Perisai Penuntut Ilmu dari Syubhat ath-Thalibi (2)

 Dec, 12 - 2006   3 comments

صيانة الطلاب من شبه الطالبي

Perisai Penuntut Ilmu dari Syubhat ath-Thalibi

(Bagian 2)

 

Oleh :

Abu Salma bin Burhan Yusuf

 

 

Ath-Thalibi : Abu Salma berkata: “Adapun tuduhan salafiyin fanatik terhadap guru-guru, tokoh-tokoh dan ulama-ulamanya, ini juga tuduhan yang tidak benar. Karena salafiy tidak pernah fanatik kepada seorang pun kecuali kepada Rasulullah saw. Adapun fenomena yang ditangkap, tentang adanya sebagian oknum yang mengatasnamakan diri sebagai salafiy, lalu mereka menerapkan al-Wala’ (loyalitas) dan al-Baro’ (disloyalitas) kepada individu tertentu atas dasar fanatisme, maka ini bukanlah manhaj salaf.”

CATATAN: Akhi rahimakallah, secara teori, perkataan Antum ini benar. Tetapi dalam praktek, ia sangat sulit dicari buktinya. Sudah menjadi rahasia umum bahwa ikhwan Salafi mencukupkan pengajian hanya dari ustadz-ustadznya sendiri, hadir di majlis-majlisnya sendiri, membaca majalah-majalahnya, membaca buku-buku dari penerbitnya, dan lebih sering menyebut nama-nama ulama tertentu saja. Ini sudah rahasia umum. Biarpun Antum mengingkari dengan 1000 alasan, tetapi kenyataan tidak mudah diubah. Sudah banyak diketahui, sebagian kalangan Salafi dekat dengan ulama-ulama Salafi dari Markaz Imam Al Albani. Salafi ini mengakui bahwa Syaikh Rabi’ Salafi, Syaikh Muqbil Salafi, Syaikh Aman Jami Salafi, Syaikh Yahya Najmi Salafi, tetapi mereka lebih condong ke ulama-ulama dari Markaz Imam Al Albani di Yordan. Bahkan Ustadz Abdurrahman At Tamimi (guru Abu Salma) dipercaya oleh murid-murid Al Albani untuk mengawasi peredaran buku-buku dari ulama-ulama di Markaz Al Albani yang beredar di Indonesia. Jika memang mereka hanya fanatik kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, tentunya tidak mencukupkan diri dengan majlis-majlis itu, tetapi juga mau melihat majlis-majlis lain. Toh, ukurannya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, sedangkan Ummat beliau di Indonesia ini banyak, bukan hanya Salafi. Tetapi langkah seperti ini jika dibicarakan akan segera ‘ditebas’ oleh tahdzir keras yang melarang mereka duduk-duduk dengan ahli bid’ah atau menimba ilmu darinya.

 

Tanggapan : Di sini sangat tampak sekali bahwa saudara ath-Thalibi tidak memahami manhaj salaf di dalam mengambil ilmu –walaupun beliau menulis buku “Dakwah Salafiyah Dakwah Bijak” dan menggunakan nisbat “ath-Thalibi”-. Untuk itu sebagai nasehat dan penjelasan, ada baiknya saya berikan sedikit gambaran tentang masalah ini -menuntut ilmu-.

Syaikh Bakr Abu Zaid hafizhahullahu di dalam Hilyatu Tholibil ‘Ilmi (Perhiasan Penuntut Ilmu) bab Adabu ath-Tholib ma’a Syaikhihi (Etika Penuntut Ilmu dengan gurunya), pada poin no. 22 sub judul at-Talaqqi ‘anil Mubtadi’ (Belajar kepada ahli bid’ah), beliau nafa’allohu bihi berkata :

احذر (أبا الجهل) المبتدع الذي مسه زيغ العقيدة و غشيته سحب الخرافة يحكم الهوى ويسميه العقل ويعدل عن النص وهل العقل إلا في النص؟! ويستمسك بالضعيف ويعبد عن الصحيح ويقال لهم أيضا ((أهل الشبهات)) و((أهل الأهواء)) ولذا كان ابن المبارك وحمه الله تعالى يسمي المبتدعة: ((الأصاغر)).

Waspadalah belajar dari biang kebodohan yang ahli bid’ah, yang aqidahnya menyeleweng tertutupi oleh mendung khurofat, yang memperturutkan hawa nafsu, namun ia menamakannya dengan mengikuti logika akal dengan berpaling dari nash. Ahli bid’ah ini berpegang dengan hadits yang dha’if dan menjauhi hadits yang shahih. Mereka juga dinamakan dengan ahli syubhat dan ahli ahwa’, oleh karena itulah ‘Abdullah bin Mubarak menamakan ahli bid’ah dengan Asaghir (orang-orang rendahan).”1

Imam Ibnu Utsaimin rahimahullahu mengomentari : “Hindari belajar dari biang kebodohan yang ahli bid’ah, yang aqidahnya menyeleweng tertutupi oleh mendung khurofat. Alasan yang dikemukakan oleh Syaikh Bakr Abu Zaed ini wajib kita ikuti, yaitu wajib bagi kita untuk menghindari ahli bid’ah dan perancang kebid’ahan yang memolesnya dengan sesuatu yang menarik dan mempesona. Merekalah orang-orang yang mengikuti hawa nafsunya dalam masalah aqidah, namun menamakannya dengan dalil akal, memang itu adalah akal namun akal mereka yang menghalangi mereka dari mendapatkan petunjuk dan kebenaran serta menyeret mereka kepada kesesatan. Mereka itu disebut oleh Imam Ibnul Qoyyim, mereka lari dari penghambaan yang mereka diciptakan untuk menghambakan diri kepada-Nya namun mereka terjatuh kepada penghambaan diri kepada hawa nafsu dan syaithan.”2

Syaikh Bakr Abu Zaed hafizhahullahu berkata :

و قال أيضا –الذهبيرحمه الله تعالى: وقرأت بخط الشيخ الموفق قال: سمعنا درسه أي ابن أبي عصرونمع أخي أبي عمر وانقطعنا فسمعت أخي يقول: دخلت عليه بعد, فقال: لما انقطعتم عني؟ قلت: إن الناس يقولون إنك أشعري, فقال: والله ما أنا أشعري. هذا معني الحكاية.

