Puasa Sunnah Hari Sabtu (1) : Sokongan dan Sanggahan Terhadap Makalah Abu ‘Umair dan Abu Ishaq

 Feb, 03 - 2007   8 comments

تأييد و تعقيب على مقالات أبي عمير وأبي إسحاق في مسألة صيام يوم السبت في غير الفرض

 

Sokongan dan Sanggahan Terhadap Makalah Abu ‘Umair dan Abu Ishaq tentang Masalah Puasa Sunnah pada Hari Sabtu

 

(Bagian 1)

الحمد لله الذي لا إله إلا هو له الحمد في الأولى والآخرة، وله الحكم وإليه ترجعون، والصلاة والسلام على النبي الكريم الذي كان يستفتح صلاته بقوله: الله رب جبريل وميكائيل وإسرافيل فاطر السموات والأرض اهدني لما اختلف فيه من الحق بإذنك إنك تهدي من تشاء إلى صراط مستقيم، وعلى آله وأصحابه ومن سار على هداهم من أهل الحق والدين إلى يوم البعث والنشور .. وبعد،،

Segala puji hanyalah milik Alloh yang tiada sesembahan yang haq untuk disembah melainkan hanya diri-Nya, Dia-lah pemilik segala pujian dari permulaan hingga akhir dan Dialah pemilik keputusan (hukum) serta hanya kepada-Nyalah segalanya akan berpulang. Kesejahteraan dan keselamatan semoga senantiasa terlimpahkan kepada Nabi yang mulia, yang senantiasa membuka sholatnya dengan sabdanya : (Wahai) Alloh Rabb-nya Jibril, Mika`il dan Israfil, pengatur langit dan bumi, tunjukilah aku dari segala hal yang diperselisihkan kepada petunjuk dengan izin-Mu, (karena) sesungguhnya Engkau memberi petunjuk kepada siapa saja yang Kau kehendaki kepada jalan yang lurus. (Kesejahteraan dan keselamatan juga senantiasa) tercurahkan kepada keluarga beliau, para sahabat beliau dan siapa saja yang meniti di atas petunjuk mereka dari para pengikut kebenaran dan agama, hingga hari pembangkitan (kiamat)… wa ba’du :

Sesungguhnya, ketika saya melihat saudara-saudara saya para penuntut ilmu yang giat dan bersemangat, yang mereka menyibukkan diri dengan ilmu yang bermanfaat dan ‘amal sholih, mereka sibukkan diri dengan pembahasan-pembahasan ilmiah dan dirosah (studi) fiqhiyyah tafshiliyyah, maka hati saya sangat bergembira ria melihat hal ini. Terutama, ketika saudara-saudara saya para penuntut ilmu Bandung, salafiyyin ITB yang –masya Alloh-, diantara mereka adalah saudara saya yang mulia Abu ‘Umair dan Abu Ishaq as-Sundawi hafizhahumallahu wa nafa’allohu bihima.

Adapun orang yang saya sebut terakhir, yaitu al-Akh al-Fadhil Abu Ishaq ‘Umar Munawwir, saya pernah bertemu dengan beliau ketika Dauroh Syar’iyyah fi Masa`il Aqodiyyah wa Manhajiyyah di Lawang beberapa tahun silam. Dalam hal ini, saya tidak meragukan lagi kapasitas keilmuan beliau, bahkan beliau termasuk dalam jajaran senior saya dalam hal keilmuan dan usia. Beliau adalah orang senantiasa menyibukkan diri dengan pembahasan-pembahasan ilmiah.

Adapun al-Akh al-Fadhil Abu ‘Umair, saya sebenarnya belum pernah bertemu beliau. Namun saya mengenal beliau melalui dunia maya ini. Melihat dari tulisan dan maqoolaat (makalah-makalah) beliau, maka saya tidak ragu lagi mengatakan bahwa beliau adalah tholibul ‘ilmi yang mutamakkin (mumpuni), yang semangat di dalam muthola’ah (menelaah) dan muroja’ah (mereferensi). Oleh karena itu, saya sangat menyetujui beberapa ulasan beliau yang sangat ilmiah, kecuali pada sebagian kecil masalah, khususnya dalam masalah hukum puasa sunnah pada hari Sabtu.

Masalah yang kita bicarakan dan fokuskan kini, adalah masalah hukum puasa sunnah pada hari Sabtu. Masalah ini sebenarnya telah saya susun beberapa tahun silam [tepatnya kurang lebih 2 tahun silam] dalam artikel yang berjudul “Kontroversi Puasa Sunnah Hari Sabtu”, dimana dalam artikel ini saya lebih banyak merujuk kepada buku Syaikhuna ‘Abul Harits Ali Hasan al-Halabi hafizhahullahu yang berjudul Zahru Roudhi fi Hukmi Shiyaami Yaumis Sabti fi Ghoyril Fardhi yang menurunkan takhrij hadits Alu Busr [hadits keluarga Busr yang menjelaskan larangan puasa sunnah hari Sabtu] ini secara lengkap dan mengumpulkan thuruq (jalur-jalur periwayatan)-nya sehingga sampai pada kesimpulan bahwa hadits ini adalah hadits yang shahih dan maqbul tanpa menyisakan syak (keraguan) sedikitpun.

Kemudian Syaikh Abul Harits juga menjelaskan fiqhul hadits dan membantah beberapa syubuhat dan argumentasi lawan yang menyatakan kebolehan berpuasa sunnah pada hari Sabtu dari sisi ushul fiqh. Bagi yang ingin mengetahui secara lengkap argumentasi beliau, maka silakan rujuk buku asli beliau langsung atau silakan baca artikel saya yang sebagian besar merujuk kepada buku beliau tersebut di dalam blog ini.

Saya sangat menghargai sekali adanya perbedaan dalam masalah ini, karena ini adalah masalah khilafiyah ijtihadiyah yang mu’tabar dari semenjak ulama mutaqoddimin hingga muta`akhkhirin. Namun, suatu hal yang tidak dipungkiri, bahwa jumhur ulama baik mutaqoddimin maupun muta`akhkhirin lebih merajihkan pendapat akan kebolehan berpuasa hari Sabtu apabila tidak infirad (bersendirian) dan tanpa takhshish (pengkhususan) dan ta’zhim (pengagungan). Namun, kita tidak berpegang kepada pendapat jumhur, yang kita pegang adalah Al-Qur’an dan hadits Nabi yang shahih –akan saya turunkan pembahasannya nanti masalah ini, insya Alloh-.

Sebelum membahas ke ta’qib (sanggahan) terhadap ulasan al-Akh Abu ‘Umair dan Abu Ishaq, saya akan memberikan sedikit ta’yid (sokongan) saya terhadap ulasan mereka dan menurunkan beberapa muqoddimah ilmiah yang berkaitan di dalam masalah khilaf semacam ini.

Ta’yid saya dalam hal ini adalah, bahwa ternyata –Allohu ‘alam– dari yang tampak dari ulasan al-Akh Abu ‘Umair dan Abu Ishaq, mereka berdua bersepakat bahwa hadits Alu Busr ini adalah hadits yang berterima isnadnya dan shahih secara sanad tanpa menyisakan keraguan. Namun, perbedaan kami adalah dari sisi fiqhul hadits…

Dalam masalah perbedaan mengenai hukum puasa sunnah pada hari Sabtu ini, setidaknya ada tiga pendapat –yang bisa saya klasifikasikan- berdasarkan referensi dan buku bacaan yang saya miliki, dan pendapat saya ini insya Alloh sama dengan apa yang dipaparkan oleh al-Akh Abu Ishaq dan Abu ‘Umair, walau tampaknya Abu ‘Umair sedikit memberikan tambahan penjelasan Abu Ishaq yang menurut saya sudah terkandung di dalam klasifikasi Abu Ishaq, yaitu :

Pendapat Pertama : Boleh berpuasa sunnah pada hari Sabtu secara mutlak, tanpa maksud ta’zhim dan takhshish. Jadi, apabila hari Sabtu jatuh kepada hari dimana seseorang biasa melakukan puasa sunnah, misalnya seperti puasa Dawud, puasa hari putih (tanggal 13,14,15 setiap bulan Qomariah) atau puasa-puasa sunnah lainnya, termasuk juga puasa (yang dilakukan secara) ‘spontan’ yaitu puasa yang dilangsungkan tanpa diniatkan pada malam harinya, dan ketika melihat pada hari Sabtu itu tidak ada makanan –misalnya-, maka ia berpuasa pada hari Sabtu itu. Maka menurut pendapat pertama ini, semuanya ini dibolehkan. Namun apabila dilakukan dengan mengkhususkan hari Sabtu untuk berpuasa –padahal pengkhususan butuh dalil- ataupun mengagungkannya –yang juga butuh dalil-, maka semua ulama sepakat akan ketidakbolehannya. Karena hal ini termasuk bid’ah dan muhdats.

