AQIDAH SALAFIYAH AL-MUYASSAR

 Jan, 10 - 2007   4 comments   Aqidah & Manhaj

AQIDAH SALAFIYAH AL-MUYASSAR

Oleh : Abu Salma al-Atsari

TAUHID RUBUBIYAH

  1. Makna : Meng’ahad’kan Allah Ta’ala di dalam perbuatan-Nya

  2. Maksudnya kita meyakini bahwa Allah Ta’ala itu yang :

1. Menciptakan segala sesuatu (Az-Zumar 39 : 62)

2. Memberikan Rezeki (Hud 11 : 2)

3. Penguasa Alam semesta dan yang mengaturnya (Ali Imran 3 : 26-27)

4. Yang Menghidupkan dan yang mematikan (Ali Imran 3 : 26-27)

5. Pengatur rotasi siang dan malam (Ali Imran 3 : 26-27)

6. Memuliakan dan yang menghinakan (Ali Imran 3 : 26-27)

Lihat pula QS. Al A’raaf 7 : 54, Al Baqarah 2 : 21-22.

  1. Tauhid Rububiyah tidaklah dapat memasukkan orang yang meyakininya ke dalam Islam, karena orang-orang kafir Yahudi dan nashrani serta Musyrikin Qurays dahulu meyakini akan kerububiyahan Allah. (Baca : Al Mu’minun 23 : 86-89, Az-Zukhruf 43 : 89, Az-Zukhruf 43 : 9, Yunus 10 : 31) namun mereka tetap dinyatakan kafir.

  2. Bahkan Fir’aun –alahi la’natullah- mengakui akan kerububiyahan Allah ta’ala sebagaimana dalam Firman Allah Ta’ala QS Al Isra’ 17 : 102 yang artinya : “(Musa menjawab): ‘Sesungguhnya kamu telah mengetahui bahwa tiada yang menurunkan mu’jizat-mu’jizat ini kecuali dari Tuhan yang memelihara langit dan bumi sebagai bukti-bukti yang nyata, dan sesungguhnya aku mengira kamu, hai Fir’aun, seorang yang akan binasa’.” (Al Isra’ 17 : 102).

  3. Tauhid Rububiyah merupakan fitrah manusia dan segenap makhluk sebagaimana dalam firman Allah Ta’ala : “Dan ingatlah takala Rabbmu mengeluarkan keturunan Adam dari sulbi mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka (seraya berfirman) : ‘Bukankah aku ini Rabbmu ?’ mereka menjawab, ‘Betul (Engkau Tuhan kami), kami menjadi saksi. ‘(Kami lakukan yang demikian itu) agar di hari kiamat kamu tidak mengatakan, ‘Sesungguhnya kami (bani Adam) adalah orang-orang yang lengah terhadap ini (keesaan Allah).” (Al-A’raf 7 : 172).

Rasulullah Shallalahu ‘alaihi wa Salam bersabda : “Setiap bayi dilahirkan atas dasar fitrah, maka kedua orang tuanyalah yang menjadikan Yahudi, Nasrani atau Majusi.” (Muttafaq ‘alaihi)

Namun Fitrah manusia yang sudah dianugerahkan Allah Ta’ala kepada mereka dipalingkan oleh Syaithan sebagaimaa dalam hadits Qudsi : “Aku ciptakan hamba-hamba-Ku dalam keadaan lurus bersih, maka setanlah yang memalingkan mereka.” (HR. Ahmad dan Muslim)

  1. Bantahan terhadap para penyelisih Rububiyah Allah :

1. Kaum yang meyakini bahwa Sang Pencipta dan Pengatur alam semesta lebih dari satu (Polytheisme)

Bantahan Naqliyah: Allah Ta’ala berfirman : “Kalau ada Tuhan beserta-Nya masing-masing Tuhan itu akan membawa makhluk yang diciptakannya dan sebagaian dari tuhan-tuhan itu akan mengalahkan sebagian yang lain.” (Al-Mu’minun 23 : 91)

Bantahan Aqliyah : Keteraturan alam semesta beserta kerapiannya pastilah menafikan adanya pencipta-pencipta yang lain beserta Allah, jikalau ada sekutu-sekutu lain beserta Allah di dalam Rububiyah akan berimplikasi terhadap keteraturan dan kerapian alam semesta ini, karena pastilah tiap-tiap Rabb (pemelihara) memiliki kehendak dan kekuasaan yang mana dimungkinkan kehendak dan kekuasaan tiap-tiap Rabb itu saling berbenturan yang menyebabkan ketidakseimbangan alam semesta ini.

2. Paganisme/Berhalaisme

Sungguh para penyembah berhala, patung-patung, dan benda-benda lainnya selain Allah benar-benar menanggalkan akal mereka. Mereka menyembah :

– Sesuatu yang tidak dapat mendatangkan kemudharatan dan kemanfaatan (Yunus 10 : 18)

– Sesuatu yang tidak dapat menciptakan lalat walaupun berhala-berhala itu bersatu untuk menciptakannya (Al-Hajj 22 : 73)

– Sesuatu yang tidak mampu mencipta apapun (Luqman 31 : 11 dan Al-Ahqaf 46 :4)

– Sesuatu yang tidak dapat mencipta bahkan ia diciptakan (An-Nahl 16 : 20)

3. Meyakini bahwa sang Pencipta memiliki anak

Bantahan : Allah Ta’ala berfirman : “Allah sekali-kali tak mempunyai anak (Al Mu’minun 23 : 91) dan dalam firmannya : “Bagaiamana Dia mempunyai anak padahal Dia tidak mempunyai istri” (Al-An’am 6 : 101). Sungguh telah kafir dan bodoh sekali orang-orang yang menyatakan bahwa sang pencipta alam semesta ini memiliki anak.