Imam adz-Dzahabi rahimahullahu juga berkata : Saya membaca tulisan Syaikh al-Muwafiq (Muwafiqudin Ibnu Qudamah), beliau berkata, ‘Saya dan saudaraku Abu ‘Umar mengikuti kajian yang diajarkan oleh Ibnu Abi Ashrun, namun akhirnya kami tidak mengikuti pelajarannya lagi’. Lalu saya mendengar saudaraku berkata: ‘Setalah itu saya menemuinya dan dia berkata, ‘kenapa kalian tidak lagi mengikuti pelajaranku?’ Saya jawab: ‘Sesungguhnya saya dengar orang-orang berkata bahwa anda adalah seorang Asy’ariy’, maka dia berkata: ‘Demi Alloh saya bukan Asy’ariy’. Demikianlah ceritanya.”

Imam Ibnu Utsaimin rahimahullahu berkomentar :

يستفاد أنك لا ينبغي أن تجلس لمبتدع وإن كانت بدعته حقيقية كبدعة الأشعري

Dapat dipetik faidah (dari kisah ini) bahwasanya tidak sepatutnya bagi anda duduk bermajlis (belajar) kepada ahli bid’ah apabila kebid’ahannya itu bid’ah haqiqiyah (nyata) semacam bid’ah Asy’ariyah.”3

Saya berkata : Semoga Alloh merahmati Imam Ibnu Utsaimin dan membalas Syaikh Bakr Abu Zaed dengan kebaikan, karena apa yang mereka utarakan adalah benar adanya. Apabila Imam Ibnu Qudamah dan saudaranya saja tidak mau bermajlis dengan orang yang tertuduh Asy’ariy padahal kenyataannya orang tersebut menolak tuduhan tersebut. Hal ini menunjukkan kehati-hatian para imam tersebut di dalam menimba ilmu. Lantas bagaimanakah dengan zaman ini dimana ahli bid’ah adalah mayoritas dan kebid’ahan mereka seringkali lebih dahsyat dan lebih beraneka ragam?!!

Ath-Thalibi berkata : “Jika memang mereka hanya fanatik kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, tentunya tidak mencukupkan diri dengan majlis-majlis itu, tetapi juga mau melihat majlis-majlis lain. Toh, ukurannya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, sedangkan Ummat beliau di Indonesia ini banyak, bukan hanya Salafi.” Wahai ath-Thalibi, umat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Salam memang banyak, namun pengikut sejati yang benar-benar meniti jalan beliau dan menghidupkan sunnah beliau, apakah banyak?? Wahai ath-Thalibi, lebih banyak manakah di zaman ini, ahli bid’ah yang bergelimpangan di dalam kebid’ahan ataukah ahli sunnah yang terasing dikarenakan berpegang teguhnya mereka dengan sunnah nabinya???

Sungguh indah apa yang dipaparkan oleh Imam Ibnu Qoyyim al-Jauziyyah rahimahullahu di dalam Madarijus Salikin (III/200) :

Apabila seorang mukmin menghendaki supaya Alloh menganugerahinya bashiroh (ilmu yang mendalam) di dalam agama, pengetahuan akan sunnah Rasul-Nya dan pemahaman akan kitab-Nya dan diperlihatkan hawa nafsu, bid’ah, kesesatan dan jauhnya manusia dari shirothol mustaqim, jalannya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Salam dan para sahabatnya. Apabila ia menghendaki untuk menempuh jalan ini, maka hendaklah ia persiapkan dirinya untuk dicemooh oleh orang-orang bodoh dan ahlul bid’ah, dicela, dihina dan ditahdzir oleh mereka. Sebagaimana pendahulu mereka melakukannya kepada panutan dan imam kita Shallallahu ‘alaihi wa Salam.

Adapun apabila ia menyeru kepada hal ini dan mencemooh apa-apa yang ada pada mereka, maka mereka akan murka dan membuat makar kepadanya..Sehingga dirinya menjadi orang yang :

Asing di dalam agamanya dikarenakan rusaknya agama mereka

Asing di dalam berpegangteguhnya ia kepada sunnah dikarenakan berpegangnya mereka dengan kebid’ahan

Asing di dalam aqidahnya dikarenakan rusaknya aqidah mereka

Asing di dalam sholatnya dikarenakan rusaknya sholat mereka

Asing di dalam manhajnya dikarenakan sesat dan rusaknya manhaj mereka

Asing di dalam penisbatannya dikarenakan berbedanya penisbatan mereka dengannya

Asing di dalam pergaulannya terhadap mereka dikarenakan ia mempergauli mereka di atas apa yang tidak disenangi hawa nafsu mereka

Kesimpulannya: ia adalah orang yang asing di dalam urusan dunia dan akhiratnya, yang masyarakat tidak ada yang mau menolong dan membantunya.

Karena dirinya adalah :

Seorang yang berilmu di tengah-tengah orang yang bodoh

Penganut sunnah di tengah-tengah pelaku bid’ah

Penyeru kepada Alloh dan Rasul-Nya di tengah-tengah penyeru hawa nafsu dan bid’ah

Penyeru kepada yang ma’ruf dan pencegah dari yang mungkar di tengah-tengah kaum yang menganggap suatu hal yang ma’ruf sebagai kemungkaran dan suatu hal yang mungkar sebagai ma’ruf.”4

Demikianlah ucapan Imam Ibnul Qoyyim rahimahullahu. Ahlus sunnah adalah orang yang asing di zaman ini di tengah-tengah rusaknya manusia, dan banyak sekali hadits-hadits yang menunjukkan realita keadaan ini.

