Perisai Penuntut Ilmu dari Syubhat ath-Thalibi (1)
صيانة الطلاب من شبه الطالبي
Perisai Penuntut Ilmu dari Syubhat ath-Thalibi
(Bagian 1)
Oleh :
Abu Salma bin Burhan Yusuf
الحمد لله رب العاليين، والعاقبة للمتقين، ولا عدوان إلا على الظالمين، وأشهد أن لا إله إلا الله وحده لا شريك له، إله الأولين والآخرين، وقيوم السماوات والأرضين، وأشهد أن محمدا عبده ورسوله وخليله وأمينه على وحيه، أرسله إلى الناس كافة بشيرا ونذيرا، وداعيا إلى الله بإذنه وسراجا منيرا، صلى الله عليه وعلى آله وأصحابه الذين ساروا على طريقته في الدعوة إلى سبيله، وصبروا على ذلك، وجاهدوا فيه حتى أظهر الله بهم دينه، وأعلى كلمته ولو كره المشركون، وسلم تسليما كثيرا أما بعد:
Segala puji hanyalah milik Alloh Robb pemelihara alam semesta, dan tidak ada permusuhan melainkan hanya kepada orang-orang yang zhalim. Aku bersaksi bahwa tidak sesembahan yang haq untuk disembah kecuali hanya Alloh semata yang tiada sekutu bagi-Nya, Dialah sesembahan yang awal dan yang akhir, penegak langit-langit dan bumi-bumi. Dan aku juga bersaksi bahwa Muhammad adalah hamba dan utusan-Nya, kesayangan dan kepercayaan-Nya atas wahyu-Nya, yang diutus kepada seluruh manusia sebagai pembawa berita gembira dan peringatan, yang menyeru kepada Alloh dengan izin-Nya dan pemberi pelita yang terang benderang. Semoga sholawat dan salam senantiasa tercurahkan kepada beliau, keluarga beliau dan para sahabat beliau yang meniti jalan beliau di dalam dakwah, yang sabar dan senantiasa berjihad di dalam dakwah hingga Alloh memenangkan bagi mereka agama-Nya, dan Alloh tinggikan kalimat-Nya walaupun orang-orang musyrik benci. Amma Ba’du :
Alloh Azza wa Jalla berfirman :
ادْعُ إِلَى سَبِيلِ رَبِّكَ بِالْحِكْمَةِ وَالْمَوْعِظَةِ الْحَسَنَةِ وَجَادِلْهُمْ بِالَّتِي هِيَ أَحْسَنُ
“Serulah (manusia) kepada jalan Tuhan-mu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik” (an-Nahl : 125)1
Alloh Azza wa Jalla berfirman :
وَتَعَاوَنُوا عَلَى البِرِّ وَالتَّقْوَى وَلاَ َتَعَاوَنُوا عَلَى الإِثْمِ وَالعُدْوَانِ
“Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran.” (Al-Ma’idah : 2)2
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Salam bersabda :
الدين النصيحة, قيل: لمن يا رسولله؟ قال: لله ولكتابه ولرسوله ولإئمة المسلمين وعامتهم
“Agama itu nasehat”, beliau ditanya : “bagi siapa wahai Rasulullah?”, Rasulullah menjawab : “Bagi Alloh, Kitab-Nya, Rasul-Nya, pemimpin kaum muslimin dan masyarakat umum.” (HR Muslim dari Tamim ad-Dari).
Imam Yahya bin Mu’adz ar-Razi rahimahullahu berkata :
كيف ينجيني عملي وأنا بين حسنة وسيئة فسيئاتي لاحسنة فيها وحسناتي مخلوطة بالسيئات وأنت لا تقبل إلا الإخلاص من العمل فما بقي بعد هذا إلا جودك.
“Bagaimana mungkin aku diselamatkan oleh amal perbuatanku sedangkan aku berada di antara kebaikan dan kejelekan? Perbuatan jelekku tiada kebaikan padanya sedangkan perbuatan baikku tercemar oleh kejelekan dan Engkau (Ya Alloh) tidaklah menerima kecuali amal yang murni yang hanya dipersembahkan untuk-Mu. Tiada harapan setelah ini melainkan hanyalah kemurahan-Mu.”3
Sungguh indah apa yang diucapkan oleh seorang penyair :
كم من كتاب قد تـصفحته وقلت في نفسي لقد صححته
ثم إذا طـالعته ثــانيــا رأيت تـصحيـفا فأصلحته
“Betapa banyak buku yang telah kubaca
Kukatakan di dalam hati, semuanya kubenarkan
Kemudian tatkala kutelaah untuk kali kedua
Kutemui kesalahan maka kubenahi (agar benar)”4
Seorang al-Akh telah mengirimi saya sebuah sms dan memberitahukan bahwa saudara Abu Abdirrahman ath-Thalibi, penulis buku “Dakwah Salafiyah Dakwah Bijak” telah menulis tanggapan (bantahan) terhadap risalah saya yang berjudul “Menjawab Tuduhan Meluruskan Kesalahpahaman” dan disebarkan di forum MyQuran. Qodarullah, akhir-akhir ini saya sangat sibuk dan sangat sulit sekali meluangkan waktu untuk bisa online di internet, sehingga baru kemarin (Sabtu, 9 Desember 2006) saya bisa mengkopi dan membaca tulisan Ath-Thalibi ini.
Dengan mengharap ridha Alloh Subhanahu wa Ta’ala, saya goreskan catatan kecil terhadap risalah saudara ath-Thalibi. Akhirnya saya putuskan untuk menulis risalah ini di tengah-tengah kesibukan saya padat, sehingga muthola’ah (penelaahan) kepada sumber referensi sangatlah minim oleh karena itu haraplah dimaklumi. Berangkat dari kewajiban dan sebagai hak sesama muslim untuk saling menasehati dan mengingatkan, maka saya luangkan waktu yang sempit ini untuk sedikit memberikan catatan kepada tulisan al-Akh Abu Abdirrahman ath-Thalibi.
Sebelumnya saya ucapkan syukron wa Jazzakallohu Khoyrol Jazaa’ kepada al-Akh ath-Thalibi yang mau meluangkan waktunya untuk menggoreskan tinta sebagai nasehat kepada saya, al-Faqir ila ‘Afwa Robbihi. Ath-Thalibi telah memberikan 14 catatan kepada tulisan saya, dan telah saya baca seluruhnya. Semula saya mengira bahwa akan ada suatu ilmu baru bagi saya dari al-Akh ath-Thalibi, namun setelah membacanya, ternyata diri ini sedikit kecewa, karena apa yang digoreskan oleh ath-Thalibi ternyata kurang memiliki daya bobot ilmiah –menurut saya- dan terkesan falsafi dengan membawa zhahir ucapan saya kepada pemahaman yang tidak benar serta memiliki syubhat-syubhat yang harus diluruskan.