4. Kaum penyembah Planet, Bumi dan Matahari.

Bantahan : QS. Al-An’am 6 : 76 –83 (Kisah Pengingkaran Ibrahim terhadap sesembahan terhadap matahari dan Bulan)

5. Atheisme (Meyakini tak ada pencipta)

Bantahan Naqliyah : “Apakah mereka diciptakan tanpa sesuatu pun ataukah mereka yang menciptakan (diri mereka sendiri)? Ataukah mereka telah menciptakan langit dan bumi itu? Sebenarnya mereka tidak yakin (akan yang mereka katakan).” (Ath-Thur 52 : 35-36)

Bantahan Aqliyah : Seorang manusia dengan akalnya pastilah ia akan melihat bahwa keteraturan alam semesta ini pastilah ada yang mengaturnya. Sungguh naïf jikalau ada manusia berkeyakinan bahwa segala keteraturan ini ada dengan sendirinya. Atheisme ini benar-benar amatlah membahayakan karena selain manusia harus menyalahi fitrahnya ia juga harus menanggalkan akalnya dan menyelisihi kodrat kemanusiaannya. Orang-orang pengadopsi dialektik materialisme yang tidak mengimani hal ghoib kecuali apa-apa yang dapat diindera sungguh benar-benar kaum yang sesat dan menyesatkan, mereka lebih hina dan bodoh daripada hewan. Mereka tidak mengimani adanya sang pencipta di alam semesta ini dikarenakan tak bisa diindera dzat-Nya, maka lantas bagaimana mereka bisa meyakini akan keberadaan listrik sedangkan mereka tidak bisa mengindera dzatnya, mendeskripsikan fisiknya dan menggambarkan bentuknya.

Bahkan untuk menjelaskan bagaimana alam semesta ini terbentuk, mereka benar-benar mengajukan suatu pendapat/teori yang merendahkan mereka. Mereka menyatakan alam semesta ini terjadi dengan sendirinya, sungguh suatu pendapat yang tidak berdasar pada akal sehat. Bagaimana mungkin keteraturan yang amat luar biasa ini dikatakan terjadi dengan sendirinya, Jika mau kita telaah lebih panjang kebobrokan faham atheisme ini niscaya akan nampaklah kebodohan-kebodohan dan kehinaan mereka yang mana mereka membuang akal mereka sehingga mereka lebih hina daripada hewan. (ibnu burhan)

TAUHID ULUHIYAH

  1. Makna : Meng’ahad’kan Allah di dalam perbuatan Makhluk.

  2. Maksudnya : meng’ahad’kan Allah dengan perbuatan para hamba berdasarkan niat taqorrub yang disyariatkan seperti do’a, nadzar, kurban, roja’ (pengharapan), takut, tawakkal, roghbah (senang), rahbah (takut) dan inabah (taubat). Jadi segala ibadah yang dilakukan makhluk hanyalah ditujukan kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala. Tauhid Uluhiyah juga disebut dengan Tauhidul Ibadah.

  3. Tauhid Rububiyah mengharuskan Tauhid Uluhiyah , sebagaimana dalam firman Allah Ta’ala : “Wahai manusia, sembahlah Tuhanmu yang menciptakanmu dan menciptakan orang-orang sebelummu agar kamu menjadi orang yang bertakwa. Dialah Allah yang menjadikan bagimu bumi sebagai hamparan dan langit sebagai atap dan menurunkan dari langit air (hujan) yang dengannya menumbuhkan tumbuh-tumbuhan sebagai anugerah rizki bagimu, maka janganlah engkau membuat bagi Allah sekutu-sekutu sedangkan engkau mengetahuinya.” (Al Baqarah 2 : 20-21). Dari ayat di atas tampak bahwa Allah ta’ala menyatakan kerububiyahannya dengan menjadikan bagi manusia bumi sebagai hamparan, langit sebagai atap dan menurunkan air hujan yang dengan air hujan itu tumbuh bermacam-macam tumbuhan sebagai rizki bagi manusia, dimana setelah manusia mengetahui bahwa hal ini semua adalah dari Allah Ta’ala maka merupakan suatu kewajiban bagi manusia untuk menyembah Allah Ta’ala semata dan meninggalkan sesembahan-sesembahan selain Allah, dan ini merupakan konsekwensi Tauhid Rububiyah yang mengharuskan adanya Tauhid Uluhiah. (Baca juga QS Al An’am 6 : 102; Al A’raf 7 : 191; An Nahl 16 : 17).