Berikutnya ath-Thalibi berkata “Tetapi langkah seperti ini jika dibicarakan akan segera ‘ditebas’ oleh tahdzir keras yang melarang mereka duduk-duduk dengan ahli bid’ah atau menimba ilmu darinya.”, apakah saudara ath-Thalibi mengingkari ucapan-ucapan para salaf untuk menghindari majelis ahli bid’ah?!! Ataukah ath-Thalibi tidak mempermasalahkan masalah mengambil ilmu baik dari ahli sunnah maupun ahli bid’ah??? Untuk itu saya ingatkan sedikit ucapan para imam ini dan perhatikanlah wahai saudaraku, semoga Alloh memberimu taufiq.

وعن أبي قلابة قال: (( لا تجالسوا أهل الأهواء ولا تجادلوهم؛ فإني لا آمن أن يغمسوكم في ضلالتهم أو يلبسوا عليكم ما تعرفون ))

Dari Abu Qilabah, beliau berkata : “Janganlah kalian bermajelis dengan ahli ahwa’ dan berdebat dengan mereka. Sesungguhnya aku tidak merasa aman bahwa mereka dapat menjerumuskan kalian ke dalam kesesatan mereka atau mereka akan mengkaburkan masalah yang tidak kalian fahami.”5

وعن هشام بن حسان قال: (( كان الحسن ومحمد بن سيرين يقولان: لا تجالسوا أصحاب الأهواء ولا تجادلوهم ولا تسمعوا منهم ))

Dari Hisyam bin Hasan, beliau berkata : “Al-Hasan (Hasan al-Bahsri) dan Muhammad bin Sirin pernah berkata, ‘Janganlah kalian bermajelis dengan pengikut hawa nafsu, janganlah mendebatkan dan jangan pula mendengar darinya’.”6

وقال حنبل بن إسحاق: سمعت أبا عبد الله يقول: (( أهل البدع ما ينبغي لأحد أن يجالسهم ولا يخالطهم ولا يأنس بهم ))

Hanbal bin Ishaq berkata : “Aku mendengar Abu Abdillah (Imam Ahmad) berkata, ‘Ahli bid’ah, janganlah bagi seseorang bermajlis dengan mereka, jangan bercampur dengan mereka dan jangan pula bermanis-manis dengan mereka.”7

Dan masih banyak lagi ucapan-ucapan para imam salaf yang serupa, namun saya rasa yang tiga ini mencukupi.

Mungkin saudara ath-Thalibi akan berkata, “saya tidak menganjurkan untuk belajar ke ahli bid’ah, namun yang saya anjurkan adalah belajar tidaklah harus kepada para ulama salafi saja.”

Maka saya jawab, wahai saudaraku -semoga Alloh menganugerahiku dan menganugerahimu taufiq dan ilmu yang bermanfaat-, kita harus kembalikan lagi istilah salafiy itu sendiri. Apabila anda memaksudkan sebagai suatu kelompok tertentu maka anda salah. Karena yang dimaksud dengan salafiy (dengan adanya ya’ nisbah) merupakan penisbatan kepada manhaj salaf, penyandaran diri secara total terhadap cara beragama kaum salaf. Oleh karena itu lawan dari salafiy adalah kholafiy. Dan tentu saja ulama salafiy adalah lebih a’lam (berilmu), ahkam (lebih jelas/terang) dan aslam (lebih selamat). Jadi, apabila kita tidak menimba ilmu dari ulama salafiy lantas kepada siapakah kita akan menimba ilmu???

Ath-Thalibi berkata “Jika memang mereka hanya fanatik kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, tentunya tidak mencukupkan diri dengan majlis-majlis itu, tetapi juga mau melihat majlis-majlis lain.” Saudaraku, bentuk fanatik kita kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Salam adalah dengan penauladan kepada beliau, para sahabatnya dan kepada para as-Salaf ash-Shalih. Oleh karena itu kita hanya membatasi mengambil ilmu hanya dari ulama ahlus sunnah, ulama ahlul hadits, ulama ahlul atsar, ulama salafiy. Karena Rasulullah Shallallahu ‘alaihi Salam sendiri pernah bersabda :

وإياكم ومحدثات الأُمور، فإن كل محدثة بدعة وكل بدعة ضلالة

Dan berhati-hatilah kalian perkara-perkara yang baru di dalam agama, karena setiap perkara yang baru di dalam agama adalah bid’ah dan setiap bid’ah itu sesat.”

Untuk mengimplementasikan kehati-hatian kita dari bid’ah maka kita harus menghindari dan menjauhi ahli bid’ah dan ahli ahwa`.

Mungkin akan ada yang berkata, “berarti anda telah menuduh umat Islam ini seluruhnya adalah ahli bid’ah kecuali salafiy”

Maka saya jawab, tidak benar. Yang saya maksudkan adalah mayoritas umat Islam ini adalah tidak faham dengan sunnah Nabi, mereka asing dengan sunnah Nabi dan telah akrab dengan bid’ah dan segala bentuk kesesatan. Dan ini adalah realita yang tidak dapat dipungkiri. Untuk melabeli seseorang dengan ahli bid’ah ini adalah perkara berat, karena ini masalah vonis spesifik (mu’ayan). Namun menyatakan bahwa mayoritas umat Islam terkungkung oleh bid’ah dan mereka terperangkap dengan amalan ahli bid’ah, maka ini adalah realita, dan ini termasuk vonis muthlaq (umum, tidak spesifik).

Di dalam mensikapi orang-orang yang melakukan kebid’ahan, kita menilainya menjadi dua, yaitu :

  1. Mubtadi’ (ahli bid’ah) yakni para tokoh yang diikuti yang mengada-adakan kebid’ahan di dalam agama, mengajarkannya dan bersikeras mempertahankannya setelah ditegakkan hujjah atasnya.

  2. Muqtada bihi, yaitu mereka yang hanya ikut-ikutan saja, bisa jadi karena kejahilan mereka atau karena ketidakmampuan memilah-milah antara yang hak dan yang batil. Mereka tidak otomatis dikatakan sebagai mubtadi’ (ahlu bid’ah). Dan yang seperti inilah yang mayoritas.

Pembahasan lebih lengkap masalah ini bisa dirujuk di dalam Mukhtashar al-I’tisham oleh Fadhilatusy Syaikh Alwi bin Abdul Qodir as-Seqqaf pasal Fi Lafzhi Ahlil Bida’ wa Ahlil Ahwa’ (buku ini dapat didownload di www.dorar.net). Baca juga pasal sebelumnya tentang pembagian orang-orang yang dinisbatkan kepada bid’ah (Fi Aqsami al-Mansubina ilal Bid’ah).