Setelah berfikir cukup lama, akhirnya saya tuliskan bantahan ini dengan judul Shiyanatu ath-Thullab min Syubahi ath-Thalibi (Perisai penuntut ilmu dari syubhat ath-Thalibi) yang saya persembahkan kepada para penuntut ilmu yang obyektif, yang mau menelaah dalil dan argumentasi dengan kaca mata ilmiah. Mungkin, sebagian orang akan berkata bahwa judul risalah saya ini sangat menyeramkan dan kejam, namun apabila melihat balik dari judul yang diberikan oleh ath-Thalibi di dalam forum MyQuran, yaitu “Penyimpangan Pemikiran Abu Salma”, maka saya rasa judul yang saya berikan ini adalah sepadan. Lagian, judul yang saya berikan ini tidak ada kata vonis bahwa ath-Thalibi telah menyimpang dan sesat, namun beliau hanyalah menyebarkan syubhat dikarenakan ketidakfahaman ataupun kesalahfahaman beliau. Adapun judul tulisan ath-Thalibi di atas telah mengandung vonis bahwa pemikiran saya menyimpang.
Tapi, tidaklah mengapa… saya tidak merasa marah ataupun emosi dengan tulisan saudara ath-Thalibi, bahkan saya tersenyum geli dan lapang dada. Karena saya tidak begitu memperdulikan apabila ada orang menghujat ataupun mencerca diri saya, karena itu adalah hak mereka, namun kemarahan saya akan terbakar apabila sunnah Rasulullah dan para ulamanya dicela.
Patut diingat, sesungguhnya semua hal yang kita lakukan adalah ada pertanggungjawabannya. Dan insya Alloh kita semua harus mempersiapkan diri di dalam pertanggungjawaban ini. Semoga apa yang saya goreskan di sini dapat bermanfaat bagi diri saya sendiri, bagi saudara ath-Thalibi dan seluruh kaum muslimin.
Berikut adalah beberapa tanggapan saya :
Ath-Thalibi : Tulisan Ustadz Abu Salma berjudul “Menjawab Tuduhan Meluruskan Kesalahpahaman”. Secara umum, tulisan ini sudah bisa disebut sebagai bantahan (radd) terhadap acara bedah buku STSK. Sebagai bantahan bedah buku, sudah ada wujud-nya, tetapi apakah ia memadai untuk menjawab seluruh isu yang dibahas dalam bedah buku tersebut, itu perkara lain. Tiga acara bedah buku ini kalau ditotal mungkin bisa mencapai 10 jam pembicaraan. Berarti sangat banyak isu-isu yang harus dibahas disana, jika ingin hasil yang memuaskan. Namun, di kalangan Salafi, hal seperti ini sering diklaim sebagai bantahan yang sempurna. Dalam pembicaraan, mereka biasa mengatakan, “Tenang saja! Buku Abduh itu sudah dibantah oleh ustadz kita dengan dalil yang kokoh!” Jika ada bantahan, seharusnya ikhwan Salafi jangan cepat puas, tapi cobalah melakukan tarjih. Hal ini penting agar yang kita cari itu murni kebenaran, bukan hujjah-hujjah semu sekedar untuk memuaskan kebanggaan kelompok.
Tanggapan : Apabila saudara ath-Thalibi jeli membaca tulisan saya di atas yang berjudul “Menjawab Tuduhan Meluruskan Kesalahpahaman”, maka seharusnya saudara ath-Thalibi faham, bahwa tulisan saya di atas adalah tanggapan atas email saudara Hafizh Abdurrahman yang menukil ucapan-ucapan tokoh-tokoh pergerakan pada acara bedah buku “STSK”, yang belakangan saya ketahui bahwa nukilan-nukilan ini termuat di dalam website Pustaka Al-Kautsar.
Dikarenakan nukilan inilah yang terhighlight dan terblow-up di media internet, maka tantu saja hanya nukilan itu saja yang saya komentari. Memang benar saya tidak mengomentari seluruh kegiatan acara bedah buku tersebut dan risalah saya tersebut tidak untuk membantah seluruh rangkaian bedah buku tersebut, terlebih saya tidak mengetahui dan tidak hadir di dalam acara bedah buku tersebut. Jadi yang saya komentari adalah ucapan-ucapan mereka yang dihighlight dan dimuat di website Al-Kautsar dan dikirimkan oleh saudara Hafizh Abdurrahman kepada saya via email.
Apabila ada yang bertanya, kenapa saya berani menjawab ucapan mereka padahal saya tidak mendengar perincian ucapan mereka seluruhnya, maka saya jawab : bahwa yang terblow up dan tersebar di dunia maya adalah nukilan ucapan mereka yang mendiskreditkan dakwah salafiyah, sehingga hanya penggalan nukilan tersebutlah yang menyebar. Apabila ada perincian dari penggalan nukilan tersebut, maka tidak seharusnya hanya mempublikasikan penggalan nukilan itu saja, yang mana dapat diasumsikan sebagai kesimpulan ucapan para tokoh tersebut. Apabila ada perincian, maka perincian tersebut haruslah dijelaskan, karena apabila tidak, maka sama saja dengan menunjukkan bahwa esensi seluruh ucapan para tokoh tersebut adalah pada penggalan penukilan tesebut.
Dan sungguh amat disayangkan, saudara ath-Thalibi membuat opini yang sangat subyektif sekali, dimana ia mengatakan “Dalam pembicaraan, mereka (salafi) biasa mengatakan, “Tenang saja! Buku Abduh itu sudah dibantah oleh ustadz kita dengan dalil yang kokoh!”, padahal saya belum pernah mendengarkan ucapan seperti ini. Taruhlah apabila benar, maka saudara ath-Thalibi sesungguhnya telah menukilnya dari awwamus salafiy, maka tidaklah seharusnya ia jadikan sebagai standar penilaian. Karena ucapan para awwam bukan merupakan hujjah, sebagaimana pula banyak awwamul harokiy mengutarakan ucapan-ucapan yang lebih dahsyat dan lebih nyeleneh dari ucapan di atas. Namun bukanlah ini inti pembahasan kita.
Ath-Thalibi : Abu Salma sangat sering menampilkan syair-syair Arab dalam tulisannya. Hal ini sebenarnya bagus, syair-syair itu akan semakin memperindah kualitas tulisan. Hanya saja yang patut dicatat, Abu Salma sering menempatkan syair-syair itu di awal-awal tulisan, sehingga dengan cara itu beliau berusaha mengokohkan posisi dirinya, dan secara halus mulai memojokkan pihak-pihak yang akan dibantahnya. Contoh dalam tulisan di atas ialah syair berikut: “Seandainya bukan penghinaan terhadap singa maka saya serupakan mereka dengannya. Akan tetapi singa jarang di dapat diantara binatang ternak.” Syair ini saja sudah mengandung tiga serangan, yaitu: Satu, kata ‘penghinaan’ yang menunjukkan maksud penulis. Dua, penyerupaan dengan singa. Tiga, sifat singa lebih tinggi dari binatang ternak. Ini serangan bertingkat tiga yang intinya memojokkan semua. Disarankan, kalau memuat syair Arab, letakkan ia di tengah-tengah atau di akhir tulisan, jangan di awal tulisan. Jadi, kemukakan dulu kekuatan hujjah-hujjah Anda, setelah itu baru perkokoh dengan syair yang tepat. Hal ini lebih fair daripada merasa “menang sebelum bertanding” karena dibantu oleh syair-syair.