Pendapat Kedua : Boleh berpuasa sunnah pada hari Sabtu secara tidak bersendirian dengan diiringi berpuasa sehari sebelum atau setelahnya. Dalam hal ini, para ulama ada dua pendapat, yaitu :

  • Mensyaratkan mutlak harus diiringi sehari sebelum atau setelahnya. Apabila jatuh pada hari Sabtu puasa sunnah seperti puasa ‘Asyura`, ‘Arofah, puasa hari-hari putih, puasa Dawud, atau semisalnya, mereka mengharuskan mengiringinya dengan sehari sebelum dan setelahnya dan apabila tidak, maka hukumnya terlarang.

  • Mensyaratkan harus diiringi sehari sebelum atau setelahnya namun memperbolehkan berpuasa secara bersendirian apabila jatuh pada hari Sabtu puasa sunnah seperti puasa ‘Asyura`, ‘Arofah, puasa hari-hari putih, puasa Dawud, atau semisalnya. Pendapat ini sekilas tampak sama dengan pendapat pertama di atas, namun bedanya adalah apabila tidak ada sebab seperti jatuhnya puasa sunnah pada hari Sabtu, maka mereka yang berpegang dengan pendapat ini mengharuskan puasa sunnahnya pada hari Sabtu untuk menyertainya dengan puasa sehari atau sebelumnya. Adapun pendapat pertama di atas, maka boleh ia berpuasa sunnah tanpa sebab selama tanpa ada maksud takhshish dan ta’zhim walaupun tidak diiringi dengan sehari setelah atau sebelumnya.

Pendapat Ketiga : Tidak boleh berpuasa sunnah secara mutlak pada hari Sabtu, walaupun tanpa diiringi maksud takhshish, ta’zhim, atau diiringi dengan sehari sebelum atau setelahnya, dan walaupun jatuh pada hari Sabtu puasa sunnah semisal puasa ‘Arofah, ‘Asyura`, hari-hari putih atau semisalnya. Pendapat inilah yang diperpegangi oleh Imam al-Albani rahimahullahu dan sebagian murid-murid beliau, yang menyebabkan kontroversi dan perdebatan ilmiah yang panjang. Dan alhamdulillah, pendapat inilah yang sampai saat ini penulis pegang karena hujjah yang penulis lihat –sampai saat ini- adalah yang lebih kuat, sedangkan hujjah fihak lawan yang menyelisihi belum dapat memuaskan penulis untuk meninggalkan pendapat ini.

Namun, bagaimanapun juga, masalah ini adalah masalah khilafiyah ijtihadiyah ilmiyah yang seharusnya disikapi dengan sikap lapang dada dan besar hati, tanpa ada sikap saling mencela, mendiskreditkan dan bahkan sampai menvonis sesat atau bid’ah fihak yang berlawanan. Namun, ini juga bukan artinya semua pendapat di atas adalah benar, ini artinya adalah tiap muslim dapat belajar menelaah dan menganalisa pendapat yang benar menurut kadar kemampuan dan pemahamannya.

Dalam masalah ini, sikap saling mengingkari dengan adab dan akhlaq ilmiyah adalah yang dituju, bukannya malah bersikap stagnan pasrah dengan dalih ini masalah khilafiyah lantas tidak ada upaya tarjih dan muthola’ah, ataupun sikap keras fanatik menyalahkah fihak lawan dengan tuduhan-tuduhan keji dan semangat fanatisme.

Oleh karena itu, tidak ada salahnya apabila saya turunkan beberapa kaidah ilmiah di dalam mensikapi perbedaan atau perselisihan di antara sesama ahli sunnah, apalagi perbedaan dalam masalah khilafiyah ijtihadiyah.

 

Kaidah Pertama :

Kewajiban utama seorang muslim tatkala berselisih adalah mengembalikan kepada Kitabullah, Sunnah Rasulullah dan ijma’ Shohabat. Adapun selain ketiga ini adalah tidak ma’shum, bisa diterima dan bisa ditolak.

Sebagaimana firman Alloh Azza wa Jalla :

فإن تنازعتم في شيء فردوه إلى الله والرسول إن كنتم تؤمنون بالله واليوم الآخر

Apabila kalian sedang berselisih tentang suatu apapun, maka kembalikanlah perselisihan tersebut kepada Alloh [yaitu kepada Kitabullah] dan kepada Rasulullah [yaitu kepada Sunnah beliau setelah beliau wafat] apabila kalian benar-benar beriman kepada Alloh dan hari Akhir. (an-Nisa’ : 59).

 

Kaidah Kedua :

Tidak boleh bagi seorangpun keluar dari dilalah (penunjukan) yang qoth’i (pasti) dari Al-Qur’an, Sunnah Rasulullah dan ijma’ ummat yang telah diketahui secara yakin. Dilalah yang zhanni (tidak pasti) dari Al-Qur’an dan As-Sunnah harus dikembalikan kepada yang qath’i, dan yang mutasyabih (samar) dikembalikan kepada yang muhkam (jelas).

Sebagaimana firman Alloh Azza wa Jalla:

هو الذي أنزل عليك الكتاب منه آيات محكمات هن أم الكتاب، وأخر متشابهات فأما الذين في قلوبهم زيغ فيتبعون ما تشابه منه ابتغاء الفتنة وابتغاء تأويله وما يعلم تأويله إلا الله والراسخون في العلم يقولون آمنا به كل من عند ربنا وما يتذكر إلا أولو الألباب

Dia-lah yang menurunkan Al-Kitab (Al-Quran) kepada kamu. Di antara (isi) nya ada ayat-ayat yang muhkamaat, itulah pokok-pokok isi Al-Qur’an dan yang lain (ayat-ayat) mutasyaabihaat. Adapun orang-orang yang dalam hatinya condong kepada kesesatan, maka mereka mengikuti sebahagian ayat-ayat yang mutasyaabihaat daripadanya untuk menimbulkan fitnah untuk mencari-cari ta’wilnya, padahal tidak ada yang mengetahui ta’wilnya melainkan Allah. Dan orang-orang yang mendalam ilmunya berkata: “Kami beriman kepada ayat-ayat yang mutasyaabihaat, semuanya itu dari sisi Tuhan kami.” Dan tidak dapat mengambil pelajaran (daripadanya) melainkan orang-orang yang berakal.” (QS Ali Imran : 7)

 

Kaidah Ketiga :

Perlu adanya sikap saling mengingkari dan meluruskan walaupun di dalam masalah khilafiyyah ijtihadiyyah, tanpa disertai dengan tajrih, tahdzir, tasyhir atau bahkan sampai kepada tabdi’, tafsiq atau takfir. Karena kebenaran di sisi Alloh itu adalah satu dan tak berbilang.

Syaikhul Islam kedua, Imam Ibnu Qoyyim al-Jauziyah rahimahullahu berkata :

((وقولهم إن مسائل الخلاف لا إنكار فيهاليس بصحيح؛ ، وكيف يقول فقيه لا إنكار في المسائل المختلف فيها والفقهاء من سائر الطوائف قد صرحوا بنقض حكم الحاكم إذا خالف كتاباً أو سنة وإن كان قد وافق فيه بعض العلماء؟ وأما إذا لم يكن في المسألة سنة ولا إجماع وللاجتهاد فيها مَسَاغ لم تنكر على مَنْ عمل بها مجتهداً أو مقلداً))

Ucapan mereka ‘sesungguhnya di dalam permasalahan khilaf tidak ada pengingkaran’ tidaklah benar… bagaimana bisa seorang faqih (ahli fikih) berkata tidak ada pengingkaran di dalam masalah yang banyak perselisihan di dalamnya sedangkan para ahli fikih dari seluruh kelompok telah menunjukkan dengan jelas kritikan terhadap keputusan seorang hakim apabila menyelisihi Kitabullah dan Sunnah walaupun keputusan tersebut selaras dengan pendapat beberapa ulama? Adapun di dalam permasalahan itu tidak ada sunnah dan ijma’ (yang menjelaskannya), maka diperbolehkan berijtihad di dalamnya dan tidak diingkari orang yang mengamalkannya karena berijtihad ataupun bertaklid.” ( I’lamul Muwaqqi’in, Juz III hal. 300)

 

Kaidah Keempat :

Terkadang perselisihan itu merupakan suatu keluasan dan rahmat dari Alloh. Selama perselisihan itu adalah perselisihan yang mu’tabar di kalangan salaf dan kholaf. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullahu menyebutkan di dalam Majmu’ Fatawa 30/79 bahwa ada seorang yang menulis buku tentang masalah ikhtilaaf lantas Imam Ahmad berkata :

أن رجلاً صنف كتاباً في الاختلاف فقال أحمد: لا تُسمِّه كتاب الاختلاف، ولكن سمه كتاب السعة

Jangan kau namakan buku itu dengan buku ikhtilaf, tapi namakan buku itu dengan buku sa’ah/keluasan.”

