DAKWAH SALAFIYAH BUKAN MURJI’AH 2

 Nov, 13 - 2006   no comments

 

DAKWAH SALAFIYAH BUKAN MURJI’AH

(Bagian 2 : Syaikh Al-Albani Bukan Murji’ah)

Oleh :

Al-Ustadz Abdurrahman bin Thoyyib as-Salafy, Lc.

(Alumnus Islamic University of Madinah)

Syaikh Al-Albani Sangat Jauh Dari Murji’ah

Sudah tidak asing lagi bagi para penuntut Ilmu syar’i akan biografi beliau rahimahullahu. Kitab-kitab beliau yang amat sangat banyak sekali merupakan saksi hidup akan jihad beliau dalam membela kalimat tauhid dan aqidah shohihah serta dalam menghidupkan sunnah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Salam. Namun merupakan sunnatullah adanya orang-­orang yang memusuhi wali-wali Alloh, se­bagaimana yang telah Dia firmankan :

Dan demikianlah Kami jadikan bagi tiap-tiap nabi itu musuh, yaitu syaitan­-syaitan (dari jenis) manusia dan (dari jenis) jin, sebahagian mereka mem­bisikkan kepada sebahagian yang lain perkataan-perkataan yang indah-indah untuk menipu (manusia).” (QS. Al-An’am : 112)

Dan sebagaimana yang telah dikabarkan oleh Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Salam : “Senantiasa akan ada dari umatku sekelompok orang yang tegak di atas agama Alloh. Tidak memadharatkan mereka orang-orang yang menghina maupun yang menyelisihi mereka hingga datangnya perkara Alloh sedang mereka dalam keadaan demikian.” (HR. Bukhori) Imam Bukhori rahimahullahu menjelaskan bahwa sekelompok orang tersebut adalah para ahlu ilmi (ulama).1

Diantara hal yang membuktikan bahwa beliau amat sangat jauh dari Murji’ah terlebih Jahmiyah adalah sebagai berikut

1. Aqidah beliau dalam masalah Iman2

Beliau rahimahullahu berkata dalam ta’liq Aqidah Thohawiyah ketika mengomentari ucapan Imam Thohawi rahimahullahuIman adalah ucapan dilisan dan keyakinan dalam hati”, Syaikh Al-Albani rahimahullahu berkata :

Ini adalah aqidah Hanafiyah Maturidiyah yang berseberangan dengan salaf serta jumhur ulama seperti Malik, Syafi’i, Ahmad, Al-Auza’i dan selainnya. Mereka semuanya menambahkan amal perbuatan diatas ucapan dan keyakinan. Bukanlah perselisihan antara kedua madzhab hanya perselisihan yang abstrak (tidak ada wujudnya) seperti yang dikatakan oleh (Ibnu Abil ‘Izzi Al-Hanafi) dengan alasan mereka semua sepakat bahwa pelaku dosa besar tidak keluar dari keimanan dan bahwasanya semua di bawah kehendak Alloh, jika Alloh menghendaki maka Alloh akan mengadzabnya dan jika Alloh menghen­daki maka Alloh akan mengampuninya.

Sesungguhnya kesepakatan ini meskipun benar, namun seandainya madzab Hanafi tidak menyelisihi jumhur dengan sebenar-benarnya penyelisihan dalam pengingkaran mereka bahwa amal bukan termasuk Iman maka sungguh mereka akan menyepakati bersama jumhur bahwa iman itu bisa bertambah (dan bisa berkurang, bertambah dengan ketaatan dan berkurang dengan kemaksiatan sesuai dengan dalil dari Al-Qur’an dan sunnah serta atsar para salaf. Sebagian dalil-dalil tersebut telah disebutkan oleh Imam Ibnu Abil ‘Izzi (hal.384-387) [344-342], akan tetapi madzhab Hanafi bersikeras untuk menyelisihi dalil-dalil yang jelas tersebut dalam hal bertambah dan berkurangnya iman. Mereka berusaha untuk menta’wilkan dalil-dalil tersebut dengan ta’wil yang dipaksakan bahkan ta’wil yang batil.