  4. Tauhid Uluhiyah merupakan tujuan manusia diciptakan sebagaimana dalam firman Allah Ta’ala : “Tidaklah Ku-ciptakan jin dan manusia kecuali untuk beribadah kepadaku (semata)” (QS Adz-Dzariyat 51 : 65)

  5. Tauhid Uluhiyah merupakan puncak tertinggi dalam islam dimana para nabi dan rasul diutus untuknya (Baca An Nahl 16 : 36, Al Anbiya’ 21 : 25), Bahkan Nabi Nuh, Hud, Sholih, Syuaib dan nabi lainnya mengajak ummatnya dengan berseru : “Hai kaumku sembahlah Allah semata, sekali-kali tiada ilah bagimu selain-Nya.” (Al A’raf 7 : 59, 65, 73 dan 85). Tauhid Uluhiyah adalah Da’wah Nabi Yusuf (QS Yusuf 12 : 36-42), Da’wah Nabi Musa (Thaha 20 : 4-15; An Naaziat 79 : 21-25), dakwahnya Kholilullah Ibrahim (An Nahl 16 : 123; Al An’am 6 : 74-83; Maryam 19 : 41-50; Al Baqoroh 2 : 258; Al Anbiya’ 21 : 51-70) dan dakwahnya nabi kita Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa Salam (Shad 38 : 5-6; Az Zumar 39 : 2-3, 11-14; Al An’am 6 : 162-163, Al A’raf 7 : 158)

  6. Tauhid Uluhiyah merupakan intisari dari kalimat At-tauhid Laa Ilaaha Illallah yang merupakan gerbang masuk islam, jalan keselamatan dan terpeliharanya harta, jiwa dan kehomatannya. (banyak hadits yang menjelaskannya diantaranya Dalam Arbain Nawawi hadits ke-2 tentang Iman, islam dan Ihsan, hadits ke-3 tentang rukun islam yang lima, hadits ke-8 tentang terpeliharanya kehormatan seorang muslim).

  7. Tauhid Uluhiyah yang membedakan antara orang kafir dan musyrikin dengan orang islam yang muwahidin (mentauhidkan Allah).

  8. Tauhid Uluhiyah merupakan pondasi islam yang harus ditegakkan pertama kali sebelum lainnya karena ia merupakan hak Allah yang harus dipenuhi makhluk-Nya dan merupakan ini dakwah para nabi dan rasul. Tauhid uluhiyah juga merupakan dasar dalam tarbiyah yang harus diprioritaskan sebelum lainnya.

  9. Tauhid Uluhiyah merupakan asas dan pondasi dibangunnya seluruh amal, tanpa realisasiTauhid Uluhiyah semua ibadah dan amal makhluk tidak akan diterima bahkan ia menjadi orang kafir yang kekal di dalam neraka. (An nisa’ 4 : 48,116; Al An’am 6 : 85, Az Zumar 39 : 65)(ibnu burhan)

MAKNA SYAHADAT LAA ILAAHA ILLALLAH

  1. Makna Laa Ilaaha Illallah ijmaalan (global) : Laa Ma’budan Bihaqqin Illallah

Artinya “Tidak ada sesembahan yang haq kecuali Allah”. Kata Laa harus ditaqdirkan dengan bihaqqin (yang haq), tidak boleh ditaqdirkan dengan maujudin (yang ada) karena menyelisihi makna sebenarnya. Jika ditaqdirkan dengan maujudin maka menjadi Laa Ma’budan maujudin illallah (Tidak ada sesembahan yang ada kecuali Allah) yang mengimplikasikan bahwa tidak ada sesembahan yang ada di bumi ini melainkan Ia-lah Allah, sehingga batu yang disembah, patung yang disembah, berhala yang disembah dan segala hal yang disembah maka Ia-lah Allah. Namun jika ditaqdirkan dengan bihaqqin maka implikasinya tidak ada sesembahan yang benar/haq untuk disembah kecuali Allah, maka segala sesembahan yang tidak haq yang disembah adalah bathil dan satu-satunya sesembahan yang haq disembah adalah Allah Ta’ala semata.

  1. Tafsir bathil Makna Laa Ilaaha Illallah

1. Laa Ilaaha Illallah dimaknai dengan Laa ma’budan Ilallah (Tiada sesembahan kecuali Allah). Tafsir ini adalah bathil, karena jika tiada sesembahan yang disembah kecuali Allah, maka implikasinya setiap sesembahan baik yang haq maupun bathil maka Ia-lah Allah.

2. Laa Ilaaha Illallah dimaknai dengan Laa Kholiqon Illallah (Tiada pencipta kecuali Allah). Tafsir ini bathil dan kurang. Jikalau Laa Ilaaha Illallah ditafsirkan dengan tiada yang menciptakan kecuali Allah, penafsiran ini hanyalah mencakup sifat rububiyah Allah saja, sedangkan orang-orang musyrikin juga mengakui kerububiyahan Allah, sehingga jika ditafsirkan dengan makna ini secara tidak langsung menyatakan bahwa kaum musyrikin adalah muslim.

3. Laa Ilaaha Illallah dimaknai dengan Laa Haakimiah Illallah (Tiada hakim kecuali Allah). Tafsir ini bathil dan kurang karena hanya mencakup satu sifat dari sifat-sifat Allah.

  1. Makna Laa Ilaaha Illallah tafshilan (terperinci) menurut I’rabnya :

Laa disebut dengan Laa naafiyatan Lil Jinsi artinya ia adalah huruf yang berfungsi meniadakan seluruh jenis.

Ilah adalah Ism, ia mabni fathah (senantiasa dalam keadaan fathah), sedangkan khobar (berita)-nya mahdzuf (dibuang) dan ditaqdirkan (dikira-kirakan) dengan lafadz Haqqun sehingga bermaksud Laa Ilaaha haqqun. Ilah bermakna segala sesuatu yang disembah, diminta pertolongan, dijadikan tumpuan hati untuk mendatangkan manfaat dan menolak mudhorot.