Tanggapan : Sungguh sangat mengherankan, seorang penulis yang cukup terkenal seperti ath-Thalibi mengkritisi metode penulisan hanya pada penempatan syair yang mana hal ini adalah suatu hal yang fleksibel dan tidak ada aturan bakunya. Dan anehnya lagi, beliau berani melakukan penakwilan-penakwilan sendiri –dan penakwilan seperti ini sangat sering dilakukan oleh ath-Thalibi pada tulisannya mendatang-.
Hanya karena ushlub penulisan yang saya gunakan, Ath-Thalibi telah berani menvonis diri saya dan mengatakan bahwa saya telah berusaha mengokohkan posisi saya dan merasa menang sebelum bertanding. Ini sungguh adalah suatu tuduhan dan vonis yang keji. Apabila saudara ath-Thalibi mau obyektif dan tenang –tidak emosi- membaca tulisan saya niscaya dia tidak akan mengutarakan kata-kata tuduhan keji seperti ini. Saya sarankan agar saudara ath-Thalibi lebih menfokuskan kepada esensi penyimpangan pemikiran saya, bukan kepada ushlub penulisan yang sebenarnya fleksibel dan mencari-cari kesalahan dengan penakwilan-penakwilan yang batil.
Apabila kita menggunakan falsafah dan logika berfikir ath-Thalibi, maka bagaimana kita mensikapi ucapan Imam asy-Syafi’i berikut ini :
قل بما شئت في مسبة عرضي فسكوتي عند اللئيم جواب
ما أنا عادم الجواب ولكن ما من الأسد أن تجيب الكلاب
Berkatalah sekehendakmu untuk menghina kehormatanku
Toh, diamku dari orang hina adalah suatu jawaban
Bukanlah artinya aku tidak punya jawaban, tetapi
Tidak pantas bagi seekor singa meladeni anjing-anjing5
Apakah akan kita katakan bahwa Imam Syafi’i memuji dirinya bagaikan singa dan lawan-lawannya disifatkan sebagai anjing??? Haihata haihata…
Ath-Thalibi : CATATAN: Syaikhul Islam memulai perkataannya dengan kata laa ‘aiba, artinya tidak aib, tidak tercela, tidak hina, dsb. Kata seperti ini maksudnya tentu bukan: Hendaklah kalian, wajib bagi kalian, sunnah hukumnya, lebih afdhal, dsb. La ‘aiba itu tidak tercela, artinya boleh. Jika memang boleh, berarti sah-sah saja seseorang bernisbat ke istilah itu. Atau, boleh juga dia tidak memakai penamaan itu. Lalu bagaimana dengan Syaikhul Islam sendiri? Apakah beliau memakai nisbat As Salafi Al Atsari? Ternyata tidak. Hampir-hampir kita tidak pernah mendengar Syaikhul Islam menuliskan namanya, misalnya Taqiyuddin Abdul Halim Ibnu Taimiyyah As Salafi. Jika beliau mengatakan boleh, tetapi beliau tidak pernah memakai nisbat seperti itu, berarti perkara ini bukan termasuk penting menurut Ibnu Taimiyyah rahimahullah. Wallahu a’lam.
Bahkan pada nukilan di atas, cara menerjemahkannya perlu diperbaiki. Kalau melihat teks aslinya, mungkin yang lebih tepat seperti ini: “Tidak tercela bagi siapa yang menampakkan madzhab Salaf dan berintisab kepadanya, dan berbangga kepadanya, akan tetapi wajib baginya menerima hal itu (madzhab Salaf) dengan cara menyepakatinya, sebab madzhab Salaf itu tidak ada padanya, selain kebenaran.” Dalam soal intisab (memakai penamaan), Syaikhul Islam menghukuminya laa ‘aiba (tidak tercela), tetapi dalam menyepakati kebenaran madzhab Salaf, beliau menghukuminya wajib. Intinya, mengimani kebenaran manhaj Salafus Shalih lebih utama dari sekedar memakai nama Salafi.
Tanggapan : Di sinilah letak talbis dan syubhat utama dan pertama saudara ath-Thalibi, oleh karena itu kepada para pembaca agar jeli melihat pembahasan ini. Supaya lebih jelas, ucapan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullahu akan saya nukilkan :
لا عيب على من أظهر مذهب السلف و انتسب إليه أو اعتزى إليه ، بل يجب قبول ذلك منه بالاتفاق فإن مذهب السلف لا يكون إلا حقاً
“Tidak tercela orang yang menampakkan madzhab salaf dan dia menisbatkan diri kepadanya serta berbangga dengan madzhab salaf, bahkan wajib menerima hal tersebut menurut kesepakatan karena tidaklah madzhab salaf kecuali benar”. (Majmu’ Fatawa IV:149).
Di dalam mengomentari kata laa ‘aiba, ath-Thalibi mengatakan : “Syaikhul Islam memulai perkataannya dengan kata laa ‘aiba, artinya tidak aib, tidak tercela, tidak hina, dsb. Kata seperti ini maksudnya tentu bukan: Hendaklah kalian, wajib bagi kalian, sunnah hukumnya, lebih afdhal, dsb. La ‘aiba itu tidak tercela, artinya boleh. Jika memang boleh, berarti sah-sah saja seseorang bernisbat ke istilah itu. Atau, boleh juga dia tidak memakai penamaan itu.”
Saya katakan : Sungguh saudara ath-Thalibi telah menunjukkan hakikat dirinya bahwa dirinya tidak faham Bahasa Arab –akan datang penjelasannya lagi- dan mentakwil dengan pemahamannya sendiri. Ath-Thalibi dengan falsafahnya mengatakan bahwa kata laa ‘aiba artinya adalah hanya berimplikasi pada boleh, bukan wajib, sunnah ataupun lebih afdhal.
Apabila kita telaah, kata ‘aib itu sendiri adalah bermakna an-Nuqshoh atau al-Washmah, atau apabila kita translasikan artinya adalah kekurangan, cela atau cacat. Kata laa di sini adalah laa naafiyah (negasi, peniadaan). Jadi maksudnya adalah “tidaklah merupakan suatu cacat, cela, atau kekurangan”. Arti dari tidak cacat, tidak cela dan tidak kekurangan sama dengan lawan dari cacat, cela atau kekurangan, yaitu terpuji, mulia dan baik. Semua orang pasti mengatakan bahwa terpuji bukanlah hanya berimplikasi pada kebolehan belaka, namun merupakan keutamaan dan afdhaliyah. Oleh karena itu, kata laa ‘aiba itu tidak hanya membuahkan kepada kebolehan, namun kepada keutamaan, dan suatu hal yang diutamakan tentu adalah suatu hal yang dicintai (mustahab). Ini yang pertama.
Yang kedua, apabila kita menelaah balaghoh ucapan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullahu di atas, menunjukkan bahwa ucapan beliau di atas adalah bahasa pengingkaran dan jawaban. Maksudnya, ushlub gaya bahasa beliau adalah gaya pengingkaran, yaitu seakan-akan beliau mengingkari orang-orang yang menolak penisbatan kepada salafi dan menuduhnya sebagai suatu bid’ah atau merendahkan penisbatan ini. Oleh karena itu beliau menjawab : “Tidaklah tercela orang yang menampakkan madzhab salaf dan dia menisbatkan diri kepadanya serta merasa bangga dengannya…”. Jadi ini bukanlah ushlub khobar/berita belaka.
