AQIDAH SALAFIYAH AL-MUYASSAR
AQIDAH SALAFIYAH AL-MUYASSAR
Oleh : Abu Salma al-Atsari
TAUHID RUBUBIYAH
-
Makna : Meng’ahad’kan Allah Ta’ala di dalam perbuatan-Nya
-
Maksudnya kita meyakini bahwa Allah Ta’ala itu yang :
1. Menciptakan segala sesuatu (Az-Zumar 39 : 62)
2. Memberikan Rezeki (Hud 11 : 2)
3. Penguasa Alam semesta dan yang mengaturnya (Ali Imran 3 : 26-27)
4. Yang Menghidupkan dan yang mematikan (Ali Imran 3 : 26-27)
5. Pengatur rotasi siang dan malam (Ali Imran 3 : 26-27)
6. Memuliakan dan yang menghinakan (Ali Imran 3 : 26-27)
Lihat pula QS. Al A’raaf 7 : 54, Al Baqarah 2 : 21-22.
-
Tauhid Rububiyah tidaklah dapat memasukkan orang yang meyakininya ke dalam Islam, karena orang-orang kafir Yahudi dan nashrani serta Musyrikin Qurays dahulu meyakini akan kerububiyahan Allah. (Baca : Al Mu’minun 23 : 86-89, Az-Zukhruf 43 : 89, Az-Zukhruf 43 : 9, Yunus 10 : 31) namun mereka tetap dinyatakan kafir.
-
Bahkan Fir’aun –alahi la’natullah- mengakui akan kerububiyahan Allah ta’ala sebagaimana dalam Firman Allah Ta’ala QS Al Isra’ 17 : 102 yang artinya : “(Musa menjawab): ‘Sesungguhnya kamu telah mengetahui bahwa tiada yang menurunkan mu’jizat-mu’jizat ini kecuali dari Tuhan yang memelihara langit dan bumi sebagai bukti-bukti yang nyata, dan sesungguhnya aku mengira kamu, hai Fir’aun, seorang yang akan binasa’.” (Al Isra’ 17 : 102).
-
Tauhid Rububiyah merupakan fitrah manusia dan segenap makhluk sebagaimana dalam firman Allah Ta’ala : “Dan ingatlah takala Rabbmu mengeluarkan keturunan Adam dari sulbi mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka (seraya berfirman) : ‘Bukankah aku ini Rabbmu ?’ mereka menjawab, ‘Betul (Engkau Tuhan kami), kami menjadi saksi. ‘(Kami lakukan yang demikian itu) agar di hari kiamat kamu tidak mengatakan, ‘Sesungguhnya kami (bani Adam) adalah orang-orang yang lengah terhadap ini (keesaan Allah).” (Al-A’raf 7 : 172).
Rasulullah Shallalahu ‘alaihi wa Salam bersabda : “Setiap bayi dilahirkan atas dasar fitrah, maka kedua orang tuanyalah yang menjadikan Yahudi, Nasrani atau Majusi.” (Muttafaq ‘alaihi)
Namun Fitrah manusia yang sudah dianugerahkan Allah Ta’ala kepada mereka dipalingkan oleh Syaithan sebagaimaa dalam hadits Qudsi : “Aku ciptakan hamba-hamba-Ku dalam keadaan lurus bersih, maka setanlah yang memalingkan mereka.” (HR. Ahmad dan Muslim)
-
Bantahan terhadap para penyelisih Rububiyah Allah :
1. Kaum yang meyakini bahwa Sang Pencipta dan Pengatur alam semesta lebih dari satu (Polytheisme)
Bantahan Naqliyah: Allah Ta’ala berfirman : “Kalau ada Tuhan beserta-Nya masing-masing Tuhan itu akan membawa makhluk yang diciptakannya dan sebagaian dari tuhan-tuhan itu akan mengalahkan sebagian yang lain.” (Al-Mu’minun 23 : 91)
Bantahan Aqliyah : Keteraturan alam semesta beserta kerapiannya pastilah menafikan adanya pencipta-pencipta yang lain beserta Allah, jikalau ada sekutu-sekutu lain beserta Allah di dalam Rububiyah akan berimplikasi terhadap keteraturan dan kerapian alam semesta ini, karena pastilah tiap-tiap Rabb (pemelihara) memiliki kehendak dan kekuasaan yang mana dimungkinkan kehendak dan kekuasaan tiap-tiap Rabb itu saling berbenturan yang menyebabkan ketidakseimbangan alam semesta ini.