Imam Ibnu Abil ‘Izzi menye­butkan pada hal.(385) [342] sebagian dari ucapan mereka. Bahkan diriwayatkan dari Abi Mu’in An-Nasafi bahwa dia mencela keabsahan hadits “iman memiliki 70 lebih cabang…” meskipun para imam-imam hadits berhujjah dengan hadits tersebut diantaranya Imam Bukhori dan Imam Muslim di dalam kedua kitab shohih mereka. Hadits tersebut tercantum dalam Silsilah Shohihah no.1769.

Tidaklah hadits ini ditolak melainkan karena menyelisihi madzhab mereka! Kemudian bagaimana mungkin perselisihan ini hanyalah perselisihan yang abstrak, sedangkan mereka membolehkan bagi orang yang sangat fajir/fasik diantara mereka untuk mengatakan : Imanku seperti imannya Abu Bakar bahkan seperti imannya para nabi dan rasul, Jibril dan Mikailalaihimush sholatu was Salam!

Bagaimana hal tersebut bisa dibenarkan sedangkan menurut madzhab mereka tidak boleh bagi seorangpun meskipun dia fasik/fajir untuk mengatakan : saya mukmin insya Alloh Ta’ala. Bahkan mereka mengharuskan untuk mengatakan : Saya mukmin dengan sebenar-benarnya!

Alloh Ta’ala berfirman :

Sesungguhnya orang-orang yang beriman itu adalah mereka yang apabila disebut nama Alloh gemetarlah hati mereka, dan apabila dibacakan kepada mereka ayat-ayat-Nya bertambahlah iman mereka (karenanya) dan kepada Tuhanlah mereka bertawakkal, (yaitu) orang-orang yang mendirikan shalat dan yang menafkahkan sebagian dari rezki yang Kami berikan kepada mereka. Itulah orang-orang yang beriman dengan sebenar-benarnya. Mereka akan memperoleh beberapa derajat ketinggian di sisi Tuhannya dan ampunan serta rezki (ni’mat) yang mulia.” (QS.Al-Anfal : 2-4)

Dan siapakah yang lebih benar perkataannya daripada Alloh?” (QS. An-­Nisa’ : 122)

Berdasarkan hal ini semua mereka tenggelam dalam kefanatikan mereka. Mereka menyebutkan bahwa barangsiapa yang mengatakan saya mukmin insya Alloh maka dia telah kafir. Tidak cukup di sini saja, bahkan mereka menyatakan bahwa tidak boleh bagi seorang yang bermadzhab Hanafi untuk menikah dengan perempuan dari madzhab Syafi’i! Tapi sebagian mereka membolehkan dengan alasan seperti ahli kitab (yang dibolehkan bagi seorang muslim mengawini perempuan-­perempuan mereka).

Dan saya pernah kenal seorang dari syaikh madzhab Hanafi yang putrinya dilamar oleh salah seorang syaikh madzhab Syafi’i namun lamarannya ditolak dengan mengata­kan: Seandainya anda bukan dari madzab Syafi’i! Apakah setelah penjelasan seperti ini masih ada keraguan bahwa perselisihan ini bukan sembarangan? Barangsiapa yang ingin perincian dalam masalah ini silahkan lihat kembali kitab Al-Iman karya Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullahu karena kitab ini merupakan kitab terbaik dalam pembahasan tentang iman.”3 (selesai penukilan ucapan Syaikh Al-Albani rahimahullahu)

Beliau rahimahullahu juga berkata ketika mem­bantah salah seorang yang mencela Musnad Ahmad rahimahullahu :