Bahkan, kalimat Syaikhul Islam berikutnya menunjukkan akan wajibnya menerima penisbatan ini dengan kesepakatan. Perhatikan ucapan Syaikhul Islam berikut ini :
بل يجب قبول ذلك منه بالاتفاق
“…bahkan wajib menerima hal tersebut menurut kesepakatan…”
Kata dzalika di atas kembalinya kepada azhhar, intasaba dan I’tazaa bukan kepada madzhab salaf, karena diikuti oleh kata minhu dan hu di sinilah yang berarti madzhab salaf. Jadi taqdirnya adalah “bahkan wajib menerima menampakkan, menisbatkan diri dan berbangga dengan madzhab salaf menurut kesepakatan…”
Di sinilah ath-Thalibi keliru besar di dalam menterjemahkannya. Dia menterjemahkannya dengan : “akan tetapi wajib baginya menerima hal itu (madzhab Salaf) dengan cara menyepakatinya”. Subhanalloh, ath-Thalibi bermaksud memperbaiki penterjemahan namun malah merusaknya, rusak dari sisi pemahaman dan sisi bahasa. Saya tidak tahu, apakah ath-Thalibi tidak bisa berbahasa Arab ataukah dirinya sengaja melakukan talbis dan tadlis dengan penterjemahan yang menyimpang.
Dzalika diterjemahkan oleh ath-Thalibi dengan “hal itu” kemudian ditafsirkannya dengan madzhab salaf, lantas dimana letak fungsi kata minhu wahai Aba Abdirrahman? Padahal dzalika kembalinya adalah kepada pernyataan kalimat sebelumnya, bukan kepada madzhab salaf. Haihata haihata…
Lebih lucu lagi, ath-Thalibi menterjemahkan kata bil ittifaq adalah dengan “dengan cara menyepakatinya”, tentu saja maksudnya adalah “dengan cara menyepakati madzhab salaf”, sehingga implikasinya adalah sebagaimana ucapannya “Dalam soal intisab (memakai penamaan), Syaikhul Islam menghukuminya laa ‘aiba (tidak tercela), tetapi dalam menyepakati kebenaran madzhab Salaf, beliau menghukuminya wajib.”
Di sini ath-Thalibi jatuh kepada dua kesalahan fatal :
-
Salah dalam penterjemahan dari sisi struktur gramatikal Bahasa Arab.
-
Salah dalam pemahaman, dan ini adalah lebih fatal ketimbang yang pertama dan ini merupakan buah dari kesalahan yang pertama.
Yang benar, kata bil ittifaq maknanya adalah “menurut kesepakatan, ijma’ atau konsensus”. Bukan “dengan menyepakati madzhab salaf”. Jadi maksud Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah adalah :
لا عيب على من أظهر مذهب السلف و انتسب إليه أو اعتزى إليه ، بل يجب قبول ذلك منه بالاتفاق فإن مذهب السلف لا يكون إلا حقاً
“tidak tercela menampakkan madzhab salaf, menyandarkan diri padanya dan berbangga dengannya, bahkan wajib menerima hal ini (pernyataan ini) kepadanya dengan kesepakatan (para ulama). Karena tidaklah madzhab salaf itu melainkan hanya kebenaran padanya.”
Semua dhamir hu (kata ganti –nya) pada kalimat di atas kembalinya adalah ke madzhab salaf, dan kata dzalika kembalinya kepada pernyataan sebelumnya yaitu “menampakkan, menyandarkan diri dan berbangga kepadanya (madzhab salaf)”.
Sebagai tambahan silakan baca terjemahan ucapan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah ini pada buku-buku berikut :
-
“Mengapa Memilih Manhaj Salaf”, pent : Ust. Khalid Syamhudi, Pustaka Imam Bukhari, cet. I, hal. 39, paragraf ke-4.
-
“Studi Dasar-Dasar Manhaj Salaf”, pent : Fuad Riady, Pustaka Barokah, cet. I, hal. 25, paragraf terakhir.
-
“Jama’ah-Jama’ah Islamiyah” jilid 2, Pent : Ust. Abu Ihsan, Pustaka Imam Bukhari, cet. I, hal. 367, paragraf 3.
-
dll.
Coba baca dan bandingkan terjemahan ath-Thalibi dengan para penterjemah di atas. Niscaya anda akan mengetahui hakikatnya…
Ketiga, ath-Thalibi mengatakan “Dalam soal intisab (memakai penamaan), Syaikhul Islam menghukuminya laa ‘aiba (tidak tercela), tetapi dalam menyepakati kebenaran madzhab Salaf, beliau menghukuminya wajib”. Di sini ath-Thalibi membatasi bahwa intisab hanyalah sekedar memakai penamaan belaka. Padahal intisab lebih daripada itu. Berikutnya, ath-Thalibi menakwilkan ucapan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah di atas dengan penakwilan yang jauh. Apabila kita kembali membaca ucapan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah di atas, komentar ath-Thalibi ini akan batal dengan sendirinya.
Saya setuju, penamaan as-Salafy, al-Atsari dan semisalnya bukanlah suatu hal yang wajib. Namun menisbatkan diri kepada madzhab salaf adalah wajib. Karena menisbatkan diri ke madzhab salaf adalah menisbatkan cara beribadah, berakhlaq, beraqidah dan beragama kita dengan cara beragama para salaf. Ath-Thalibi salah faham dengan pernyataan bahwa penisbatan itu sama dengan penamaan. Padahal penisbatan itu bisa dengan nasab, tanah kelahiran, madzhab, cara beragama dan selainnya. Penisbatan dalam artian cara beragama maka wajiblah disandarkan kepada para salaf…
Kepada ath-Thalibi saya katakan :
إذا ما الأصل ألفي غير زاك فما تزكو مدى الدهر الفروع
Apabila Pondasinya tidak kuat
Maka cabangnya pun akan demikian sepanjang masa
Ath-Thalibi : Setelah menyimpulkan tentang istilah Salafi (kesimpulan tuduhan pertama), Ustadz Abu Salma menukil perkataan Ustadz Abduh ZA, lalu mengomentarinya: “Apabila al-Ustadz (Abduh ZA. –pen) menafikan sebagai nisbat kepada madzhab salaf, maka berarti al-Ustadz telah jatuh kepada celaan terhadap mereka –para ulama sebelum Ibnu Taimiyah-. Karena apabila mereka tidak bernisbat kepada madzhab Salaf maka kepada apakah mereka bernisbat??”
CATATAN: Ustadz Abu Salma, Antum kan sering menasehati ikhwan Salafi tertentu dengan perkataan: “Ittaqillah ya Akhi!” Maka, saya pun mengharapkan Antum juga berhati-hati ketika mengomentari pernyataan orang lain. Perkataan Antum di atas jelas merupakan tuduhan kepada Abduh ZA. Antum menuduhnya TELAH MENCELA ulama-ulama sebelum Ibnu Taimiyyah rahimahullah. Sebenarnya apa yang disampaikan oleh Abduh ZA, hanyalah soal PENAMAAN (nisbat), bukan ruju’-nya seseorang kepada madzhab Salaf. Ulama-ulama sejak dulu ruju’ kepada madzhab Salaf, tetapi dalam soal nama, mereka kebanyakan tidak memakai nama As Salafi atau Al Atsari. Bahkan sampai saat ini banyak ulama-ulama Salafi yang tidak memakai nama itu. Contoh, Syaikh Rabi’ bin Hadi Al Madkhali, Syaikh Muqbil bin Hadi Al Wadi’i rahimahullah, Syaikh Yahya An Najmi, Syaikh Abdul Malik Ramadhani Al Aljazairi, dsb. Antum pernah melihat mereka menyebut namanya dengan nisbat As Salafi Al Atsari?