2. Paganisme/Berhalaisme
Sungguh para penyembah berhala, patung-patung, dan benda-benda lainnya selain Allah benar-benar menanggalkan akal mereka. Mereka menyembah :
– Sesuatu yang tidak dapat mendatangkan kemudharatan dan kemanfaatan (Yunus 10 : 18)
– Sesuatu yang tidak dapat menciptakan lalat walaupun berhala-berhala itu bersatu untuk menciptakannya (Al-Hajj 22 : 73)
– Sesuatu yang tidak mampu mencipta apapun (Luqman 31 : 11 dan Al-Ahqaf 46 :4)
– Sesuatu yang tidak dapat mencipta bahkan ia diciptakan (An-Nahl 16 : 20)
3. Meyakini bahwa sang Pencipta memiliki anak
Bantahan : Allah Ta’ala berfirman : “Allah sekali-kali tak mempunyai anak (Al Mu’minun 23 : 91) dan dalam firmannya : “Bagaiamana Dia mempunyai anak padahal Dia tidak mempunyai istri” (Al-An’am 6 : 101). Sungguh telah kafir dan bodoh sekali orang-orang yang menyatakan bahwa sang pencipta alam semesta ini memiliki anak.
4. Kaum penyembah Planet, Bumi dan Matahari.
Bantahan : QS. Al-An’am 6 : 76 –83 (Kisah Pengingkaran Ibrahim terhadap sesembahan terhadap matahari dan Bulan)
5. Atheisme (Meyakini tak ada pencipta)
Bantahan Naqliyah : “Apakah mereka diciptakan tanpa sesuatu pun ataukah mereka yang menciptakan (diri mereka sendiri)? Ataukah mereka telah menciptakan langit dan bumi itu? Sebenarnya mereka tidak yakin (akan yang mereka katakan).” (Ath-Thur 52 : 35-36)
Bantahan Aqliyah : Seorang manusia dengan akalnya pastilah ia akan melihat bahwa keteraturan alam semesta ini pastilah ada yang mengaturnya. Sungguh naïf jikalau ada manusia berkeyakinan bahwa segala keteraturan ini ada dengan sendirinya. Atheisme ini benar-benar amatlah membahayakan karena selain manusia harus menyalahi fitrahnya ia juga harus menanggalkan akalnya dan menyelisihi kodrat kemanusiaannya. Orang-orang pengadopsi dialektik materialisme yang tidak mengimani hal ghoib kecuali apa-apa yang dapat diindera sungguh benar-benar kaum yang sesat dan menyesatkan, mereka lebih hina dan bodoh daripada hewan. Mereka tidak mengimani adanya sang pencipta di alam semesta ini dikarenakan tak bisa diindera dzat-Nya, maka lantas bagaimana mereka bisa meyakini akan keberadaan listrik sedangkan mereka tidak bisa mengindera dzatnya, mendeskripsikan fisiknya dan menggambarkan bentuknya.
Bahkan untuk menjelaskan bagaimana alam semesta ini terbentuk, mereka benar-benar mengajukan suatu pendapat/teori yang merendahkan mereka. Mereka menyatakan alam semesta ini terjadi dengan sendirinya, sungguh suatu pendapat yang tidak berdasar pada akal sehat. Bagaimana mungkin keteraturan yang amat luar biasa ini dikatakan terjadi dengan sendirinya, Jika mau kita telaah lebih panjang kebobrokan faham atheisme ini niscaya akan nampaklah kebodohan-kebodohan dan kehinaan mereka yang mana mereka membuang akal mereka sehingga mereka lebih hina daripada hewan. (ibnu burhan)
TAUHID ULUHIYAH
-
Makna : Meng’ahad’kan Allah di dalam perbuatan Makhluk.