Sesungguhnya orang ini4 bermadzhab Hanafi dan beraqidah Maturidi. Telah diketahui bersama bahwa mereka tidak mengatakan seperti apa yang ada dalam Al-Qur’an dan sunnah serta atsar para sahabat bahwasanya iman itu bisa bertambah dan bisa berkurang dan bah­wasanya amal termasuk bagian dari ke­imanan. Ini adalah aqidah jumhur ulama salaf dan kholaf selain madzhab Hanafi. Mereka (orang madzhab Hanafi) bersikeras untuk menyelisihi salaf dalam masalah ini bahkan sebagian mereka menyatakan bahwa aqidah seperti di atas adalah aqidah kufur dan murtad –wal ‘iyadzu billah-.

Disebutkan dalam kitab Al-Bahru Ar-Roo`iq bab Al-Karohiyah (VIII/205) oleh Ibnu Najim Al-Hanafi bahwasanya “iman tidak bisa bertambah dan tidak bisa berkurang karena iman menurut kami bukan bagian dari amal.” Ini jelas-jelas menyelisihi hadits Abu Huroiroh radhiyallahu ‘anhu, bahwasanya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Salam pernah ditanya : “Amalan apa yang paling utama?” Beliau menjawab : “Iman kepada Alloh dan Rasul-Nya...” (HR. Bukhori dan selainnya. Bisa dilihat dalam At-Targhib II/107).

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah telah memperinci masalah keberadaan iman merupakan bagian dari amal dan bahwasanya iman itu bertambah dan berkurang dalam kitab beliau Al-Iman. Silahkan lihat.

Aku (Syaikh Al-Albani) katakan “Inilah yang selalu aku katakan sejak lebih dari 20 tahun yang lalu untuk menguatkan madzhab salaf dan aqidah Ahlu Sunnah –walillahi al-hamdu– tentang masalah iman. Tapi sekarang tiba-tiba muncul sebagian orang yang bodoh lagi ingusan yang menuduh kami sebagal Murji’ah !! Kepada Allohlah kami mengadukan kebodohan, kesesatan dan kejahatan mereka.5 (selesai sampai di sini ucapan Syaikh Al-Albani)

Inilah aqidah Syaikh Al-Albani rahimahullahu yang menyatakan bahwa iman itu bisa bertambah dan bisa berkurang dan bahwasanya iman itu bercabang. Beliau juga membolehkan istitsna’ dan bahwasanya amal termasuk bagian dari keimanan. Dari sini beliau telah mendapat rekomendasi (secara logis konsekuensi) dari para imam-imam salaf seperti Abdullah bin Mubarok, Ahmad bin Hanbal, dan Imam Al-Barbahari rahimahumullahu jami’an- bahwasanya beliau telah terlepas dan selamat dari Murji’ah mulai awal sampai akhir. Bahkan beliau adalah bumerang bagi Murji’ah. Oleh karenanya beliau mentahqiq kitab-kitab yang menguatkan aqidah salaf ini seperti Kitabul Iman karya Ibnu Abi Syaibah, Kitabul Iman karya Abu Ubeid dan Kitabul Iman oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyahrahimahumulahu jami’an-.

Di dalam majelis ta’lim pernah dibaca­kan kepada beliau fatwa Syaikh Muhammad bin Ibrahim rahimahullahu tentang pengkafiran orang yang mencela dan memperolok (Alloh, Rasul dan agama-Nya –pent.) lalu beliaupun menguatkannya dan bahwasanya inilah yang juga beliau yakini.6

Dan didalam majlis ta’lim yang sudah dikenal antara Syaikh rahimahullahu dengan penulis ini (i.e. Syaikh Kholid Al-Anbari hafizhahullahu-), beliau dengan jelas­, menyatakan bahwa kekufuran itu bisa dengan perbuatan seperti sujud kepada berhala, membuang mushaf di tempat kotor, dan bisa juga dengan ucapan seperti memperolok dan mencela Alloh dan Rasul.