Illa merupakan istitsna’ (pengecualian) dari khobar di belakangnya.

Allah merupakan khobar yang rofa’ setelah istitsna’. Allah adalah ‘ismalamiyah (nama) bagi diri-Nya. Yang berderivat (musytaq) dari kata Ilah dimana fa’ul ‘ism-nya dibuang dan ditambahkan lam az-za’idah sehingga menjadi lafadh Allah. (baca Fathul Majid pada syarh basmalah)

  1. Rukun Syahadat Laa Ilaaha Illallah

Laa Ilaaha Illallah mempunyai dua rukun :

1. An-Nafyu atau peniadaan pada kalimat Laa Ilaaha : Membatalkan syirik dengan segala bentuknya dan mewajibkan kekafiran terhadap segala apa yang disembah selain Allah.

2. Al-Itsbat atau penetapan pada kalimat Illallah : Menetapkan bahwa tidak ada yang berhak disembah kecuali Allah dan mewajibkan pengamalan sesuai dengan konsekuensinya.

Kedua rukun di atas itu sebagaimana dalam firman Allah : “Barangsiapa yang ingkar kepada thaghut dan beriman kepada Allah maka sungguh ia telah berpegang pada tali Allah yang amat kuat” (Al Baqarah 2 : 256). Firman Allah Barangsiapa yang ingkar kepada thaghut merupakan makna nafyun dari Laa Ilaaha, rukun yang pertama. Sedangkan firman Allah beriman kepada Allah adalah makna itsbat dari rukun kedua Illallah.

Juga dalam firman Allah Ta’ala : “(berkata Ibrahim) Sesungguhnya aku berlepas diri dari apa yang kamu sembah, tetapi (aku menyembah) Tuhan yang menjadikanku” (Az Zukhruf 43 : 26-27)

Firman Allah Ta’ala Sesungguhnya aku berlepas diri dari apa yang kamu sembah, merupakan makna nafyun pada rukun pertama dan Fiman Allah tetapi (aku menyembah) Tuhan yang menjadikanku merupakan makna itsbat pada rukun kedua.

  1. Syarat Laa Ilaaha Illallah

Al-‘ilmu artinya mengetahui maknanya. Oleh sebab itu, orang yang mengucapkannya tanpa memahami makna dan konsekuensianya, ia tidak dapat memetik manfaat sedikitpun, bagaikan orang yang berbicara namun tak faham apa yang dibicarakannya (Lihat QS Muhamad 47 : 19 dan Az Zukhruf 43 : 86). Lawannya adalah Al-jahlu (bodoh)

Al-Yaqin artinya meyakini sepenuhnya kebenaran kalimat itu tanpa ada keraguan dan kebimbangan sedikitpun (Lihat QS Al Hujurat 49 : 15). Lawannya adalah Asy-Syak (Ragu).

Al Qobul artinya menerima apa adanya tanpa menolak. Hal ini dibuktikan dengan melaksanakan perintah dan meninggalkan larangan Allah (Lihat QS Ash Shoffat 37 : 35-36). Lawannya adalah Ar-Radd (menolak)

Al-Inqiyad artinya tunduk dan patuh melaksanakan hak-hak kalimat ini, dengan cara melaksanakan kewajiban atas dasar ikhlash dan mencari Ridha Allah (Lihat QS Luqman 31 : 22). Lawannya adalah At-Tark (Meninggalkan).

Al-Ikhlash artinya Ikhlash tanpa disertai kesyirikan sedikitpun (Lihat QS An Nisa’ 4 : 23). Lawannya adalah Asy-Syirk.

Ash-Shidq artinya jujur tanpa disertai sifat kemunafikan, karena banyak yang mengucapkan kalimat ini namun tidak meyakininya (Lihat QS Al baqarah 2 : 8-10). Lawannya adalah Al-Kadzib (mendustakan).

Al-Mahabbah artinya mencintai kalimat ini dan segala konsekuensinya. (Lihat QS Al Baqarah 2 : 165). Lawannya adalah Al-Baghdha’ (Benci)

  1. Kedudukan kalimat Laa Ilaaha Illallah dalam kehidupan sehari-hari.

Laa Ilaaha Illallah merupakan kalimat yang senantiasa dikumandangkan kaum muslimin, penegak bumi dan langit, sebab para nabi dan Rasul di utus, sebab kitab-kitab diturunkan, merupakan pondasi syariat, timbangan ditegakkannya keadilan, pemisah antara mukmin dan kafir, tujuan dihunusnya pedang tatkala jihad, merupakan hak Allah atas hambanya, gerbang masuk islam, kunci surga, terpelihara kehormatan, darah dan harta pengucapnya, prioritas utama da’wah yang harus didahulukan.

  1. Keutamaan kalimat Laa Ilaaha Illallah (Disebutkan oleh Imam Ibnu Rajab).

– Barangsiapa yang mengucapkan di akhir hayatnya dijamin masuk surga.

– Penyelamat kekalnya saeseorang di dalam neraka.

– Sebab diampuninya dosa.

– Kebajikan yang terbaik.

– Menghapus dosa dan kesalahan.

– Memparbaharui iman dalam hati.

– Merupakan do’a dan dzikir terbaik.

– Amalan yang paling utama

– Pengaman kesengsaraa kubur.

– Pemelihara dari gangguan Syaithan.

