BEBERAPA FATWA PILIHAN ASY-SYAIKH MASYHUR HASAN ALU SALMAN

 Jan, 20 - 2007   no comments

BEBERAPA FATWA PILIHAN

ASY-SYAIKH MASYHUR HASAN ALU SALMAN HAFIZHAHULLAHU

 

Pertanyaan :

Apakah hadits {إن لله تسعة وتسعين اسماً} (Sesungguhnya Alloh memiliki 99 nama) shahih statusnya”

Jawab :

Hadits ini warid (datang) dari sejumlah sahabat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Salam dan tidaklah tsabat (tetap) melainkan dari hadits Abu Hurairoh radhiyallahu ‘anhu yang dikeluarkan oleh dua imam dunia : Muhammad bin Isma’il al-Bukhori dan Muslim bin Hajjaj an-Naisaburi. Telah warid pula dari ‘Ali, Salman, Ibnu ‘Abbas dan Ibnu ‘Umarsemoga Alloh meridhai mereka semua- yang dikeluarkan oleh Abu Nu’aim di dalam juz-nya yang khusus tentang “99 Nama dari Nama-Nama Alloh” akan tetapi sanad-sanadnya dha’if. Hadits ini tsabit (tetap/kuat) di dalam Shahihain dari hadits Abu Hurairoh radhiyallahu ‘anhu dan tidak ada lagi yang tsabit kecuali hanya hadits dari beliau ini saja.

Ibnu ‘Athiyah al-Andalusi telah mendakwakan di dalam tafsir beliau Al-Muharrar al-Wajir bahwasanya hadits ini mutawatir dari Abu Hurairoh radhiyallahu ‘anhu, padahal perkaranya tidaklah demikian apabila ditahqiq (diverifikasi). Telah meriwayatkan 13 perawi dari Abu Hurairoh dan enam atau tujuh dari periwayatan ini adalah dha’if sedangkan sisanya adalah hadits yang ahad ghorib. Hadits ini adalah hadits yang tsabit dan shahih namun bukan hadits muatawatir.

Adapun pemaparan penyebutan nama-nama Alloh terdapat di dalam riwayat Turmudzi dan di dalamnya terdapat idraj (sisipan dari perawi yang bukan merupakan hadits dari Nabi) dan tidak tsabit dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Salam. Dan pengertian hadits bahwa Alloh memiliki 99 nama dan barangsiapa yang menyebutnya baik dengan hafalan maupun amalan, yaitu siapa yang menghafal nama-nama Alloh Ta’ala dan mengamalkan konsekuensinya di dalam hidup ini, maka baginya surga.

 

Pertanyaan :

Apa hukum bagi seorang lelaki yang mendatangi isterinya padahal ia (sang suami) sedang berpuasa sunnah?

Jawaban :

Barangsiapa yang mendatangi isterinya sedangkan ia sedang berpuasa sunnah, maka hukumnya sama seperti orang yang sedang berpuasa sunnah kemudian dia makan. Hukum hal ini diperselisihkan oleh para fuqoha’. Malikiyah dan Hanafiyah berpendapat wajib mengganti puasanya. Mereka berpendapat : barangsiapa yang melaksanakan amal ketaatan kemudian membatalkannya maka wajib atasnya menggantinya dengan mengganti sehari amal yang setingkat. Dalil mereka atas hal ini adalah ucapan mereka yang mengatakan bahwa dalil-dalinya banyak, diantaranya adalah firman Alloh : {ولا تبطلوا أعمالكم} (dan janganlah kalian membatalkan amal-amal kalian) dan perbuatan tersebut termasuk membatalkan amal.

Diantara dalilnya juga adalah ucapan seorang Arab dusun yang datang kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Salam yang bertanya tentang Islam dan Rasulullah menyebutkan padanya puasa bulan Ramadhan, kemudian Arab dusun itu bertanya, “Apakah ada yang lainnya bagiku?” Rasulullah menjawab : “tidak, kecuali puasa tathowwu’ (sunnah)”. Mereka mengatakan bahwa sesungguhnya kata illa (kecuali) di sini adalah maushul (bersambung) bukannya maqthu’ (terpisah), apabila kamu melakukan puasa tathowwu’ maka tathowwu’ itu akan menjadi sebagai suatu yang wajib atasmu untuk kamu penuhi.