 

Kaidah Kelima :

Wajib mengikuti kebenaran walaupun menyelisihi pendapatnya setelah tampak bahwa pendapat yang menyelisihinya adalah yang benar. Karena yang wajib untuk diikuti adalah kebenaran, bukannya pendapat atau madzhab individu-individu yang tidak ma’shum setinggi apapun derajatnya.

Alloh Ta’ala berfirman :

والذي جاء بالصدق وصدق به أولئك هم المتقون

Dan orang yang membawa kebenaran (Muhammad) dan membenarkannya, mereka itulah orang-orang yang bertakwa.” (QS Az-Zumar : 33)

[Disarikan dari al-Qowa’id adz-Dzahabiyah fi Adabil Khilaf, Adabul Khilaf dan ar-Rudud as-Salafiyyah secara ringkas dan bebas].

 

Setelah kita mengetahui tentang kaidah-kaidah khilaf yang singkat di atas, kini mari kita memasuki pembahasan utama artikel ini, yaitu ta’qib terhadap ulasan al-Akh Abu ‘Umair dan Abu Ishaq tentang masalah hukum puasa sunnah pada hari Sabtu.

Ada beberapa poin ta’qib yang akan saya turunkan, yaitu :

  • Syaikh Al-Albani adalah orang pertama yang memahami kata an-nahyu di dalam hadits Alu Busr adalah sebagai haram mutlak, atau dengan kata lain beliau menyelisihi jumhur.

  • Hadits Alu Busr adalah hadits yang syadz atau menyelisihi hadits-hadits lainnya yang lebih shahih sehingga harus dijama’.

  • Dakwaan bahwa pendapat yang menguatkan larangan mutlak puasa sunnah pada hari Sabtu menelantarkan hadits-hadits shahih lainnya

Inilah kurang lebih 3 poin utama yang akan saya jawab, yang mungkin jawaban saya ini masih jauh dari kesempurnaan sehingga masih banyak peluang untuk mengoreksi dan menta’qib jawaban saya ini. Mungkin juga 3 poin di atas yang saya sebut tidak menjawab semua musykilat (problematika) tentang perselisihan dan perbedaan masalah ini, sehingga apa yang saya paparkan ini tidak bisa menjawab sepenuhnya argumentasi fihak “lawan”. Namun, semoga yang sedikit ini bisa sedikit memberikan gambaran ilmiah tentang hujjah yang diperpegangi oleh mereka yang berpendapat bahwa puasa sunnah hari Sabtu adalah terlarang.

 

Ta’qib 1 : Syaikh Al-Albani adalah orang pertama yang memahami kata an-nahyu di dalam hadits Alu Busr adalah sebagai haram mutlak, atau dengan kata lain beliau menyelisihi jumhur.

Abu Ishaq berkata : “Namun perlu dicatat, para ulama sedari dulu hingga sekarang yang menerima keabsahan hadits ini semuanya sepakat memahami makna an-nahyu (larangan) dalam hadits ini adalah karahah, yakni karahah tanzih (sesuatu yang makruh dan sangat dianjurkan untuk ditinggalkan). Al-Imam Al-Albani rahimahullah dengan melihat zhahir hadits tersebut berpendapat bahwa makna an-nahyu (larangan) dalam hadits ini adalah haram. Pemahaman ini tentu sejalan dengan kaidah bahwa hukum asal suatu larangan adalah haram. Namun demikian hal ini tidak bisa berlaku manakala ada qarinah yang memalingkan makna larangan tersebut dari zhahir/tekstualnya. Barangkali Al-Imam Al-Albani rahimahullah merupakan yang pertama (?) yang memahami an-nahyu dalam hadits ini dengan makna haram.”

Dan ucapan ini tampaknya disetujui oleh Abu ‘Umair dalam artikelnya yang berjudul Ta’qib : Artikel “Khulashoh Puasa Sunnah Hari Sabtu”

Tanggapan :

Ucapan Abu Ishaq di atas, tatkala beliau menyebutkan “semuanya sepakat memahami makna an-nahyu (larangan)” mengisyaratkan seakan-akan memahami makna an-Nahyu sebagai kaharah adalah suatu ijma’ (kesepakatan) dan tidak ada yang menyelisihinya melainkan Imam al-Albani. Demikianlah yang tersirat dari ucapan Abu Ishaq.

Hal ini serupa dengan apa yang didakwakan oleh Yahya Isma’il Ied dalam Al-Qoulu ats-Tsabt fi Hukmi Shiyami Yaumis Sabti (hal. 12) yang mendakwakan ijma’ bolehnya berpuasa pada hari Sabtu kemudian beliau berkata :

ولا نعلم بين الأمة خلافا سابقا من قبل

Kami tidak tahu adanya perselisihan terdahulu di antara ummat sebelumnya.”

Menanggapi ucapan ini, Syaikh ‘Ali Hasan al-Halabi mengomentari : “Aku benar-benar heran sekali (dengan klaim/ucapan) ini, dan aku teringat dengan apa yang diucapkan oleh orang terdahulu :

و كم من عائب قولا صحيحا و آفته من الفهم السقيم

Berapa banyak orang yang mencela ucapan yang benar

Sebabnya karena pemahaman yang salah/buruk

Tidaklah tersamar bagi orang yang menelaah tulisan-tulisan dan buku-buku ahli ilmu, bahwa masalah yang sekarang kita sedang membahasnya dan mengupasnya adalah masalah khilafiyyah. Khilaf di dalamnya adalah khilaf yang telah dikenal, oleh karena itu tidak benar dakwaan bahwa orang yang berpendapat dengan salah satu pendapat di dalamnya telah menyelisihi jama’ah atau menentang ijma’, ataupun ucapan-ucapan semisal yang berangkat dari sikap gegabah (tergesa-gesa) dan pembahasan yang minim.

Dan aku cukupkan untuk menetapkan adanya perselisihan di dalam masalah ini dengan menukilkan tiga ucapan (ulama salaf), yaitu :

Pertama, Imam ath-Thahawi berkata di dalam Syarh Ma’ani al-Atsaar (II/80) setelah meriwayatkan hadits larangan berpuasa pada hari Sabtu :

فذهب قوم إلى هذا الحديث, فكرهوا صوم يوم السبت تطوعا

Para ulama berpendapat dengan hadits ini, dan mereka membenci berpuasa tathawu’ (sunnah) pada hari Sabtu.”

Kedua, Ibnu Rusyd berkata dalam Bidayatul Mujtahid (V/216-217) :

وأما الأيام المنهي عنها: فمنها أيضا متفق عليها منها مختلف فيها, أما المتفق عليها فيوم الفطر ويوم الأضحى لثبوت النهي عن صيامها, وأما المختلف فيها فأيام التشريق ويوم الشك ويوم الجمعة ويوم السبت والنصف الآخر من شعبان وصيام الدهر

Hari-hari yang dilarang berpuasa ada yang telah disepakati dan ada yang masih diperselisihkan. Adapun yang telah disepakati adalah pada hari Fithri dan Adhha yang telah tsabat larangannya. Adapun yang diperselisihkan adalah hari-hari tasyriq, hari syak, hari Jum’at, hari Sabtu, pertengahan akhir bulan Sya’ban dan puasa Dahri…”

Beliau melanjutkan ucapannya (V/232),

وأما يوم السبت فالسبب في اختلافهم فيه: اختلافهم في تصحيح ما روي أنه عليه الصلاة والسلام, قال: لا تصوموا يوم السبت إلا فيما افترض عليكم

Adapun hari Sabtu, maka sebab terjadinya perselisihan adalah karena perbedaan di dalam menshahihkan hadits yang diriwayatkan dari Nabi bahwasanya beliau bersabda : “Janganlah kalian berpuasa pada hari Sabtu kecuali puasa yang telah diwajibkan kepada kalian”…”.

Ketiga, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata dalam Iqtidha’ ash-Shirathal Mustaqim (II/570) ketika menyebutkan waridnya hadits larangan berpuasa pada hari Sabtu :

وقد اختلف الأصحاب وسائر العلماء فيه

Para sahabat dan seluruh ulama telah berselisih pendapat tentangnya.”

[Lihat Zahru Roudhi, hal. 7-10].

