits di atas sama-sama kuat dan masih mungkin untuk dilakukan jama’ agar tidak menelantarkan salah satu hadits. Beliau pernah ditanya dengan pertanyaan berikut : “Apakah menyentuh aurot itu membatalkan wudhu’?” Lantas beliau menjawab :

Terjadi khilaf (perselisihan) yang masyhur antara ahli ilmu (ulama) di dalam masalah menyentuh aurot ini. Yang wajib adalah mengamalkan seluruh dalil-dalil ini keseluruhan. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Salam bersabda : من مس ذكره فليتوضأBarangsiapa menyentuh aurotnya maka hendaknya ia berwudhu” dan beliau juga pernah ditanya tentang menyentuh aurot, lantas beliau menjawab : هل هو إلا بضعة منكAurotmu itu tidak lain sama dengan bagian tubuhmu yang lain”.

Syaikhul Islam dan jumhur ulama berpendapat bahwasanya apabila seseorang menyentuh aurotnya yang merupakan bagian dari tubuh manusia sebagaimana menyentuh tangan atau kakinya, maka ini merupakan menyentuh tanpa diiringi syahwat dan apabila dimaksudkan menyentuh bagian tersebut dengan sengaja maka dikatakan tidaklah ia melakukannya melainkan karena syahwat, maka jumhur ulama menyelaraskan seluruh dalil-dalil yang ada dan mengamalkan seluruhnya.

Mereka berpendapat : Menyentuh aurot dengan syahwat membatalkan wudhu’ dan menyentuhnya tanpa syahwat tidak membatalkan wudhu’, karena sabda Nabi ‘alaihi Sholatu wa SalamAurotmu itu tidak lain sama dengan bagian tubuhmu yang lain”, merupakan isyarat menyentuh yang tidak membatalkan apabila menyentuhnya sebagaimana menyentuh bagian tubuh lainnya [yaitu tanpa diiringi syahwat, pent.]. (dari Mi`ah Fatawa Lifadhilatisy Syaikh Masyhur, http://www.aqsasalafi.com, Markaz lit tahmil (Download Center), Ruknul Masya`ikh asy-Syaam)

  1. Ada juga yang menjama’, apabila menyentuh langsung tanpa suatu alas atau lapisan maka batal wudhu’nya, namun apabila tidak menyentuh langsung, misalnya dilapisi kain atau semisalnya, maka wudhu’nya tidak batal.

  2. Ada yang menyatakan bahwa memegang kemaluan membatalkan wudhu’ dengan alasan hadits yang menyatakan kemaluan hanyalah bagian dari tubuh kalian telah mansukh.

  3. Ada yang menyatakan bahwa memegang kemaluan tidak membatalkan wudhu’ dengan alasan hadits yang memerintahkan untuk wudhu’lah yang mansukh.

  4. Ada yang menyatakan bahwa memegang kemaluan membatalkan wudhu’ dengan lebih merajihkan hadits perintah untuk wudhu’. Sebagaimana contoh yang disebutkan oleh Imam Ibnu ‘Utsaimin rahimahullahu di dalam buku beliau Syarhul Ushul. Beliau merajihkannya dengan alasan : lebih berhati-hati, yang menshahihkannya lebih banyak, lebih banyak jalur periwayatannya dan naqil ‘anil ashli (berpindah dari asalnya).

Nah, dalam masalah ini para ulama sendiri telah berbeda pendapat, diantara yang menjama’, memansukh ataupun merajihkan. Hal ini semua karena pandangan dan analisa yang berbeda-beda antara ulama satu dengan lainnya.

Sebenarnya ada beberapa syarat yang juga perlu dipenuhi agar jama’ bisa ditegakkan dan diterapkan, diantaranya :

  1. Jama’ tidak bisa diterapkan apabila salah satu dalilnya tidak tsabat atau dha’if sanadnya.

  2. Jama’ bisa dilakukan apabila kedua dalil dianggap sama-sama kuat baik sanad maupun dilalah matannya.

  3. Jama’ tidak boleh dilakukan dengan penakwilan yang jauh dari hakikatnya, dengan takalluf dan ta’assuf.

  4. Jama’ bisa dilakukan apabila memungkinkan mengamalkan kedua dalil yang dianggap kontradiktif dan tidak menelantarkan salah satu dari keduanya, karena inilah maksud dilakukannya jama’, yaitu i’malud dalilaian wa tarku min ihmali ahadihim (mengamalkan semua dalil dan menghindarkan ditelantarkan salah satu dari kedua dalil tersebut,)

Demikianlah diantara syarat-syarat untuk bisa menerapkan jama’, apabila tidak dapat maka tahapan berikutnya-lah yang ditempuh.

