Puasa Sunnah Hari Sabtu (2) : Sokongan dan Sanggahan Terhadap Makalah Abu ‘Umair dan Abu Ishaq

 Feb, 10 - 2007   no comments

تأييد و تعقيب على مقالات أبي عمير وأبي إسحاق في مسألة صيام يوم السبت في غير الفرض

Sokongan dan Sanggahan Terhadap Makalah Abu ‘Umair dan Abu Ishaq tentang Masalah Puasa Sunnah pada Hari Sabtu

 

Bagian 2

 

Ta’qib 2 : Hadits Alu Busr adalah hadits yang syadz atau menyelisihi hadits-hadits lainnya yang lebih shahih sehingga harus dijama’.

Abu ‘Umair dan Abu Ihsaq bersepakat dengan saya bahwa hadits Alu Busr ini berterima sanadnya tanpa ada keraguan sama sekali yang bisa menyelinap sehingga menimbulkan keraguan akan keshahihannya. Namun kesepakatan kami ini mungkin hanya sampai pada kesepakatan di dalam memandang shahih hadits dari segi isnad saja. Adapun dari sini matan, apalagi masuk ke syaqqul fiqhi-nya tampaknya memiliki perbedaan yang nyata.

Perbedaan ini akan semakin mengkerucut apabila hadits Alu Busr yang shahih isnad ini dikonfrontasikan dengan hadits-hadits lainnya, sehingga perlu mengkompromikan antara dalil-dalil tersebut yang akhirnya menimbulkan konklusi yang berbeda-beda, bahkan Abu ‘Umair dan Abu Ishaq sendiri juga berbeda di dalam konklusi hukum puasa sunnah hari Sabtu ini.

Mereka yang memperbolehkan berpuasa sunnah pada hari Sabtu, mengkonfrontasikan hadits Alu Busr dengan hadits-hadits berikut ini :

  • Hadits Aisyah radhiyallahu ‘anha :

( كان رسول الله صلى الله عليه وسلم يصوم من الشهر السبت و الأحد و الإثنين ومن الشهر الآخر الثلاثاء والأربعاء والخميس ) رواه الترمذي وقال حديث حسن

“Adalah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Salam berpuasa dalam suatu bulan pada hari Sabtu, Ahad dan Senin, dan pada bulan lainnya pada hari Selasa, Rabu dan Kamis.” (HR Turmudzi dan beliau berkata hasan shahih.)

  • Hadits Ummu Salamah radhiyallahu ‘anha:

(…إن رسول الله صلى الله عليه وسلم أكثر ما كان يصوم من الأيام يوم السبت والأحد كان يقول إنهما يوما عيد للمشركين وأنا أريد أن أخالفهم )

Sesungguhnya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Salam lebih banyak berpuasa pada Sabtu dan Ahad, beliau bersabda bahwa kedua hari ini adalah hari iednya kaum musyrikin dan aku ingin menyelisihi mereka.”

  • Hadits dari ‘Ubaid al-A’raj ia berkata, menceritakan neneknya bahwa beliau pada suatu hari mengunjungi Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Salam dan beliau pada saat itu sedang makan siang dan hari itu hari Sabtu, Rasulullah lalu memanggil beliau, “kemarilah, makanlah”. Beliau menjawab : “aku lagi puasa.” Rasulullah bertanya padanya, “kemarin kamu puasa?”, beliau menjawab : “tidak”. Rasulullah lalu bersabda padanya : “makanlah, karena sesungguhnya puasa hari Sabtu itu, laa laka wa laa ‘alaiki.” [akan datang maksud ucapan ini insya Alloh].

  • Hadits Juwairiyah radhiyallahu ‘anha : Bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Salam datang mengunjungi beliau pada hari Jum’at dan beliau dalam keadaan berpuasa, lantas Nabi bertanya padanya : “Apakah kamu kemarin berpuasa?” beliau menjawab : “tidak”, Rasulullah bertanya, “Apakah kamu hendak berpuasa besok?”, Juwairiyah menjawab : “tidak” lantas Nabi berkata, “berbukalah!”. (HR Bukhari).

  • Hadits Abu Hurairoh radhiyallahu ‘anhu :

( لا يصومن أحدكم يوم الجمعة إلا يوماً قبله أو بعده ) متفق عليه، فالذي بعده هو السبت

Janganlah salah seorang dari kalian berpuasa pada hari Jum’at melainkan diiringi dengan sehari sebelum atau setelahnya.” (Muttafaq ‘alaihi), sedangkan hari setelahnya adalah hari Sabtu.

 

Apakah benar bahwa hadits-hadits di atas kontradiktif dengan hadits Alu Busr? Berikut ini adalah jawaban dan ulasannya.

 

Hadits Pertama : Hadits Aisyah

Imam at-Turmudzi berkata di dalam Sunan-nya (746) :

Menceritakan kepada kami Mahmud bin Ghoilan, menceritakan kepada kami Abu Ahmad dan Mu’awiyah bin Hisyam, keduanya berkata : Sufyan menceritakan kepada kami dari Manshur dari Khoitsamah dari Aisyah, beliau berkata :

كان رسول الله صلى الله عليه وسلم يصوم من الشهر: السبت والأحد والاثنين ومن الشهر الآخر: الثلاثاء والأربعاء والخميس

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Salam dahulu berpuasa pada hari Sabtu, Ahad dan Senin pada suatu bulan, dan pada hari Selasa, Rabu dan Kamis pada bulan yang lain.”

Imam Turmudzi berkata : “Ini hadits hasan, telah meriwayatkan Ibnu Mahdi dari Sufyan hadits ini namun tidak dia tidak memarfu’kannya.”

Imam Turmudzi juga meriwayatkan hadits ini di dalam Syama`il Muhammadiyah (no. 260).

Syaikh al-Muhaddits ‘Ali Hasan al-Halabi berkomentar : “Sanad hadits ini dhaif dengan illat terputusnya antara Khoitsamah dan Aisyah. Khoitsamah –dari ketsiqohannya- sering memursalkan hadits sebagaimana dikatakan oleh al-Hafizh dalam at-Taqrib. Imam Abu Dawud telah menegaskan di dalam Sunan-nya (no. 2128) ketika menyanggah salah satu riwayatnya tentang ketiadaan sima’ (mendengar) dari Aisyah, beliau berkata : “Khoitsamah tidak mendengar dari Aisyah.”

Al-Munawi menukil di dalam Faidhul Qodir (V/227) dari Abdul Haq al-Isybili ucapannya tentang penghasanan at-Turmudzi : “Dan illat­ hadits ini menghalangi penshahihannya dan hadits ini diriwayatkan secara marfu’ mauquf, namun ia memiliki illat. Ibnul Qoththon berkata : sepatutnya tentang mendengarnya Khoitsamah dari Aisyah perlu dicari dan aku tidak mengetahui akan hal ini.”

Syaikh Ali Hasan berkata : “Abu Dawud telah menegaskan akan ketiadaan mendengarnya Khoitsamah dari Aisyah. Maka hadits ini dhaif.”

Syaikh Al-Albani telah memaparkan hadits ini dan menshahihkannya di dalam sejumlah buku-buku beliau, seperti Shahihul Jami’ (4971), al-Misykah (2059) dan Mukhtashor asy- Syamail (hal. 164). Namun beliau tidak memasukkannya ke dalam Shohih Sunan at-Turmudzi dan buku ini termasuk karya akhir beliau, maka hal ini menunjukkan pendha’ifan beliau terhadap hadits ini sebagai sikap terakhir. Hal ini dipertegas setelah Syaikh Ali menanyakan langsung kepada Syaikh Albani tentang kedhaifan hadits ini, dan Syaikh Albani menyetujui akan kedhaifan hadits ini. Hanya milik Allohlah taufiq.