Beliau juga menyatakan bahwa kekufuran itu ada enam macam, yaitu :

  1. Takdzib (pendustaan dengan hati dan lisan).

  2. Juhud (pendustaan dengan lisan saja).

  3. Inad (menentang).

  4. I’rodh (berpaling).

  5. Nifaq (munafik).

  6. Syak (Ragu)

Beliau menyatakan bahwa Murji’ah adalah orang-orang yang menyatakan bahwa kufur itu hanyalah takdzib saja. Murji’ah mengatakan bahwa setiap orang yang dikafirkan Alloh adalah yang tidak ada pembenaran dalam hatinya tentang Alloh Ta’ala.7

Adapun masalah apakah kafir atau tidakkah orang yang meninggalkan jinsul (jenis) amal atau aahadul (individu) amal?8 maka Syaikh Muhammad bin Sholeh Al-Utsaimin berkata “Siapakah yang mengatakan kaidah seperti ini?! Apakah Alloh dan Rasul-­Nya?! ini adalah ucapan yang tidak bermakna! Kita katakan : Barangsiapa yang dikafirkan Alloh dan Rasul-Nya maka dia yang disebut orang kafir dan barangsiapa yang tidak dikafirkan oleh Alloh dan Rasul-Nya maka dia bukan orang kafir. Inilah yang benar. Adapun masalah jinsul amal atau na’ul (macam) amal serta aahadul amal maka ini hanyalah filsafat yang tidak ada manfaatnya.9 Kalau ada yang mengatakan bahwa kafir orang yang meninggalkan jinsul amal maka bagaimana pendapatnya tentang hadits syafaat Alloh bagi orang­orang yang tidak beramal kebaikan sama sekali?”10

Demikian pula dengan masalah apakah amal termasuk syarthul kamal (syarat kesempurnaan) ataukah syarthus shihah (syarat sahnya iman), maka ini juga termasuk masalah yang muhdats (baru) yang tidak pernah dikatakan oleh para ulama salaf, yang ada dari mereka -para salaf- adalah amal terma­suk bagian dari iman.11

Adapun kalau ada yang membawa ucapan salaf (Iman adalah ucapan, per­buatan dan niat. Salah satu dari ketiganya tidak sah (mencukupi) kecuali dengan adanya yang lain) untuk menyatakan bahwa amal adalah syarat sahnya iman dan kafir orang yang meninggalkan jinsul amal,12 maka apakah orang yang tidak berniat dalam berucap atau berbuat itu kafir?! dan kafirkah orang yang beramal, dan berucap serta berniat namun tidak sesuai dengan sunnah seperti ungkapan sebagian salaf tentang iman?!

Apakah Syaikh Al-Albani rahimahullahu hanya menyempitkan kekufuran pada juhud atau takdzib saja? Inilah jawaban murid beliau Syaikh Ali bin Hasan –hafidzahullahu­akan syubhat ini13 : “Terkadang ada didalam ucapan Syaikh Al-Albani bahwa kekufuran itu dengan juhud dan takdzib! Maka sebagian orang14 memahami bahwa Syaikh rahimahullahu menyempitkan kekufu­ran hanya pada juhud atau takdzib saja dan meniadakan macam-macam kekafi­ran yang lainnya seperti kufur iba’/istikbar (sombong), imtina’ (menolak), syak, nifak dan selainnya.”

Pemahaman mereka terhadap ucapan Syaikh rahimahullahu ini batil karena penyebutan sesuatu tanpa selainnya bukan berarti meniadakan akan selainnya tersebut. Bahkan mungkin bisa jadi penyebutan tersebut berlandaskan kebanyakan atau mayoritas. Penyebutan seperti ini juga pernah diucapkan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullahu dalam Majmu ‘Fatawa (III/354) : “Asal kekufuran itu ada pada pengingka­ran kepada Alloh.” Apakah dengan ini kita mengatakan bahwa beliau menyempitkan kekufuran hanya pada pengingkaran semata ?!