Sebagai contoh : saya dapat mengatakan bahwa para ziarawan kubur di Masjid Sunan Ampel sebagai quburiyun, padahal quburiyun itu implikasinya tidak lepas dari dua hal, imma dapat jatuh kepada kemusyrikan atau imma dapat jatuh kepada kebid’ahan. Namun saya tidak berani menunjuk seorang tertentu dari mereka dan saya gelari musyrik atau mubtadi’. Karena ini termasuk bab vonis mu’ayan yang butuh persyaratan yang tidak mudah. Demikian pula saya dapat mengatakan bahwa syiah rafidhah adalah kafir, namun saya tidak bisa mengatakan fulan yang ikut pengajian mereka otomatis kafir. Jadi ini adalah masalah yang berbeda. Silakan lihat pembahasan masalah ini di dalam risalah “Hakikat Bid’ah : Tanya Jawab bersama Syaikh al-Albani” di dalam situs saya (http://geocities.com/abu_amman).

Saya minta maaf apabila saya terlalu panjang dan bertele-tele, namun ini semua saya lakukan untuk menghindarkan kesalahfahaman.

Kembali lagi masalah semula, bahwa mengambil ilmu dari ahlinya merupakan suatu keniscayaan. Supaya lebih melengkapi faidah, maka ada baiknya kita baca uraian Syaikh Bakr Abu Zaed nafa’allohu bihi yang dijelaskan lebih lengkap oleh al-Allamah Ibnu Utsaimin rahimahullahu.

Syaikh Bakr Abu Zaed berkata :

Wahai para pelajar, ikutilah jejak para ulama salaf para ulama salaf, hati-hatilah jangan sampai para ahli bid’ah mencelakakanmu, karena sesungguhnya mereka banyak membuat jalan-jalan untuk menjegalmu, mereka bungkus semua itu dengan ucapan yang manis seperti madu, padahal sebenarnya ia adalah madu yang pahit dan kucuran ari mata, indah kulit luarnya tipuan dengan khayalan belaka, mempertontonkan karomah, menjilati tangan serta mencium pundak. Tidaklah semua itu kecuali bara perbuatan bid’ah dan panasnya api fitnah yang ditanamkan dalam hatimu yang akan menjeratmu dalam lingkaran syaithannya. Demi Alloh, tidaklah orang yang buta bisa menuntun dan menunjukkan untuk memimpin orang-orang buta sepertinya.

Adapun kalau belajar kepada ulama ahlis sunnah, maka benar-benar isaplah madu dari mereka, jangan tanyakan lagi, semoga Alloh memberimu taufiq kepada jalan kebenaran, agar engkau mampu meraup warisan para nabi secara murni. Kalau tidak demikian, maka tangisilah agama ini bagi yang masih bisa menangis. Semua yang sebutkan ini adalah pada saat bisa memilih antara belajar dengan ahlis sunnah atau ahli bid’ah. Adapun apabila engkau belajar pada sekolah formal yang tidak ada pilihan lagi bagimu, maka berhati-hatilah serta berlindunglah kepada Alloh dari kejelekannya, jangan karena ini engkau mundur dari belajar, saya takut ini termasuk mundur dari tengah kancah pertempuran. Saat tidak ada kewajiban bagimu kecuali engkau benar-benar selektif menerima ilmunya, lalu engkau jauhi kejelekannya serta membongkar kedoknya.”

Imam Ibnu Utsaimin rahimahullahu mengomentari ucapan di atas :

Ini sebuah pengecualian yang bagus, terkadang seseorang harus terpaksa belajar kepada ahli bid’ah, semacam kalau belajar kepada sekolah formal, yang mana kadang-kadang yang mengajarkan ilmu bahasa Arab atau lainnya adalah seorang ahli bid’ah. Apa yang harus engkau lakukan kalau memang engkau harus belajar kepadanya?

Kita cuma bisa mengatakan: Ambillah kebaikannya dan tinggalkan kejelekannya. Kalau dia berbicara di hadapan murid-murid mengenai masalah aqidah, maka ajaklah berdialog, kalau engkau mampu berdialog dengannya. Namun kalau tidak, maka sampaikanlah perkataannya kepada orang yang lebih tahu darimu, jangan sampai engkau beradu argumen dengannya padahal engkau tidak bisa mengalahkannya, karena ini akan sangat berbahaya. Bukan hanya bagimu saja, namun juga kepada kebenaran yang engkau bela…”8

Demikianlah dua ulama ahlus sunnah salafiy ini menjelaskan. Maka apakah ini termasuk bagian fanatik hanya kepada guru-guru dan masyaikhnya saja? Apabila anda masih menuduh ini bagian dari fanatik, maka saya hanya bisa mengatakan :

فحسبكم هذا التفاوت بيننا وكل إناء بما فيه ينضح

Cukuplah bagi kalian perbedaan diantara kita

Dan setiap bejana memercikkan isinya

 

Adapun tuduhan bahwa ada sebagian kalangan salafi dekat dengan masyaikh Markaz Imam al-Albani, dan arah ucapan ini tampaknya ditujukan kepada ustadz saya, Ustadz Abu ‘Auf ‘Abdurrahman at-Tamimi dan rekan-rekan beliau, dan dikatakan bahwa mereka lebih condong kepada masyaikh Markaz Imam al-Albani dibandingkan masyaikh lainnya, seperti yang disebut oleh ath-Thalibi, yaitu Syaikh Rabi’, syaikh Muqbil, Syaikh Muhammad Aman al-Jami dan Syaikh Ahmad Yahya an-Najmi, maka ini adalah suatu pengada-adaan belaka. Apabila ath-Thalibi mau membaca tulisan-tulisan mereka –para asatidzah yang anda tuduh hanya condong ke masyaikh Yordania- baik di buku-buku atau majalah-majalah, niscaya anda akan mendapatkan nukilan-nukilan dari para masyaikh salafiyin lainnya.

