ANJURAN UNTUK BERKASIH SAYANG DAN BERSATU 2
الحث على المودة و الإئتلاف و التحذير من الفرقة و الإختلاف
ANJURAN UNTUK BERKASIH SAYANG DAN BERSATU
SERTA PERINGATAN DARI PERPECAHAN DAN PERSELISIHAN
(Bagian 2)
Oleh :
Fadhilah Asy-Syaikh Rabi’ bin Hadi ‘Umair Al-Madkholiy
Barangsiapa yang berpegang teguh dengan Kitabullah dan Sunnah Rasulullah, serta menyeru kepadanya, niscaya dia akan diuji –kecuali yang dikehendaki oleh Allah-. Maka persiapkan dirimu dengan kesabaran, karena “Sesungguhnya hanya orang-orang yang bersabarlah yang dicukupkan pahala mereka tanpa batas” (az-Zumar : 10), dan Allah telah memerintahkan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam untuk bersabar sebagaimana bersabarnya Ulul Azmi, Allah Yang Maha Suci berfirman kepada beliau : “Bersabarlah dirimu sebagaimana bersabarnya Ulul Azmi dari para rasul dan janganlah kamu meminta disegerakannya adzab bagi mereka (kaum musyrikin)” (al-Ahqaf : 35).
Pada diri Rasulullah dan seluruh nabi Allah terdapat tauladan yang baik bagi kita. Rasulullah diperintahkan untuk meneladani para nabi sebelumnya dan berpedoman dengan petunjuk mereka. Dan kita diperintahkan untuk meneladani Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam dan bersabar sebagaimana sabarnya beliau ‘alaihi Sholatu wa Salam, “Sungguh telah ada bagi kalian suri tauladan yang baik pada diri Rasulullah bagi orang-orang yang mengharap Rahmat Allah dan (kedatangan) hari kiamat.” (al-Ahzab : 21). Suri tauladan yang baik begitu sempurna pada seluruh keadaan yang dimiliki oleh Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa Sallam. Tauladan pada aqidah beliau, maka kita harus beraqidah sebagaimana aqidah beliau. Tauladan pada ibadah beliau maka kita harus beribadah kepada Allah dengan mengikhlaskan agama ini untuk-Nya dan ittiba’ (mencontoh) ibadah yang telah diajarkan Rasul yang mulia ‘alaihi Sholatu wa Salam. Tauladan pada akhlak beliau yang agung yang mana banyak para da’i yang menyeru kepada Allah Tabaroka wa Ta’ala dan mayoritas para pemuda tidak memilikinya bahkan sebagian besar pemuda –atau bahkan semuanya- melupakannya. Padahal sesungguhnya Allah memuji Rasul-Nya ‘alaihi Sholatu wa Salam dengan pujian yang dalam dan sanjungan yang harum, firman-Nya : “Dan sesungguhnya padamu wahai Muhammad terdapat perangai yang agung” (al-Qolam : 4).
Seorang da’i yang menyeru ke jalan Allah, penuntut ilmu, pemberi pengarahan dan penasehat, mereka seluruhnya membutuhkan untuk menelusuri jejak Rasululullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam dalam aqidah, manhaj dan akhlak beliau. Jika perkara ini terkumpul secara sempurna atau mendekati kesempurnaan pada seorang da’i yang menyeru ke jalan Allah, maka akan berhasil dakwah ini insya Allah. Seorang da’i tersebut hendaknya menampulkan dakwah ini di dalam bentuk yang paling indah dan paling baik, semoga Allah memberkahimu.
Jika seorang da’i dalam urusan dakwahnya tidak memiliki akhlak yang mulia seperti sabar, hikmah, ramah dan lemah lembut atau perkara lainnya yang merupakan perkara urgen yang tercermin di dalam dakwah para rasul ‘alaihim ash-Sholatu was Salam, maka yang demikian ini adalah kekurangan yang akan mencelakakan dakwahnya. Oleh karena itu, seorang da’i harus menyempurnakan (perangai) ini.