Demikian pula Ibnul Qoyyim rahimahullahu mengatakan dalam Ahkam Ahlidz Dzimmah (III/1156) : “Kekufuran itu ada pada juhud.” Apakah akan kita katakan bahwa beliau menyempitkan kekufuran hanya pada juhud saja ?! Beliau juga mengatakan dalam Qosidah Nuniyah (II/453) dengan syarah Syaikh Kholil Harros rahimahullahu :

الكُفْرُ لَيْسَ سِوَى اْلعِنَادِ وَرَدِّ مَا جَاءَ الرَّسُوْلُ بِهِ لِقَوْلِ فُلاَنِ

Kekufuran itu tidak lain melainkan dengan ‘inad/penentangan dan menolak

apa yang dibawa oleh Rasul karena ucapan seseorang

Ucapan yang senada dengan yang di atas juga dikatakan oleh Syaikh Abdurrohman As-Sa’di rahimahullahu dalam Minhajus Salikin (hal.112) : “Telah disebutkan oleh para ulama –rohimahumullahu– perincian hal-hal yang bisa mengeluarkan seorang hamba dari Islam. Dan semua itu kembalinya kepada juhud (pengingkaran) terhadap apa yang dibawa Rasul baik secara keseluruhan atau sebahagiannya.” Apakah kita akan mengatakan bahwa beliau telah menyempitkan kekufuran hanya pada juhud saja ?!

Lihatlah ucapan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullahu yang akan menjelaskan semua ini dalam Majmu’ Fatawa (XX/98) tentang orang yang meninggalkan sholat : “Barangsiapa dari kalangan fuqoha’ yang memutlakkan/menyatakan bahwa tidak kafir kecuali yang juhudl menentang kewajibannya maka yang dia maksud dengan juhud tersebut telah mencakup takdzib akan kewajibannya dan imtina’ ketika mengucapkannya…”

Lantas, apakah Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, Ibnu Qoyyim al-Jauziyah dan Syaikh Abdurrohman As-Sa’di –rohimahumullahu jami’an– adalah Murji’ah karena ucapan mereka itu?!

أَفَلاَ تَعْقِلُوْنَ

Maka tidakkah kamu berpikir?” (QS. Al-Baqoroh : 44)

2. Rekomendasi ulama Ahlu Sunnah akan aqidah Syaikh Al-Albani

Al-‘Allamah Syaikh Abdul Aziz bin Abdillah bin Baz rahimahullahu pernah ditanya sebagai berikut : “Sebagian orang menebarkan syubuhat tentang aqidah al-‘Allamah Syaikh Muhammad Nashiruddin al-Albani hafizhahullahu dan mereka menisbatkan kepada beliau sebagai kelompok sesat seperti Murji’ah. Apa ucapan (nasehat) Anda terhadap mereka?

Beliau rahimahullahu menjawab : “Syaikh Nashiruddin Al-Albani termasuk saudara-saudara kita ahli hadits yang terkenal dari kalangan ahli sunnah wal jama’ah. Kita mohon kepada Alloh semoga Dia selalu memberikan kepada kita dan beliau taufiq serta pertolongan di atas kebaikan. Yang wajib bagi setiap Muslim adalah selalu bertakwa kepada Alloh dan merasa takut kepada Alloh (dari menuduh) para ulama dan janganlah dia berbicara kecuali diatas ilmu.”15

Al-‘Allamah Faqiihuz Zaman Syaikh Muhammad bin Sholeh Al-Utsaimin rahimahullahu pernah ditanya : “Berkata sebagian orang : Sesungguhnya Syaikh Al-Albani rahimahullahu ucapannya dalam masalah iman adalah ucapan Murji’ah. Bagaimana menurut pendapat anda ?”