– Diharamkan atasnya neraka.

– Kunci dibukanya delapan pintu surga.

– Dan masih banyak lagi. (Baca Kitabul Ikhlash, Ibnu Rajab, hal. 54-66 (ibnu burhan)

  1. Pembatal-pembatal Syahadat Laa Ilaaha Illallah

1. Syirik di dalam beribadah kepada Allah (Dalil : QS. An-Nisa’ 4 : 48, Al-Ma’idah 5 : 72)

2. Orang yang menjadikan antara dirinya dan Allah perantara-perantara (wasilah) untuk di jadikan sarana taqarrub kepada Allah dalam berdo’a, meminta syafa’at, pertolongan dan lain sebagainya.

3. Orang yang tidak mau mengkafirkan orang-orang yang kafir dan musyrik (seperti kafirnya ahlul kitab, kaum musyrikin Hindhu, Budha, atau selainnya) ataupun masih ragu akan kekufuran mereka bahkan membenarkan madzhab/pendapat-pendapat mereka.

4. Orang yang beri’tiqod (berkeyakinan di dalam hatinya) bahwa petunjuk selain Nabi lebih sempurna dan lebih baik daripada petunjuk Nabi. Seperti orang-orang yang lebih mendahulukan hukum thaghut di atas hukum Rasulullah, seperti undang-undang manusia.

5. Siapa yang membenci sesuatu dari ajaran yang dibawa oleh Rasulullah sekalipun ia mengamalkannya.

6. Siapa yang mengejek, menghina atau meremehkan sesuatu dari agama Rasulullah baik pahala maupun siksanya. (QS At-Taubah 9 : 65-66)

7. Mempelajari dan mengamalkan sihir, termasuk di dalamnya tenaga-tenaga dalam, ilmu santet dan semacamnya. (QS Al-Baqarah 2 : 102).

8. Mendukung dan membela kaum musyrikin dan menolong mereka dalam memusuhi ummat islam. (QS Al-Maidah 5 : 51)

9. Barangsiapa yang meyakini bolehnya manusia keluar dari syariat Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa Sallam sebagaimana keyakinan ghulat shufiyah (kaum sufi yang melampau batas) bahwa manusia dapat memiliki tingkatan-tingkatan dimana pada tingkatan tertentu ia boleh tidak melakukan ibadah kepada Allah (Dalam hal ini tingkatan haqiqat kemudian tingkatan ma’rifat.)

10. Berpaling dari agama Allah, tidak mempelajarinya dan tidak mau mengamalkannya (QS As-Sajdah 32 : 22)

Peringatan : Dalam permasalahan pembatal syahadat di atas pelaku telah melakukan perbuatan kufur ‘amali, namun kita tidak boleh langsung memvonis kafir pada pelaku sebelum tegak syarat-syaratnya. Dalam hal ini ada pembahasan khusus mengenai takfir (pengkafiran) maka berhati-hatilah…!!!

-Wallahu a’lam bish showab-

 


Related articles

 Comments 4 comments

  • Abu Aufa' says:

    sedikit komentar akh… tentang perkataan ” Ibrahim mencari Tuhan ” pada tulisan diatas..
    sepengetahuan ana perkataan ” Ibrahim mencari Tuhan ” adalah kurang atau bahkan tidak tepat. dengan beberapa alasan sebagai berikut :

    1. Ana kira perkataan ” Ibrahim mencari Tuhan ” berasal dari pemahaman terhadap kata-kata ” Haada Rabbi ” pada surat Al An’aam ayat 75-78.. pemahaman umum yang beredar bahwa makna ” Haada Rabbi” adalah ‘Inilah Tuhanku” dengan makna penetapan, padahal yang lebih tepat-insya Allah- makna ‘Haada Rabbi” adalah Inikah Tuhanku ?? dengan makna pertanyaan pengingkaran.. atau seolah-olah Nabiyullah Ibrahim mengingkari kaumnya dengan berkata : ‘apakah ini yang engkau namakan Tuhan wahai kaumku ??’ hal ini diperkuat dalam surat Al An’aam ayat 78 akhir. Nabiyullah Ibrahim berkata : “Hai kaumku, sesungguhnya aku berlepas diri dari apa yang kamu persekutukan.

    2. perkataan ” Ibrahim mencari Tuhan ” bisa menimbulkan dampak pemahaman yang keliru, dengan kalimat tersebut seolah-olah digambarkan bahwa Nabiyullah Ibrahim mencoba mencari Tuhan yang sebelumnya beliau tidak mengetahui siapa Tuhannya… padahal diayat 74 surat Al An’aam Nabiyullah mendakwahi bapaknya Azar tentang Tauhid yang dengan itu bisa kita ketahui bahwa Nabiyullah Ibrahim telah mengenal Allah…

    itulah sedikit komentar dari ana, jika antum temukan kesalahan pada komentar ana, kiranya dapat antum koreksi dan luruskan.. jazakallahu khoiron…

    Abu Aufa telah benar dan Abu Salma telah salah. Insya Alloh akan ana ralat artikel tersebut. Itu adalah koleksi artikel yang telah lama, dan ana muat namun sayang koreksi banyak terlewatkan. Jazzakallohu khoyr. Koreksi dan nasehat berikutnya ditunggu. Barokallohu fiik.