Kesimpulan : hadits ini dhaif sanadnya dan tidak dapat digunakan sebagai pengkontradiksi hadits Alu Busr yang shahih.

 

Hadits Kedua : Hadits Ummu Salamah

Dari Kuraib Maula Ibnu ‘Abbas beliau berkata, bahwa Ibnu ‘Abbas dan sekumpulan sahabat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Salam mengutusku kepada Ummu Salamah supaya aku bertanya kepada beliau : “hari-hari apakah yang Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Salam lebih banyak berpuasa?” beliau menjawab : “hari Sabtu dan Ahad”. Lantas aku kembali kepada mereka dan aku beritakan kepada mereka (hal ini) dan seakan-akan mereka mengingkarinya. Lalu mereka semua pergi menemui Ummu Salamah dan berkata : “Sesungguhnya kami mengutus orang ini kepada Anda untuk bertanya ini dan ini dan engkau menjawab itu dan itu”. Ummu Salamah berkata : “Dia benar, sesungguhnya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Salam, hari yang lebih banyak beliau berpuasa di dalamnya adalah pada hari Sabtu dan Ahad, dan beliau bersabda :

إنهما يوما عيد للمشركين وأنا أريد أن أخالفهم

Sesungguhnya dua hari ini adalah hari perayaan (‘ied) bagi kaum musyrikin, dan aku ingin menyelisihi mereka.”

Diriwayatkan oleh Ahmad (VI/324), Ibnu Khuzaimah (III/318), Ibnu Hibban (941), Al-Hakim (I/436), Baihaqi (IV/303), Ath-Thobroni di dalam al-Kabir (53/283), Ibnu Syahin di dalam an-Nasikh wal Mansukh (no. 399) dari Jalan ‘Abdullah bin Muhammad bin ‘Umar bin ‘Ali dari Ayahnya dari Kuraib.

Imam Ibnul Qoyyim berkata di dalam Zadul Ma’ad (II/78) : “Keshahihan hadits ini perlu diteliti lagi, karena riwayatnya berasal dari Muhammad bin ‘Umar bin ‘Ali bin Abi Tholib, dan beberapa haditsnya telah diingkari. Abdul Haq di dalam Ahkam-nya berkata dari hadits Ibnu Juraij dari ‘Abbas bin ‘Abdillah bin ‘Abbas [yang benar adalah ‘Abbas bin ‘Ubaidillah bin ‘Abbas, demikian kata Syaikh ‘Ali sebagaimana di dalam Tuhfatul Asyraf (VIII/260)] dari pamannya Al-Fadhl : Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Salam mengunjungi Abbas di kediaman kami, kemudian beliau (Abdul Haq) berkata : sanadnya dhaif. Ibnul Qoththon berkata : keadaannya sebagaimana yang disebutkan yaitu dhaif, dan perihal Muhammad bin ‘Umar ini tidak diketahui.”

Kemudian Ibnul Qoththon melanjutkan : “Dia menyebutkan haditsnya ini dari Ummu Salamah tentang puasa pada hari Sabtu dan Ahad, lalu beliau berkata : ‘Abdul Haq mendiamkannya sebagai tanda penshahihan terhadapnya, sedangkan Muhammad bin ‘Umar ini tidak diketahui perihalnya, dan meriwayatkan pula darinya anaknya yaitu ‘Abdullah bin Muhammad bin ‘Umar sedangkan perihalnya juga tidak diketahui. Maka hadits ini aku pandang hasan, wallohu a’lam.” Adz-Dzahabi berkata di dalam Al-Mizan (III/668) : “maksudnya tidak sampai tingkatan shahih.” Syaikh ‘Ali berkomentar : “tidak pula (sampai derajat) hasan!!!”

Syaikh al-‘Allamah al-Albani berkata di dalam Silsilah al-Ahadits adh-Dha’ifah (no. 1099) : “Anda lihat bahwa Ibnul Qoththon dalam hal ini kontradiktif* pendapatnya terhadap Ibnu ‘Umar ini, suatu ketika menghasankan haditsnya dan kali ketika lain mendhaifkannya. Dan hal inilah yang menyebabkan hati lebih condong kepada menilai akan kemajhulannya, apalagi haditsnya ini menyelisihi zhahirnya dengan hadits shahih yang lafazhnya : Janganlah berpuasa pada hari Sabtu… [beliau menyebutkan hadits Alu Busr]”

[* Syaikh Ali berkomentar terhadap ucapan Syaikh Albani yang mengatakan Ibnul Qoththon kontradiktif : “kemudian merasuklah ke dalam hatiku untuk menghilangkan kontradiktif yang nyata ini bahwa sesungguhnya telah hilang pada kitab asal Ibnul Qoththon ini huruf “laa/tidak”, dimana ucapan asalnya seharusnya “maka hadits ini “tidak” aku pandang hasan”, kemudian para penulis dan pencetak buku menukilnya. Hal ini semakin menyokong penilaiannya kepada perawi sebagai majhul, lantas bagaimana mungkin beliau menghasankannya?!! Dan hal ini telah dikenal dari manhaj beliau]

Lalu beliau melanjutkan : “di dalam hadits ini ada illat lainnya, yaitu bahwa ‘Abdullah bin Muhammad bin ‘Umar perihalnya sama dengan perihal ayahnya, tidak ada yang mentsiqqohkannya kecuali Ibnu Hibban. Ibnul Madini menilainya sebagai “Wasath”, Al-Hafizh berkata tentangnya “Maqbul” yaitu sebagai mutaba’ah (penyerta), apabila bukan sebagai mutaba’ah maka haditsnya lemah sebagaimana beliau telah menegaskan hal ini di dalam muqoddimah. Sedangkan hadits ini bukan sebagai mutabi’ dengan demikian haditsnya lemah.”

 

Ta’qib terhadap tashhih Syaikh Abu Umar al-Utaibi

Syaikh Abu ‘Umar al-Utaibi di dalam artikelnya Al-Qoul Qowim fi Istihbaabi Shiyami Yaumis Sabti fi Ghoiril Fardhi min Ghoiri Takhshish walaa Qoshdu Ta’zhim menshahihkan hadits Ummu Salamah ini dan menjadikan hadits ini sebagai senjata andalan untuk dikontradiksiikan dengan hadits Alu Busr, sehingga berimplikasi terhadap wajibnya jama’ terhadap kedua hadits ini.

Setelah beliau menurunkan takhrijnya dan 7 jalur riwayat serupa, beliau berkata menghukumi hadits ini :

Hadits ini sanadnya hasan dan sebagian besar imam menshahihkannya. Berikut ini adalah biografi para perawinya : ‘Abdullah bin Muhammad bin ‘Umar bin ‘Ali bin Abi Tholib radhiyallahu ‘anhu. Daruquthni dan Ibnu Khalfun menilainya tsiqoh. Ibnu Hibban menyebutkannya di dalam ats-Tsiqoot dan berkata : “yukhthi’ wa yukholif!” Ali bin Madini berkata : “dia wasath (pertengahan)”. Adz-dzahabi dan Ash-Shofadi berkata : “sebagian huffazh menilainya Sholihul Hadits”. Telah meriwayatkan darinya para imam besar, Imam Bukhari menyebutnya di dalam at-Tarikh al-Kabir, Ibnu Abi Hatim di dalam al-Jarh wat Ta’dil tidak menyebutkan jarh dan ta’dil kepadanya dan tidak pula para ulama masa lalu yang menulis adh-Dhu’afa` menyebutkannya, bahkan adz-Dzahabi menyebutnya di dalam al-Kasyif : “tsiqqoh”. Al-Hafizh berkata tentangnya di dalam at-Taqrib : “maqbul, tidak maqbul pentsiqohan para imam kepadanya.” Maka sekurang-kurang yang dapat dikatakan tentangnya adalah shoduq dan beliau husnul hadits (haditsnya hasan).” [selesai ucapan Syaikh ‘Abu Umar].