Beliau rahimahullahu menjawab : “Aku katakan kepada kalian sebagaimana yang dikatakan oleh orang terdahulu :

أَقِلُّوْا عَلَيْهِمْ لاَ أَبَا لِأَبِيْكُمْ مِنَ اللَّوْمِ أَوْ سَدُّ المَكَانَ الَّذِيْ سَدُّ

Tinggalkan segala celaan terhadap mereka

atau berbuatlah (kebaikan) sebagai­mana mereka telah berbuat

Syaikh Al-Albani rahimahullahu adalah seorang alim ahli hadits dan faqih, meskipun lebih kuat ahli haditsnya dari faqih. Saya tidak pernah selamanya mendapatkan beliau memiliki ucapan yang menunjukkan bahwa beliau Murji’ah. Akan tetapi or­ang-orang yang ingin mengkafirkan manusia (kaum muslimin) menuduh beliau dan yang semisal beliau dengan tuduhan murji’ah! Ini semuanya hanyalah pemberian gelar yang buruk. Dan saya bersaksi akan keistiqomahan Syaikh Al-Albani rahimahullahu serta kebaikan aqidah dan keikhlasan beliau. Meskipun demikian kita tidak mengatakan bahwa beliau tidak pernah bersalah karena tidak ada seorang pun yang tidak bersalah melainkan Rasul Shallallahu ‘alaihi wa Salam.”16

Beliau rahimahullahu juga berkata : “Barangsiapa yang menuduh Syaikh Al-Albani dengan Murji’ah maka dia telah keliru. Mungkin orang itu tidak tahu siapa Syaikh Al-Albani atau mungkin dia tidak tahu tentang siapa Murji’ah!! Syaikh Al-Albani adalah ahli sunnah rahimahullahu, pembela sunnah, imam dalam ilmu hadits, kita tidak mengetahui seorangpun yang menandingi beliau pada zaman ini. Akan tetapi sebagian orang -kita mohon kepada Alloh keselamatan- ada di dalam hatinya rasa hasad, jika melihat ada orang yang diterima oleh manusia diapun bersegera mengolok-oloknya seperti perbuatan orang-orang munafik

(orang-orang munafik) yaitu orang­-orang yang mencela orang-orang mukmin yang memberi sedekah dengan sukarela dan (mencela) orang-orang yang tidak memperoleh (untuk disedekahkan) selain sekedar kesanggupannya” (QS. At-Taubah:79)

Beliau rahimahullahu telah kita kenal lewat buku-­buku beliau dan aku juga mengenal terkadang lewat majlis-majlis beliau. Beliau adalah salafi dalam aqidah dan selamat manhajnya. Akan tetapi sebagian orang yang ingin mengkafirkan hamba-hamba Alloh dengan hal-hal yang tidak Alloh kafirkan mereka dengannya menuduh dengan kedustaan dan kebohongan bahwa orang yang menyelisihi mereka dalam pengkafiran adalah Murji’ah. Oleh karena itu janganlah kalian mendengarkan tuduhan ini dari siapapun juga.”17 (Selesai ucapan beliau)

Al-‘Allamah Ahli Hadits Madinah Syaikh Abdul Muhsin Al-‘Abbadhafidza­hullahu– berkata : “Syaikh Al-Albani seorang alim besar, ahli hadits terkenal, pembela sunnah, aqidah beliau benar dan beliau memiliki perjuangan dalam aqidah. Kitab-kitab beliau tentang aqidah semuanya selamat dan tidak ada seorang penuntut ilmu pun yang bisa lepas dari ilmu dan kitab-kitab beliau.”18

Al-‘Allamah asy-Syaikh At-Tuweijiri rahimahullahu berkata “Syaikh Al-Albani adalah pembela sunnah, mencela Syaikh Al-Albani berarti mencela sunnah.”19