Antum berkata, “Karena apabila mereka tidak bernisbat kepada madzhab Salaf maka kepada apakah mereka bernisbat??” Akhi rahimakallah, Antum harus bedakan benar antara NISBAT dengan ITTIBA’. Nisbat itu memakai nama yang dikaitkan dengan perkara-perkara tertentu, sedangkan ittiba’ berarti mengikuti suatu ajaran tertentu. Kewajiban Syar’i yang kita terima ialah mengikuti (ittiba’) Salafus Shalih (Surat An Nisaa’: 115), adapun soal nama terserah masing-masing orang, asalkan baik dan terpuji.
Tanggapan : Wahai Aba Abdirrahman wafaqokallahu, fahamkah anda dengan bahasa? Pasti anda lebih faham daripada saya. Namun mengapa anda palingkan perkataan saya kepada makna yang tidak benar?
و كم من عائب قولا صحيحا و آفته من الفهم السقيم
Berapa banyak orang yang mencela ucapan yang benar ?
Sebabnya karena pemahaman yang salah/buruk
Tahukah anda kalimat syarth?? apabila anda tidak tahu maka perhatikan ucapan saya berikut ini. Misal dikatakan : “Apabila fulan mencuri niscaya dia saya sebut sebagai pencuri”. Bisakah dikatakan (baca : disimpulkan) bahwa saya telah menuduh fulan sebagai pencuri? Orang yang berakal tentu akan mengatakan, tidak bisa. Karena saya memberikan persyaratan pada awal kalimat, yaitu apabila si fulan mencuri. Lantas bagaimana bisa anda tuduh dan vonis saya bahwa saya telah menuduh Ustadz Abduh ZA TELAH MENCELA para ulama sebelum Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullahu??? Oleh karena itu saya kembalikan ucapan anda, saya pun mengharapkan Antum juga berhati-hati ketika mengomentari pernyataan orang lain.
Di sini, anda juga tidak faham beda antara nisbat dengan tasammi (penamaan). nisbat bermakna at-Tanasub (perimbangan), at-Ta’aluq (pertalian) dan at-Tanaasub (persesuaian). Nisbatpun juga bermacam-macam, bisa dengan nasab (keturunan), bisa dengan tanah air, wilayah, daerah, madzhab, karakteristik dan lain sebagainya. Dan menisbatkan diri kepada madzhab salaf adalah suatu keniscyaan, karena penisbatan ini adalah penyandaran kepada madzhab dan cara beragama kepada as-Salaf ash-Shalih. Adapun at-Tasammi itu hukumnya boleh-boleh saja dan sah-sah saja, baik berbentuk nisbat maupun bukan. Baik nisbat kepada daerah, madzhab ataupun selainnya.
Apabila kita tidak menolak istilah Syafi’iyah, Hanabilah, Malikiyah dan lain sebagainya, padahal penisbatan ini adalah penyandaran kepada individu-individu yang tidak ma’shum maka tentunya kita tidak akan menolak istilah salafiyah, karena ini adalah penisbatan kepada madzhab salaf seluruhnya, bukan kepada indivdiu tertentu. Bahkan, bukankah antum juga menggunakan nisbat ath-Tholibi??? Kepada apakah antum bernisbat? Apakah nisbat antum bukan bagian dari tazkiyah linafsi? Apabila bukan, tentu penisbatan ke salaf adalah lebih mulia dan utama.
Saudara ath-Thalibi, sesungguhnya apabila anda melihat adanya praktek yang salah dari para muntasibin kepada manhaj salaf, maka salahkanlah oknum-oknumnya, bukan nisbat itu sendiri. Karena siapa saja berhak untuk menisbatkan diri kepada manhaj salaf. Namun penilaian itu bukanlah dari penamaan belaka, namun dari hakikatnya. Apabila ada orang yang menggembargemborkan dirinya sebagai salafi sejati tetapi ia menyelisihi manhaj salaf dalam banyak hal, maka dakwaannya atau klaimnya tidak selamat begitu saja. Karena klaim (dengan penisbatan misalnya) haruslah dibuktikan dengan realita, sebagaimana perkataan seorang penyair :
وإذا الدعاوى لم تقم بدليلها بــ النص فهي على السفاه دليل
Jika para pendakwa tidak menopang dalilnya dengan argumentasi
Maka dia berada di atas selemah-lemahnya dalil
Oleh karena itu saya sarankan kepada saudara ath-Thalibi agar membaca kembali ulasan saya tentang nisbat kepada salafiyah ini pada risalah “Menjawab Tuduhan Meluruskan Kesalahpahaman” jawaban terhadap tuduhan pertama.
Ath-Thalibi : Setelah menyebutkan pendapat Syaikh Shalih Fauzan Al Fauzan tentang esensi mengikuti manhaj Salaf, Abu Salma mengatakan: “Adapun jika maksudnya adalah sebagai penisbatan kepada madzhab salaf, sebagai pengakuan bahwa madzhab salaf adalah madzhab yang paling haq, bukan dalam rangka tazkiyatun lin nafsi apalagi hizbiyah. Untuk membedakan diri dari firqoh-firqoh yang sedang berkembang pesat di zaman ini, untuk membedakan diri dari hizbiyah yang membinasakan dimana tiap hizb bangga dengan apa yang ada pada mereka masing-masing, maka penisbatan dan penyebutan kata as-Salafiy, al-Atsariy, as-Sunniy atau yang semisalnya adalah suatu penisbatan terpuji.”
CATATAN: Ini adalah kalimat-kalimat yang membatalkan dirinya sendiri. Abu Salma mengatakan bahwa istilah Salafi bukan untuk mentazkiyah diri sendiri (menganggap diri suci, atau memiliki kemuliaan tertentu). Tetapi penjelasan selanjutnya menjelaskan bahwa kaum Salafi merasa lebih benar dari firqoh-firqoh, dari hizbi-hizbi yang ada, sehingga perlu identitas PEMBEDA. Kalau tidak bermaksud mensucikan diri di tengah Ummat Islam, buat apa harus diadakan identitas (penamaan) tertentu? Bahkan perhatikan kalimat berikut, “Untuk membedakan diri dari firqoh-firqoh yang sedang berkembang pesat di zaman ini, untuk membedakan diri dari hizbiyah yang membinasakan.” Firqah-firqah yang dimaksud tentu bukan Firqatun Najiyyah (kelompok yang selamat), sebab firqah terakhir ini jumlahnya satu (wahida), sedangkan Abu Salma menulis ‘firqah-firqah’. Lebih menarik lagi, Abu Salma mengatakan bahwa setiap hizb (partai) bangga dengan apa yang ada pada dirinya. Lalu bagaimana dengan Abu Salma sendiri yang sampai “jungkir-balik” membela istilah Salafi itu? Apakah itu juga bukan bagian dari membanggakan kelompok? Tanpa harus diberitahu pun, perbuatan itu akan mencerminkan isi hati.