 

Tanggapan :

Berkata Syaikh Abu Mu’adz Ro`id Alu Thohir di dalam ta’qibnya kepada tashhih Syaikh Abu Umar di atas :

Bukanlah pembahasannya wahai saudara yang mulia apakah keadaan rawi ini tsiqoh atau shoduq atau selainnya, namun yang jadi pembahasan adalah apakah diterima tafarud (bersendirian)-nya hadits ini ataukah tidak?

Aku sodorkan untuk Anda ucapan para imam tentang penjelasan illatnya tafarud dan kapan ia menjadikan hadits menjadi qodihah (buruk/tertolak) dan kapan tidak.

Al-Hafizh Ibnu Sholah berkata : Apabila seorang rawi bersendirian di dalam periwayatannya, maka dilihat keadaannya :

  1. Apabila kesendiriannya menyelisihi hadits yang lebih tinggi hifzh dan dhabit-nya, maka hadits yang bersendirian ini dianggap syadz dan mardud (tertolak).

  2. Apabila tidak menyelisihi apa yang diriwayatkannya dan selainnya, dan hanya saja hadits itu adalah yang diriwayatkan perawi namun tidak diriwayatkan oleh rawi lainnya, maka perlu dilihat keadaan rawi yang bersendirian ini :

  1. Apabila ia perawi yang adil, hafizh, tsiqoh mantap dan dhabit sebelum riwayatnya bersendirian, maka tidaklah tercela kesendiriannya sebagaimana hadits : “Sesungguhnya amal itu tergantung niatnya”.

  2. Apabila ia bukan orang yang kuat dan mantap hafalannya dikarenakan bersendiriannya, maka kesendirian periwayatannya akan menggiring jauh haditsnya dari lingkaran shahih, dan keadaan ini memiliki beberapa tingkatan :

Tingkatan Pertama : apabila rawi yang bersendirian tidak jauh dari tingkatan hafizh dhabith, maka diterima kesendiriannya dan dianggap hasan haditsnya, dan tidak kita turunkan tingkatannya menjadi hadits dhaif.

Tingkatan kedua : Apabila riwayat rawi yang bersendirian jauh dari tingkatan hafizh dhabith maka kita tolak riwayat yang bersendiri ini, dan dianggap sebagai hadits yang syadz munkar.

Singkat kata, hadits yang diriwayatkan oleh tsiqoh syaikhon minasy syuyukh bukan tsiqoh imaman haafizhan, sedangkan ‘Abdullah bin Muhammad bin ‘Umar ini tidak dinilai tsiqoh melainkan oleh sebagian kecil ulama, yang tidak ada riwayat lain yang sederajat atau lebih kuat menyokongnya, maka haditsnya bisa memiliki illat yang dapat mengingkari haditsnya. Oleh karena itu Ibnu Hajar menyebutnya maqbul (diterima) sebagai mutaba’ah, apabila tidak maka haditsnya lemah, sedangkan hadits ini bukan sebagai mutaba’ah maka lemah haditsnya. Oleh karena itu ucapan Abu ‘Umar al-Utaibi tidak diterima karena menyelisihi istilah dan kaidah ahli ilmu dalam bidang ini. [selesai di sini ucapan Syaikh Abu Mu’adz dengan sedikit ringkasan dan perubahan redaksi].

 

Syaikh Abu ‘Umar al-Utaibi berkata kembali :

Muhammad bin ‘Umar bin ‘Ali bin Abi Tholib radhiyallahu ‘anhu : Daruquthni menilainya tsiqoh sebagaimana di dalam Su`alaat Burqooni (hal. 22), dan meriwayatkan jama’ah tsiqqoot diantaranya adalah Yahya bin Sa’id al-Anshori, Sufyan ats-Tsauri, Muhammad bin Musa al-Fithri, Yahya bin Ayyub al-Mishri, Ibnu Juraih, Ibnu Ishaq dan tiga orang anaknya. Ibnu Hibban menyebutkannya di dalam ats-Tsiqot dan Turmudzi menyebutkan di dalam haditsnya (no 171) : “ghorib hasan”.

Adz-Dzahabi berkata di dalam al-Mizan: Beliau adalah salah satu pembesar di Madinah, dan beliau mirip dengan kakeknya Imam ‘Ali bin Abi Thalib radiyallahu ‘anhu, aku tidak melihat ada masalah dengan beliau dan tidak pula aku melihat ada pembicaraan pada beliau. Ashhabus Sunan yang empat meriwayatkan dari beliau. Termasuk yang diingkari dari beliau adalah hadits Ibnu Juraij dari beliau dari ‘Abbas bin ‘Ubaidillah bin ‘Abbas dari pamannya al-Fadhl, beliau berkata : Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Salam mengunjungi kediaman kami, hadits ini dikeluarkan oleh an-Nasa`i dan dipapatkan oleh ‘Abdul Haq di dalam Ahkamul Wustha dan beliau berkata mengomentarinya : “isnadnya dha’if”. Ibnul Qoththon berkata : “hadits ini sebagaimana yang disebutkan olehnya yaitu dha’if tidak diketahui perihalnya Muhammad bin ‘Umar.”

Di dalam ucapan adz-Dzahabi rahimahullahu, “termasuk yang diingkari haditsnya” perlu ditelaah ulang, karena Ibnul Qoththon mencacat hadits ini di dalam Bayanul Wahm wal Iiham-nya pada no 1100 dengan dua illat (cacat), yaitu ‘Abbas bin ‘Ubaidillah tidak diketahui perihalnya dan beliau mencacat Muhammad bin ‘Umar…

Akan tetapi ‘illat hadits ini adalah terputusnya antara ‘Abbas bin ‘Ubaidillah dengan Fadhl bin ‘Abbas, karena riwayat ‘Abbas bin ‘Ubaidillah dari Fadhl bin ‘Abbas adalah munqotho’ah (terputus) sebagaimana dijelaskan oleh Ibnu Hazm di dalam al-Muhalla. ‘Abbas padanya terdapat jahalah (tidak diketahui keadaannya) maka tidaklah dibawa Muhammad bin ‘Umar yang tsiqqoh sebagai tabi’ah (penyerta) hadits.

Adz-Dzahabi berkata di dalam al-Kasyif : “Tsiqqoh”, dan al-Hafizh menilainya di dalam at-Taqrib : “shoduq”. Yang benar Muhammad bin ‘Umar adalah tsiqqoh.

Kuraib Maula Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma adalah tsiqqoh, termasuk perawi jama’ah (ahli hadits).

Maka tampaklah dari pembahasan sebelumnya, bahwa sanad hadits ini sekurang-kurangnya hasan dilihat dari keadannya, para jama’ah imam ahli hadits telah menshahihkannya sebagaimana akan datang penjelasannya.

Adapun pencacatan Syaikh kami al-‘Allamah al-Albani rahimahullahu terhadap hadits ini dengan penilaian majhul-nya ‘Abdullah bin Muhammad dan bapaknya (Muhammad bin ‘Umar) adalah suatu kesalahan, sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya penukilannya dari para imam akan biografi mereka.

Syaikh al-Albani rahimahullahu mutaroddid (berubah-ubah pendapatnya) di dalam mendha’ifkan hadits ini. Sebelumnya beliau menilainya hasan di dalam Shahihul Jami’ dan di dalam ta’liq (komentar) beliau atas Shahih Ibnu Khuzaimah… kemudian beliau dha’ifkan di dalam Adh-Dha’ifah (no. 1099), lalu beliau menulis di dalam al-Irwa’ : “sanad hadits ini didhaifkan oleh ‘Abdul Haq al-Isybili di dalam al-Ahkam al-Wustho dan pendapat inilah yang rajih menurutku, dikarenakan di dalam hadits ini adalah perawi yang tidak diketahui perihalnya sebagaimana telah aku jelaskan di dalam al-Ahadits ash-Dha’ifah…”

Lalu beliau berkata di dalam al-Hasyiyah (catatan kaki) : “Aku telah menghasankannya di dalam komentarku atas Shahih Ibnu Khuzaimah (2168) dan mungkin inilah yang paling dekat (dengan kebenaran)…” Kemudian berlangsunglah aktivitas syaikh rahimahullahu yang mendhaifkan hadits ini.