 

Saya berkata : Dakwaan al-Akh al-Fadhil Abu Ishaq di atas kurang tepat. Karena masalah ini adalah masalah ikhtilaf yang mu’tabar di kalangan umat Islam baik salaf maupun kholaf. Ketiadaan atau kesulitan Abu Ishaq menemukan salaf Imam al-Albani di dalam masalah ini bukanlah hujjah untuk mendakwakan bahwa hal ini adalah ijma’. Apabila al-Akh Abu Ishaq mengutarakan bahwa “mayoritas ulama (jumhur) memahami makna an-nahyu (larangan) dalam hadits ini adalah karahah…” niscaya yang demikian lebih selamat dan lebih benar, walaupun belum tentu lebih kuat dan lebih benar dalilnya…

Adapun ulasan al-Akh Abu ‘Umair yang menukil dari artikel Syaikh Abu ‘Umar Usamah ‘Athaya al-‘Utaibi yang berkata :

ومن كان عنده نقل عن عالم من القرون الثلاثة حرَّم صيام السبت في غير الفرض أو موافقة عادة أو يوم استحب صومه أو بصيام يوم معه –قبله أو بعدهفليأت به مشكوراً

Barangsiapa yang memiliki nukilan dari seorang ulama dari generasi tiga yang utama, yang mengharamkan berpuasa pada hari Sabtu selain puasa wajib atau puasa yang merupakan kebiasaannya atau hari yang disunnahkan berpuasa padanya atau besertanya –sehari sebelum atau setelahnya-, maka harap datangkanlah terima kasih.”

Syaikh Abu ‘Umar al-Utaibi hafizhahullahu juga berkata :

نعم نقلت الكراهة عن كثير من أهل العلم لكن إذا أفرد أو قصد تعظيمه، أما كراهة صومه مطلقاًً فلم أقف عليه في كتب المتقدمين إلا في نقل الإمام الطحاوي رحمهُ اللهُ، أما التحريم فلا أعلم من قال به.

وقول شيخنا العلامة محمد بن صالح بن عثيمين رحمهُ اللهُ في الشرح الممتع (6/465): “وأما السبت؛ فقيل: إنه كالأربعاء والثلاثاء يباح، وقيل: إنه لا يجوز إلا في الفريضة، وقيل: إنه يجوز لكن بدون إفراد“.

فهذا القول من شيخنا لعله يريد به المعاصرين، أما من السابقين من أهل العلم فلم أقف على أحد نص على عدم جواز صيام يوم السبت إذا قرن بغيره أو وافق عادة صيام.

Iya, aku telah menukilkan karohah (berpuasa hari Sabtu) dari mayoritas ulama namun apabila dilakukan secara bersendirian atau dengan maksud pengagungan. Adapun karohah berpuasa pada hari Sabtu secara mutlak, aku belum menemukannya di dalam buku-buku ulama terdahulu melainkan hanya dari nukilan Imam ath-Thahawi rahimahullahu saja. Adapun pengharamannya aku tidak mengetahui ada orang (salaf) yang berpendapat dengannya.

Mengenai ucapan Syaikh kami, al-‘Allamah Muhammad bin Shalih ‘Utsaimin rahimahullahu di dalam Syarhul Mumti’ (VI/456) : “Adapun (berpuasa sunnah pada) hari Sabtu, ada yang berpendapat hari itu sama dengan hari Rabu atau Selasa boleh hukumnya. Ada pula yang berpendapat tidak boleh hukumnya kecuali puasa wajib saja, dan adapula yang berpendapat boleh namun secara tidak bersendirian (diiringi dengan sehari sebelum atau setelahnya).

Ucapan ini dari syaikh kami mungkin yang beliau maksudkan adalah (perselisihan) yang terjadi pada ulama kontemprer, adapun ulama terdahulu aku belum menemukan adanya seorang ulama yang menashkan ketidakbolehan berpuasa hari Sabtu apabila digandengkan dengan hari lainnya atau bertepatan dengan puasa kebiasaannya.”

Demikianlah dakwaan Syaikh al-‘Utaibi dan pendapat ini sepertinya turut diperpegangi oleh al-Akh Abu ‘Umair. Untuk menjawab hal ini, tampaknya Syaikh Abu Mu’adz Ra`id Alu Thahir hafizhahullahu lebih layak untuk menjawabnya. Berkata Syaikh Ra`id hafizhahullahu :

Cukuplah Imam Thahawi sebagai pembawa nukilan dalam hal ini, dan beliau telah dikenal akan kefaqihan dan pengetahuannya tentang ucapan-ucapan yang mukhtalafin (saling berselisih) dan pembahasan ittifaq (konsensus) dan khilafnya. Beliau rahimahullahu tidak menukilkan karohah berpuasa padanya secara mutlak namun karohah berpuasa padanya dengan puasa tathowwu’ (sunnah). Hal ini berarti bahwa illat di dalam karohah hanya pada (puasa yang bersifat) nafilah, sedangkan berpuasa pada hari Sabtu tidaklah disyariatkan melainkan hanya puasa yang fardhu saja. Adapun membawa makna karohah dari ucapan para imam salaf kepada makna karohah tanzih bukan kepada makna haram adalah suatu kekeliruan, hal ini telah diisyaratkan oleh Imam Ibnul Qoyyim rahimahullahu di dalam I’lamul Muwaqqi’in (I/39-43) dimana beliau berkata :

Orang-orang kontemporer menafikan makna haram dari ucapan yang dimutlakkan oleh para imam (salaf) dengan kata karohah, kemudian menjadi mudah lafazh karohah atas mereka dan menjadi ringan maknanya atas mereka sehingga sebagian mereka membawanya kepada pemahaman tanzih!! Sebagian lainnya lagi lebih kelewatan lagi dengan memahami karohah sebagai meninggalkan yang lebih utama. Hal seperti ini amat banyak sekali pada penyelewengan mereka, hingga akhirnya muncullah dengan sebab ini kekeliruan besar terhadap syariat dan terhadap para imam.”

Berkata Imam Ahmad tentang mengumpulkan dua orang wanita bersaudara dalam satu akad : “akhrohuhu” (aku membencinya) dan beliau tidak berkata Aqulu haramun (aku berpendapat haram hukumnya) karena madzhab beliau ketika menyebutkan haram adalah dengan karahah dan beliau melakukan hal ini sebagai bentuk waro’ (kehati-hatian) beliau dari memutlakkan lafazh haram.

Abul Qasim al-Khorqi berkata tentang nukilan dari Abi Abdillah (Imam Ahmad) : Beliau yakrohu (benci) berwudhu’ dari wadah yang terbuat dari emas dan perak dan madzhab beliau tidak memperbolehkan hal ini, kemudian beliau (Abul Qasim) rahimahullahu menyebutkan contoh-contoh hal ini dari fikih imam yang empat, kemudian beliau berkata :

وأطلق لفظ الكراهةلأنَّ الحرام يكرهه الله ورسوله، وقد قال تعالى عقيب ذكر ما حرمه من المحرمات من عند قوله: وقضى ربك أن لا تعبدوا إلا إياه إلى قوله ولا تقل لهما أف ولا تنهرهما إلى قوله ولا تقتلوا أولادكم خشية إملاق إلى قوله ولا تقربوا الزنا إلى قوله ولا تقتلوا النفس التي حرم الله إلا بالحق إلى قوله ولا تقربوا مال اليتيم إلى قوله ولا تقف ما ليس لك به علم إلى آخر الآيات ثم قال: “كل ذلك كان سيئه عند ربك مكروهاًوفي الصحيح: “إنَّ الله عز وجل كره لكم قيل وقال وكثرة السؤال وإضاعة المال

Beliau memutlakkan lafazh karohah karena keharaman itu adalah apa yang dibenci oleh Alloh dan Rasul-Nya. Alloh Ta’ala berfirman setelah menyebutkan apa yang Ia haramkan dari perbuatan-perbuatan haram di dalam firman-Nya : “Dan Tuhanmu memerintahkanmu supaya kamu jangan menyembah selain Dia…” hingga firman-Nya : “maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada keduanya perkataan “ah” dan janganlah kamu membentak mereka…” (QS Al-Isra’ : 23), firman-Nya : “Dan janganlah kamu membunuh anak-anakmu karena takut kemiskinan…” (QS 17:31), firman-Nya : “Dan janganlah kamu mendekati zina…” (QS 17:32), firman-Nya : “Dan janganlah kamu membunuh jiwa yang diharamkan Allah (membunuhnya), melainkan dengan suatu (alasan) yang benar…” (QS 17:33), firman-Nya : “Dan janganlah kamu mendekati harta anak yatim…” (QS 17:34), firman-Nya : “Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya…”(QS 17:36) hingga akhir ayat, kemudian hingga firman_nya : “Semua itu kejahatannya amat dibenci (makruuh) di sisi Tuhanmu” (QS 17:38). Di dalam Ash-Shahih Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Salam bersabda : “Sesungguhnya Alloh Azza wa Jalla membenci kalian (karoha lakum) desas-desus (qiila wa qoola), banyak bertanya dan membuang-buang harta (boros).