Syaikh Salim bin Ied al-Hilaly hafizhahullahu pernah berkata :

« … وأننا بفضل الله نشرنا هذا المنهج في مشارق الأرض وفي مغاربه لا نفرّق بين السلفيّين و لا نفضّل بعضَهم على بعضٍ بل نجمعَ شملهم وندعوا إلى الصلح بينهم وندعوا إلى التوفيق بينهم … »

Dan kami dengan fadilah dari Alloh, menyebarkan manhaj ini di bumi bagian timur dan barat, dan kami tidak memilah-milah di antara salafiyin, kami tidak mengutamakan antara satu dengan lainnya, namun kami persatukan kalimat mereka dan kami ajak mereka kepada perdamaian di antara mereka serta kami seru mereka kepada saling meluruskan di antara mereka…”9

Demikian pula para asatidzah yang dimaksudkan ath-Thalibi lebih condong kepada masyaikh tertentu, bahwasanya mereka tidak memilah-milah diantara ulama salafiyin, mereka tidak fanatik terhadap salah seorang di antara mereka, alhamdulillah. Yang mereka jadikan dasar adalah kesesuaian dengan kebenaran, karena setiap orang dapat diterima dan ditolak ucapannya. Adapun kedekatan belaka, itu tidak menunjukkan arti kefanatikan, sebagaimana banyak pula para ulama salaf antara satu dengan lainnya mereka lebih dekat dengan ulama yang lebih sering mengajarkan ilmu kepada mereka daripada yang hanya mereka dengarkan saja.

Adapun tuduhan bahwa ikhwan salafiyin hanya mencukupkan diri dengan majelis-majelis ustadznya, buku-buku, majalah-majalah dan penerbitan mereka saja, hal ini tidak mutlak benar. Karena ada sebagian kalangan salafiyin yang tidak demikian. Kebenaran dapat diterima dari mana saja, bahkan dari air liur anjing ataupun muliut syaithan. Namun, harus dibedakan antara mencari kebenaran dengan menerima kebenaran.

Sebagai contoh, saya pribadi terkadang membaca buku-buku karya Bapak Adian Husaini, Pak Abduh Zulfidar, Pak Abu Deedat dan selain mereka. Karena setiap orang memiliki spesialisasi masing-masing, maka saya tidak mengharamkan diri mengambil faidah dari tulisan Pak Adian Husaini dalam membantah fikrah kafir JIL, pak Abu Deedat dalam masalah kristologi dls. Saya ambil yang berfaidah darinya dan saya buang yang salah darinya.

Adapun ada sebagian kalangan pengaku-ngaku salafi sejati, dan menolak semua yang bukan berasal dari mereka, maka ini adalah salafiyah dakwaan belaka. Syiar mereka adalah “in lam yakun ma’ana fa’alaina” (apabila tidak bersama kami maka musuh kami). Ini adalah jelmaan fikrah Haddadiyah. Mereka tidak bisa membedakan antara menukil dengan mentazkiyah, antara mencari kebenaran dengan menerima kebenaran.

Mereka mengharamkan membaca buku Ustadz Ahmed Deedat rahimahullahu padahal syaikh Ibnu Utsaimin memuji karya dan video debat-nya. Kami beristifadah dengan ilmu beliau rahimahullahu dalam membantah kaum kuffar, akan tetapi kami tidak menerima beberapa pemahaman beliau yang keliru di dalam masalah agama. Mereka berupaya hati-hati, namun mereka terjatuh kepada sikap ghuluw dan ifrath. Apabila mereka ini yang anda maksudkan wahai ath-Thalibi, maka anda tidak salah. Namun apabila anda menggeneralisir maka anda keliru.

 

Ath-Thalibi : Abu Salma mengomentari pernyataan Halawi Makmun bahwa Salafi sering menukil perkataan Syaikhul Islam, tetapi setelah dicek tidak ada perkataan itu. Abu Salma mengatakan: “Adapun tuduhannya bahwa salafy sering sekali mengatasnamakan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, padahal setelah dicek ternyata Ibnu Taimiyah tidak mengatakan sebagaimana demikian keadaannya, maka ini juga tuduhan belaka yang tidak ada buktinya. Mana bukti atas tuduhan ini?!! Apabila ada bukti, maka diskusi dapat berlanjut, apabila tidak ada maka cukup sampai di sini.”

CATATAN: Perkataan Halawi Makmun bahwa Salafi SERING menukil perkataan Ibnu Taimiyyah, padahal beliau tidak mengatakan seperti yang dinukil. Hal ini perlu dibuktikan secara ilmiah. Siapa di antara Salafi yang berbuat seperti itu? Apakah perbuatan itu sering dilakukan, atau jarang-jarang, atau bahkan tidak pernah sama sekali. Tampaknya, Ustadz Halawi perlu membuktikan kata SERING di atas. Tetapi dalam kasus yang menimpa Syaikh Ali Hasan Al Halabi, memang beliau pernah menukil perkataan Ibnu Taimiyyah, padahal Ibnu Taimiyyah tidak mengatakan perkataan itu. Dari buku Tahdzir Fitnatut Takfir, yang disusun Syaikh Ali Hasan, di halaman 17-18, beliau menukil perkataan palsu dari Ibnu Taimiyyah. Beliau juga membelokkan perkataan Ibnu Katsir dan Syaikh Muhammad Ibrahim rahimahumallah dari tempatnya. Hal ini berdasarkan fatwa Lajnah Daimah Saudi, No. 21517, tanggal 14 Jumadits Tsani 1421 H. Contoh yang mirip kasus ini ialah buku Syaikh Khalid Al Anbari yang berjudul Al Hukmu bi Ghairi Ma Anzalallah. Lajnah Daimah juga menurunkan fatwa pelarangan terhadap peredaran buku tersebut. Jadi buktinya ada, bukan hanya asal menuduh. Namun kalau diklaim bahwa banyak Salafi yang melakukan perbuatan serupa, khususnya ketika menukil perkataan-perkataan Ibnu Taimiyyah, saya tidak tahu.