  • amin albarqy says:

    Saya hanya ingin mengoreksi tulisan “Makna Laa Ilaaha Illallah ijmaalan (global) : Laa Ma’budan Bihaqqin Illallah” saya rasa masih salah seharusnya laa ma’buuda (لا معبود). Kalau dibaca ma’buudan itu bukan nafiyah lil-jins. Tiadalah suatu yang disebah itu haknya melainkan Allah, wah kacau deh jadinya. Menunut hemat saya penambahan kata bihaqq sudah tidak diperlukan dan menaqdirkan maujud merupakan makna umum yang sudah difahami dari gandengan laa nafiyah liljins tadi, menggantikan kata maujud dengan bihaqq justru merupakan ta’wil dari makna yang sudah jelas pemahamannya. Kata لا إله إلا الله sudah sangat jelas maknanya, bahwa dalam membangun tauhidullah ada dua unsur yang harus ditegakkan:
    1. Penolakan dan pengingkaran terhadap semua jenis ilah (yang disembah dan diagungkan manusia apapun jesisnya)
    2. Pengecualian dan Penetapan bahwa Allah-lah satu-satunya Ilah
    Dengan demikian esensi yang terkandung didalamnya adalah menolak semua jenis penyembahan kepada selain Allah dan hanya menetapkan ilah kepada Allah

    Wa’alaikumus Salam Warohmatullahi Wabarokatuh

    Pertama ana ucapkan syukron wa Jazzakallohu Khoyrol Jazaa’ atas koreksi dan masukan antum. Ana hanya bisa mengucapkan :
    Innii Laa astathii’u an ashifa laka ma syagholani minal Farohi was Suruuri wa Ghomronii minal Ibtihaaji wal Hubuuri hiinama washolani ta’qiibuka ’ala kitaabatiy wa tanbiihuka alal aktho’i fil kitaabah, wa arjullaha an yuwaafiqoka wa iyaaya ila sabilir Rasyaad.

    Kedua, ana katakan : antum benar dan ana salah ketika menuliskan makna Laa Ilaaha illa Allohu dengan Laa Ma’budan bihaqqin illa Allohu karena kalimat ini salah dari sisi i’rab apalagi makna.
    Rasulullah Shallalahu ‘alaihi wa Salam pernah bersabda : Kullu Banii Aadam Khaththaa’un wa Khoyrul Khoththoo’in at-Tawwabuun [tiap-2 Bani Adam melakukan kesalahan dan sebaik-2 mereka yang tersalah adalah yang bertaubat].
    Wa anaa aquulu, Ashobta wa Akhtho’a Abu Salma. Wa Arjuukum wa Kaafata min Ikhwaaninaa ’ala nahji haadzal mitsaali, in akhtho’a yuroji’u waya’tarifu akhtho’ahu I’tiroofan.
    Akhy fillah, Risalah ini sebenarnya ana tulis 5 tahun yang lalu waktu masih kuliah sebagai bahan materi mentoring adik kelas. Jadi, ana rujuk dari kesalahan tersebut dan ini semua dikarenakan kurang telitinya ana di dalam menulis.

    Ketiga, Berbicara masalah ilmu nahwu. Huruf Laa berfungsi untuk menghapus (nasikh) al-ibtida (mubtada) dan menafikan jenis (nafi lil jinsi.
    Pada kalimat Laa Ilaaha illa Allohu, di sini huruf Laa masuk kepada isim nakirah (kata benda indefinitf). Dalam hal ini ada dua bentuk :
    (1) Laa Nafilaysa, maka isimnya menjadi marfu’ dan khobarnya menjadi masnhub, seperti contoh : Laa Thoolibun Jaalisan, thoolib-nya marfu’ dan Jaalis-nya manshub. Di sini tidak ada Tanshish (pe-nash-an/penegasan) nafi, sehingga tdk dikatakan nafyu lil jinsi.
    (2) Laa Nafi yang beramal seperti amal Inna, maka mubtada sebagai isimnya manshub sedangkan khobar-nya marfu’. Laa inilah yang berfungsi sebagai nafyu lil jinsi. Misalnya dikatakan : Laa Thooliba fil Fashli atau Laa Thooliba Jalisun, maka maknanya tidak ada satupun (menafikan) seorang murid di kelas atau murid yang duduk.