Kaum salaf, mereka menggunakan kata karohah pada makna yang digunakan oleh Kitabullah dan Sunnah Rasulullah, yaitu bermakna haram. Adapun kaum muta`akhkhirin (kontemporer), mereka mengistilahkan karohah dengan pengkhususan yang bukan termasuk keharaman atau kepada makna meninggalkan lebih baik daripada melaksanakan, kemudian mereka bawa ucapan para imam kepada istilah yang baru ini sehingga akhirnya mereka keliru di dalam masalah ini. Yang lebih parah lagi kesalahanannya adalah mereka yang membawa lafazh karohah atau la yanbaghi yang terdapat di dalam Kalamullah atau Sunnah Rasulillah kepada makna istilahi baru ini…

[selesai ucapan Syaikh Alu Thohir dengan sedikit diringkas dan penyederhanaan bahasa].

 

Saya berkata : Sungguh benar Syaikh Ro`id Alu Thohir hafizhahullahu, bahwa atas indikasi apa mereka membawa ucapan para imam, terlebih lagi sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Salam yang telah jelas-jelas menunjukkan akan larangannya kepada karohah tanzih?!!

Adapun nukilan Abu ‘Umair tentang para muhadditsin semisal Imam Nawawi, Imam Al-Hakim, Ibnu Khuzaimah, Ibnu Hibban dan Ibnu As-Sakan yang menshahihkan hadits Alu Busr namun memahaminya bahwa makna nahyu di dalam hadits tersebut adalah karohah bukan haram, juga tidak menjadi hujjah bahwa hal ini adalah ijma’ ulama. Bahkan yang menukil pendapat mereka ini seharusnya menjelaskan, alasan apakah para ulama ini mentakwil makna nahyu dalam hadits Busr ini sebagai karohah? Indikasi apakah yang mereka gunakan untuk memalingkan hukum asal larangan adalah haram? Atau benarkan para imam di atas memaksudkan kata karohah adalah sebagai karohah tanzih bukan tahrim?!! Apa argumentasi anda atas hal ini?!! Padahal telah jelas bahwa para imam salaf menggunakan kata karohah dengan maksud keharaman, sebagaimana nukilan di atas.

 

Baiklah sekarang mari kita kupas hadits Alu Busr yang melarang berpuasa sunnah hari Sabtu ini…

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Salam bersabda :

(( لَا تَصُومُوا يَوْمَ السَّبْتِ إِلَّا فِيمَا افْتَرَضَ اللَّهُ عَلَيْكُمْ فَإِنْ لَمْ يَجِدْ أَحَدُكُمْ إِلَّا لِحَاءَ عِنَبَةٍ أَوْ عُودَ شَجَرَةٍ فَلْيَمْضُغْهُ))

Janganlah kalian berpuasa pada hari Sabtu melainkan puasa yang diwajibkan atas kalian, jika kalian tidak mendapatkan apapun kecuali hanya kulit pohon anggur atau ranting pohon, maka kunyahlah.” [Hadits shahih, lihat pengumpulan jalur-jalur periwayatannya oleh al-Muhaddits Syaikh ’Ali Hasan Al-Halabi dalam Zahru Roudhi, atau di dalam artikel saya ”Kontroversi Puasa Sunnah Hari Sabtu”]

Ada dua syarat di dalam beristidlal dengan hadits Nabi, yaitu :

  1. Shihatud Dalil, yaitu selamatnya hadits dari ilal (penyakit-penyakit) yang dapat menjadikannya dha’if.

  2. Shihatul Istidlal, yaitu tidak bisa dibawa kepada yang bukan maksudnya.

Bagaimanakah dengan keadaan hadits Alu Busr di atas? Apakah memiliki dua syarat di atas? Mari kita telaah bersama-sama :

 

Dari Sisi Shihatud Dalil :

Mereka yang memperbolehkan mutlak puasa sunnah hari Sabtu, menyebutkan bahwa hadits Alu Busr tidak selamat dari cacat yang dapat mendha’ifkannya, yaitu :

  1. Haditsnya kidzbun (dusta). Ucapan ini disandarkan kepada Imam Malik.

  2. Haditsnya mudhtarib (goncang, kacau), sebagaimana dikatakan oleh Imam an-Nasa`iy juga dipegang oleh Lajnah ad-Da`imah yang menilai hadits ini mudhtarib.

  3. Haditsnya Syadz (ganjil), sebagaimana pendapat Syaikhul Islam bin Taimiyah dan Faqihuz Zaman Syaikh Muhammad al-‘Utsaimin.

  4. Haditsnya Mansukh (dihapus hukumnya) sebagaimana dikatakan oleh Imam Abu Dawud juga Syaikhul Islam.

Seluruh penilaian ini telah dijawab oleh Muhadditsul Ashr al-Imam al-Albani rahimahullahu dan muridnya Syaikh ‘Ali Hasan dalam Zahru Roudhi, dan telah saya nukil di dalam artikel saya sebelumnya “Kontroversi Puasa Sunnah Hari Sabtu”, silakan dirujuk…

Kesimpulan : Hadits Alu Busr di atas shahih isnadnya dan matannya, tidak ada illat yang dapat menjatuhkan derajatnya dari shahih. Bagi yang menyatakan hadits ini lemah atau memiliki illat silakan menta’qib takhrij Syaikh Albani dan Syaikh ‘Ali Hasan di sumber yang saya sebutkan.

 

Dari Sisi Shihatul Istidlal :

Mereka yang memperbolehkan puasa sunnah hari Sabtu berpendapat bahwa, walaupun hadits Alu Busr shahih secara isnad namun belum tentu selamat dari segi matannya. Karena secara zhahir akan berbenturan dengan hadits-hadits lainnya yang shahih. Oleh karena itu, mereka menakwilkan zhahir hadits sebagai berikut :

  1. Boleh berpuasa pada hari Sabtu apabila diiringi dengan sehari sebelum atau setelahnya (tidak infirod/bersendirian).

  2. Boleh berpuasa pada hari Sabtu bersendirian apabila tanpa disertai dengan takhshish (pengkhususan) ataupun qoshdu ta’zhim (dengan maksud pengagungan).

Saya jawab : klaim di atas kurang tepat, karena menyelisihi zhahir hadits Alu Busr dan membatalkan atau menggugurkan istitsna’ (pengecualian) pada hadits Alu Busr di atas. Berikut ini adalah penjelasannya :

  1. Lafazh Laa tashuumuu yawmas Sabti merupakan bentuk nahyu (larangan) yang tegas. Di dalam kaidah ushul fiqh telah maklum dikatakan : Al-Ashlu fin Nahyi an yadulla ‘alat tahriim (hukum asal di dalam larangan menunjukkan keharamannya), wa qod yadullu an-Nahyu ‘alal karohah faqoth in iqtarona bihi qoriinah tamna’u dilaalatahu ‘alat tahriim (terkadang larangan menunjukkan kepada kemakruhan saja apabila disertai dengan indikasi yang mencegah penunjukannya kepada keharaman), seperti misalnya hadits wa iyyakum wal julusa fith thuruqot (jauhilah kalian duduk-duduk di jalanan), kemudian Rasulullah mengizinkannya apabila memberikan kepada jalan hak-haknya. Sekarang indikasi apakah yang mengharuskan memalingkan kata laa tashuumuu yawmas sabti di atas kepada makna karohah tanzih bukan tahrim?!!

  2. Lafazh illa fiima ufturidho ‘alaikum merupakan istitsna’ dan istitsna’ itu dalil at-tanawul (pemberi) yang mencakup seluruh macam atau jenis puasa yang diwajibkan saja, seperti puasa Ramadhan, nadzar, kafarat dan qodho’. Lantas darimana datangnya pemahaman bolehnya berpuasa pada hari Sabtu apabila diiringi oleh sehari sebelumnya atau setelahnya, atau bahkan membolehkan mutlak selama tanpa ada maksud takhshish dan ta’zhim. Darimanakah datangnya pemahaman ini? Tentu saja pemahaman ini datang dari jama’ hadits Alu Busr dengan hadits-hadits lainnya, akan datang pembahasan hal ini dan jawabannya.

  3. Lafazh fa in lam yajid ahadukum illa liha`a ‘inabatin aw ‘uuda syajarotin falyamdhugh-hu merupakan penguat dan pencegah dari dipalingkannya makna zhahir hadits kepada makna karohah tanzih.

Kesimpulan : hadits Alu Busr ini berterima dan shahih dari sisi istidlalnya, walaupun masih ada beberapa celah berlanjutnya diskusi ini. Untuk itu mari kita lanjutkan agar celah-celah ini semakin sempit dan kecil.

 

Apabila dikatakan, siapakah salaf antum di dalam masalah ini? Bukankah para ulama salaf mayoritas mereka memperbolehkan berpuasa sunnah pada hari Sabtu?