Yang benar adalah pendapat syaikh rahimahullahu di dalam ta’liqnya atas Shahih Ibnu Khuzaimah dan Shahihul Jami’, dan hadits ini hasan lidzatihi, bahkan ulama yang menshahihkannya maka ia memiliki sisi penshahihan yang kuat sekali…

Diantara para imam yang menshahihkannya : Al-Hakim dan disepakati oleh adz-Dzahabi. Ibnu Hibban dan Ibnu Khuzaimah menshahihkannya. Ibnu Muflih berkata di dalam al-Furu’ (III/92) : “para jama’ah menshahihkannya dan sanadnya jayyid.” Ibnu Hajar al-Haitsami menshahihkannya di dalam al-Fatawa. Ibnul Qoththon al-Fasi menghasankannya di dalam Bayanul Wahm wal Iiham (IV/269), dan Syaikh al-Albani di dalam pendapat yang beliau taroju’ darinya.

Pendhaifan Syaikh al-Albani terhadap hadits ini telah disetujui oleh Ibnul Qoyyim rahimahullahu, beliau berkata : “keshahihan hadits ini perlu ditelaah lagi, karena hadits ini dari riwayat Muhammad bin ‘Umar bin ‘Ali bin Abi Tholib, dan sebagian hadits beliau ini diingkari.”

Saya (Abu ‘Umar al-Utaibi) : Aku telah menjelaskan hal ini ketika menukilkan ucapan adz-Dzahabi, yaitu bahwasanya tidak ada lagi celah untuk dapat mengingkari (hadits) Muhammad bin ‘Umar. Dan yang lebih aneh lagi adalah apa yang dinukil oleh al-Munawi di dalam Faidhul Qodir dan al-Husaini di dalam al-Bayan wat Ta’rif (II/154) dari Adz-Dzahabi bahwasanya beliau berkata tentang hadits Ummu Salamah radhiyallahu ‘anha : “munkar dan para perawinya tsiqqoh”

Maka tidak ada lagi celah untuk mengingkari hadits ini wallohu a’lam. [selesai di sini ucapan Syaikh Abu ‘Umar Usamah al-Utaibi hafizhahullahu di Al-Qoul Qowim fi Istihbaabi Shiyami Yaumis Sabti fi Ghoiril Fardhi min Ghoiri Takhshish walaa Qoshdu Ta’zhim].

 

Ta’qib Ucapan Syaikh Abu ‘Umar al-Utaibi

Pertama, tidak ada kontradiktif di dalam ucapan Imam adz-Dzahabi antara ucapan beliau “diantara perawi yang diingkari haditsnya” dengan ucapan “tsiqqoh”, karena tsiqqoh terkadang datang dengan (hadits) yang diingkari sebagaimana telah berlalu di dalam ta’qib sebelumnya, oleh karena itulah adz-Dzahabi mengatakan “munkar, walaupun perawinya tsiqqot” sebagaimana yang dinukilkan al-Munawi di dalam Faidhul Qodir (V/168) dan al-Husaini di dalam al-Bayan wat Ta’rif (II/154).

Kedua, Adapun ucapan Ibnu Hajar : “Shoduq” maka maksudnya adil yang tidak jauh (maknanya) dari shoduq. Akan tetapi perawi yang berada pada tingkatan ini maka keadaannya ini dapat dianggap haditsnya apabila selaras dengan dhobithin (para perawi yang dhabith) dan terkadang tidak dhabith. Suyuthi berkata : “shoduq atau posisinya shidq atau la ba’sa bihi.” Al-Iroqi menambahlan : “atau ma`mun atau khiyar atau laysa bihi ba’sun.” Ibnu Abi Hatim berkata : “barangsiapa yang disebutkan padanya hal ini maka ia termasuk perawi yang ditulis haditsnya namun diteliti keadaannya, dan posisinya adalah posisi kedua.” Ibnu Sholah berkata : “Hal ini sebagaimana yang beliau utarakan, karena ungkapan (ibarat) ini tidak dirasa sampai pada dhobith maka dianggaplah haditsnya apabila selaras dengan dhobithin sebagaimana telah berlalu penjelasannya di awal pembahasan ini.” (Tadribur Rawi I/292 dengan tahqiq dan ta’liq DR. Ahmad ‘Umar Hasyim).

Berkata pula tentangnya Ibnul Qoyyim rahimahullahu di dalam Zaadul Ma’ad (II/78-79) di dalam ta’liq beliau atas hadits Ummu Salamah “keshahihan hadits ini perlu ditelaah lagi, karena hadits ini dari riwayat Muhammad bin ‘Umar bin ‘Ali bin Abi Tholib, dan sebagian hadits beliau ini diingkari.”

Ketiga, Ucapan Syaikh yang mulia, Abu ‘Umar al-Utaibi : “maka yang shahih adalah Muhammad bin ‘Umar adalah tsiqoh” yang berangkat dari pemahaman beliau terhadap kata “tsiqoh” yang diucapkan para ulama perlu ditelaah lagi. Yang benar derajat Muhammad bin ‘Umar ini adalah shoduq yang tidak dianggap haditsnya kecuali apabila selaras dengan riwayat dhobithin sedangkan riwayat tersebut tidak ada!!! Atau bisa pula dikatakan bahwa beliau adalah tsiqqoh namun diingkari sebagian haditsnya. Bagaimana kita bisa merasa aman dengan hadits ini sedangkan hadits ini bersendirian di dalam riwayatnya?!! Oleh karena itulah Ibnul Qoththon mengatakan : ‘tidak diketahui perihal beliau.”

Keempat, adapun masalah para tsiqqot yang meriwayatkan dari beliau, maka ini bukanlah termasuk ta’dil!!! Suyuthi berkata : “Apabila seorang rawi yang adil meriwayatkan dari selainnya maka ini bukanlah termasuk ta’dil menurut mayoritas ulama dari ahli hadits dan selain mereka, dan memang benar akan kebolehan riwayat seorang yang adil dari seorang yang tidak adil, namun hal ini bukanlah mengandung pengertian bahwa riwayat darinya merupakan ta’dil terhadapnya. Kami meriwayatkan dari Sya’bi bahwa beliau berkata : “menceritakan kepada kami al-Harts dan aku bersaksi demi Alloh bahwa dirinya adalah kadzdzab (seorang pendusta besar).” Meriwayatkan pula al-Hakim dan selain beliau dari Ahmad bin Hanbal bahwa beliau melihat Yahya bin Ma’in sedang menulis shahifah (lembaran) Ma’mar dari Aban dari Anas, apabila manusia melihatnya maka ia menyembunyikannya. Lantas Ahmad berkata kepadanya : “Anda menulis shahifah Ma’mar dari Aban dari Anas, sedangkan Anda tahu bahwa shahifah itu maudhu’ (palsu). Apabila ada seorang berkata padamu, Anda mengkritik Aban tapi Anda koq masih menulis haditsnya (apa jawab Anda)?!” Yahya bin Ma’in menjawab : “Wahai Aba Abdillah, aku menulis shahifah ini sedangkan aku hafal seluruh isinya dan aku tahu bahwa shahifah ini adalah maudhu’, agar tidak ada orang yang datang dan merubah Aban menjadi Tsabit lalu ia meriwayatkannya (dan mengkalimnya) dari Ma’mar dari Tsabit dari Anas. Dengan demikian akan aku katakan padanya, Kamu telah berdusta, karena sesungguhnya shahifah ini dari Ma’mar dari Abad bukan dari Tsabit.”… (Tadribur Rawi I/266-267).