Imam al-Albani rahimahullahu dan yang mendukung pendapat beliau, berpandangan bahwa hadits Alu Busr tidak dapat dikompromikan (jama’) dengan hadits-hadits yang dihadapkan padanya dengan beberapa alasan. Diantaranya adalah sebagai berikut :

Pertama : Hadits pengkontradiksi terjelas yang dihadapkan kepada hadits Alu Busr, sebenarnya adalah hadits Ummu Salamah dan hadits ‘Aisyah, karena kedua hadits ini membicarakan puasa hari Sabtu secara langsung. Adapun hadits Juwiriyah, Abu Hurairoh dan selainnya, maka bukanlah hadits yang menjelaskan secara langsung puasa hari Sabtu. Padahal, sebagaimana telah disebutkan pada risalah sebelumnya, hadits Ummu Salamah dan hadits ‘Aisyah ini adalah hadits yang tidak cukup kuat untuk dijadikan pengkontradiksi, karena sanadnya lemah dan bermasalah. Sehingga jama’ dengan kedua hadits ini tidak dapat diterapkan. Berbeda dengan para ulama yang memperbolehkan puasa sunnah hari Sabtu, mereka menjama’ dan mereka menganggap kedua hadits ini shahih, padahal kenyataannya tidaklah demikian.

Kedua : Mengkontradiksikan hadits Alu Busr yang tegas larangannya dengan hadits-hadits nafilah (semisal hadits puasa Arafah, Asyura’, Dawud, Ayyamul Baidh, dll) atau hadits Juwiriyah yang membicarakan larangan puasa hari Jum’at, yang tidak secara tegas menyebutkan puasa hari Sabtu, namun pemahaman yang diistinbathkan dari mafhum-nya, maka tidak cukup kuat untuk dijadikan pengkontradiksi. Hal ini serupa dengan kejadian seorang isteri yang berpuasa nafilah tanpa izin suaminya, atau seorang yang berpuasa sunnah pada pertengahan Sya’ban yang bukan kebiasaannya, atau seorang yang berpuasa sunnah (Senin Kamis atau Dawud) pada hari tasyriq, kenapa perkara ini tidak dikontradiksikan dan dijama’ pula? Bukankah kedua keadaan ini sama dalam hal larangan dan ketetapan?!

Larangannya yaitu sama-sama warid hadits yang melarang puasa pada hari Sabtu (kecuali yang wajib) dengan adanya larangan wanita berpuasa (sunnah) tanpa izin suaminya, atau larangan berpuasa (yang bukan kebiasaannya) pada pertengahan Sya’ban, atau larangan puasa pada hari tasyriq. Ketetapannya yaitu puasa nafilah itu besar pahalanya dan sunnah Nabi yang mulia yang dianjurkan untuk diamalkan.

Lantas mengapa hanya larangan puasa hari Sabtu saja yang dikhususkan di dalam jama’ dengan hadits-hadits yang dianggap kontradiksi, sedangkan larangan yang lainnya tidak? Padahal larangan dan ketetapannya sama? Kecuali, apabila anda menguatkan hadits Aisyah dan Ummu Salamah dan meyakini akan ketsabatannya, maka tentu saja jama’ hadits Alu Busr dengan kedua hadits ini dapat dilakukan.