Yang benar di dalam masalah ini adalah madzhabnya Ahmad dan Syafi’i, yang mengatakan barangsiapa membatalkan puasa yang sedang dikerjakannya dan puasanya itu adalah puasa sunnah maka tidaklah apa-apa, sebagaimana sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Salam yang shahih yang terdapat di dalam al-Musnad, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Salam bersabda :

الصائم المتطوع أمير نفسه إن شاء أتم وإن شاء أفطر

Orang yang berpuasa tathowwu’ adalah pemimpin bagi dirinya, apabila ia berkehendak (untuk puasa) maka dia sempurnakan dan apabila ia berkehendak (untuk membatalkannya) maka dia boleh berbuka.”

Apabila ia (si suami) itu berbuka maka tidak mengapa demikian pula dengan isterinya, apabila ia juga berpuasa kemudian ia berbuka maka tidak mengapa.

 

Pertanyaan :

Apakah suatu benda yang haram itu mengharuskan bahwa benda tersebut najis?

Jawaban :

Tidak musti setiap benda yang haram itu najis. Memakan suatu benda yang membahayakan seperti tanah/lumpur misalnya adalah haram namun lumpur tersebut tidak najis. Rokok itu adalah haram dan barangsiapa yang sholat sedangkan dia mengantungi kotak rokok di kantungnya maka sholatnya tidak batal, karena rokok itu tidak najis. Sekiranya rokok itu najis maka niscaya setiap orang yang sholat dan ia mengantungi kotak rokok akan batal sholatnya. Oleh karena itu, tidaklah musti setiap yang diharamkan itu najis, bahkan ganja ataupun khomr sekalipun menurut pendapat yang paling rajih adalah tidak najis walaupun keduanya adalah barang haram. Dengan demikian, tidaklah musti benda yang diharamkan otomatis menjadi najis.

 

Pertanyaan :

Apa hukum memakai arloji dan kaca mata yang disepuh emas bagi pria?

Jawaban :

Warna keemasan bukanlah emas itu sendiri, oleh karena itu kacamata atau arloji yang disepuh dengan warna emas bukanlah emas itu sendiri, maka hukumnya tidak haram bagi pria, akan tetapi aku memandang hal ini bukan suatu hal yang baik, dengan dua alasan :

Pertama, perbuatan ini termasuk sikap bermewah-mewah dan menyerupai orang yang bermewah-mewahan.

Kedua, perbuatan ini menimbulkan praduga yang menjelekkan kadar agamanya (karena orang-orang mengiranya emas, pent.), dan demikianlah setiap kali orang ini duduk di suatu majelis ia akan berkata : wahai saudara-saudaraku arloji ini bukan emas, namun ini hanya arloji yang berwarna keemasan karena disepuh emas, supaya ia tidak dituduh (oleh orang-orang) akan kadar keagamannya, karena suatu hal yang paling mulia bagi seseorang adalah agamanya.

Oleh karena itulah ada para ulama yang berkata, bahwa barangsiapa yang datang ke Masjid dan sholat jama’ah telah usai, maka sholat di Masjid secara sendiri adalah lebih dicintai di sisi Alloh daripada ia sholat sendirian di rumah. Ditanyakan, kenapa? Mereka –para ulama itu- menjawab, supaya ia tidak dituduh akan kerendahan agamanya, dan tuduhan akan rendahnya agama seseorang pada masa lalu, merupakan sebab tidak dinikahkannya orang itu, orang tidak mau berniaga dengannya, tidak mau meminjamkan sesuatu padanya, dan ini semua (terjadi) ketika agama ini mulia. Maka seseorang itu wajib atasnya menjauhi segala sebab yang dapat menjadikan orang-orang mencela agamanya, dan taufiq bagi orang yang Alloh anugerahkan taufiq padanya.

 

Pertanyaan :

Aku meminta izin kepada suamiku melalui telepon sedangkan dia berada di Amerika untuk berpuasa sunnah namun ia tidak mengizinkanku, apa aku boleh tetao berpuasa?