Syaikh Abu Mu’adz Ro`id Alu Thohir berkomentar : Aku katakan, inilah perihal ‘Abdullah bin Muhammad bin ‘Umar bin ‘Ali dan bapaknya, keduanya bersendirian (tafarud) di dalam riwayat ini, lantas bagaimana bisa berhujjah dengannya?!! Hadits ini jika keduanya tidak menyelisihi seorangpun atau riwayat selain keduanya, namun keduanya menyelisihi hadits para perawi tsiqqoot dhobithin yang meriwayatkan hadits : “janganlah kalian berpuasa pada hari Sabtu kecuali puasa yang diwajibkan atas kalian…” dan tidaklah mungkin mengkompromikan kedua riwayat ini, karena hadits Ummu Salamah ini adalah hadits yang diingkari dikarenakan bersendiriannya riwayat Abdullah bin Muhammad bin Umar dan bapaknya serta kedua riwayatnya menyelisihi hadits yang lebih tsiqot. Allohu a’lam.

Adapun telaah yang dilakukan oleh Syaikh Abi ‘Umar al-Utaibi, yang menyebutkan ucapan-ucapan para ulama tentang ‘Abdullah bin Muhammad bin ‘Umar dan bapaknya, tidaklah tepat. Beliau telah merancukan sebagian pembaca dan beliau mengira bahwa hal ini merupakan penguat hadits… padahal tidak demikian keadaannya. Telah jelas pada para pembaca ketika membaca nukilan al-Utaibi dari ucapan para huffazh tentang perawi hadits ini bahwasanya beliau hanyalah menguatkan apa yang selaras dengan pendapatnya dari ucapan para huffazh ini, dan beliau merasa terheran-heran dan mendha’ifkan pendapat yang menyelisihinya dengan suatu hal yang tidak dapat diterima dan tanpa burhan dan hujjah. Telaahlah ucapan beliau maka Anda akan mendapatkan secara nyata hal ini. [selesai ucapan Syaikh Abu Mu’adz di dalam ta’qibnya terhadap artikel Syaikh Abu ‘Umar dengan sedikit diringkas dan penyederhanaan].

 

Saya berkata : Pertama, dari telaah dan pembahasan ilmiah di atas, lebih tampak di dalam pandangan saya bahwa pendapat yang rajih adalah apa yang dipaparkan Imam al-Albani sebagai taroju’ beliau sekaligus pendapat beliau yang terakhir. Bahwa hadits Ummu Salamah ini adalah hadits yang bermasalah pada dua orang rawinya, yaitu ‘Abdullah bin Muhammad bin ‘Umar dan bapaknya, dimana para ulama ahli hadits lebih condong menilai mereka sebagai shoduq atau tsiqqoh namun diingkari sebagian haditsnya. Hal ini menunjukkan bahwa hadits mereka ini maqbul apabila selaras dengan hadits yang lebih dhabith dan tsiqqoh dan sebagai mutaba’ah, namun pada realitanya hadits ini tidak memiliki mutabi’ bahkan menyelisihi hadits yang lebih dhabith dan tsiqqoh. Maka, hadits ini tidak dapat dijadikan sebagai pengkontradiksi hadits Alu Busr, karena derajatnya tidak sama kuat dan shahih.

Kedua, ‘ala Fardhi shihhatil Hadits maka hadits ini tidak kontradikitf dengan hadits Alu Busr. Karena hadits Ummu Salamah ini berupa fi’lu (perbuatan) Nabi sedangkan hadits Alu Busr berupa qoulu (ucapan) Nabi. Maka di dalam kaidah ushul fiqh dikatakan al-Qoulu muqoddam ‘alal Fi’li (Ucapan Nabi lebih didahulukan daripada perbuatan).

Ketiga, ‘ala fardhi shihhatil hadits juga, hadits Ummu Salamah membuahkan al-Ibahah (kebolehan) sedangkan hadits Alu Busr membuahkan al-Hadhr (peringatan/larangan), di dalam kaidah ushul fiqh dikatakan al-Hadhr muqoddam ‘alal Ibahah (larangan lebih didahulukan daripada kebolehan).

Ada beberapa contoh dalam tathbiq kaidah ini yang serupa, seperti :

  • Larangan Nabi dari minum dengan berdiri padahal ada riwayat beliau pernah minum sambil berdiri. Maka larangan tersebut adalah bagi kita (ummat Islam) dan kebolehan tesebut hanya bagi beliau sebagai suatu kekhususan.

  • Larangan Nabi untuk berpuasa wishol padahal beliau melakukannya. Hal ini menunjukkan larangan bagi selain beliau dan kebolehan hanya bagi beliau sebagai suatu kekhususan.

  • Larangan Nabi untuk menikah tanpa mahar kepada kaum mukminin sedangkan beliau menikahi wanita yang menyerahkan dirinya kepada Nabi tanpa mahar. Maka hal ini haram bagi kaum mukminin dan boleh bagi Nabi sebagai suatu kekhususan

Dan masih banyak lagi contohnya. Di dalam mensikapi puasa sunnah hari Sabtu ini, maka sangat mungkin menerapkan hal ini ‘ala fardhi shihhatil hadits. Namun kenyataannya hadits ini tidak shahih namun dha’if karena tafarud (bersendirian)-nya sebagaiman ulasan sebelumnya. Maka tidaklah tepat mendahulukan hadits Ummu Salamah yang bermasalah untuk mempermasalahkan hadits Alu Busr. Allohu a’lam.

 

Hadits Ketiga : Hadits ‘Ubaid al-A’raj

Dari ‘Ubaid al-A’raj beliau berkata : Nenekku menceritakan padaku bahwasanya beliau mengunjungi Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Salam pada hari Sabtu dan ketika itu Rasulullah sedang makan siang. Lalu Rasulullah berkata : “kemarilah, mari makan”. Nenekku menjawab : “aku sedang berpuasa”. Rasulullah bertanya pada beliau : “apakah anda kemarin berpuasa?”, nenekku menjawab, “tidak”. Lalu Rasulullah bersabda padanya : “makanlah, karena berpuasa pada hari Sabtu itu laa laka wa laa ‘alaika.” [akan datang penjelasan ucapan ini, pen]

Diriwayatkan oleh Ahmad (VI/368) dari jalan Yahya bin Ishaq dari Ibnu Lahi’ah, dari Musa bin Wardan, dari ‘Ubaid al-A’raj. Diriwayatkan pula oleh Ahmad (VI/368) dari jalan Hasan bin Musa dari Ibnu Lahi’ah dari Musa bin Wardan dari ‘Umair bin Jubair Maula Khorijah bahwasanya ada seorang wanita… (beliau menyebutkan isi hadits tanpa asbabul wurud-nya).

Syaikh ‘Ali berkomentar : Barangsiapa menyatakan keshahihan hadits ini atau hasannya, sesungguhnya ia menshahihkan darinya marfu’ qouli tanpa asbabul wurud-nya. Lihat Al-Bayan wat Ta’rif fi Asbabi Wurudil Hadits (II/400) karya al-Husaini.

Al-Haitsami (III/198) berkata tentang sanad pertama : “Di dalamnya terdapat Ibnu Lahi’ah, dan ada pembicaraan tentangnya. Úbaid al-A’raj tidak dikenal.” Beliau berkata tentang sanad kedua : “’Umair ini aku tidak mengenalnya.”

Kedua isnad hadits ini berporos pada Ibnu Lahi’ah, beliau ini tsiqqoh hanya saja hafalannya buruk setelah buku-bukunya terbakar. Dan riwayat Yahya dari beliau sebelum hal ini (terbakarnya buku) dan setelahnya adalah berasal dari ‘Ubaid al-‘A’raj pada satu ketika dan dari ‘Umair bin Jubair pada kali lain. Dan keduanya tidak dikenal. [di dalam Ta’jil al-Manfa’ah hal. 321 sepatutnya tawaqquf terhadapnya].