Maka saya jawab dengan menukil ta’qib Syaikh Alu Thohir kepada Syaikh ‘Abdul Hamid al-‘Arobi yang mempertanyakan hal senada ketika Syaikh Alu Thohir membantah makalah Syaikh al-‘Utaibi :

Sesungguhnya, pengetahuan akan nama-nama orang yang berselisih di dalam suatu masalah ijtihadiyah bukanlah maksud yang dituju dari dzatnya, dan sesungguhnya cukup untuk diketahui bahwa masalah ini termasuk masalah-masalah yang diperbolehkan di dalamnya adanya khilaf dan khilaf di dalamnya itu sudah berlangsung dari lama. Mungkin agar tidak ada lagi orang belakangan yang berkata dengan perkataan yang tidak pernah didahului oleh orang terdahulu, bukankah demikian?

Apabila demikian maksudnya, maka di dalam masalah kita ini telah tsabat (tetap) adanya khilaf dan khilaf ini semenjak dulu. Lantas, apakah faidah ilmiah pembahasan ini dengan mengetahui nama-nama orang yang berselisih di dalamnya?!!” [selesai]

Saya berkata : karena hujjah itu bukan pada pendapat-pendapat mereka namun hujjah adalah pada Al-Qur’an dan As-Sunnah yang shahih.

Syaikh Alu Thohir melanjutkan ucapannya kembali :

Kemudian ada pertanyaan yang penting, yaitu apakah ketidaktahuan kita terhadap (individu-individu) yang berselisih –aku tidak mengatakan ketidaktahuan terhadap khilaf itu sendiri- memperbolehkan kita untuk meninggalkan amal dari zhahir hadits?…”

Saya berkata : Demikianlah, semoga Alloh memberkahi Syaikh Alu Thohir, apakah hanya karena kita tidak mengetahui siapakah nama dari salaf yang berpegang dengan pendapat pengharaman puasa sunnah hari Sabtu, maka kita meniadakannya adanya khilaf ini? Atau kita meniadakan zhahir hadits Alu Busr ini? Atau kita berhak menakwilkan dan memalingkan makna zhahirnya?

Untuk lebih menyempurnakan faidah, akan saya turunkan beberapa kaidah emas dari Ushul Fiqh ‘ala Manhaj Ahlil Hadits yang disusun oleh Syaikh Zakaria Ghulam Qodir al-Bakistani.

 

Kaidah

لا يصرف الدليل عن ظاهره بقول جمهور العلماء

Tidak memalingkan dalil dari zhahirnya dengan ucapan mayoritas ulama”

Ucapan jumhur bukanlah hujjah, karena Alloh Azza wa Jalla tidaklah memerintahkan kita untuk beribadah dengan ucapan jumhur. Maka tidak boleh memalingkan hadits dari zhahirnya hanya karena jumhur memalingkan makna dari zhahirnya, seperti misalnya : tidak boleh memalingkan zhahir perintah dari makna wajib kepada makna dianjurkan/disukai hanya karena ucapan jumhur, tidak boleh memalingkan larangan dari makna haram kepada makna makruh hanya karena ucapan jumhur, tidak boleh memalingkan yang umum kepada yang khusus hanya karena ucapan jumhur. Yang demikian ini karena ucapan jumhur itu bukanlah hujjah sedangkan zhahir hadits itulah yang hujjah, maka tidak boleh meninggakan suatu yang menjadi hujjah dengan sesuatu yang bukan hujjah.

Al-‘Allamah Shiddiq Hasan Khon dalam Qowa’idut Tahdits berkata : “ketahuilah, tidaklah memberikan pengaruh terhadap suatu khobar yang shahih amalan mayoritas manusia yang menyelisihinya, karena ucapan orang banyak bukanlah hujjah.”

Saya berkata : Tidak boleh memalingkan zhahir hadits Alu Busr dari larangan akan keharamannya kepada makna karohah tanzih walaupun mayoritas orang melakukannya.

 

Kaidah

يجب العمل بالدليل وإن لم يعرف أن أحداً عمل به

Wajib mengamalkan dalil walaupun tidak diketahui ada seseorang yang mengamalkannya.”

Hadits adalah hujjah dengan sendirinya tidak memerlukan hujjah kepada adanya seorang imam yang mengamalkannya. Apabila seseorang mendapatkan hadits Nabi yang shahih, maka wajiblah ia mengamalkannya sebagaimana para sahabat bersemangat mengamalkan hadits Nabi apabila sampai kepada mereka, tanpa tawaquf, tanpa mencari hadits lain yang kontradiktif, tidak ada yang mengatakan : apakah fulan dan fulan mengamalkannya. Sekiranya mereka melihat orang yang berkata demikian, niscaya mereka akan mengingkarinya dengan pengingkaran yang sangat. Demikian pula dengan para tabi’in. Dan hal ini telah diketahui secara pasti bagi mereka yang memiliki sedikit pengetahuan tentang ucapan dan perikehidupan mereka.

Imam Ibnul Qoyyim rahimahullahu berkata di dalam Ar-Ruuh (hal. 264) : “Janganlah kau jadikan ketidaktahuanmu akan orang yang mengucapkan hadits itu sebagai hujjah atas Alloh dan Rasul-Nya, namun berpeganglah dengan nash dan janganlah lemah, ketahuilah sesungguhnya ada orang yang telah berkata dengannya (hadits) secara pasti namun tidak sampai padamu (beritanya).”

Imam Al-Albani rahimahullahu berkata di dalam Silsilah ash-Shahihah (no. 163) : “Tidaklah memberikan pengaruh kepada suatu hadits dan tidak pula mencegah dari mengamalkannya ketidaktahuan kita akan siapakah dari kalangan fuqoha yang mengucapkannya. Karena tidak didapatkannya (orang yang berpegang dengannya) tidak menunjukkan atas ketidakeksisannya.”

Saya berkata : Wajib mengamalkan hadits Alu Busr walaupun sekiranya tidak ditemukan adanya seorangpun yang mengamalkannya.

 

Kaidah

يجب العمل بالدليل ولو خالفه من خالفه من السلف الصالح رضوان الله عليهم

Wajib mengamalkan dalil walaupun kaum salafus shalih menyelisihinya.”

Wajib menolak setiap ucapan yang menyelisihi dalil walau siapapun dan setinggi apapun derajat orang yang mengucapkannya, meskipun Khulafaur Rasyidin terlebih lagi selain mereka yang lebih rendah tingkat keilmuannya, karena Alloh Azza wa Jalla memerintahkan kita untuk mengikuti sunnah bukan mengikuti individu-individu tertentu.

Saya berkata : Walaupun seandainya kaum salaf menyelisihinya, maka tetap wajib mengamalkan hadits Alu Busr karena hujjah itu ada pada zhahir hadits sedangkan ucapan salaf itu bukanlah hujjah.

 

Kaidah

لا يشرع ترك الدليل وإن عمل الناس بخلافه

Tidak disyariatkan meninggalkan dalil walaupun manusia mengamalkan amalan yang menyelisihinya.”

Imam Ibnu Hazm berkata di dalam al-Muhalla (V/661) berkata : “Sesungguhnya batasan syudzudz itu adalah apabila menyelisihi kebenaran, maka setiap orang yang menyelisihi kebenaran di dalam suatu permasalahan, maka ia memiliki pendapat yang syadzal-Jama’ah, mereka adalah ahli kebenaran, walau tidak beserta mereka para penduduk bumi melainkan hanya seorang saja, maka ialah al-Jama’ah. Abu Bakr dan Hudzaifah radhialallahu ‘anhuma telah selamat berdua saja, maka keduanya adalah al-jama’ah. Adapun seluruh penduduk bumi selain keduanya dan selain Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Salam maka termasuk ahli syudzudz dan furqoh.”

Saya katakan : tidak boleh meninggalkan dalil hadits Alu Busr yang shahih walaupun mayoritas manusia mengamalkan hal yang menyelisihinya.

 

Demikianlah beberapa kaidah yang perlu dipegang di dalam mensikapi perbedaan pendapat dalam masalah puasa sunnah hari Sabtu ini. Dari pembahasan ini masih menyisakan beberapa celah yang sebagiannya akan saya usahakan untuk ditambal. Walaupun tidak semuanya.