Sungguh indah dan benar apa yang dikatakan oleh Abu Mu’awiyah Ali bin Ahmad bin Suuf hafidzahullahu– : “Cukuplah Alloh sebagai pelindung dan penolong kami, Bagaimana bisa orang yang selama hidupnya memerangi bid’ah (Murji’ah-pent) dan para pelakunya dituduh sebagai Murji’ah?! Dan bagaimana bisa dikatakan orang itu berada di atas bid’ah sedang seluruh hidupnya selalu bersama sunnah?! Setiap orang yang melihat Imam (Al-Albani) dengan kedua matanya dia pasti akan melihat sendiri sunnah berjalan di atas bumi ini di dalam ucapan, pakaian dan gerak-gerik beliau. Akan tetapi orang-orang bodoh tidak bisa diam.Tidaklah karya-karya besar yang menghabiskan usia beliau dalam meneliti keshohihan hadits dari kelemahannya seperti Silsilah Shohihah dan Dho’ifah dan selainnya melainkan bukti yang paling konkret bahwa beliau tidaklah menyelisihi manhaj salaf dalam prinsip yang agung ini (masalah iman-pent).”20 (selesai di sini ucapan beliau)

Orang yang menuduh Syaikh Al-Albani dengan Murji’ah atau tuduhan yang lainnya21 ibaratnya seperti yang dikatakan seorang penyair :

لاَ يَضُرُّ الْبَحْرَ أَمْسَى زَاخِرًا أَنَّ رَمَى فِيْهِ غُلاَمٌ بِحَجَرِ

Tidaklah memadharatkan samudera yang luas

Jika seorang anak kecil melemparinya dengan batu kerikil

كَنَاطِحِ صَخْرَةٍ يَوْمًا لِيُوْهِنَهَا فَلَمْ يَضُرُّهَا وَأَوْهَا قَرْنَهُ الْوَعِلُ

Seperti kambing hutan yang menanduk batu besar untuk meruntuhkannya

Tapi dia tidak bisa memadharatkannya dan kambing itu merusak tanduknya sendiri

 

(Bersambung –insya Alloh-)

 

(Sumber : Majalah adz-Dzakhiirah; Edisi 21; Rajab 1427-Agustus 2006; Dinukil dengan sedikit perubahan dan pembenahan)

 

 

 

1 Lihat Shohih Bukhori dalam kitab AI-I’tishom bil kitab was sunnah bab kesepuluh. Dari sini juga kita ketahui kesalahan sebagian orang-orang harakah yang menafsirkan sekelompok orang tersebut adalah para “mujahidin?” (dan yang mereka maksud adalah Usamah bin Laden CS) bukan para ulama yang darah dan daging mereka telah bersatu dengan ilmu agama ini. Maka sungguh benar apa yang dikatakan oleh Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Salam : “Akan datang sebelum hari kiamat tahun-tahun yang menipu. Di dalamnya dibenarkan orang yang berdusta den didustakan orang yang benar/jujur dan akan dipercaya orang yang berkhianat tapi orang yang amanat tidak dipercaya. Dan akan muncul Ar-Ruwaibidhoh.” Para sahabat bertanya : “siapakah Ar-Ruwaidhoh itu? Beliau menjawab : Orang bodoh yang berbicara tentang (persoalan besar) umat ini.” (Lihat Ash-shohihah 1877) dan beliau juga bersabda “Diantara tanda-tanda hari kiamat adalah diambilnya ilmu dari Al-Ashoghir (orang bodoh atau ahli bid’ah– pent).”

Syaikh al-Albani adalah seorang ahli hadits dan ulama terkemuka namun dicela, sedangkan Usamah bin Ladin adalah seorang insinyur/kontraktor yang bukan seorang alim namun dianggap sebagai ulama sekaligus sebagai pahlawan Islam?!!! Wa ilallohi musytaka (Hanya kepada Alloh kami mengadu). (Lihat pembahasan ulama tentang ath-Tho`ifah al-Manshuroh dalam kitab ath-Tho`ifah al-Manshuroh karya Syaikh Robi’ bin Hadi al-Madkholi hafizhahullahu.)