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah fi dalam al-Iqtidho’ (II/474) mendhaifkannya.

 

Faidah : Syaikh Abul Harits ‘Ali Hasan memiliki buku yang berjudul ad-Dala`il ar-Rofi’ah fi Dzikri man Shihhat Riwayatuhum ‘an Ibnu Lahi’ah yang menjelaskan tafshil (perincian) riwayat dari Ibnu Lahi’ah yang shahih riwayatnya sebanyak hampir sebanyak 15 riwayat.

 

Syaikh ‘Ali Hasan berkata :

Kemudian aku melihat ada jalan yang mauquf : Diriwayatkan oleh Nasa’i di dalam al-Kubro (55/a/12) sebagaimana di dalam Tuhfatul Asyraf (IV/294-no.5195) dari Ahmad bin Ibrahim bin Muhammad [beliau adalah Abu ‘Abdil Malik al-Qurosyi al-Busri] dari Ishaq bin Ibrahim [beliau adalah Abun Nashri al-Faradisi] dari Abu Muthi’ Mu’awiyah bin Yahya : memberitakan padaku Arthah beliau berkata : Aku mendengar Abu ‘Amir al-Alhani [beliau adalah ‘Abdullah bin Ghobir] berkata : Aku mendengar Tsauban maula Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Salam ditanya tentang berpuasa pada hari Sabtu dan beliau menjawab : Tanyakan pada ‘Abdullah bin Busr, kemudian ‘Abdullah bin Busr ditanya tentang hal ini lalu beliau menjawab :

صيام يوم السبت لا لك ولا عليك

Berpuasa pada hari Sabtu itu, laa laka wa laa ‘alayka.”

Syaikh ‘Ali berkomentar : sanadnya hasan mauquf. Boleh jadi salah seorang perawi yang tadinya majhul yang menyebabkan wahm hadits ini bias terangkat menjadi marfu’. Wallohu a’lam.

Dan makna yang dikehendaki di dalam hadits ini –wallohu a’lam– adalah :

لا لك أجر في صيامه ولا عليك حرج من تركه

Tidak ada ganjaran (pahala) berpuasa di dalamnya dan tidak ada dosa meninggalkannya.” Dan lafazh ini lebih dekat dengan maksud al-man’u (mencegah).

Yang dekat/serupa dengan makna lafazh ini adalah apa yang diriwayatkan oleh ‘Abdullah bin asy-Syakhir beliau berkata, disebutkan pada Rasulullah Shallallahu ‘alahi wa Salam seorang lelaku yang berpuasa dahri : “Laa Shooma wa laa afthor” (Dia tidaklah berpuasa dan tidak pula berbuka), [maksudnya ia tidak mendapatkan pahala puasa dan tidak pula merasakan nikmatnya berbuka, Allohu a’lam].

Hadits tersebut diriwayatkan oleh Ahmad (IV/25), Nasa’i (IV/206), Darimi (I/351), Ibnu Majah (I/544) dan selainnya dari jalan Qotadah, dari Muthorrif, dari bapaknya. Sanad hadits ini shohih. Sedangkan telah maklum secara kesepakatan bahwa berpuasa dahri itu terlarang.

Saya berkata : Dengan demikian, kata laa laka wa laa ‘alayka adalah lebih dekat kepada makna mencegah dan melarang, sebagaimana dalam hadits ‘Abdullah bin asy-Syakhir di atas.

 

Hadits Keempat dan Kelima : Hadits Juwairiyah dan Abu Hurairoh

Dari Juwairiyah binti al-Harits radhiyallahu ‘anhuma, bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Salam mengunjungi beliau pada hari Jum’at sedangkan beliau (Juwairiyah) dalam keadaan berpuasa. Lantas Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Salam bertanya kepadanya : “Apakah anda kemarin berpuasa?” beliau menjawab : “tidak”, Nabi bertanya kembali : “apakah anda besok [hari Sabtu] bermaksud puasa?”, beliau menjawab “tidak”. Lalu nabi bersabda padanya : “berbukalah”. Hadits shahih riwayat al-Bukhari (III/92).

Di dalam lafazh hadits dari Abu Hurairoh secara marfu’ : “… Janganlah kalian mengkhususkan hari Jum’at dari hari-hari lainnya dengan berpuasa, kecuali puasa yang biasa kalian lakukan.” HR Bukhari (III/92) dan Muslim (II/801).

Di dalam lafazh lain dari Abu Hurairoh pula, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Salam bersabda : “Janganlah salah seorang dari kalian berpuasa pada hari Jum’at melainkan diiringi dengan sehari sebelum atau setelahnya.” (Muttafaq ‘alaihi), sedangkan hari setelahnya adalah hari Sabtu.

Untuk menjawab kontradiksi hadits ini dengan hadits Alu Busr, maka jawaban Syaikhuna Abul Harits al-Halabi hafizhahullahu tampak telah mencukupi. Beliau berkata :

Adapun hadits pertama (Juwairiyah), maka jawabannya adalah –untuk membantah kontradiktifnya- dengan gambaran yang bermacam-macam, sebagian gambaran ini mencakup masalah dari pokoknya, yaitu :

Pertama : Bahwasanya hadits Juwairiyah –dan juga hadits Abu Hurairoh- keduanya tidak kuat untuk digunakan sebagai pengkontradiksi hadits larangan, karena tujuan yang diperoleh dari kedua hadits tersebut adalah kebolehan berpuasa hari Sabtu jika disertai puasa hari Jum’at, dan kebolehan ini adalah sebagai penyerta, tidak berdiri sendiri. Orang yang berpuasa di hari Jum’at boleh memilih diantara hari Sabtu atau Kamis (sebagai penyertanya).

Suatu kebolehan jika kontradiktif dengan larangan, maka yang didahulukan adalah larangan bukan kebolehannya karena larangan itu lebih kuat dan lebih tsabat hujjahnya, sebagai contoh adalah sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam :

إِذَ أَمَرْتُكُمْ بِأَمْرٍ فَأْتُوْا مِنْهُ مَا اسْتَطَعْتُمْ وَإِذَ نَهَيْتُكُمْ عَنْ أَمْرٍ فَانْتَهُوْا

Jika aku perintahkan kalian terhadap sesuatu maka laksanakanlah semampu kalian dan jika aku melarang kalian terhadap sesuatu maka jauhilah” (HR. Bukhari (77/9) dan Muslim (1337) dari Abu Hurairoh).

Tidaklah samar lagi –dalam menimbang hadits ini- bahwa suatu larangan tidak ada pilihan padanya. Adapun perintah, maka dikerjakan sesuai dengan kemampuannya. Perkara yang kami tolak pembahasannya dan sanggah kontradiktifnya, tidak ada padanya perkara yang lebih rendah, hanya saja sesungguhnya ghoyah (tujuan)nya –sebagaimana yang telah kusebutkan- adalah kebolehan. Maka apakah kontradiktif antara larangan yang sharih (terang) dengan hanya kebolehan mukhoyyar (yang dapat dipilih)??

Larangan menurut ulama ushul adalah : “Suatu susunan ucapan yang menunjukkan tuntutan menahan diri dari suatu perbuatan.” (Irsyadul Fuhul hal. 109 karya asy-Syaukani). Mendahulukan suatu larangan dari perintah ketika mengkompromikannya telah dikenal dari Salafus Shalih. Ath-Thayalisi meriwayatkan dalam Musnad-nya (no. 1922) dari jalan Yunus bin ‘Ubaid dari Ziyaad bin Hubair, ia berkata : “Ibnu ‘Umar ditanya tentang seseorang yang bernadzar berpuasa pada hari Jum’at, lantas beliau menjawab :

أمرنا بوفاء الندر و نهينا عن صوم هذا اليوم

Kami diperintahkan untuk memenuhi nadzar namun kami dilarang untuk berpuasa pada hari itu”. Sanadnya hasan (lihat Tuhfatul Asyraf (IX/346) dan komentar Ibnu Hajar terhadap atsar ini).