 

(Besambung ke bagian 2)

 

 


 Comments 8 comments

  • Abu Al-Jauzaa' says:

    Sebuah ta’qib yang cukup bagus akhi. Baarakallaahu fiik

  • ibnu zubayr says:

    1. [akhy], ana bingung.. bukankah setiap pendapat dalam perkara ijtihadiyyah,sudah seharusnya bagi seorang salafy harus punya pendahulu dalam perkara yang diperselisihkan tersebut sbg bentuk pengagungan dan pengakuan bahwa salaf lebih berilmu dari kholaf. Bahkan, dikatakan janganlah berpendapat ( dalam masalah khilafiyyah ) diluar apa-apa yang difatwakan salafush shalih
    2. Lalu, bagaimana dengan para sahabat Nabi -radhiallahu ‘anhum- apakah juga belum pernah ditemukan satu pun atsar dari mereka yang mengamalkan hadits tersebut?
    3. Kalau dalam fikhiyyah seperti ini aja, sebegitu mantap muthola’ah antum dalam meneliti hujjah masing-masing fihak yang berselisih, lantas apa tidak antum terapkan dalam khilaf-nya “bermuamalah dengan Ihya’u Turots” yang mana para ulama muta’akhirin juga berselisih? afwan jiddan sebelumnya.. ( kita nafikan sementara perilaku sebagian saudara-saudara kita yang ghuluw yang masalah ini )

    Tanggapan :
    1. Sebagaimana telah diulas di dalam artikel di atas, bahwa masalah ini adalah khilaf mu’tabar mulai semenjak mutaqoddimin. Adapun penyebutan asma (nama) ulama yang berselisih itu bukanlah suatu hal yang dituju. Di dalam pembahasan bagian 3 akan saya turunkan pembahasan menjawab syubhat seputar ini, dimana Imam Syafi’i dan Ibnul Qoyyim rahimahumallohu menyatakan bahwa membawa pemahaman hadits larangan berpuasa hari Sabtu kepada takhsish (pengkhususan) apabila diiringi sehari sebelum atau setelahnya, atau tanpa ta’zhim dan takhshish, adalah menyelisihi zhahir hadits dan tertolak. Namun kedua imam ini berpendapat boleh berpuasa karena mereka berpemahaman bahwa hadits Alu Busr ini dha’if karena syadz, dan inilah yang sampai pada mereka. Apabila jam’u thuruq (kompromi jalan) hadits mereka lakukan sehingga sampai kepada penilaian shahih, niscaya mereka akan berpendapat haramanya berpuasa sunnah pada hari Sabtu. Allohu a’lam. Demikian inilah yang dipaparkan Syaikh Abul Harits, Syaikh Abu Mu’adz Alu Thohir, dan Abu Sanad Muhammad hafizhahumullahu.
    Jadi, hal ini tidak menyelisihi ucapan antum, bahwa salaf lebih a’lam daripada kholaf.
    2. Dalam hal ini, Imam al-Albani rahimahullahu di dalam hiwar (dialog) dengan al-‘Allamah ‘Abdul Muhsin dalam masalah puasa sunnah hari Sabtu ini, ketika ditanya siapa pendahulu beliau, maka beliau menjawab dengan mudah, bahwa hadits ini adalah hadits riwayat sahabat Alu Busr, maka merekalah salaf kita dalam hal ini. Karena tidak mungkin sahabat Nabi menyelisihi hadits yang mereka sampaikan dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Salam.
    3. Dalam masalah IT-pun, alhamdulillah, kami juga menelaah dalil dari kedua belah fihak yang berselisih. Sehingga yang kami pegang adalah IT ada pada mereka hizbiyah dan bid’ah serta penyimpangan-2. Namun hal ini tidak menyebabkan kami harus mentabdi’, menuduh hizbi, mengeluarkan dari lingkaran salafiyah ahlus sunnah saudara-2 kami, atau para du’at yang bekerja sama dengan mereka, sebagaiman sikap para masyaikh. Diantaranya sikap Syaikh Muhammad bin Hadi al-Madkholi yang keras mentahdzir kesesatan IT dengan Syaikh ‘Abdurrozaq bin ‘Abdul Muhsin yang memperbolehkan berta’awun dengan IT hafizhahumallohu. Bahkan mereka berdua saling menyayangi dan bagaikan satu tangan. Inilah sikap yang seharusnya kita pegang.
    Bukanlah artinya kita di sini diam dari kesesatan IT, sebagaimana tuduhan Ustadz Askari kepada Ustadz Firanda. Saya rasa ucapan Ustadz Askari ini terlalu apriori dan tendensius terhadap saudaranya sendiri. Kita tetap menjelaskan kesalahan IT, beramar ma’ruf nahi mungkar, saling menasehati dan mengingkari perkara yang salah di antara kita. Namun haruslah dengan adab Islami, dengan hikmah dan dengan kelemahlembutan. Demikian inilah yang dituju. Bukannya malah menuduh niat para du’at yg masih berta’awun dengan tuduhan keji, buruk dan bercampur dusta. Inilah penyebab terpecahbelahnya ahlus sunnah.
    Bacalah nasehat para masyaikh di dalam masalah ini di dalam blog ini atau di dalam muslim.or.id.
    Barokallohu fiikum.

  • Za-irun says:

    Pak Abu Salma, sungguh luar biasa pembahasan yang ustadz bawakan, Jazakallah khairan. Semoga Allah menjadikan ilmu Ustadz bermanfaat untuk kaum muslimin.
    Saya juga sudah membaca tulisan Al-Akh Abu Ishaq. Yang saya pahami, bahwa beliau juga sepakat bahwa masalah puasa hari sabtu telah terjadi khilaf diantara ulama, dan itu sudah beliau tunjukkan dengan menyebutkan tiga pendapat di dalamnya yang diaminkan juga oleh Ustadz Abu Salma. Jadi jika dikatakan ijma’, maka siapa yang mengatakan demikian? Dan bagian mana yang ijma’nya itu?
    Adapun kalimat “sepakat” yang digunakan oleh Abu Ishaq, saya melihat beliau sedang menerangkan bahwa para ulama yang menerima keabsahan hadits ini semuanya memahami makna an-nahyu dengan karahah, bukan haram. Bahkan mereka yang menilai hadits ini ‘ala fardhi shihhatihi semisal Ibnu Taimiyyah pun memahami larangan di sini dengan makna karahah.
    Mungkin Abu Ishaq memang keliru memilih kata “sepakat” tapi kenyataannya bahwa semua yang menerima keabsahan hadits ini dan sampai kepada kita ucapannya, mereka berbaris dalam makna karahah, bukan haram. Bisa ditunjukkan siapa yang mengatakan haram sebelum imam Albani?
    Saya sudah mengkonfirmasi hal ini kepada Abu Ishaq, dan beliau menjawab:
    قرأت ما كتبه أخي الحبيب أبو سلمى فقد أجاد وأفاد. نعم، قد أصاب أبو سلمى وأخطأ أبو إسحاق. ولكن لا بد من أن أقول: فكون المسألة خلافية هذا صحيح –يعني في حكم صيام يوم السبت-، ولكن الخلاف إنما هو بين القول بالكراهة و الإباحة وليس هناك ذكر للحرمة، فلا يوجد أحداً بين الذين يقبلون هذا الحديث قديماً وحديثاً أو يقبلونه على فرض صحته، من يقول بالحرمة سوى الإمام الألباني رحمه الله والذين ينصرونه. والعلم عند الله تعالى.
    Mohon pencerahan dari Ustadz…jazakallah khairan. Saya menanti kelanjutan pembahasan ini, mudah-mudahan akan semakin jelas bagi saya pendapat mana yang lebih kuat nantinya untuk saya tetapi.