Ketiga : Mengkontradiksikan hadits Alu Busr yang tegas larangannya dengan hadits-hadits nafilah merupakan ‘ainul munaqodhoh (pertentangan yang nyata) terhadap manhaj jam’u, sebagaimana diutarakan oleh Syaikh ‘Ali Hasan al-Halabi hafizhahullahu : “Barangsiapa yang mengkontradiksikan hadits larangan puasa sunnah pada hari Sabtu dengan hadits yang siyaq-nya menunjukkan nafilah atau istihbab (sunnah) saja, maka ini adalah ‘ainul munaqodhoh (penentangan yang nyata) terhadap manhaj jam’u (kompromi) dan inipun sangat jauh (dari metode yang benar).” [Zahru Roudhi hal. 70]

Syaikh Abul Harits benar, karena siyaq pertentangan yang tidak sama kuat tidaklah menunjukkan adanya kontradiksi di sana, sehingga perlu melakukan jam’u di dalamnya.

Keempat : Jam’u yang memalingkan makna hadits Alu Busr kepada makna larangan apabila dilakukan secara bersendirian, maka ini berarti membatalkan istitna’ dalam hadits yang secara tegas hanya membatasi pada puasa yang diwajibkan saja. Hal ini seakan-akan menyatakan bahwa sabda Nabi yang jawami’ul kalim itu tidaklah berfaidah atau sia-sia. Dan inilah yang Imam al-Albani berusaha untuk menghindarkannya, sebagaimana argumentasi beliau di dalam Hiwar al-Imam al-Albani ma’a al-‘Allamah al-‘Abbad haula Shiyami Yaumis Sabti. Inilah yang mencegah untuk dilakukannya jam’u.

Kelima : Tidak semua pendapat yang menguatkan tahrim berpuasa sunnah pada hari Sabtu berpegang pada kaidah tarjih, karena yang lebih awal daripada itu adalah, membawa yang ‘am kepada yang khash, dan menurut Syaikh Abul Harits, hadits Alu Busr ini tegas menunjukkan kekhususan dengan ta’yin larangan hari Sabtu, sedangkan hadits Juwairiyah yang dihadapkan padanya tidak demikian. Namun bersifat ‘am dan mukhoyar antara pengiringan dengan hari Kamis atau Sabtu, dan ta’yinnya adalah Jum’at. Oleh karena itu : yang khusus menetapkan yang umum. Allohu a’lam.

Keenam : Tidak mutlak bahwa tarjih di dalam hal ini otomatis menelantarkan hadits-hadits nafilah lainnya atau hadits Juwairiyah. Bahkan hadits-hadits tersebut bisa diamalkan kedua-duanya sebagiannya.

Sebagai contoh, apabila hari Asyura’ atau ‘Arofah jatuh pada hari Sabtu, maka didahulukan larangan puasa sunnah hari Sabtu. Dalam hal ini ada dua faidah yang didapatkan, yaitu kita insya Alloh akan mendapatkan pahala atas ketaatan kita terhadap perintah Rasulullah yang melarang puasa sunnah pada hari Sabtu dan kita juga insya Alloh akan mendapatkan pahala atas niat kita untuk berpuasa pada hari ‘Arofah atau ‘Asyura’ tersebut. Demikianlah jam’u yang dilakukan oleh ulama yang menguatkan larangan.

Contoh berikutnya, apabila seseorang biasa melakukan puasa Dawud, maka ia bisa melakukan puasanya selain pada hari Sabtu, maka ia tetap dapat melakukan puasanya dan mendapatkan pahala atasnya –insya Alloh– dan ia juga akan mendapatkan pahala atas kehati-hatiannya terjatuh kepada larangan Nabi berpuasa pada hari Sabtu. Allohu a’lam.

Contoh lagi, pendapat ini juga tidak menelantarkan hadits Juwairiyah seluruhnya, karena seseorang yang hendak berpuasa pada hari Jum’at, maka ia dapat mengiringinya dengan hari Kamis, sedangkan memilih antara hari Sabtu dan Kamis adalah suatu hal yang mukhoyar (opsional), sedangkan tentu saja yang sharih larangannya lebih didahulukan daripada kebolehan yang bersifat opsional. Allohu a’lam.

Dengan demikian, diharapkan isykalat kita bisa sedikit terjawab walaupun tidak sempurna dan semuanya bisa dijawab. Insya Alloh kita lanjutkan lagi pada tanggapan berikutnya yang akan lebih menyempurnakan pembahasan.

 

Bersambung pada bagian 5 –insya Alloh

 


Leave a Reply

Your email address will not be published. Fields with * are mandatory.