Tanggapan : Sekali lagi ath-Thalibi terjebak di dalam pemahamannya sendiri yang kontradiktif. Apakah ath-Thalibi menolak akan terpecahbelahnya umat Islam menjadi firqoh-firqoh? Tentu saja tidak. Namun, ath-Thalibi dalam uraiannya menunjukkan bagaimana dirinya menolak adanya tafaruq yang membinasakan di tengah-tengah umat Islam. Saya ingin bertanya kepada ath-Thalibi? Apakah syi’ah, khowarij, murji’ah, jahmiyah, mu’tazilah, shufi dan sebagainya itu kelompok sesat atau bukan? Insya Alloh ath-Thalibi akan bersepakat dengan saya bahwa mereka sesat. Apakah mereka telah punah? Jika ath-Thalibi bersepakat dengan saya dia akan mengatakan tidak, kelompok-kelompok tersebut masih eksis/ada dan bertransformasi ke dalam bentuk-bentuk lainnya.
Mungkin bedanya saya dengan ath-Thalibi adalah di dalam mengidentifikasi jelmaan kelompok-kelompok sesat ini di dalam formasi yang baru. Pembahasan ini adalah pembahasan yang panjang dan butuh pembahasan tersendiri. Namun yang pasti, bukankah setiap kelompok itu memiliki ciri khas tersendiri yang mereka akan terbedakan antara satu dengan lainnya.
Adapun harokah-harokah kontemporer, misalnya simpatisan IM, maukah mereka disebut sebagai syabab HT? atau sebaliknya? Saya yakin mereka tidak mau. Kalau seandainya mau, maka itu hanyalah retorika belaka yang kosong dari kebenaran. Maukah orang PKS mencoblos PKB saat pemilu? Saya yakin tidak mau? Kenapa? Bukankah sama-sama islam? Sama-sama partai Islam? Berbasis massa Islam? Kenapa koq tidak mau? Karena manhaj mereka berbeda.
Mungkin akan ada yang berkata, “saya Islam, saya bukan HT, bukan IM atau kelompok-kelompok lainnya”. Maka saya katakan kepadanya, “khowarij –menurut pendapat yang rajih– Islam atau bukan? Syiah –sebagiannya- Islam atau bukan? Shufi Islam atau bukan?” Maka mau tidak mau haruslah ia menjawab Islam. Lantas saya tanyakan kepadanya, “Islam yang manakah anda? Padahal kelompok-kelompok tersebut juga Islam!” walau mungkin ia akan bersikukuh dengan ucapannya bahwa ia hanyalah Islam saja, namun pastilah ia akan memaksudnya dengan Islam sesuai dengan al-Qur’an dan as-Sunnah.
Baik, al-Qur’an dan as-Sunnah adalah hujjah tak terbantahkan bagi ummat islam. Namun bukankah kelompok-kelompok Islam yang menyimpang juga menggunakan keduanya sebagai hujjah? Walaupun dengan pemahaman mereka masing-masing. Lantas dengan pemahaman apakah anda memahami keduanya? Seorang muslim sejati pasti akan mengatakan menurut pemahaman as-Salaf ash-Shalih.
Pertanyaannya sekarang adalah, apakah IM, HT, JT dan sebagainya adalah Islam? Tentu, mereka adalah islam? Apakah mereka berhujjah dengan Kitabullah dan Sunnah Rasulullah? Tentu. Apakah mereka memahami keduanya dengan pemahaman salaf? Sebagian besar mungkin mengklaim demikian, namun klaim belaka tidaklah menunjukkan hakikat sebenarnya. Walau begitu, mereka memiliki pemahaman aqidah, manhaj dan pemikiran yang berbeda-beda. Hal ini merupakan suatu sunnatullah. Namun apakah semua perbedaan ini adalah benar?
Tentu saja tidak! Karena kebenaran itu tidak berbilang. Perselisihan dan perpecahan itu adalah adzab dan kesesengsaraan. Ini adalah realita nubuwah. Jadi, bertahazzub, masuk ke dalam golongan yang ada pendiri, tahun diberdirikan, ketua, anggota dan lain sebagainya, tiap golongan memiliki manhaj tersendiri, dan menjadikannya sebagai dasar wala’ dan baro’, maka ini semua adalah bentuk tafarruq. Orang IM mau tidak mau maka ia adalah ikhwani, orang HT adalah tahriri, orang JT adalah tablighi dan seterusnya. Ini adalah konsekuensi yang tidak bisa tidak.
Oleh karena itu, tidak ada celanya menampakkan diri kepada madzhab dan manhaj salaf, berintisab kepadanya dan berbangga-bangga dengannya, bahkan wajib menerimanya dengan kesepakatan para ulama, karena tiadalah pada manhaj salaf melainkah hanyalah kebenaran. Apabila ini dikatakan sebagai bentuk hizbiyah juga, maka tidaklah mengapa, karena hizbi-nya disandarkan kepada as-Salaf, apabila dikatakan sebagai bentuk ashobiyah maka tidaklah mengapa, karena ashobiyahnya kepada madzhab yang ma’shum yaitu madzhab salaf. Kebenaran pastilah memiliki lawan, yaitu kebatilan, dan keduanya akan terus bergumul dan bertikai hingga hari kiamat. Imam Ibnul Qoyyim di dalam al-Kafiyah asy-Syafiyah (217) berkata
والحق منصور وممتحن فلا تعجب فهذي سنة الرحمن
Kebenaran itu akan menang dan mendapat ujian, maka janganlah
Heran, sebab ini adalah sunnah ar-Rahman (sunnatullah).
Ath-Thalibi : Abu Salma mengatakan: “Karena Salafiy sejati tidaklah menvonis sesat, bid’ah, fasik bahkan kafir melainkan dengan ilmu dan kehati-hatian. Mereka tidaklah akan menerapkan hukum sebelum menegakkan syarat-syaratnya dan menghilangkan penghalang-penghalangnya. Mereka senantiasa berpijak atas dasar ilmu dan bashiroh. Apabila ada sekelompok kaum yang menyelisihi hal ini, maka ketahuilah, ia bukanlah salafiyah sedikitpun.”
CATATAN: Mohon perhatikan kalimat terakhir, “Apabila ada sekelompok kaum yang menyelisihi hal ini, maka ketahuilah, ia bukanlah Salafiyah sedikit pun.” Jadi, disini ada Salafi sejati dan ada Salafi yang cuma ngaku-ngaku. Pertanyaannya, siapakah Salafi sejati? Apakah Abu Salma, guru-gurunya, dan teman-temannya masuk di dalamnya? Jika membaca kegigihan Abu Salma dalam membela istilah Salafi dan menyebutkan sifat-sifatnya, mudah disimpulkan bahwa Salafi sejati adalah diri mereka. Selanjutnya, bagaimana dengan Salafi palsu? Abu Salma menegaskan dengan kalimat, “IA BUKANLAH SALAFIYAH SEDIKIT PUN.” Sejak semula Abu Salma menegaskan bahwa Salafiyah adalah manhaj para Shahabat, Tabi’in, Tabi’ut Tabi’in radhiyallahu ‘anhum. Dengan kata lain ia adalah ajaran Islam itu sendiri. Bahkan ajaran Islam yang masih murni, ketika belum tercampur ajaran-ajaran lain. Jika seseorang atau sekelompok orang dikatakan BUKAN SALAFIYAH SEDIKIT PUN, berarti tidak ada kebaikan Islam dalam dirinya. Salafiyah adalah Islam, atau ia adalah Ahlus Sunnah Wal Jamaah. Maaf Akhi, kalimat Antum itu sangat berat, karena disana ada kata SEDIKIT PUN. Padahal di kalangan ahlul bid’ah, di antara mereka masih ada yang menjalankan shalat lima waktu. Paling tidak kebaikan Salafiyah itu masih ada padanya, meskipun mungkin hanya sekian bagian. Ustadz Abu Salma harus berhati-hati ketika menulis, jangan tergoda oleh kalimat-kalimat hiperbola, tetapi tidak mengukur konsekuensi hukum di baliknya.