 


Tanggapan : Dalam masalah ini saya tidak akan berpanjang lebar, karena buku saya at-Tahdzir min Fitnatit Takfir dan al-Ajwibah al-Mutalaa`imah sedang ada di Surabaya. Insya Alloh akan saya turunkan bantahan khusus dalam masalah ini. Namun, sebelum itu, saya ingin membuktikan dugaan saya, apakah ath-Thalibi hanya “asnuk” (asal nukil) saja ataukah dia pernah menelaah isi fatwa tersebut dan membandingkan dengan buku asli Syaikh Ali Hasan?

Oleh karena itu saya tantang ath-Thalibi untuk menukilkan :

  1. Isi fatwa al-Lajnah ad-Da’imah no. 21517, tanggal 14 Jumadits Tsani 1421 tersebut secara lengkap dan utuh.

  2. Isi buku yang dirujuk di dalam fatwa tersebut, yakni at-Tahdzir min fitnati Takfir hal. 17-18 yang dikatakan sebagai ucapan palsu dari Syaikhul Islam dan membelokkan perkataan Ibnu Katsir dan Syaikh Muhammad Ibrahim Alu Syaikh serta buku al-Hukmu bighoyri ma anzalalloh karya Syaikh Khalid al-Anbari.

Sebagai amanat ilmiah saya tuntut ath-Thalibi untuk menunjukkan dua hal di atas, baru saya akan memberikan jawaban secara khusus dalam masalah ini.

وإذا لم تر الهلال فسلم لأناس رأوه بالأبصار

Apabila engkau tidak melihat bulan sabit maka serahkanlah

Kepada manusia yang melihatnya dengan mata kepala

 

Ath-Thalibi : Abu Salma mengatakan: “Dengan demikian, ketika fitnah perpecahan dan perselisihan datang bertubi-tubi, bid’ah dan penyimpangan semakin menyebar, maka adalah suatu hal yang niscaya, menguji manusia dengan kesesuaian mereka terhadap sunnah, dan memilah-milah guru di dalam menuntut ilmu. Inilah sikap salafiyun yang sering disalahartikan dengan fanatisme terhadap ulama-ulama mereka saja. Inilah sikap salafiyun yang sering disalahpersepsikan dengan menyibukkan diri untuk mencari-cari kesalahan kelompok-kelompok Islam saat ini, padahal mereka hanyalah bermaksud menguji kesesuaian kelompok-kelompok tersebut terhadap as-Sunnah.”

CATATAN: Dalam buku Al Hatstsu ‘Alat Tib’is Sunnah Wa Tahdziri Minal Bida’i Wa Bayanu Khataraha, karya Syaikh Abdul Muhsin Al ‘Abbad, seperti yang diterjemahkan Abu Salma sendiri, lalu dimuat di situs pribadinya. Disana Syaikh Abdul Muhsin mensinyalir adanya bid’ah baru, yaitu menguji manusia. Jika seseorang “lulus” diuji dengan sekian pertanyaan, maka dia termasuk Ahlus Sunnah; Jika tidak “lulus”, maka posisinya masuk golongan ahli bid’ah. Menguji manusia yang dimaksudkan oleh Abu Salma di atas apakah seperti kenyataan yang dikatakan oleh Syaikh Abdul Muhsin itu? Wallahu a’lam. Jika seandainya perkara pengujian ini benar, siapa yang berhak menguji manusia? Apakah Salafi berhak menguji pihak-pihak di luar Salafi? Jika berhak, apakah Salafi sudah mewakili gambaran pengamalan Sunnah yang sempurna? Jika Salafi merasa paling Sunnah, mana yang seharusnya ditempuh, menguji manusia atau mendakwahi mereka? Jika kelompok-kelompok di luar Salafi memiliki sekian kesalahan, apakah Salafi bersih sama sekali dari kesalahan sehingga layak menjadi “penguji”? Dalam kalimat Antum di atas, jelas ada ketakaburan besar. Seolah yang memegang Sunnah di kalangan Ummat ini hanya kalangan Salafi. Lebih ironinya, jika Salafi mendapat kritik dari luar Salafi, meskipun dikritik berdasarkan Sunnah, para pengeritiknya serta-merta dituduh sebagai anti Sunnah, tidak sepakat dengan manhaj Salaf, dangkal ilmu, tidak bisa berdalil, pendukung Hizbi, pemecah-belah, dll. Mereka boleh bebas mengeritik, tetapi kalau dikritik emosi.

Coba perhatikan penggalan kalimat Abu Salma yang terakhir, “…padahal mereka (Salafi –pen.) hanyalah bermaksud menguji kesesuaian kelompok-kelompok tersebut terhadap as-Sunnah.” Masya Allah, ini adalah tazkiyah (penyucian diri) yang luar biasa. Satu ayat saja dari Al Qur’an sebagai komentarnya: “Dan demikianlah Kami jadikan kalian sebagai Ummat pertengahan (adil dan pilihan), agar kalian menjadi saksi atas perbuatan manusia dan agar Rasul (Nabi Muhammad) menjadi saksi atas (perbuatan) kalian.” (Surat Al Baqarah: 143). Disini, yang berhak memegang amanah menguji Ummat Islam adalah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Adapun setelah beliau wafat, amanah itu dipegang oleh para ulama waratsatul anbiya’ (pewaris Nabi). Ulama tersebut bisa darimana saja, tidak harus dari Yordan, Yaman, atau Saudi. Siapa saja yang paling kuat hujjah-nya menurut Kitabullah dan Sunnah shahihah, dia lebih layak diikuti. Demikianlah karakter Al Jamaah seperti yang disifati oleh Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu sebagai: “Bersepakat atas kebenaran meskipun engkau seorang diri, maka engkau adalah Al Jamaah ketika itu.”         

