“Sesungguhnya seorang budak perempuan dari budak-budak penduduk Madinah datang, lalu ia memegang tangan Rasulullah saw., maka beliau tidak melepaskan tangan beliau dari tangannya sehingga dia membawanya perg ke mana ia suka.” (sering dibawakan oleh anak Tarbiyyah dan HT)
Maka telah dijelaskan dalam beberapa lafadh bahwa lafadh budak perempuan/wanita itu adalah anak-anak yang belum baligh. Berikut riwayatnya :
كانت الأمة (وفي رواية : وليدة من ولائد) من إماء أهل المدينة لتأخذ بيد رسول الله صلى الله عليه وسلم فتنطلق به حيث شاءت
Dahulu ada seorang budak wanita dari budak-budak (dalam lain riwayat : waliidah dari waliidah-waliidah) penduduk kota Madinah yang pernah menarik (memegang) tangan Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam untuk diajak pergi kemana saja ia suka” (HR. Bukhari dan yang lainnya).
Al-Amatu (الأمة) merupakan lafadh umum yang berarti budak wanita. Sebagian orang menjadikannya sebagai dalil bolehnya menyentuh kulit perempuan ajnabiyyah. Namun, ia tidak memperhatikan riwayat lain yang menggunakan lafadh وليدة من ولائد. Dan ini merupakan penjelasan dari kata Al-Amatu.
Al-Fayumi dalam Misbahul-Munir mengatakan tentang makna ‘al-waliidah” (artinya saja ya) : Kata الوليد (al-waliid) itu berarti anak kecil yang baru dilahirkan. Dan bentuk jama’nya adalah ولدان (wildaan) – dengan kasrah -, sedangkan untuk wanitanya adalah وليدة (waliidah) yang bentuk jamaknya adalah ولائد (walaaid).”
Dan sebagai penambah faidah dari yang telah diberikan oleh al-akh Abu Salma, berikut penjelasan ulama Ahlus-Sunnah mengenai hukum jabat tangan dengan wanita ajnabiyyah.
Imam Nawawi berkata ketika mengkomparasikan hukum berjabat tangan/menyentuh perempuan ajnabiyyah dengan perintah menundukkan pandangan; dalam kitab Al-Adzkar halaman 228 : “Para shahabat kami (dari kalangan Syafi’iyyah) mengatakan bahwa setiap hal yang dilarang untuk dilihat, maka dilarang pula untuk menyentuhnya. Bahkan menyentuh itu lebih besar lagi urusannya, karena telah dibolehkan bagi seseorang untuk melihat seorang wanita yang bukan mahramnya pada saat hendak menikahinya, dan pada saat jual beli, dan pada saat mengambil barang dan menyerahkannya, dan yang semisal dengan hal tersebut di atas. Akan tetapi tetap tidak diperbolehkan baginya pada saat-saat tersebut untuk menyentuhnya”. >
Jika melihat saja (sebagaimana diatur dalam Al-Qur’an) tidak diperbolehkan, lantas bagaimana dengan menyentuhnya ?
Al-Hafidh Ibnu Hajar dalam Fathul-Bari (16/330) ketika mengomentari hadits ‘Aisyah yang menyatakan bahwa Nabi tidak berjabat tangan dengan wanita ketika baiat, beliau mengatakan : “Dan di dalam hadits ini – yaitu hadits ‘Aisyah – ada hukum bolehnya (mendengarkan) suara wanita yang bukan mahram, dan suara mereka itu bukanlah aurat. Dan hukum haramnya menyentuh kulit mereka bila tidak dalam keadaan darurat”. >
Alhamdulillah… tambahan yang sangat baik dan bermanfaat… Barokallohu fiikum.
Tambahan : Jikalau ada yang berdalil :
“Sesungguhnya seorang budak perempuan dari budak-budak penduduk Madinah datang, lalu ia memegang tangan Rasulullah saw., maka beliau tidak melepaskan tangan beliau dari tangannya sehingga dia membawanya perg ke mana ia suka.” (sering dibawakan oleh anak Tarbiyyah dan HT)
Maka telah dijelaskan dalam beberapa lafadh bahwa lafadh budak perempuan/wanita itu adalah anak-anak yang belum baligh. Berikut riwayatnya :
كانت الأمة (وفي رواية : وليدة من ولائد) من إماء أهل المدينة لتأخذ بيد رسول الله صلى الله عليه وسلم فتنطلق به حيث شاءت
Dahulu ada seorang budak wanita dari budak-budak (dalam lain riwayat : waliidah dari waliidah-waliidah) penduduk kota Madinah yang pernah menarik (memegang) tangan Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam untuk diajak pergi kemana saja ia suka” (HR. Bukhari dan yang lainnya).
Al-Amatu (الأمة) merupakan lafadh umum yang berarti budak wanita. Sebagian orang menjadikannya sebagai dalil bolehnya menyentuh kulit perempuan ajnabiyyah. Namun, ia tidak memperhatikan riwayat lain yang menggunakan lafadh وليدة من ولائد. Dan ini merupakan penjelasan dari kata Al-Amatu.
Al-Fayumi dalam Misbahul-Munir mengatakan tentang makna ‘al-waliidah” (artinya saja ya) : Kata الوليد (al-waliid) itu berarti anak kecil yang baru dilahirkan. Dan bentuk jama’nya adalah ولدان (wildaan) – dengan kasrah -, sedangkan untuk wanitanya adalah وليدة (waliidah) yang bentuk jamaknya adalah ولائد (walaaid).”
Dan sebagai penambah faidah dari yang telah diberikan oleh al-akh Abu Salma, berikut penjelasan ulama Ahlus-Sunnah mengenai hukum jabat tangan dengan wanita ajnabiyyah.
Imam Nawawi berkata ketika mengkomparasikan hukum berjabat tangan/menyentuh perempuan ajnabiyyah dengan perintah menundukkan pandangan; dalam kitab Al-Adzkar halaman 228 : “Para shahabat kami (dari kalangan Syafi’iyyah) mengatakan bahwa setiap hal yang dilarang untuk dilihat, maka dilarang pula untuk menyentuhnya. Bahkan menyentuh itu lebih besar lagi urusannya, karena telah dibolehkan bagi seseorang untuk melihat seorang wanita yang bukan mahramnya pada saat hendak menikahinya, dan pada saat jual beli, dan pada saat mengambil barang dan menyerahkannya, dan yang semisal dengan hal tersebut di atas. Akan tetapi tetap tidak diperbolehkan baginya pada saat-saat tersebut untuk menyentuhnya”. >
Jika melihat saja (sebagaimana diatur dalam Al-Qur’an) tidak diperbolehkan, lantas bagaimana dengan menyentuhnya ?
Al-Hafidh Ibnu Hajar dalam Fathul-Bari (16/330) ketika mengomentari hadits ‘Aisyah yang menyatakan bahwa Nabi tidak berjabat tangan dengan wanita ketika baiat, beliau mengatakan : “Dan di dalam hadits ini – yaitu hadits ‘Aisyah – ada hukum bolehnya (mendengarkan) suara wanita yang bukan mahram, dan suara mereka itu bukanlah aurat. Dan hukum haramnya menyentuh kulit mereka bila tidak dalam keadaan darurat”. >
silahkan klic dan perlu dibaca tentang,” debat seputar hukum berjabat tangan dengan wanita bukan nahram” di forum pendidikan islamy