Tanggapan : Saya tidak habis fikir, apakah ini manhaj ilmiah seorang penulis buku yang konon laris bak kacang goreng, yang katanya berupaya berpegang kepada amanat ilmiah, tanpa tendensi pribadi dan buruk sangka, dengan analisa dan kacamata ilmiah yang tajam??? Namun, melihat bantahan ath-Thalibi di atas, saya benar-benar menjadi sangsi dan ragu, akan keilmiahan buku “DSDB”.
Apabila ath-Thalibi mau tenang, ilmiah dan tidak emosional, tentunya dia tidak akan berkata-kata sebagaimana ucapannya di atas. Wahai saudaraku Aba Abdirrahman ath-Thalibi hadaakallohu, tenanglah dan simaklah penjelasan saudaramu ini dengan baik.
Pertama, ketahuilah, bahwa ucapan saya di atas adalah intisari dari ucapan al-‘Allamah Ibnu ‘Utsaimin rahimahullahu. Beliau rahimahullahu berkata :
السلفية هي اتباء منهج النبي صلى الله عليه و سلم وأصحبه لأنه مَن سلفنا تقدموا علينا, فاتباعهم هو السلفية. وأما اتخاذ السلفية كمنهج خاص ينفرد به الإنسان ويضلّل من خالفه من المسلمين ولو كانوا على حقّ فلا شك أن هذا خلاف السلفية.
“Salafiyyah adalah ittiba’(penauladanan) terhadap manhaj Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam dan sahabat-sahabatnya, dikarenakan mereka adalah salaf kita yang telah mendahului kita. Maka, ittiba’ terhadap mereka adalah salafiyyah. Adapun menjadikan salafiyyah sebagai manhaj khusus yang tersendiri dengan menvonis sesat orang-orang yang menyelisihinya walaupun mereka berada di atas kebenaran, maka tidak diragukan lagi bahwa hal ini menyelisihi salafiyyah!!!”
Beliau rahimahullahu melanjutkan :
لكن بعض من انتهج السلفية في عصرنا هذا صار يضلل كل من خالفه ولو كان الحق معه واتخاذها بعضهم منهجا حزبيا كمنهج الأحزاب الأخرى التي تنتسب إلى الإسلام وهذا هو الذي ينكر ولا يمكن إقراره.
“Akan tetapi, sebagian orang yang meniti manhaj salaf pada zaman ini, menjadikan (manhajnya) dengan menvonis sesat setiap orang yang menyelisihinya walaupun kebenaran besertanya. Dan sebagian mereka menjadikan manhajnya seperti manhaj hizbiyah atau sebagaimana manhaj-manhaj hizbi lainnya yang memecah belah Islam. Hal ini adalah perkara yang harus ditolak dan tidak boleh ditetapkan.”
Syaikh melanjutkan lagi :
فالسلفية بمعنى أن تكون حزبا خاصا له مميزاته و يضلل أفراده سواهم فهؤلاء ليسوا من السلفية شيء. وأما السلفية التي هي اتباع منهج السلف عقيدة وقولا وعملا واختلافا واتفاقا وتراحما وتوادا كما قال النبي صلى الله عليه و سلم ((مثل المؤمنين في توادهم وتراحمهم وتعاطفهم كمثل الجسد الواحد إذا اشتكى منه عضو تداعى له سائر الجسد بالحمى والسهر)). فهذه هي السلفية الحقة.
“Jadi, salafiyah yang bermakna sebagai suatu kelompok khusus, yang mana di dalamnya mereka membedakan diri (selalu ingin tampil beda) dan menvonis sesat selain mereka, maka mereka bukanlah termasuk salafiyah sedikitpun!!!.6
Apakah anda akan mengatakan hal yang sama dengan ucapan ini wahai ath-Thalibi???
Kedua, Tidaklah tersamar bahwa orang yang mengklaim tidak dengan serta merta selamat dari klaimnya, ia harus menunjukkan bukti. Dengan demikian tidak semua orang yang menyandarkan diri sebagai salafiyun maka dengan serta merta mereka adalah salafi! Saya katakan, benar perkataan anda, bahwa memang ada dalafi sejati dengan salafi palsu yang hanya ngaku-ngaku. Namun, apakah saya berani mengklaim bahwa saya adalah salafi sejati dan selain saya adalah palsu? Ma’adzallohu. Ini adalah tuduhan buruk, jelek dan fitnah kepada saya. Ini adalah tuduhan yang berangkat dari prasangka belaka dan kesimpulan yang gegabah.
Wahai ath-Thalibi, anda senantiasa menyeru untuk tidak mudah menvonis, menuduh dan semisalnya, namun anda amat seringkali melakukan hal yang berlawanan dengan ucapan anda. Wahai ath-Thalibi, apakah anda pernah membelah dada saya dan melihat bahwa maksud ucapan saya adalah saya mentazkiyah diri saya sebagaimana yang anda maksudkan???
Bahkan, apabila anda membaca risalah-risalah di dalam blog saya, niscaya anda akan faham, bahwa saya sedang menasehati saudara-saudara saya yang memiliki penyelewengan dalam sebagian manhaj mereka. Dan ucapan saya di atas adalah untuk siapa saja, muthlaq dan tidak boleh dita’yin kepada individu-individu tertentu.
Ketiga, anda tampaknya juga perlu belajar masalah hukmul mu’ayan dan hukmul muthlaq. Karena bukanlah artinya Laisu minas Salafiyyah sya’iun atau “ia bukanlah salafiyah sedikitpun” menyimpan masalah takfir di dalamnya. Memang benar bahwa salafiyah itu adalah ajaran Islam itu sendiri yang masih murni. Namun bukan artinya, orang yang tidak memiliki ‘alamat (tanda-tanda) salafiyah sedikitpun maka ia adalah non muslim alias kafir. Tidak demikian! Karena taqdir dari ucapan di atas adalah dalam masalah manhaj, yaitu manhaj salaf. Karena manhaj salaf memiliki karakteristik yang khas yang tidak dimiliki oleh kelompok lainnya. Adapun amalan, maka siapapun dapat beramal walaupun ia pembesar dan pembela kesyirikan, baik sholat, zakat, shodaqoh maupun lainnya. Namun yang dimaksud bukanlah hal ini. Maka perhatikanlah wahai saudaraku.