Hal ini menunjukkan dalamnya pemahaman Ibnu ‘Umar Radhiallahu ‘anhu, dan (hal ini menunjukkan) bagaimana beliau mendahulukan larangan ketimbang perintah di saat mengkompromikannya, karena suatu larangan tidak ada pilihan padanya. Sebagaimana telah kusebutkan –dan kuulangi lagi- bahwa (hadits) pengkontradiktif di sini menunjukkan suatu ‘kebolehan’ bukan selainnya!!

Sepatutnya mengarahkan pandangan pembahasan ini pada sisi di bawah ini :

Bahwasanya permasalahan ini turut dipengaruhi oleh kejadian hari Arofah pada tahun 1408 H. dimana hari itu bertepatan dengan hari Arofah, dan pendapat mengenainya beraneka ragam.

Sesungguhnya fadhilah (keutamaan) yang warid tentang berpuasa hari ‘Arofah adalah keutamaan yang besar dan agung, puasa arofah dapat menghapuskan dosa setahun sebelumnya dan setahun berikutnya (sebagaimana diriwayatkan oleh Muslim (1162) dari Abu Qotadah, dan juga dari sejumlah sahabat). Lantas, apakah berpuasa pada hari ini menyelisihi larangan yang datang dari (hadits) larangan berpuasa hari sabtu?? Ataukah kita berhenti dari puasa dan meninggalkan ganjaran yang agung ini??

Aku menjawab : Tidak ragu lagi menurut ahli ilmi agar mendahulukan larangan di atas kebolehan jika keduanya berkumpul pada satu jalan –sebagaimana telah berlalu penjelasannya-, dan sebagai penerang serta memperkuat hal ini adalah hadits yang tsabat dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam bahwasanya beliau  melarang berpuasa hari arofah di tanah arofah.

Lantas apakah perbedaan di antara kedua larangan ini??

Larangan berpuasa pada hari Sabtu walaupun bertepatan dengan hari Arofah!

Larangan berpuasa pada hari Arofah bagi orang-orang yang berada di tanah Arofah!

Kedua gambaran ini berhimpun di dalam ketetapan ganjaran bagi orang yang berpuasa pada hari ‘Arofah, dan ganjarannya adalah penghapus dosa dua tahun.

Demikian pula keduanya juga berhimpun di dalam larangan, pertama : dikarenakan hari itu bertepatan dengan hari Sabtu, dan yang kedua : dikarenakan berada di ‘Arofah. Dan kedua larangan ini adalah bersifat khusus dan terperinci.

Oleh karena itulah, adz-Dzahabi berkata dalam Siyar A’lamin Nubalaa’  (684/10): “Barang siapa yang berpuasa pada hari Arofah di tanah Arofah, sedangkan ia mengetahui larangannya, dan mengetahui bahwasanya Rasullullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam tidak berpuasa di tanah ‘Arofah, demikian pula tidak ada seorang sahabatpun melaksanakannya, maka dari apa yang kami ketahui, dia tidak benar, wallahu a’lam”

Ibnu Hazm telah menguatkan kebolehan berpuasa Arofah di hari ‘Arofah dalam al-Muhalla (VII/17-19), dan beliau mendha’ifkan hadits yang datang tentang larangannya –padahal haditsnya shahih dan tetap – dan beliau menukil dari Sayyidah ‘Aisyah bahwasnya ‘Aisyah berpuasa pada hari haji!! Aku (Syaikh Ali) berkata : tidaklah tetap hadits ini darinya sebagaimana ucapan al-Haitsami di dalam al-Majma’ (III/189) karena sanadnya terputus lagi lemah, dan ia menyebutkan pula dari jalan yang lain, namun aku tidak mendapati sanadnya diketahui tsabat pula dari ‘A`isyah.

Dia menukil pula dari al-Hasan bahwasanya ‘Utsman berpuasa pada hari yang panas yang menaungi dirinya!! Padahal Hasan tidaklah mendengar dari ‘Utsman sebagaimana ucapan al-Alla’i dalam Jami’ at-Tahshil hal. 162.

Yahya bin Ied juga ikut terpedaya dengan atsar Sayyidah ‘Aisyah dalam al-Qoul ats-Tsabt hal. 6 dengan turut berdalil dengannya. Ketahuilah, sesungguhnya ia mengkontradiksikan dirinya ketika menetapkan di dalam substansi perkataannya tentang ketetapan larangan berpuasa pada hari ‘Arofah di tanah Arofah, kemudian dirinya menukil pendapat Ibnu Hazm di atas!!

Dan serupa juga (dengan perkataan adz-Dzahabi di atas) ialah barang siapa yang berpuasa pada hari sabtu sedangkan ia mengetahui larangannya ketika berketepatan dengan puasa hari-hari yang utama seperti hari ‘Asyuura’ atau ‘Arofah ataupun selainnya. Segala puji hanya milik Allah.

Dari penjelasan yang telah lewat, para imam telah menunjukkan bahwa larangan tidaklah tegak melainkan setelah kebolehan sebagaimana dikatakan oleh al-Hazimi dalam al-I’tibaar (hal. 126) dan Imam ath-Thahawi sebagaimana dinukil darinya oleh az-Zaila’iy dalam Nashbu ar-Rooyah (II/234) dan beliau menetapkannya.

Kedua : Bahwasanya nash hadits tentang larangan berpuasa pada hari Sabtu menetapkan jazmun bin nafyi qoothi’un (secara tegas penafian yang pasti), yaitu : “…kecuali puasa yang diwajibkan atas kalian”. Pengecualian ini memasukkan jenis-jenis puasa sunnah seluruhnya ke dalam wilayah larangan, baik puasa sunnah maupun tathowwu’, kecuali puasa wajib maka boleh berpuasa di hari itu –dan tidak bagi selain puasa wajib-.

Dapat dikatakan di sini : Apakah puasa hari Sabtu adalah –sebagai sesuatu yang dapat dipilih- setelah berpuasa pada hari Jum’at bagi orang yang melaksanakannya adalah sesuatu yang wajib ataukah sunnah? Mayoritas akan menjawab : sunnah! Yang menunjukkan hal ini adalah dikeluarkannya hari Sabtu bagi orang yang berpuasa di hari Jum’at ketika tidak ada pilihan dalam menyelesaikannya adalah kita dilarang darinya.

Ketiga : Bahwasanya termasuk tarjiihaat (pendapat pilihan yang dikuatkan) oleh para ulama adalah menjadikan salah satu dari kedua hadits sebagai nash dan qoul, dan yang satunya disandarkan padanya istidlal dan ijtihad, maka yang pertama adalah lebih rajih.

Al-Hazimi berkata di dalam al-I’tibar (hal. 11), dan az-Zaila’iy menukil darinya dan menetapkannya di dalam Nashbu ar-Royah (III/289), dan demikian pula pendapat al-Hafizh Ibnu Hajar di dalam al-Fath (I/590). Realitanya kami tidak menentang penetapan hadits ini, berikut ini penjelasan sempurnanya :

Larangan berpuasa selain puasa wajib pada hari Sabtu adalah sharihun nashiyun jaliyun (teksnya sangat terang sekali) (diantara sisi tarjih adalah “mendahulukan perkara yang terang hukumnya ketimbang yang tidak terang” (Irsyadul Fuhul hal. 279)), sedangkan hadits yang membolehkan dijadikan dalil dengan nash yang diistinbathkan darinya kebolehan sebagai penyerta (puasa Jum’at saja). Dan yang sangat jelas adalah bahwa penyerta ini terkadang dapat diterima, namun selama tidak menyelisihi yang lebih sharih dan terang.