Banyak manusia terkadang lalai dari perangai ini! Hal ini jelas membahayakan dakwah salafiyah dan pengikutnya (yaitu salafiyin, pent.). Karena lalai dari akhlak ini dan mengedepankan dakwah ini kepada manusia dengan cara yang mereka benci, atau mereka anggap jelek dan mereka pandang menakutkan, dari perangai yang keras, kaku, gegabah atau yang semisalnya, akan merintangi jalannya dakwah sehingga manusia tidak mau menerimanya. Sesungguhnya perangai-perangai ini dibenci di dalam urusan dunia apalagi di dalam urusan agama. Oleh karena itu merupakan keharusan bagi penuntut ilmu untuk meniti jalan akhlak yang mulia dalam berdakwah. Demikian pula, seyogyanya anda wahai saudaraku, bercermin kepada atsar yang datang tentang cara berdakwah ke jalan Allah dengan mempelajari sirah (sejarah) Rasul, mempelajari akhlak, aqidah dan manhaj beliau.
Sebagian manusia ada yang tidak menghiraukan aqidah dan manhaj Rasulullah, namun mereka mengikuti manhaj-manhaj dan aqidah-aqidah lainnya yang diada-adakan oleh Syaithan untuk orang-orang yang dihinakan Allah dari ahlul bid’ah dan ahli kesesatan. Ada pula manusia yang mencocoki dengan aqidah beliau saja namun menelantarkan manhaj! Ada pula manusia yang mencocoki aqidah dan manhaj beliau, namun perangai mereka menyia-nyiakan aqidah dan manhaj. Mereka memiliki kebenaran di sisi aqidah dan manhajnya yang benar, akan tetapi perangai dan uslub (cara) mereka di dalam berdakwah merusak dakwah itu sendiri dan membahayakannya.
Berhati-hatilah kalian dalam menyelisihi aqidah, manhaj dan dakwah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam. Wajib bagi kalian mempelajari bagaimana cara nabi ‘alaihis Sholatu was Salam menyeru manusia, dan teguklah taujihat (pengarahan) nabawi ini yang mengandung hikmah, kesabaran, kelembutan, sifat pemurah, sifat pemaaf, lemah lembut, kasih sayang, dan perangai lainnya.
Ambillah (manhaj nabi dalam berdakwah ini, pent.) wahai saudaraku dan ketahuilah bahwa merupakan suatu keharusan mengimplementasikannya di dalam dakwah kita kepada manusia. Jangan ambil satu sisi dari Islam dan meninggalkan sisi lainnya, atau satu aspek dari metode dakwah kepada Allah Tabaroka wa Ta’ala namun meninggalkan aspek lainnya, karena hal ini akan membahayakan agama Allah Azza wa Jalla dan membahayakan dakwah ini dan orang-orangnya.
Demi Allah, tidaklah dakwah salafiyah ini tersebar di zaman ini –dan sebelumnya- melainkan melalui tangan (upaya) dari para ulama yang berilmu yang memiliki hikmah dan kelemahlembutan, yang meneladani metode Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam. Mereka menerapkannya sekuat tenaga, semoga Allah senantiasa memberikan manfaat dengan keberadaan mereka, sehingga menyebar dakwah salafiyah ini ke seantero dunia, adalah dengan akhlak, ilmu dan hikmah mereka.
Namun akhir-akhir ini, kami melihat bahwa dakwah salafiyah semakin surut dan menyusut, hal ini tiada lain adalah karena telah hilangnya hikmah di tengah-tengah mereka (para ulama tersebut, ed.), bahkan turut hilang pula hikmah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam sebelum kelembutan, kasih sayang, akhlak, keramahan, dan kelemahlembutan beliau ‘alaihis Sholatu was Salam.
‘Aisyah pernah mencerca seorang Yahudi, lantas nabi bersabda kepadanya : “Wahai ‘Aisyah, sesungguhnya Allah itu mencintai kelemahlembutan pada seluruh perkara”1. Hadits ini, jika ada seorang ‘alim menyebutkannya hari ini dalam rangka mengajak para pemuda kepada manhaj yang benar di dalam berdakwah kepada Allah, maka niscaya mereka akan berkata : ini tamyi’!!! (manhaj yang lunak).