-
Maksudnya : meng’ahad’kan Allah dengan perbuatan para hamba berdasarkan niat taqorrub yang disyariatkan seperti do’a, nadzar, kurban, roja’ (pengharapan), takut, tawakkal, roghbah (senang), rahbah (takut) dan inabah (taubat). Jadi segala ibadah yang dilakukan makhluk hanyalah ditujukan kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala. Tauhid Uluhiyah juga disebut dengan Tauhidul Ibadah.
-
Tauhid Rububiyah mengharuskan Tauhid Uluhiyah , sebagaimana dalam firman Allah Ta’ala : “Wahai manusia, sembahlah Tuhanmu yang menciptakanmu dan menciptakan orang-orang sebelummu agar kamu menjadi orang yang bertakwa. Dialah Allah yang menjadikan bagimu bumi sebagai hamparan dan langit sebagai atap dan menurunkan dari langit air (hujan) yang dengannya menumbuhkan tumbuh-tumbuhan sebagai anugerah rizki bagimu, maka janganlah engkau membuat bagi Allah sekutu-sekutu sedangkan engkau mengetahuinya.” (Al Baqarah 2 : 20-21). Dari ayat di atas tampak bahwa Allah ta’ala menyatakan kerububiyahannya dengan menjadikan bagi manusia bumi sebagai hamparan, langit sebagai atap dan menurunkan air hujan yang dengan air hujan itu tumbuh bermacam-macam tumbuhan sebagai rizki bagi manusia, dimana setelah manusia mengetahui bahwa hal ini semua adalah dari Allah Ta’ala maka merupakan suatu kewajiban bagi manusia untuk menyembah Allah Ta’ala semata dan meninggalkan sesembahan-sesembahan selain Allah, dan ini merupakan konsekwensi Tauhid Rububiyah yang mengharuskan adanya Tauhid Uluhiah. (Baca juga QS Al An’am 6 : 102; Al A’raf 7 : 191; An Nahl 16 : 17).
-
Tauhid Uluhiyah merupakan tujuan manusia diciptakan sebagaimana dalam firman Allah Ta’ala : “Tidaklah Ku-ciptakan jin dan manusia kecuali untuk beribadah kepadaku (semata)” (QS Adz-Dzariyat 51 : 65)
-
Tauhid Uluhiyah merupakan puncak tertinggi dalam islam dimana para nabi dan rasul diutus untuknya (Baca An Nahl 16 : 36, Al Anbiya’ 21 : 25), Bahkan Nabi Nuh, Hud, Sholih, Syuaib dan nabi lainnya mengajak ummatnya dengan berseru : “Hai kaumku sembahlah Allah semata, sekali-kali tiada ilah bagimu selain-Nya.” (Al A’raf 7 : 59, 65, 73 dan 85). Tauhid Uluhiyah adalah Da’wah Nabi Yusuf (QS Yusuf 12 : 36-42), Da’wah Nabi Musa (Thaha 20 : 4-15; An Naaziat 79 : 21-25), dakwahnya Kholilullah Ibrahim (An Nahl 16 : 123; Al An’am 6 : 74-83; Maryam 19 : 41-50; Al Baqoroh 2 : 258; Al Anbiya’ 21 : 51-70) dan dakwahnya nabi kita Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa Salam (Shad 38 : 5-6; Az Zumar 39 : 2-3, 11-14; Al An’am 6 : 162-163, Al A’raf 7 : 158)
-
Tauhid Uluhiyah merupakan intisari dari kalimat At-tauhid Laa Ilaaha Illallah yang merupakan gerbang masuk islam, jalan keselamatan dan terpeliharanya harta, jiwa dan kehomatannya. (banyak hadits yang menjelaskannya diantaranya Dalam Arbain Nawawi hadits ke-2 tentang Iman, islam dan Ihsan, hadits ke-3 tentang rukun islam yang lima, hadits ke-8 tentang terpeliharanya kehormatan seorang muslim).