Keempat : Serupa dengan yang telah lewat adalah apa yang disebutkan oleh para ulama dari segi manthuq (pemahaman teks) dan mafhum (pemahaman konteks)-nya :

Seorang yang berdalil tentang kebolehan berpuasa pada hari Sabtu dengan hadits Juwairiyah dan Abu Hurairoh, sesungguhnya ia berdalil dengan mafhum yang mengisyaratkannya sebagai penyerta akan kebolehannya, sedangkan hadits Alu Busr sharih (terang) larangannya dari sisi manthuq-nya.

Beristidlal dengan mafhum tidak dapat menjadi hujjah kecuali jika selamat dari kontradiksi.” Sebagaimana diutarakan oleh adz-Dzahabi dalam Muktashar Sunan al-Baihaqi yang menukil arinya az-Zaila`iy di dalam Nashbu ar-Royah (I/57).

Tambahan Penting : Yahya bin Ied mengklaim dalam al-Qoul ats-Tsabt hal. 7 bahwa hadits Juwairiyah manthuq-nya tidak ada perselisihan di dalamnya, dan hari berikutnya setelah Jum’at adalah hari Sabtu. Hal ini adalah perkataan bathil, yang dibangun di atas ketidakfahaman terhadap ucapan ulama ushul tentang al-Manthuq dan al-Mafhum, sebagai penerang hal ini, aku berkata :

Asy-Syaukani berkata dalam Irsyadul Fuhul hal. 178 : “al-Manthuq adalah apa yang ditunjukkan oleh lafazh di dalam konteks suatu ucapan, yang menjadi hukum dari yang disebutkan/diucapkan dan hal dari keadaannya. Al-Mafhum adalah apa yang ditunjukkan oleh lafazh tidak di dalam konteks suatu ucapan, yaitu yang menjadi hukum bukan yang disebutkan dan hal dari keadannya.  Kesimpulannya, bahwasanya lafazh merupakan acuan bagi makna yang dipetik darinya, terkadang dipetik darinya dari segi ucapan yang jelas dan terkadang dari segi isyarat saja. Yang pertama merupakan manthuq dan yang kedua merupakan mafhum.” Selesai ucapan –rahimahullahu- sampai di sini.

Di dalam ucapan ini terdapat bantahan yang padat yang mematahkan klaim Yahya Ied yang menyatakan hadits Juwairiyah sebagai manthuq!! Bagaimana mungkin dikatakan manthuq padahal hadits Juwiriyah ini tidak menggiring keterangan hukum puasa hari Sabtu secara bebas (berdiri sendiri) namun sebagai penyerta, sebagaimana asy-Syaukani mengisyaratkannya dengan ucapannya : “yaitu yang menjadi hukum adalah selain yang disebutkan dan hal dari keadaannya”. Hal ini merupakan ’ainul qoul tentang hadits Juwairiyah. Adapun hadits Alu Busr menggiring kepada keterangan hukum berpuasa hari Sabtu secara bebas (berdiri sendiri) dengan shighat yang kuat dan mapan yang tidak dapat dibawa kepada kemungkinan lain. Hal ini secara sendirinya membatalkan ucapan Yahya ied dari asasnya.

Kelima : Sebagai penguat penjelasan sebelumnya, dan sebagai penjelas bagi ilmu serta tambahan faidah, kami berkata : Hadits Juwairiyah di dalamnya terdapat hukum berpuasa pada hari Jum’at yang mengandung dua gambaran : yaitu bisa jadi beserta hari Kamis atau bisa jadi hari Sabtu. Sedangkan hadits keluarga Busr datang dengan keterangan ketidakbolehan berpuasa pada hari Sabtu kecuali puasa yang diwajibkan. Kami telah menetapkan –sebelumnya- bahwa hadits Juwairiyah sesungguhnya diistidlalkan dari mafhum-nya bukan dari manthuq-nya, sebaliknya hadits keluarga Busr.

Keenam : Imam Syaukani membahas secara panjang lebar dalam Irsyadul Fuhul hal. 146-147) sebagai penetap bahwa pengecualian termasuk shighat terkuat dalam mengkhususkan yang ‘am. Al-Khusush adalah “mengeluarkan sebagian dari yang masuk ke dalam al-‘Umum” (hal. 142). Dan hadits keluarga Busr adalah termasuk pengkhusus yang kuat karena nash-nya terang, jelas lagi sharih dengan menyebutkan pelarangan berpuasa pada hari Sabtu, kecuali puasa yang wajib. Adapun hadits-hadits lain yang menyebutkan puasa hari Jum’at bergandengan dengan puasa hari Kamis ataupun Sabtu, atau hadits-hadits lainnya yang menyebutkan berpuasa sehari dan berbuka sehari (puasa Dawud, peny.), ataupun hadits yang menjelaskan berpuasa tiga hari setiap bulan (puasa hari putih, peny.), kesemua hadits ini adalah dalil yang umum dibandingkan hadits keluarga Busr. Karena hadits keluarga Busr di dalamnya terdapat larangan dari segala jenis puasa seluruhnya kecuali yang telah diwajibkan. Tanpa ragu lagi, bahwa hadits-hadits tersebut yang telah ditunjukkan seluruhnya datang bukan sebagai puasa yang wajib.

[Selesai di sini ucapan Syaikh Abul Harits ’Ali Hasan hafizhahullahu di dalam Zahru Roudhi halaman 54-64]

Sebagai tambahan faidah akan saya nukilkan penjelasan Imam al-Albani mengenai hal ini. Beliau rahimahullahu berkata :

Barangsiapa yang berpuasa pada hari Jum’at tanpa hari Kamis, maka ia harus berpuasa pada hari Sabtu karena hal ini menjadi wajib, untuk menyelamatkan diri dari dosa akibat penyelisihan berpuasa pada hari jum’at secara bersendirian. Dia dalam keadaan ini masuk ke dalam keumuman sabda Nabi Shallallahu ’alaihi wa Salam tentang hadits (larangan puasa hari) Sabtu : ”kecuali puasa yang diwajibkan atas kalian”. Namun hal ini hanya berlaku bagi orang yang berpuasa hari Jum’at namun ia lalai akan larangan bersendirian berpuasa pada hari itu. Adapun bagi orang yang mengetahui akan larangannya maka ia tidak boleh berpuasa pada hari itu, karena ia dalam keadaan ini berpuasa yang tidak diwajibkan atasnya. Maka keadaan ini tidak masuk ke dalam keumuman hadits yang telas disebutkan. Dari sini diketahui jawabannya bahwa apabila berbarengan hari Jum’at dengan hari fadhilah (yaitu jatuhnya puasa sunnah pada hari Jum’at) maka tidak boleh bersendirian berpuasa padanya sebagaimana sekiranya bertepatan dengan hari Sabtu, karena puasa ini tidak menjadi wajib atasnya” [selesai, dinukil dari al-Qouluts Tsabt fi Hurmati Yaumis Sabti oleh Abu Sanad Muhammad].

Demikian inilah dalil-dalil dan argumentasi yang membantah dalil dan dakwaan ta’arudh antara hadits Alu Busr dengan hadits-hadits lainnya dari fihak yang memperbolehkan berpuasa sunnah pada haru Sabtu. Dan masih ada lagi celah lain yang masih dapat didiskusikan, akan kami tambal pada pembahasan berikutnya. Bagi yang kurang puas dengan ta’qib kami di atas, silakan menyanggahnya dengan ta’qib ilmiah dari sisi syaqqul hadits dan syaqqul fiqhi. Allohu a’lam

 

(Bersambung ke bagian 3)

 


Leave a Reply

Your email address will not be published. Fields with * are mandatory.