Akhlak-akhlak yang mulia ini jika disebutkan, seperti hikmah, ramah, lemah lembut, kasih sayang dan pemaaf, yang mana hal ini merupakan kebutuhan dakwah kepada Allah Tabaroka wa Ta’ala dan merupakan aktivitas yang dapat memikat manusia kepada dakwah yang benar, maka dampak yang dihasilkannya adalah : masuknya manusia ke dalam agama Allah secara berbondong-bondong.
Akan tetapi mereka –al-Mubaddilin (orang-orang yang senang merubah)-, mereka mempersembahkan at-Tanfir (menyebabkan manusia menjadi lari), sembari melupakan bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam pernah bersabda : “Sesungguhnya ada diantara kalian ini munaffirin (orang yang menyebabkan manusia menjadi lari, pent.)2” dan sabda beliau Shallallahu ‘alaihi wa Sallam : “Permudahlah janganlah kalian persulit, berilah kabar gembira janganlah kalian menyebabkan mereka lari”3.
Wahai saudara sekalian, sungguh mereka tidak sadar! Demi Allah, Bahwa mereka telah menuduh Rasulullah sebagai mumayyi’ (orang yang lunak manhajnya, pent.) demikian pula para sahabat dan para ulama’ juga dituduh sebagai mumayyi’un. Dengan metode mereka yang tasyaddud (keras) dan bengis yang menghancurkan dakwah salafiyah ini, mereka secara tidak langsung telah menganggap Rasulullah yang menyeru kepada kelemahlembutan, hikmah dan kasih sayang sebagai mumayyi’, kami mohon ampunan kepada Allah!!!
Demi Allah! Mereka tidak menghendaki hal ini dan mereka tidak bermaksud begini! Akan tetapi mereka tidak sadar! Maka wajib bagi mereka –mulai sekarang- untuk memahami dampak dan akibat dari perbuatan semacam ini. Dan sesungguhnya kami –demi Allah- bersungguh-sungguh, mengobservasi, menulis, menasehatkan dan mengajak dengan kelemahlembutan ke jalan Allah Ta’ala namun mereka menganggap kami sebagai mumayyi’in, mereka tidak menginginkan kami mengucapkan kata hikmah, ramah dan lemah lembut. Kami telah melihat bahwa asy-Syiddah (kekerasan) telah menghancurkan dakwah salafiyah dan mengoyak-ngoyak salafiyin, lantas apa yang kita lakukan? Maka aku katakan -wahai saudaraku sekalian- : ketika kita melihat api menyala, apakah kita tinggalkan begitu saja sehingga semakin berkobar?! Ataukah kita mendatanginya dengan perkara ini (manhaj nabi yang lemah lembut, pent.) yang akan memadamkan kobaran api itu?!
Maka aku terpaksa –dan ini adalah kewajibanku -dan aku telah mengatakannya sebelum ini-, bahkan aku menekankan kembali tatkala kulihat kegoncangan dan bencana ini, aku katakan : Wajib atas kalian untuk berlemahlembut! wajib atas kalian bersikap ramah! wajib atas kalian untuk saling bersaudara! dan wajib atas kalian saling menyayangi! Karena sesungguhnya kekerasan ini (sekarang) tertuju kepada ahlus sunnah sendiri, tatkala mereka meninggalkan ahlul bid’ah dan mereka tujukan perangai syiddah (kekerasan) yang membinasakan ini kepada ahlus sunnah, dan menyeruak ke dalamnya penganiayaan dan tindakan-tindakan batil lainnya yang zhalim!
Maka jauhilah! Dan sekali lagi jauhilah jalan yang dapat membinasakan kalian ini dan menghancurkan dakwah salafiyyah dan salafiyin! Berdakwahlah kepada Allah Ta’ala dengan segenap kemampuan kalian dengan hujjah (keterangan yang jelas) dan burhan (argumentasi yang terang) di setiap tempat, dengan menukil firman Allah dan sabda Rasulullah, dan mohonlah pertolongan atas hal ini kepada Allah- kemudian kepada ucapan para a`immatul huda (imam-imam yang lurus), yang mana keimaman dan kedudukan mereka di dalam Islam diterima baik oleh Ahlus Sunnah maupun ahlul bid’ah.