    Masalah karohah apakah bermakna haram ataukah makruh tanzih, maka telah diulas sebagiannya di dalam ta’qib saya di atas. Bahwa ketika para salaf menggunakan kata karohah maka kebanyakan yang mereka maksudkan adalah bermakna tahrim bukan makruh. Dalil-dalil dari al-Qur’an dan as-Sunnah juga telah menunjukkan hal ini.
    Syaikh Abu Mu’adz berkata : Kaum salaf, mereka menggunakan kata karohah pada makna yang digunakan oleh Kitabullah dan Sunnah Rasulullah, yaitu bermakna haram. Adapun kaum muta`akhkhirin (kontemporer), mereka mengistilahkan karohah dengan pengkhususan yang bukan termasuk keharaman atau kepada makna meninggalkan lebih baik daripada melaksanakan, kemudian mereka bawa ucapan para imam kepada istilah yang baru ini sehingga akhirnya mereka keliru di dalam masalah ini. Yang lebih parah lagi kesalahanannya adalah mereka yang membawa lafazh karohah atau la yanbaghi yang terdapat di dalam Kalamullah atau Sunnah Rasulillah kepada makna istilahi baru ini…
    Taruhlah bahwa memang benar bahwa sebagian ulama salaf tersebut memahami nahyu di sini sebagai karohah tanzih, berarti yang menjadi titik pembahasan adalah ‘atas dasar atau qorinah apakah para ulama tersebut memalingkan zhahir nafyu kepada karohah tanzih?’ Inilah yang seharusnya jadi titik poin diskusi. Dan inilah pembahasan ilmiah yang masih berputar diantara ulama dan thullabul ilmi yang berselisih di dalam masalah ini. Allohu a’lam.
    Adapun ucapan al-Akh al-Karim Abu Ishaq :
    فكون المسألة خلافية هذا صحيح –يعني في حكم صيام يوم السبت-، ولكن الخلاف إنما هو بين القول بالكراهة و الإباحة وليس هناك ذكر للحرمة، فلا يوجد أحداً بين الذين يقبلون هذا الحديث قديماً وحديثاً أو يقبلونه على فرض صحته، من يقول بالحرمة سوى الإمام الألباني رحمه الله والذين ينصرونه. والعلم عند الله تعالى
    “Jadi, adanya khilafiyah di dalam masalah ini adalah benar -yaitu di dalam hukum puasa sunnah hari Sabtu-, namun letak perselisihannya adalah antara pendapat yang menyatakan ‘karohah’ dengan dengan menyatakan ‘ibahah’ (boleh), dan tidak ada penyebutan pendapat yang mengharamkan. Tidak ditemui adanya seorang yang menerima hadits ini baik (ulama) lampau maupun sekarang ini atau yang menerima ‘ala fardhi shihhatihi yang berpendapat akan keharamannya selain Imam al-Albani rahimahullahu dan yang menyokong pendapatnya. Dan pengetahuan pastinya hanyalah di sisi Alloh.”
    Demikian kurang lebih paparan al-Akh al-Habib Abu Ishaq. Untuk itu saya jawab :
    Di sinilah kembali lagi berputar kata ‘karohah’… para ulama khususnya ulama mutaqoddimin sering kali menggunakan kata ‘karohah’, namun yg menjadi masalah adalah, apakah makna karohah ini bermakna haram atau tanzih. Nah, di sinilah perlunya pembahasan lebih jauh. Apabila dikatakan karohah bermakna li tanzih, maka indikasi apakah yang memalingkan nahyu di dalam hadits Alu Busr ini dipalingkan dari zhahirnya yang mana seharusnya ‘an-nahyu’ itu membuahkan ‘tahrim’ kecuali ada qorinah (indikasi) yang memalingkannya. Nah, qorinah inilah yang terluput disebutkan atau dibahas al-Akh al-Fadhil Abu Ishaq ataupun al-Akh al-Fahil Abu ‘Umair.
    Saya sebenarnya, dalam masalah ini dalam posisi mencari al-Haq. Apabila hujjah yang mengharamkan puasa sunnah hari Sabtu ini dapat dipatahkan dan memuaskan, maka saya tidak segan untuk berpegang dengan pendapat itu. Sebagaimana paparan Syaikh Abu ‘Umar al-Utaibi sendiri di dalam artikelnya yang bermanfaat ‘al-Qoul al-Qowim’ bahwa beliau dahulunya berpegang dengan haramnya puasa sunnah hari Sabtu, namun akhirnya beliau taroju’ darinya setelah menelaah dalil-2nya. Namun, apa yang dipaparkan oleh Syaikh al-Utaibi belum dapat memuaskan sehingga menyebabkan saya berpindah pendapat. Karena yang menjadi ibrah adalah hujjah bukan qoul fulan atau fulan.
    Kepada al-Akh al-Ustadz Abu Ishaq, ana ucapan jazzakallohu khoyrol jazaa’ wa barokallhu fiika wa zaadakallohu ‘ilma. Ana sangat menunggu ta’qib dan ifadah dari antum. Demikian pula kepada al-Akh al-Ustadz Abu ‘Umair atau selain beliau.
    Kepada al-Akh Za`irun ana ucapankan Jazzakallohu khoyrol jazaa’ atas pesannya ini. Dan saya masih menunggu ta’qib-ta’qib ilmiah lainnya. Allohu a’lam.

  • Barakallohu fik ya Akhy, Sungguh mengesankan apa yang telah antum ketengahkan dalam bahasan2 yang ilmiah. Ana sungguh senang dengan apa yang tengah kita lakukan. Sehingga kita lebih selamat dari perbuatan-perbuatan yang sia-sia, sebagaimana yang telah dilakukan sebagian ikhwah salafy. Adapun mengenai pembahasan Shoum di Hari sabt ini, telah menjadi perhatian juga (pembahasannya) dikalangan Ulama’, sebagaimana yang dikatakan Syeikh أبو حسام الدين الطرفاوي dalam Kitabnya تنبيه ذوي العقول السديدة
    إلى
    حكم صوم السبت في غير فريضة
    berikut penuturan beliau :
    اختلف العلماء قديمًا وحديثًا في حكم صوم السبت في غير فريضة إلى خمسة أقوال :
    القول الأول : كراهة صوم السبت في غير الفريضة مفردًا. وهو قول جمهور العلماء
    القول الثاني : جواز صيام يوم السبت مطلقًا
    القول الثالث : كراهة صيام يوم السبت في غير فريضة مطلقََا
    القول الرابع : استحباب صوم السبت
    القول الخامس : تحريم صوم السبت في غير فريضة مطلقًا

    Alhamdulillah. Ada lagi tambahan ilmu… Bolehkah ana mendapatkan artikel tersebut? Apabila boleh dan apabila tidak merepotkan antum, tolong dikirim via email attachment ke email ana abu_amman[ad]yahoo[dot]com atau ibnu_burhan[ad]hotmail[dot]com. Kesimpulan tarjih beliau yang terakhir apa akhy?

  • Akhy, Bagaimana dengan Qoidah Ushul “Al-Isbatu Muqaddamon ‘alan Nafiy” apakah dapat diterapkan dalam masalah ini ?

    Hm… Allohu a’lam. Ana belum tahu kaidah ini. Insya Alloh akan ana coba muthola’ah lagi. Setahu ana “an-Nahyu muqoddamun ‘alal ibahah/jawaz” dan nahyu itu merupakan itsbat jazmun ‘alal karohah. Allohu a’lam.

  • Abu Umair As-sundawy says:

    Assalamu’alaikum warahmatullah wabarakatuh,
    Artikel yang bagus Ya Akhy, sarat faidah.Fajazaakumullah khoiron.Sudah ada beberapa yang telah saya petik dari tulisan antum dan saya lempar diskusikan dimilis kami (salafyITB) atau di blog .Baik yang berhubungan dengan tema langsung ataupun secara umum.Adapun mengenai pokok bahasan utama,saudara kita Abu Ishaq sudah memberikan komentar singkatnya kepada antum.Silahkan dilihat ke blog kami http://salafyitb.wordpress.com.Silahkan juga dikomentari balik.Tentunya karena membuat satu tulisan yang benar-benar berciri ilmiah membutuhkan waktu,sedang rata-rata kita semua bekerja,Jadi saling berkomentar secara bebas atau menulis ringan adalah lebih memungkinkan &nyaman bagi kami.
    Wassalamu’alaikum warahmatullah
    Abu Umair As-Sundawy

    Wa’alaykumus Salam warohmatullahi wabarokatuh
    Ahlan wa sahlan bika ya akhiy al-karim… Mudah-2an diskusi ilmiah ini bisa membuahkan faidah bagi kita semua, dan menyebabkan kita semua semakin cinta dengan sunnah Rasulillah Shallallahu ‘alayhi wa Salam. Insya Alloh saya akan beristifadah dengan tulisan antum, al-Akh al-Karim Abu Ishaq, dan ikhwah thullabul ilmi lainnya. Insya Alloh di sela-2 kseibukan kita di kantor pula kita dapat mencari berkah keluangan waktu untuk mutholaah ilmiah yang bermanfaat. Barokallohu fiikim.
    Wa’alaykumus salam warohmatullahi wabarokatuh.

  • Kesimpulan Tarjih beliau tergambar dalam Qaidah yang beliau perpegangi, diantaranya yakni :

    إذا تعارض الحاظر والمبيح قدم الحاظر
    إذا تعارض قولان بين الكراهة والتحريم فيرجح القول بالتحريم

    Dan mengenai Qaidah Al-Itsbatu Muqaddamun ‘Alan Nafiy, Qaidah ini yang digunakan oleh Syeikh Manshur Alu Salman dalam Kitabnya QoululMubin fi Akhto’il Mushollin, dalam mentarjih hadits “Tahrik” dalam Tasyahud. Wallahu A’lam

    Masya Alloh, kaidah tersebut sama dengan kaidah yang kami pegang. Ini artinya beliau lebih merajihkan pendapat keharaman berpuasa sunnah pada hari Sabtu. Adapun kaidah “al-Itsbatu muqoddamun ‘alan Nafyi”, mungkin yang antum maksudkan adalah Syaikh Masyhur Hasan Alu Salman. Insya Alloh ana akan coba merujuk buku beliau dalam pembahasan yang antum sebutkan. Karena, dalam masalah tahrik, sementara ini ana lebih condong berpegang kepada pendapat yang tidak melakukan tahrik. Dan ini tentunya akan membuahkan pembahasan ilmiah tersendiri. Allohu a’lam.

  • ibnbasuki says:

    الســــلام عليكم..ـ

    Akhy, nukilan nash awal surat ali-imron ada terlebih 1 huruf. tertulis: wa maa yaTAdzakkaru illaa ulul albaab. yang benar adalah: wa maa yadzdzakkaru. afwan ana hanya merujuk ke mushaf hafsh ‘an ‘aashim.

  • Leave a Reply

    Your email address will not be published. Fields with * are mandatory.