    Keempat, tentang i’rob kalimat tauhid Laa Ilaaha illa Allohu. Pada kalimat yang mulia ini, tersimpan dua unsur mendasar, yaitu an-Nafyu dan al-Itsbatu.
    (a) Kata Laa Ilaaha : Laa di sini tentu saja bermakna nafyu lil jinsi atau ada juga yg mengatakan Laa at-Tabri`ah. Kata Ilaah merupakan isim dari Laa, dan Ilaahu itu sendiri berasal dari kata aliha – ya’lahu – Ilaahah yang murodif (antonim) dengan kata ’abida – ya’budu – ‘ibaadah. Apabila dikatakan Ta’alluh maka maknanya adalah Ta’abbud, jika dikatakan ma’luh maka maknanya adalah ma’bud. Dikarenakan makna Ilaah itu sendiri sama dengan ma’luh, maka Ilaah juga dapat dimaknai dengan Ma’bud. Dengan kata lain Ilaah itu Ma’bud dan Ma’bud itu Ilaah.
    Apabila kita perhatikan kalimat Laa Ilaaha illa Allohu, kita ketahui bahwa Ilaah merupakan Isim dari Laa, sedangkan khobarnya mahdzuf (tersembunyi atau tidak disebut). Untuk itu suatu khobar yang mahdzuf perlu dicari atau ditentukan taqdirnya (perkiraan khobarnya yang mahdzuf tadi). Dalam hal ini, ulama tercatat ada dua pendapat :
    Pendapat Pertama : menyatakan bahwa taqdir dari khobar mahdzuf tersebut adalah Maujud (eksis/ada), jadi maksudnya adalah Laa Ilahaa Maujudun illa Allohu [tidak ada sesembahan yang eksis/ada kecuali Alloh]. Taqdir dengan maujud ini tentu saja bathil, karena banyak al-Aalihah (jamak dari Ilaah) yang menjadi sesembahan di dunia ini sedangkan sesembahan ini maujud/eksis. Seakan-akan apabila dikatakan ”Tidak ada sesembahan yang eksis kecuali Alloh” maksudnya sesembahan-sesembahan yang ada dan disembah itu adalah Alloh, karena tidak ada sesuatu sesembahan pun yang maujud/ada kecuali Alloh. Ini adalah penafsiran yang bathil dan pangkal kesesatan dari faham Wahdatul Wujud (ada yang baca Wihdatul Wujud).
    Pendapat Kedua : menyatakan bahwa taqdir dari khobar mahdzuf tersebut adalah Haqqun (yang hak), jadi maksudnya adalah Laa Ilahaa Haqqun illa Allohu [tidak ada sesembahan yang haq kecuali Alloh]. Penafsiran ini lebih benar, karena maknanya adalah tidak ada sesembahan yang berhak (atau haq/benar) untuk disembah kecuali Alloh, berarti sesembahan-sesembahan yang maujud (eksis) selain Alloh adalah sesembahan yang tidak haq alias bathil.
    Hal ini lebih selaras dengan firman Alloh Azza wa Jalla dalam surat Luqman ayat 30 :
    ذلك بأن الله هو الحق وأن ما يدعون من دونه الباطل وأن الله هو العلي الكبير
    “Demikianlah karena sesungguhnya Alloh, Dialah (sesembahan) YANG HAQ dan sesungguhnya apa saja (sesembahan yang eksis) yang mereka seru selain Alloh itulah yang BATHIL, dna sesungguhnya Alloh Dialah Yang Maha Tinggi Lagi Maha Besar.”
    Walhasil, makna dari kata Laa Ilaaha maksudnya adalah Laa Ilaaha haqqun atau Laa Ma’buda Haqqun atau Laa Ma’buda bihaqqin [Tidak ada sesembahan yang haq].