Tanggapan : Sebelum mengomentari ucapan di atas, saya teringat sebuah syair yang indah :

لو كنت تعلم ما أقول عذرتني أو كنت أعلم ما تقول عذلتكا

لكن جهلت مقالتي فعذلتني وعلمت أنك جاهل فعذرتكا

Seandainya kamu faham ucapanku niscaya kamu akan memaafkanku

Atau aku mengetahui ucapanmu maka aku mengkritikmu

Tetapi engkau tidak faham ucapanku sehingga mencelaku

Dan aku tahu bahwa kamu tidak faham maka aku memaafkanmu

Saudaraku ath-Thalibi, apabila anda membaca dengan seksama tulisan saya di atas dengan apa yang dipaparkan oleh al-‘Allamah ‘Abdul Muhsin bin Hammad al-Abbad al-Badr hafizhahullahu, niscaya anda akan mengetahui hakikat perbedaannya. Namun sayang, anda tidak memahaminya dan hal ini tertuang dalam ucapan anda sendiri : “Menguji manusia yang dimaksudkan oleh Abu Salma di atas apakah seperti kenyataan yang dikatakan oleh Syaikh Abdul Muhsin itu? Wallahu a’lam

Saya mengatakan di dalam risalah yang anda kritisi dengan menukil ucapan para imam salaf, diantaranya Imam Ibnu Sirin rahimahullahu berkata :

إن هذا العلم دين فانظروا عمّن تأخذون دينكم

Ilmu ini adalah agama, maka perhatikanlah darimana kalian mengambil agama kalian.” (Diriwayatkan oleh Imam Muslim di dalam Muqoddimah Shahih-nya).

Tatkala bid’ah dan firoq mulai melanda kaum muslimin, dan fitnah terhadap agama kaum muslimin mulai merebak, tatkala itulah pentingnya menguji manusia akan agamanya, sebagaimana ucapan Imam Barbahari rahimahullahu dalam kitab beliau yang sangat berharga, as-Sunnah :

والمحنة في الإسلام بدعة ، وأمّا اليوم فيمتحن بالسنة

Menguji manusia di dalam Islam itu bid’ah, namun hari ini perlu menguji manusia dengan sunnah.”

Ini adalah ucapan Imam Barbahari sendiri. Dan yang dimaksud oleh imam Barbahari adalah menguji manusia dengan sunnah.

Adapun apabila anda membaca risalah al-‘Alamah ‘Abdul Muhsin al-‘Abbad al-Badr rahimahullahu yang berjudul al-Hatstsu ‘ala ittiba`is Sunnah wat Tahdziru minal Bida’ wa Bayaanu Khathariha pada halaman 85, anda akan menemukan bab Bid’atu Imtihaani an-Naas bil Asykhosh (bid’ah menguji manusia dengan individu-individu tertentu). Apabila anda juga membaca paparan Syaikh setelahnya, maka akan menjadi jelas bahwa maksud syaikh adalah sebagian ahlus sunnah sekarang ini menyibukkan diri mereka dengan menguji antara satu dengan lainnya dengan individu-individu tertentu, sehingga pengujian ini membuahkan pujian dan sanjungan pada individu yang dipuja dan membuahkan tajrih, tabdi’, hajr dan tahdzir pada individu yang dicela.

Mereka menguji manusia dengan mengatakan, “bagaimana pandangan antum terhadap fulan yang telah ditahdzir syaikh fulan”, apabila ia turut mentahdzir orang itu maka ia adalah sahabatnya dan apabila orang itu membela atau bahkan hanya diam tidak menunjukkan sikap (tawaqquf) maka orang itu akan ditahdzir pula dan dijadikan lawan. Kaidah mereka adalah man lam yakun ma’ana fa’alaina (kalau tidak sepakat dengan kami maka musuh kami) atau man dafa’a saaqith fahuwa saaqith (barangsiapa membela orang yang keliru maka ia keliru). Akhirnya fenomena tahdzir, tabdi’, tajrih dan semacamnya merebak di tengah-tengah ahlus sunnah, dan inilah yang dimaksudkan oleh Syaikh ‘Abdul Muhsin al-‘Abbad al-Badr.

Adapun menguji manusia dengan sunnah, adalah menguji mereka akan keselarasannya dengan sunnah, terlebih-lebih di tengah-tengah merebaknya perpecahan dan bid’ah. Menguji manusia dengan sunnah tidak menafikan mendakwahi mereka. Karena menguji manusia dengan sunnah merupakan bagian dari dakwah kepada mereka. Apabila mereka jauh dari sunnah –setelah diuji- maka kewajiban pertama adalah mendakwahi mereka dengan hikmah, kelemahlembutan dan kasih sayang.

Adapun ucapan anda, bahwa apakah salafiyin layak menjadi penguji? Apakah salafiyin merasa yang paling nyunnah? Apakah salafiyin bersih dari segala kesalahan? Maka saya jawab : apabila yang dimaksud adalah salafiyin sebagai pengikut manhaj salaf yang senantiasa berupaya meniti manhaj salaf dengan segala daya upaya, maka insya Alloh iya. Mereka adalah orang yang paling dekat dengan sunnah dan yang menghidupkan sunnah –sebagaimana perkataan Imam Ibnul Qoyyim sebelumnya- di antara rusaknya manusia. Apakah mereka bersih dari kesalahan? tentu saja tidak, yang bersih dari kesalahan hanyalah para nabi dan rasul. Namun kesalahan mereka lebih sedikit apabila dibandingkan oleh selain mereka. Akan tetapi, apabila yang anda maksudkan adalah sebagian oknum yang hanya ngaku-ngaku saja menjadi salafi? Tentu saja mereka tidak layak.

Ingat, jangan difahami ini artinya saya mentazkiyah diri saya sendiri, apalagi sampai anda katakan takabbur –sebagaimana anda lakukan pada tulisan-tulisan anda terdahulu-. Apabila anda tanyakan apakah saya salafiy? Maka saya jawab, insya Alloh, saya berupaya menjadi seorang salafiy. Apabila anda tanyakan apakah saya salafiy sejati? Maka saya katakan, subhanallohu, masih jauh diri saya dari kesempurnaan sebagai salafi sejati, namun saya berupaya untuk bisa menjadi salafiy sejati. Apabila anda tanyakan kepada saya, apakah selain diri saya adalah bukan salafi atau salafi palsu? Maka saya jawab, ma’adzalloh, saya tidak pernah mengatakan demikian.