2 Kami nukil dari Murji’atul Ashr (hal. 65-69).

3 Syarh wa Ta’liq Aqidah ath-Thohawiyah (hal. 63).

4 Yang dimaksud adalah Muhammad Zahid al-Kautsari ghofarollahu lahu

5 Adz-Dzabbul Ahmad ‘an Musnadil Imam Ahmad (hal. 32-33).

6 Kaset Silsilah Huda wa Nur (no. 743) dan silahkan baca juga Silsilah ash-Shahihah (VII/143).

7 Dengar kaset ceramah beliau yang berjudul at-Tahrir li Masa`ilit Takfir.

8 Ini adalah istilah baru yang tidak dikenal oleh para ulama salaf. Istilah ini dikenalkan oleh Safar Hawali. Lihat footnote ar-Rod al-Burhani (hal. 146).

9 Ar-Roddul Burhani (hal. 146).

10 Lihat hadits ini dalam Silsilah ash-Shahihah (VII/129) dan Hukmu Tariki ash-Sholah (hal. 27-28) karya Syaikh al-Albani rahimahullahu.

11 Lihat ucapan Syaikh al-Albani dalam ad-Duror al-Mutalali`ah (hal. 113) dan Syaikh Ali Hasan dalam al-Ajwibah al-Mutala`imah (hal. 5,8). Untuk mendapatkan lebih terperinci lagi tentang apakah amal termasuk syarat sahnya iman atau syarat sempurnanya iman lihat kitab Tafshiilul Ijmal fi Syarthis Shihah wa Syarthil Kamal dan at-Ta’rif wa Tanbi’ah karya Syaikh Ali Hasan.

12 Seperti yang dinyatakan oleh Majalah an-Najah dalam artikel yang berjudul “Aqidah Jama’ah Salafiyah” (hal. 2).

13 Lihat at-Ta’rif wat Tanbi’ah (hal. 75-97).

14 Sebagaimana penulis artikel “Aqidah Jama’ah Salafiyah” dalam majalah an-Najah (hal. 4). Keadaannya dan apa yang tercantum di dalam makalah mereka ini sesuai dengan apa yang dikatakan oleh penyair :

وَمَا لَِأقْوَالِهِمْ إِذَا كُشِفَتْ حَقَائِقًُ بَلْ جَمِيْعُهَا شُبَهُ

Tidaklah ucapan-ucapan mereka jika disingkap

Merupakan suatu kebenaran, akan tetapi semua ucapan mereka adalah syubuhat/kerancuan.

15 Ar-Roddul Burhani (hal. 73-74).

16 Ibid, (hal.71- 72).

17 Ibid (hal. 72).

18 Footnote ar-Roddul Burhani (hal. 75).

19 Murji’atul Ashr (hal. 64).

20 Lihat kitab at-Tibyaan li ‘alaqootil ‘amal bi musamma al-Iman (hal. 12) karya Abu Mu’awiyah Ali bin Ahmad bin Suuf dengan taqrizh DR,.Gholib bin ‘Ali al-‘Awaaji, DR. Abdullah bin Ibrahim az-Zahim (keduanya adalah dosen di Universitas Islam Madinah) dan DR. Abdullah bin Muhammad al-Qorni (dosen Ummul Quro’ di Makkah).

21 Seperti yang dilakukan oleh buletin “Sunni” (lebih tepat dibaca “Bid’i”) yang menuduh Syaikh al-Albani tanpa dalil dan bukti yang nyata sebagai pendusta umat. Alangkah miripnya mereka dengan kaum musyrikin Quraisy yang menuduh Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Salam sebagai pendusta. “Dan mereka heran karena mereka kedatangan seorang pemberi peringatan (rasul) dari kalangan mereka. Dan orang-orang kafir berkata : Ini adalah seorang ahli sihir yang banyak berdusta.” (QS Shaad : 4).

 

-OOO-OOO-

 

 


Leave a Reply

Your email address will not be published. Fields with * are mandatory.