-
Tauhid Uluhiyah yang membedakan antara orang kafir dan musyrikin dengan orang islam yang muwahidin (mentauhidkan Allah).
-
Tauhid Uluhiyah merupakan pondasi islam yang harus ditegakkan pertama kali sebelum lainnya karena ia merupakan hak Allah yang harus dipenuhi makhluk-Nya dan merupakan ini dakwah para nabi dan rasul. Tauhid uluhiyah juga merupakan dasar dalam tarbiyah yang harus diprioritaskan sebelum lainnya.
-
Tauhid Uluhiyah merupakan asas dan pondasi dibangunnya seluruh amal, tanpa realisasiTauhid Uluhiyah semua ibadah dan amal makhluk tidak akan diterima bahkan ia menjadi orang kafir yang kekal di dalam neraka. (An nisa’ 4 : 48,116; Al An’am 6 : 85, Az Zumar 39 : 65)(ibnu burhan)
MAKNA SYAHADAT LAA ILAAHA ILLALLAH
-
Makna Laa Ilaaha Illallah ijmaalan (global) : Laa Ma’budan Bihaqqin Illallah
Artinya “Tidak ada sesembahan yang haq kecuali Allah”. Kata Laa harus ditaqdirkan dengan bihaqqin (yang haq), tidak boleh ditaqdirkan dengan maujudin (yang ada) karena menyelisihi makna sebenarnya. Jika ditaqdirkan dengan maujudin maka menjadi Laa Ma’budan maujudin illallah (Tidak ada sesembahan yang ada kecuali Allah) yang mengimplikasikan bahwa tidak ada sesembahan yang ada di bumi ini melainkan Ia-lah Allah, sehingga batu yang disembah, patung yang disembah, berhala yang disembah dan segala hal yang disembah maka Ia-lah Allah. Namun jika ditaqdirkan dengan bihaqqin maka implikasinya tidak ada sesembahan yang benar/haq untuk disembah kecuali Allah, maka segala sesembahan yang tidak haq yang disembah adalah bathil dan satu-satunya sesembahan yang haq disembah adalah Allah Ta’ala semata.
-
Tafsir bathil Makna Laa Ilaaha Illallah
1. Laa Ilaaha Illallah dimaknai dengan Laa ma’budan Ilallah (Tiada sesembahan kecuali Allah). Tafsir ini adalah bathil, karena jika tiada sesembahan yang disembah kecuali Allah, maka implikasinya setiap sesembahan baik yang haq maupun bathil maka Ia-lah Allah.
2. Laa Ilaaha Illallah dimaknai dengan Laa Kholiqon Illallah (Tiada pencipta kecuali Allah). Tafsir ini bathil dan kurang. Jikalau Laa Ilaaha Illallah ditafsirkan dengan tiada yang menciptakan kecuali Allah, penafsiran ini hanyalah mencakup sifat rububiyah Allah saja, sedangkan orang-orang musyrikin juga mengakui kerububiyahan Allah, sehingga jika ditafsirkan dengan makna ini secara tidak langsung menyatakan bahwa kaum musyrikin adalah muslim.
3. Laa Ilaaha Illallah dimaknai dengan Laa Haakimiah Illallah (Tiada hakim kecuali Allah). Tafsir ini bathil dan kurang karena hanya mencakup satu sifat dari sifat-sifat Allah.
-
Makna Laa Ilaaha Illallah tafshilan (terperinci) menurut I’rabnya :
– Laa disebut dengan Laa naafiyatan Lil Jinsi artinya ia adalah huruf yang berfungsi meniadakan seluruh jenis.
– Ilah adalah Ism, ia mabni fathah (senantiasa dalam keadaan fathah), sedangkan khobar (berita)-nya mahdzuf (dibuang) dan ditaqdirkan (dikira-kirakan) dengan lafadz Haqqun sehingga bermaksud Laa Ilaaha haqqun. Ilah bermakna segala sesuatu yang disembah, diminta pertolongan, dijadikan tumpuan hati untuk mendatangkan manfaat dan menolak mudhorot.