Jawaban :

Iya, boleh bagi wanita berpuasa sunnah sedangkan suaminya tidak hadir (tidak ada di sisinya) walaupun suaminya tidak mengizinkannya. Telah shahih di dalam Shahih Bukhari bahwasanya Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Salam bersabda :

لا تصوم امرأة وبعلها شاهد إلا بإذنه

Janganlah seorang wanita itu berpuasa sedangkan suaminya ada di sisinya kecuali dengan izinya.”

Apabila suaminya tidak mengizinkan sedangkan ia tidak hadir dan tidak pula ada di sisi isterinya maka tidak dianggap izinya. Wanita ini, ia meminta izin kepada suaminya sedangkan suaminya gho`ib (tidak ada di sisinya, jauh dari dirinya, pent.) dan tidak ada di sampingnya dan suaminya itu tidak mengizinkan (maka tidak dianggap izinnya), karena izin itu (dianggap apabila) ia bertemu, hadir dan ada di sisi isterinya, apabila suaminya itu ada di sisinya maka janganlah wanita itu berpuasa sunnah kecuali atas izinnya, dan apabila suaminya hadir dan sang isteri hendak berpuasa wajib, seperti puasa qodho’ (pengganti), kafarat, yamin (sumpah) ataupun nadzar maka tidak dianggap izin suaminya di dalam puasa yang wajib.

 

Pertanyaan :

Apakah shahih hadits yang berbunyi : “Barangsiapa yang mengenal-Ku namun memaksiati-Ku niscaya aku timpakan padanya (berkuasanya) orang-orang yang tidak mengenal-Ku.”

Jawaban :

Ini bukanlah hadits qudsi walaupun telah menyebar dan tersiar. Namun Ibrahim bin Muhammad al-Baihaqi seorang ahli hadits berkata di dalam kitabnya al-mahasinu wa Musawi`u pada halaman 500 : Diriwayatkan dari ‘Abdullah bin Sallam bahwasanya beliau berkata, aku membaca di dalam buku-buku [kitab suci terdahulu] Alloh Tabaroka wa Ta’ala berfirman :

من عرفني وعصاني سلطت عليه من لا يعرفني

Barangsiapa yang mengenal-Ku namun memaksiati-Ku niscaya aku timpakan padanya (berkuasanya) orang-orang yang tidak mengenal-Ku.”

Ucapan ini merupakan hikmah dan maknanya adalah benar dan menjadi suatu realita yang jelas. Alloh Jalla wa ‘Ala menimpakan kepada kita -seluruh kaum muslimin-, sedangkan kita mengenal Alloh namun memaksiati-Nya, (berkuasanya) kaum yang tidak mengenal-Nya dari kalangan Yahudi dan kaum kafir. Ini adalah hikmah yang dibaca oleh ‘Abdullah bin Salam di dalam kitab-kitab yang turun kepada beberapa nabi terdahulu.

 

Pertanyaan :

Buku Al-Qoulu ats-Tsabti fi Shiyami Yawmis Sabti karya Ibnu Hajar, apakah pernah disebutkan di dalam al-Fath? Dan buku biografi apakah yang kita layak merujuk kepadanya untuk mengenal karya-karya Ibnu Hajar?

Jawaban :

Buku terbaik tentang perikehidupan al-Hafizh Ibnu Hajar al-Asqolani, seorang Amirul Mu’minin di dalam ilmu hadits adalah buku al-Jawahir wad Duror fi Tarjamati Syaikhil Islam Ibni Hajar karya murid beliau yang terspesialisasi As-Sakhowi rahimahullahu yang tercetak dalam tiga jilid dan Imam Sakhowi menyebutkan buku tersebut (al-Qoulu ats-Tsabti) di dalam al-Jauhar wad Duror ini, pada juz II hal. 664. Imam Suyuthi juga menyebutkannya di dalam Nazhmu hal. 47 dan Al-Kattani dalam Fihrasul Faharis pada awal hal. 247. Buku ini hilang dan kami tidak mengetahui akan keberadaannya.

 

Pertanyaan :

Apakah an-Naafi’ (yang memberi manfaat), Adh-Dhaar (yang memberikan bahaya), al-‘Arif (yang maha bijaksana) dan al-Baqi (yang maha kekal) termasuk asma’ Alloh Azza wa Jalla?