Ucapan anda benar bahwa “yang berhak memegang amanah menguji Ummat Islam adalah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Adapun setelah beliau wafat, amanah itu dipegang oleh para ulama waratsatul anbiya’ (pewaris Nabi). Ulama tersebut bisa darimana saja, tidak harus dari Yordan, Yaman, atau Saudi. Siapa saja yang paling kuat hujjah-nya menurut Kitabullah dan Sunnah shahihah, dia lebih layak diikuti. Demikianlah karakter Al Jamaah seperti yang disifati oleh Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu sebagai: “Bersepakat atas kebenaran meskipun engkau seorang diri, maka engkau adalah Al Jamaah ketika itu.” Karena daerah atau negeri tidaklah menjamin lurusnya aqidah, manhaj dan pemahaman seorang ulama. Selama mereka memegang ushul Islam yang lurus sebagaimana yang difahami oleh ulama salaf, maka mereka adalah ulama Islam pewaris para nabi. Bukan ulama shufi, bukan pula ulama Asy’ari Maturidi, mereka bukan ulama yang berpemahaman mufawwidhah dan bukan pula jahmiy. Mereka bukan ulama yang menyeru kepada persatuan kelompok sesat di dalam Islam dan bukan pula ulama yang menyeru untuk menerapkan sistem kufur. Mereka adalah ulama Robbani pewaris para nabi.

Wahai saudaraku ath-Thalibi, telaahlah dengan mendalam sebelum mengambil kesimpulan, karena tidaklah yang anda tangkap adalah sebagaimana yang ditangkap oleh orang lain. Janganlah engkau bagaikan sebuah syair berikut ini :

تكاثرت الظياء على خراش فما يدري خراش ما يصيد

Kijang itu begitu banyak di hadapan Khirasy (sebangsa serigala)

Sehingga dia tidak tahu mana yang harus diburu terlebih dahulu

Sungguh melihat paparan saudara ath-Thalibi di dalam mengomentari risalah saya bagaikan sebuah syair :

سارت مشرقة وسرت مغربا شتان بين مشرق ومغرب

Dia berjalan ke timur dan aku berjalan ke barat

Aduhai alangkah jauhnya timur dan barat

 

(Insya Alloh bersambung)

1 Lihat Syarh Kitab Hilyatu Tholibil ‘Ilmi oleh Fadhilatus Syaikh Muhammad bin Shalih al-‘Utsaimin rahimahullahu, tahqiq : Abu Malik Muhammad bin Hamid bin Abdil Wahhab, Maktabah Darul Bashirah, Iskandaria, hal. 105. Lihat pula terjemahnya yang berjudul “Syarah Adab & Manfaat Menuntut Ilmu” oleh ustadz saya Ahmad Sabiq, Lc., cet. I, Jumadil Akhir 1426, Pustaka Imam Syafi’I, hal. 121.

2 Lihat Hilyah, op.cit., hal. 108 dan “Syarah Adab”, op.cit., hal. 122.

3 Lihat Hilyah, op.cit., hal. 110 dan “Syarah Adab”, op.cit., hal. 124.

4 Dinukil melalui perantaraan Mansyuraat (selebaran) Markaz Imam Al-Albani no. 3, Robi’ul Awwal, 1422 H., yang berjudul Nubdzatu Ilmiyyah fit Ta’awun asy-Syar’iy wat Tahdzir minal Hizbiyah. Lihat pula artikel terjemahannya “Antara Ta’awun Syar’iy dan Hizbiy” di Majalah adz-Dzakhiirah, edisi 24, th. V, Dzulqo’dah, 1427 H., hal. 22-23.

5 Sunan ad-Darimi (I/120), Syarhus Sunnah karya Imam al-Lalikai (I/134), As-Sunnah karya Imam Abdullah bin Ahmad (I/137) dan al-Ibanah karya Imam Ibnu Baththah (II/435). Dinukil melalui perantaraan Ijma’ul Ulama ‘alal Hajri wat Tahdziri min Ahlil Ahwa` karya Khalid bin Dlohawi azh-Zhafiri, download dari Maktabah Sahab as-Salafiyah: www.sahab.org.

6 Thobaqot Ibnu Sa’ad (VII/172), Sunan ad-Darimi (I/121), Syarhus Sunnah karya Imam al-Lalikai (I/133) dan al-Ibanah karya Imam Ibnu Baththah (II/444). Melalui perantaraan Ijma’ul Ulama, op.cit.

7 Al-Ibanah (II/475). Melalui perantaraan Ijma’ul Ulama, op.cit.

8 Lihat al-Hilyah, op.cit. hal. 114-115, lihat pula “Syarah Adab”, op.cit. hal. 131-132.

9 Ceramah Syaikh Salim al-Hilali yang disampaikan pada saat penutupan Dauroh fi Masa`ilil Aqodiyah wal Manhajiyah di Masjid Al-Irsyad, tahun 2001 silam. Dauroh ini dilaksanakan atas kerjasama Ma’had ‘Ali Al-Irsyad as-Salafi bekerjasama dengan Markaz al-Imam al-Albani Yordania (Menit ke-13:29-13-50).


 Comments 3 comments

  • Abu Al-Jauzaa' says:

    Sebuah rudud yang sangat bagus akhi……. zadakallaahu ‘ilman !

  • Alhamdulillah ‘ala kulli haal, akhirnya antum sudah membuka sedikit celah untuk menolak syubhat buku tersebut (Dakwah salaf…) yang diprakarsai dari “kantong-kantong” kekuatan Ikhwanul Muslimin di negeri ini.BarokAllaho fiyk. Ana tunggu tulisan antum selanjutnya untuk melengkapi koreksi dan bantahan buku tersebut

    wahai ath-Thalibi..
    Lihat, itu huruf alif yang tetap lurus
    ia tidak terpengaruh oleh huruf apa-pun yang menempelnya

  • Abu Farah says:

    mumtaz… baarakallahu fiik wa zadakallahu ‘ilman naafi’an wa ‘amalan shalihan mukhlishan

  • Leave a Reply

    Your email address will not be published. Fields with * are mandatory.