– Illa merupakan istitsna’ (pengecualian) dari khobar di belakangnya.
– Allah merupakan khobar yang rofa’ setelah istitsna’. Allah adalah ‘ism ‘alamiyah (nama) bagi diri-Nya. Yang berderivat (musytaq) dari kata Ilah dimana fa’ul ‘ism-nya dibuang dan ditambahkan lam az-za’idah sehingga menjadi lafadh Allah. (baca Fathul Majid pada syarh basmalah)
-
Rukun Syahadat Laa Ilaaha Illallah
Laa Ilaaha Illallah mempunyai dua rukun :
1. An-Nafyu atau peniadaan pada kalimat Laa Ilaaha : Membatalkan syirik dengan segala bentuknya dan mewajibkan kekafiran terhadap segala apa yang disembah selain Allah.
2. Al-Itsbat atau penetapan pada kalimat Illallah : Menetapkan bahwa tidak ada yang berhak disembah kecuali Allah dan mewajibkan pengamalan sesuai dengan konsekuensinya.
Kedua rukun di atas itu sebagaimana dalam firman Allah : “Barangsiapa yang ingkar kepada thaghut dan beriman kepada Allah maka sungguh ia telah berpegang pada tali Allah yang amat kuat” (Al Baqarah 2 : 256). Firman Allah Barangsiapa yang ingkar kepada thaghut merupakan makna nafyun dari Laa Ilaaha, rukun yang pertama. Sedangkan firman Allah beriman kepada Allah adalah makna itsbat dari rukun kedua Illallah.
Juga dalam firman Allah Ta’ala : “(berkata Ibrahim) Sesungguhnya aku berlepas diri dari apa yang kamu sembah, tetapi (aku menyembah) Tuhan yang menjadikanku” (Az Zukhruf 43 : 26-27)
Firman Allah Ta’ala Sesungguhnya aku berlepas diri dari apa yang kamu sembah, merupakan makna nafyun pada rukun pertama dan Fiman Allah tetapi (aku menyembah) Tuhan yang menjadikanku merupakan makna itsbat pada rukun kedua.
-
Syarat Laa Ilaaha Illallah
– Al-‘ilmu artinya mengetahui maknanya. Oleh sebab itu, orang yang mengucapkannya tanpa memahami makna dan konsekuensianya, ia tidak dapat memetik manfaat sedikitpun, bagaikan orang yang berbicara namun tak faham apa yang dibicarakannya (Lihat QS Muhamad 47 : 19 dan Az Zukhruf 43 : 86). Lawannya adalah Al-jahlu (bodoh)
– Al-Yaqin artinya meyakini sepenuhnya kebenaran kalimat itu tanpa ada keraguan dan kebimbangan sedikitpun (Lihat QS Al Hujurat 49 : 15). Lawannya adalah Asy-Syak (Ragu).
– Al Qobul artinya menerima apa adanya tanpa menolak. Hal ini dibuktikan dengan melaksanakan perintah dan meninggalkan larangan Allah (Lihat QS Ash Shoffat 37 : 35-36). Lawannya adalah Ar-Radd (menolak)
– Al-Inqiyad artinya tunduk dan patuh melaksanakan hak-hak kalimat ini, dengan cara melaksanakan kewajiban atas dasar ikhlash dan mencari Ridha Allah (Lihat QS Luqman 31 : 22). Lawannya adalah At-Tark (Meninggalkan).
– Al-Ikhlash artinya Ikhlash tanpa disertai kesyirikan sedikitpun (Lihat QS An Nisa’ 4 : 23). Lawannya adalah Asy-Syirk.
– Ash-Shidq artinya jujur tanpa disertai sifat kemunafikan, karena banyak yang mengucapkan kalimat ini namun tidak meyakininya (Lihat QS Al baqarah 2 : 8-10). Lawannya adalah Al-Kadzib (mendustakan).
– Al-Mahabbah artinya mencintai kalimat ini dan segala konsekuensinya. (Lihat QS Al Baqarah 2 : 165). Lawannya adalah Al-Baghdha’ (Benci)
-
Kedudukan kalimat Laa Ilaaha Illallah dalam kehidupan sehari-hari.