Jawaban :

Tidak tsabat (tetap) nash (teks/dalil) dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Salam tentang nama-nama ini, maka tidak boleh bagi seseorang memberi nama dengan nama-nama ini, seperti ‘Abdul Baqi, ‘Abdun Nafi’, Abdul ‘Arif atau ‘Abdudh Dhar.

Para ulama melarang memutlakkan nama al-‘Arif kepada Alloh, atau seseorang berkata ketika ditanya dengan mengganti ucapan Allohu a’lam dengan ucapan Allohu ya’rifu, ini adalah ucapan kufur tidak boleh mengatakannya, karena ada perbedaan dari segi bahasa antara ‘ilmu dengan ma’rifah. Bahwasanya ma’rifah itu diperoleh setelah sebelumnya didahului oleh jahl (kebodohan) sedangkan ilmu tidak didahului oleh kebodohan.

Apabila anda berkata : Alloh ya’rifu (mengetahui), maka ucapan ini mengharuskan pengertian bahwa sebelumnya Alloh itu jahil kemudian ’arofa (mengetahui). Dengan demikian haram bagi seorang muslim mengatakan Allohu Ya’rifu atau ya’rifullohu. Yang layak adalah mengatakan ya’lamullohu. Maka al-‘Arif itu tidaklah termasuk Asma Alloh dan telah menashkan hal ini sekumpulan ulama diantaranya adalah Ibnu Luham di dalam buku beliau al-Mukhtashor halaman 36, beliau berkata : Alloh Subhanahu tidaklah disifatkan dengan ‘Arif. Sebagian ulama lainnya mengatakan hal ini telah ijma’. Adapun barangsiapa yang mengatakannya karena kebodohan maka tidaklah dikafirkan dan ia diberi ‘udzur karena kejahilannya. Namun, walaupun ia diberi udzur atas kejahilannya namun ia tidaklah selamat dari dosa.

 

Pertanyaan :

Apakah menyentuh aurot itu membatalkan wudhu’?

Jawaban :

Terjadi khilaf (perselisihan) yang masyhur antara ahli ilmu (ulama) di dalam masalah menyentuh aurot ini. Yang wajib adalah mengamalkan seluruh dalil-dalil ini keseluruhan. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Salam bersabda : من مس ذكره فليتوضأBarangsiapa menyentuh aurotnya maka hendaknya ia berwudhu” dan beliau juga pernah ditanya tentang menyentuh aurot, lantas beliau menjawab : هل هو إلا بضعة منكAurotmu itu tidak lain sama dengan bagian tubuhmu yang lain”.

Syaikhul Islam dan jumhur ulama berpendapat bahwasanya apabila seseorang menyentuh aurotnya yang merupakan bagian dari tubuh manusia sebagimana menyentuh tangan atau kakinya, maka ini merupakan menyentuh tanpa diiringi syahwat dan apabila dimaksudkan menyentuh bagian tersebut dengan sengaja maka dikatakan tidaklah ia melakukannya melainkan karena syahwat, maka jumhur ulama menyelaraskan seluruh dalil-dalil yang ada dan mengamalkan seluruhnya.

Mereka berpendapat : Menyentuh aurot dengan syahwat membatalkan wudhu’ dan menyentuhnya tanpa syahwat tidak membatalkan wudhu’, karena sabda Nabi ‘alaihi Sholatu wa Salam “Aurotmu itu tidak lain sama dengan bagian tubuhmu yang lain”, merupakan isyarat menyentuh yang tidak membatalkan apabila menyentuhnya sebagaimana menyentuh bagian tubuh lainnya [yaitu tanpa diiringi syahwat, pent.].

Adapun wanita yang memandikan anaknya dan menyentuh aurotnya maka tidaklah membatalkan wudhu’nya demikian pula dengan keadaan orang yang menyentuh suatu najis maka wudhu’nya tidak batal, yang wajib hanyalah membersihkan tempat yang terkena najis itu saja.

 

Dialihbahasakan dari Mi`ah Fatawa Lifadhilatisy Syaikh Masyhur, dikumpulkan dari website pribadi beliau [http://www.mashhoor.net] dan disebarkan oleh http://www.aqsasalafi.com, Markaz lit tahmil (Download Center), Ruknul Masya`ikh asy-Syaam.


Leave a Reply

Your email address will not be published. Fields with * are mandatory.