    (b) Kata Illa Allohu : Kata Illa menurut nuhat (ulama nahwu) maknanya adalah Ikhrooju syai’a ’an Hukmi ma qoblahu Iijaban wa Salban [mengeluarkan sesuatu (kalimat) dari hukum lafazh sebelumnya baik secara positif maupun negatif]. Iijabun maksudnya adalah kalimat yang tidak didahului oleh suatu nafi atau syibhun nafi (yang serupa dengan nafi) sedangkan salbun maksudnya adalah kalimat yang didahului oleh nafi atau syibhun nafi.
    Suatu mustatsna (yang dikecualikan) dengan lafazh illa, maka secara umum ada dua keadaannya, yaitu :
    (1) Apabila kalimat itu mujab (ijab/positif/tdk didahului oleh nafi) maka hukumnya nashab, misalnya dikatakan Khoroja ath-Thullab illa Zaidan, di sini Zaid sebagai mustatsna, dan dikarenakan kalimatnya mujab (tidak didahului nafi), maka mustatsnanya harus nashab, oleh karena itu Zaid menjadi manshub.
    (2) Apabila kalimat itu ghoiru mujab (salbun/tidak iijab/ didahului oleh nafi) maka mustatsna-nya boleh sebagai badal yang sama i’rabnya dengan mustatsna minhu dan boleh juga dinashabkan. Misalnya dikatakan : Maa khoroja ath-Thullab illa Zaidun/Zaidan.
    Nah, sekarang kita kembali lagi ke kalimat illa Allohu. I’rob dari kalimat tauhid Laa Ilaaha Illa Allohu, di sini bentuknya adalah ghoiru mujab maka dapat dikatakan bahwa lafazh jalalah Allohu kedudukannya adalah sebagai badal dari dhamir mustatir (kata ganti yang tidak tampak) pada khobar Laa yang mahdzuf tadi. Oleh karena itu, taqdir dari khobar mahdzuf tadi adalah haqqun bukan maujudun, karena di dalamnya terdapat dhamir mustatir sebagai badal dari lafazh Alloh. Karena Alloh itu bukan hanya Ilaah/sesembahan yang eksis/maujud belaka, namun Ia adalah sesembahan yang hak (yang benar) dan paling benar sebagaimana telah berlalu penjelasannya.
    Lafazh Illa Allohu disifatkan dengan mustatsna mufarrogh (istitsna yang maknanya terkumpul pada mustatsna pada suatu kalimat yang naqish/kurang sempurna), maka I’rabnya harus berdasarkan awamil (jamak dari ‘amal) yang dituntut oleh lafazh sebelum illa. Oleh karena itulah, lafazh Alloh sebagai mustatsna setelah illa berkedudukan sebagai badal yang i’rabnya mengikuti khobar laa yang statusnya marfu’.
    Apabila kita menghilangkan kata nafi dan itsbat, maka akan menjadi suatu kalimat berita (informasi) yang akan tergantung pada taqdir (perkiraan) khobar mahdzufnya tadi. Jika taqdirnya dikatakan maujud maka lafazhnya menjadi :
    ILAHU AL-MAUJUD HUWA ALLOHU atau HUWA ALLOHU ILAAHUL MAUJUD
    Yang artinya : SESEMBAHAN YANG EKSIS ADALAH ALLOH atau DIALAH ALLOH SESEMBAHAN YANG EKSIS/ADA
    Ini tentu saja –sekali lagi- adalah sebuah kesalahan, karena batu yang disembah, pohon, kuburan, para wali, malaikat, nabi atau selainnya yang disembah, semuanya ini eksis dan ada. Tapi semuanya walaupun maujud/eksis/ada belum tentu BENAR atau HAQ. Oleh karena itu yang tepat taqdirnya adalah haqq atau bihaqq, sebagaimana dalam lafazh berikut :
    ILAAHUL HAQ HUWA ALLOHU atau HUWA ALLOHU ILAAHUL HAQ
    Yang artinya : SESEMBAHAN YANG HAQ ADALAH ALLOH atau DIALAH ALLOH SESEMBAHAN YANG HAQ.
    Dari lafazh ini sangat tampak dan nyata bahwa Alloh adalah sesembahan yang haq, oleh karena itu segala sesuatu yang disembah selain Alloh adalah bathil karena hanya Alloh-lah yang haq untuk disembah.
    Namun, kalimat tauhid bukanlah kalimat yang bersifat infomasi sebagaimana di atas, yang memungkinkan terjadinya syarakah (perserikatan atau persekutuan). Oleh karena itulah, kalimat tauhid ini memiliki keitimewaan, ia memiliki dua unsur yang sangat kuat, yaitu unsur AN-NAFYU (meniadakan) dan AL-ITSBATU (menetapkan), yang maknanya adalah :
    LAA ILAAHA = LAA ILAAHA (HAQQUN) tidak ada satu pun sesembahan yang benar dan berhak untuk diibadahi, disembah, dimohoni pertolongan, diistigotsahi, dipinta dengan do’a, ditakuti, dicintai, diharapkan pertolongan, rahmat, maghfirah dan pahala dari-Nya…
    ILLA ALLOHU = kecuali hanya kepada Alloh, sesembahan yang HAQ, yang berhak untuk diibadahi, disembah, dimohoni pertolongan, diistigotsahi, dipinta dengan do’a, ditakuti, dicintai, diharapkan pertolongan, rahmat, maghfirah dan pahala dari-Nya…
    Adapun sesembahan yang maujud/eksis yang diibadahi, disembah, dimohoni pertolongan, diistigotsahi, dipinta dengan do’a, ditakuti, dicintai, diharapkan pertolongan, rahmat, maghfirah dan pahala selain Alloh maka adalah ILAAHUL BATHIL walaupun ia merupakan ILAAHUL MAUJUD (sesembahan yang eksis), karena tidak semua ILAAHUL MAUJUD itu HAQ dan ILAAHUL HAQ itu pastilah MAUJUD (eksis)…
    Dengan demikian terjawablah semua, alhamdulillah semoga antum bisa beristifadah dengannya. Apabila antum masih kurang yakin dengan TAQDIR HAQQ atau BIHAQQIN ini, maka ana tunggu penjelasan dari antum supaya ana bisa beristifadah darinya, dan menta’qib sesuatu yang sekiranya perlu dita’qib.
    Barokallohu fiikum, Wa hadzihi jawaabiy ‘ala ta’aqiibikum wa harrortu hadzihil kitabah litanuuba ‘anniy fi adaa`i ma yajibu nahwaka, wa ‘asa Allaha ‘an yarzuqokum wa iyaa at-Taufiq wal Hidayah wa Yu’iinakum wa iyaaya ‘ala ath-Thoo’ati wa ittiba’is Sunnati al-Jama’ah. Amien. Wa akhiiron laysa bi Aakhirin, arju an Tastamirro al-Munaashohah wal Mudzaakaroh bainana wa nastafiidu ba’dhunaa ba’dhon fil birri wal haqqi wa nunkiru ba’dhuna ba’dhon fi masa`il allati iktalafnaa fiihi…
    Akhukum Abu Salma al-Atsari

  • […] disimpan dalam Aqidah & Manhaj. Anda bisa mengikuti setiap tanggapan atas artikel ini melalui RSS 2.0 pengumpan. Anda bisa tinggalkan tanggapan, atau lacak tautan dari situsmu […]

  • AGUNG says:

    Apakah penambahan “yang haq untuk diibadahi” dicontohkan oleh rosul dan khulafaur rashidin? Apa dalil nash yang dipakai? Mana yang selamat: orisinil, ditambah, atau dikurangi?
    Meski itu tujuannya baik; namun apa yang dari “Rosul dan Khulafaur-Roshidin” itulah yang selamat.
    “LAAILAHAILLALLOH”
    Wallohu’alam.

    Kata tersebut adalah konsekuensi dari B. Arab yang banyak ‘mahdzuf’-nya, sehingga pasti ada ‘taqdir’-nya. Coba baca lagi artikel di atas dan bantahan saya atas komen salah seorang saudara yg membantah ttg ‘taqdir’ bihaqqin bukan maujudan…

  • Leave a Reply

    Your email address will not be published. Fields with * are mandatory.