Laa Ilaaha Illallah merupakan kalimat yang senantiasa dikumandangkan kaum muslimin, penegak bumi dan langit, sebab para nabi dan Rasul di utus, sebab kitab-kitab diturunkan, merupakan pondasi syariat, timbangan ditegakkannya keadilan, pemisah antara mukmin dan kafir, tujuan dihunusnya pedang tatkala jihad, merupakan hak Allah atas hambanya, gerbang masuk islam, kunci surga, terpelihara kehormatan, darah dan harta pengucapnya, prioritas utama da’wah yang harus didahulukan.
-
Keutamaan kalimat Laa Ilaaha Illallah (Disebutkan oleh Imam Ibnu Rajab).
– Barangsiapa yang mengucapkan di akhir hayatnya dijamin masuk surga.
– Penyelamat kekalnya saeseorang di dalam neraka.
– Sebab diampuninya dosa.
– Kebajikan yang terbaik.
– Menghapus dosa dan kesalahan.
– Memparbaharui iman dalam hati.
– Merupakan do’a dan dzikir terbaik.
– Amalan yang paling utama
– Pengaman kesengsaraa kubur.
– Pemelihara dari gangguan Syaithan.
– Diharamkan atasnya neraka.
– Kunci dibukanya delapan pintu surga.
– Dan masih banyak lagi. (Baca Kitabul Ikhlash, Ibnu Rajab, hal. 54-66 (ibnu burhan)
-
Pembatal-pembatal Syahadat Laa Ilaaha Illallah
1. Syirik di dalam beribadah kepada Allah (Dalil : QS. An-Nisa’ 4 : 48, Al-Ma’idah 5 : 72)
2. Orang yang menjadikan antara dirinya dan Allah perantara-perantara (wasilah) untuk di jadikan sarana taqarrub kepada Allah dalam berdo’a, meminta syafa’at, pertolongan dan lain sebagainya.
3. Orang yang tidak mau mengkafirkan orang-orang yang kafir dan musyrik (seperti kafirnya ahlul kitab, kaum musyrikin Hindhu, Budha, atau selainnya) ataupun masih ragu akan kekufuran mereka bahkan membenarkan madzhab/pendapat-pendapat mereka.
4. Orang yang beri’tiqod (berkeyakinan di dalam hatinya) bahwa petunjuk selain Nabi lebih sempurna dan lebih baik daripada petunjuk Nabi. Seperti orang-orang yang lebih mendahulukan hukum thaghut di atas hukum Rasulullah, seperti undang-undang manusia.
5. Siapa yang membenci sesuatu dari ajaran yang dibawa oleh Rasulullah sekalipun ia mengamalkannya.
6. Siapa yang mengejek, menghina atau meremehkan sesuatu dari agama Rasulullah baik pahala maupun siksanya. (QS At-Taubah 9 : 65-66)
7. Mempelajari dan mengamalkan sihir, termasuk di dalamnya tenaga-tenaga dalam, ilmu santet dan semacamnya. (QS Al-Baqarah 2 : 102).
8. Mendukung dan membela kaum musyrikin dan menolong mereka dalam memusuhi ummat islam. (QS Al-Maidah 5 : 51)
9. Barangsiapa yang meyakini bolehnya manusia keluar dari syariat Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa Sallam sebagaimana keyakinan ghulat shufiyah (kaum sufi yang melampau batas) bahwa manusia dapat memiliki tingkatan-tingkatan dimana pada tingkatan tertentu ia boleh tidak melakukan ibadah kepada Allah (Dalam hal ini tingkatan haqiqat kemudian tingkatan ma’rifat.)
10. Berpaling dari agama Allah, tidak mempelajarinya dan tidak mau mengamalkannya (QS As-Sajdah 32 : 22)
Peringatan : Dalam permasalahan pembatal syahadat di atas pelaku telah melakukan perbuatan kufur ‘amali, namun kita tidak boleh langsung memvonis kafir pada pelaku sebelum tegak syarat-syaratnya. Dalam hal ini ada pembahasan khusus mengenai takfir (pengkafiran) maka berhati-hatilah…!!!