(Bersambung –insya Alloh-)
1 Al-Imam al-‘Allamah Ibnu Baz rahimahullahu berkata di dalam Ad-Da’watu ilallohi wa Akhlaaqud Du’aat menjelaskan ayat di atas :
فأوضح سبحانه الكيفية التي ينبغي أن يتصف بها الداعية ويسلكها، يبدأ أولا بالحكمة، والمراد بها: الأدلة المقنعة الواضحة الكاشفة للحق، والداحضة للباطل؛ ولهذا قال بعض المفسرين: المعنى: بالقرآن؛ لأنه الحكمة العظيمة؛ لأن فيه البيان والإيضاح للحق بأكمل وجه، وقال بعضهم: معناه: بالأدلة من الكتاب والسنة.
“Alloh Yang Maha Suci menjelaskan bagaimana cara/kaifiat yang sepatutnya bagi seorang da’i di dalam mengkarakteristiki cara dakwahnya dan menitinya, yaitu hendaklah dimulai pertama kali dengan hikmah, dan yang dimaksud dengan hikmah adalah dalil-dalil argumentasi yang tegas lagi terang yang dapat menyingkap kebenaran dan menolak kebatilan. Dengan demikian sebagian ulama ahli tafsir menafsirkan al-Hikmah dengan Al-Qur’an, dikarenakan Al-Qur’an merupakan hikmah yang paling agung, dan juga di dalam al-Qur’an terdapat penjelas dan penerang kebenaran dengan bentuk yang paling sempurna. Sebagian ahli tafsir mengatakan bahwa maknanya adalah dengan dalil-dalil dari al-Kitab dan as-Sunnah.” [Lihat : Ad-Da’watu ilalloh wa Akhlaq ad-Du’aat oleh Imam Ibnu Baz rahimahullahu, download dari Maktabah Sahab as-Salafiyah : www.sahab.org. ]
2 Al-Hafizh Ibnu Katsir Rahimahullahu berkata di dalam Tafsir Al-Qur’anil Azhim (II/7) menafsirkan : “Alloh Ta’ala memerintahkan hamba-hamba-Nya yang mukmin agar saling berta’awun di dalam aktivitas kebaikan yang mana hal ini merupakan al-Birr (kebajikan) dan agar meninggalkan kemungkaran yang mana hal ini merupakan at-Taqwa. Alloh melarang mereka dari saling bahu membahu di dalam kebatilan dan tolong menolong di dalam perbuatan dosa dan keharaman.” [Lihat : “Intisari Ta’awun Syar’i”, Markaz Imam Albani, www.geocities.com/abu_amman].
3 Diriwayatkan oleh Imam Baihaqi dalam asy-Syu’bah no. 824. Dinukil melalui perantaraan Sittu Duror min Ushuli Ahlil Atsar, karya Fadhilatus Syaikh ‘Abdul Malik Ramadhani al-Jaza`iri, Maktabah al-Furqon, cet. VI, 1422/2001, hal. 41. Lihat pula terjemahannya yang berjudul “6 Pilar Utama Dakwah Salafiyah” oleh Fadilatul Ustadz Abu Abdillah Mubarok Bamu’allim, Lc., Pustaka Imam Syafi’I, Cet. I, Muharam 1425/Maret 2004, hal. 88.
4 Min Buthunil Kutub (I/26) oleh Yusuf bin Muhammad al-‘Atiq; dinukil dari “Meluruskan Sejarah Wahhabi” karya saudara saya yang mulia, al-Ustadz Abu Ubaidah as-Sidawi, Pustaka Al-Furqon, Gresik, cet. I, Sya’ban, 1427.
5 Diwan asy-Syafi’i hal. 44, tahqiq DR. Imil Badi’ Ya’qub.
6 Liqo’ul Babil Maftuuh, pertanyaan no. 1322 oleh Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin; dinukil dari Aqwaalu wa Fataawa al-Ulama’ fit Tahdziri min Jama’atil Hajr wat Tabdi’, penghimpun : Kumpulan Para Penuntut Ilmu, cet. II, 1423/2003, tanpa penerbit.
ana bisa minjemin antum buku DAKWAH SALAFIYAH DAKWA BIJAK, jika antum minat. Mudah mudahan usaha antum dalam menjelaskan kebenaran dibantu Allah dan anda diteguhkan dijalan sunnah.
Assalamu’alaikum warahmatullohi wabarokaatuh,
Barokallahohu fik ya akhy, Memang demikianlah para pengekor hizbiyyah, selalu memutar balikan kata-kata, mengkaburkan kebenaran. hal ini yang ana temui jika ber-tabayyun dengan mereka (baik dengan Ikhwany, Tahriri maupun tablighi) mereka tidak baik dalam menyimpulkan pernyataan2 salafiyun.
Untuk menghadapi mereka, maka baik sekali kita mencontoh Al-allamah Ibn Sirrin dalam menyikapi Ahlul Bid’ah ;
وعن ابن سيرين أنّه كان إذا سمع كلمة من صاحب بدعة وضع إصبعيه في أذنيه ثم قال: لا يحل لي أن أكلمه حتى يقوم من مجلسه. [الإبانة ( 2/473 )]
Wassalam,
Dauroh seJawatimur di Masjid Al Akbar Surabaya 23-24 menginap
assalamualaikum…
apakah benar syekh ali hasan telah mentahdzir ustadz yazid jawwas ? seperti yg kita tahu untuk tabayyun menanyakan pada orangnya langsung, mhn ditanyakan pada ustadz yazid kebenarannya.
Assalamulaikum
Sungguh ketika membaca buku Athalibi ini yang penulisnya sendiri majhul dan penerbitnya pengecut dan tidak jelas dimana tempatnya(cibubur? ). Ada hal yang bisa ana tangkap dalam tulisannya, buku Athalibi ini tidak bernilai ilmiyah. Adanya pemikiran yang aneh yakni kecenderungan pada pemikiran sururiyah murni karena kaum sururiyuun dimanapun mereka menolak penisbatan diri kepada salaf seperti yang dikatakan oleh seorang sururi kepada guru kami Ustadz Yusuf Syahronny Assalafy, orang sururi ini menyatakan “yaa akhii kenapa antum pakai salafy sebagai nisabat ulama saja tidak ada yang begitu.”
hal ini mirip dengan pernyataan Athalibi. Buku Athalibi adalah buku penuh dengan syubhat lebih cenderung ke sebuah diary dibandingkan buku ilmiyah sama sekali tidak berbobot belum penuh celaan terhadap Syakh muqbil Rahimallah . Bahwa tanda orang yang terkena syubhat atau membawa syubhat adalah mencela ulama adalah sudah sangat jelas seperti yang termaktub dalam Syarhu Sunnah Al Barbahary, Ashlu sunnah wa’itiqadudiin, dan banyak kitab lain. Jelasnya wajib bagi kita untuk melindungi diri dari pemikiran syubhat seperti ini dengan belajar kitab-kitab manhaj dalam porsi lebih dikarenakan derasnya syubhat yang ada di masa kita ini. Wallahu a’lam
Jazakallah Khair Abu salma keep on the ilmiyah spirit .
Wassalamulaikum
[…] http://abusalma.wordpress.com/2006/12/11/perisai-penuntut-ilmu-dari-syubhat-ath-thalibi-1/feed/ […]