-Wallahu a’lam bish showab-
sedikit komentar akh… tentang perkataan ” Ibrahim mencari Tuhan ” pada tulisan diatas..
sepengetahuan ana perkataan ” Ibrahim mencari Tuhan ” adalah kurang atau bahkan tidak tepat. dengan beberapa alasan sebagai berikut :
1. Ana kira perkataan ” Ibrahim mencari Tuhan ” berasal dari pemahaman terhadap kata-kata ” Haada Rabbi ” pada surat Al An’aam ayat 75-78.. pemahaman umum yang beredar bahwa makna ” Haada Rabbi” adalah ‘Inilah Tuhanku” dengan makna penetapan, padahal yang lebih tepat-insya Allah- makna ‘Haada Rabbi” adalah Inikah Tuhanku ?? dengan makna pertanyaan pengingkaran.. atau seolah-olah Nabiyullah Ibrahim mengingkari kaumnya dengan berkata : ‘apakah ini yang engkau namakan Tuhan wahai kaumku ??’ hal ini diperkuat dalam surat Al An’aam ayat 78 akhir. Nabiyullah Ibrahim berkata : “Hai kaumku, sesungguhnya aku berlepas diri dari apa yang kamu persekutukan.
2. perkataan ” Ibrahim mencari Tuhan ” bisa menimbulkan dampak pemahaman yang keliru, dengan kalimat tersebut seolah-olah digambarkan bahwa Nabiyullah Ibrahim mencoba mencari Tuhan yang sebelumnya beliau tidak mengetahui siapa Tuhannya… padahal diayat 74 surat Al An’aam Nabiyullah mendakwahi bapaknya Azar tentang Tauhid yang dengan itu bisa kita ketahui bahwa Nabiyullah Ibrahim telah mengenal Allah…
itulah sedikit komentar dari ana, jika antum temukan kesalahan pada komentar ana, kiranya dapat antum koreksi dan luruskan.. jazakallahu khoiron…
Saya hanya ingin mengoreksi tulisan “Makna Laa Ilaaha Illallah ijmaalan (global) : Laa Ma’budan Bihaqqin Illallah” saya rasa masih salah seharusnya laa ma’buuda (لا معبود). Kalau dibaca ma’buudan itu bukan nafiyah lil-jins. Tiadalah suatu yang disebah itu haknya melainkan Allah, wah kacau deh jadinya. Menunut hemat saya penambahan kata bihaqq sudah tidak diperlukan dan menaqdirkan maujud merupakan makna umum yang sudah difahami dari gandengan laa nafiyah liljins tadi, menggantikan kata maujud dengan bihaqq justru merupakan ta’wil dari makna yang sudah jelas pemahamannya. Kata لا إله إلا الله sudah sangat jelas maknanya, bahwa dalam membangun tauhidullah ada dua unsur yang harus ditegakkan:
1. Penolakan dan pengingkaran terhadap semua jenis ilah (yang disembah dan diagungkan manusia apapun jesisnya)
2. Pengecualian dan Penetapan bahwa Allah-lah satu-satunya Ilah
Dengan demikian esensi yang terkandung didalamnya adalah menolak semua jenis penyembahan kepada selain Allah dan hanya menetapkan ilah kepada Allah
[…] disimpan dalam Aqidah & Manhaj. Anda bisa mengikuti setiap tanggapan atas artikel ini melalui RSS 2.0 pengumpan. Anda bisa tinggalkan tanggapan, atau lacak tautan dari situsmu […]
Apakah penambahan “yang haq untuk diibadahi” dicontohkan oleh rosul dan khulafaur rashidin? Apa dalil nash yang dipakai? Mana yang selamat: orisinil, ditambah, atau dikurangi?
Meski itu tujuannya baik; namun apa yang dari “Rosul dan Khulafaur-Roshidin” itulah yang selamat.
“LAAILAHAILLALLOH”
Wallohu’alam.