Aku nasehatkan kepada saudaraku yang akan pergi ke Afrika, atau ke Turki, atau ke India –atau selainnya- (dalam rangka berdakwah, ed.) untuk senantiasa bermodalkan dengan firman Allah, sabda Rasulullah dan perkataan dari para imam yang mereka hormati. Jika anda pergi ke Afrika, misalnya, anda katakan : Ibnu Abdil Bar berkata, Malik berkata, Fulan berkata –dimana banyak dan tidak sedikit manusia di sana memiliki aqidah yang rusak!-, jika anda mendatangi mereka dengan Kitabullah Ta’ala dan Sunnah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam, kemudian kalian datangkan perkataan para ulama, niscaya mereka akan mendengarkan perkataan anda dan mereka akan memperhatikan anda. Inilah hikmah! Namun, jika anda datang dengan perkataan dari diri anda sendiri maka akibatnya bisa jadi mereka tidak menerima satupun dari anda.
Anda juga harus memulai perkataan anda setelah dengan Firman Allah dan sabda Rasul-Nya Shallallahu ‘alaihi wa Sallam dengan perkataan para ulama, yang mana mereka (para ulama tersebut, pent.) memiliki kedudukan dan tempat di dalam diri manusia dan mereka tidak mampu mencela ulama tersebut maupun ucapan mereka. Jika anda berkata : ‘Bukhari mengatakan ini dan itu’, maka sesungguhnya mereka menghormatinya. Sebagai contoh, misalnya kaum sufi di setiap tempat, mereka menghormati Bukhari dan Muslim, dan mereka juga menghormati kedua kitab mereka (shahihain, pent.) dan kedua imam tersebut, mereka juga menghormati Ahmad bin Hanbal, Auza’i, Sufyan ats-Tsuri dan selain mereka dari para ulama besar terdahulu.
Dengan demikian, sesungguhnya hal ini dapat menjadi ikatan antara diri kita dengan mereka di dalam kebenaran, ada tempat-tempat untuk bertemu yang kita dapat menembus mereka dengan jalan ini. Dan hal ini adalah termasuk hikmah -wahai saudaraku-. Oleh karena itu tidaklah sepatutnya anda mengatakan kepada mereka –pertama kali- : ‘Ibnu Taimiyah berkata’, sembari menyebutnya imam, dikarenakan mereka masih bodoh dan tidak mengenal beliau, dan sekiranya mereka mengetahuinya maka niscaya mereka akan membencinya disebabkan dari apa yang mereka dengar dari pembesar-pembesar mereka yang mana tidak menghendaki dan menginginkan beliau. Semoga Allah memberkahimu.
Katakan! : ‘Ibnu Taimiyah berkata’, di tengah-tengah salafiyin yang menghormati beliau. Namun janganlah anda katakan di tengah-tengah selain salafiyin : ‘Ibnu Taimiyah berkata’ atau ‘Ibnu Abdul Wahhab berkata’ –misalnya-, dikarenakan mereka masih jahil dan mereka dididik di tengah-tengah ahlul bid’ah yang lari dari hal ini, dan syaikh-syaikh mereka menyebabkan mereka lari pula dari mereka (para ulama tersebut, pent.). Katakan kepada mereka nama-nama para Imam yang mereka mengakuinya dan menghormatinya, dikarenakan pemimpin dan syaikh mereka menjelekkan Ibnu Taimiyah dan Ibnu Abdul Wahhab serta para ulama dan para imam dakwah, sebagaimana baru kusebutkan.
Janganlah anda mendatangi mereka dari pintu ini, karena hal ini tidaklah termasuk hikmah. Tapi, masuklah dari pintu : ‘Malik berkata’, ‘Sufyan ats-Tsauri berkata’, ‘al-Auza’i berkata’, ‘Ibnu ‘Uyainah berkata’, ‘Bukhari berkata’, ‘Muslim berkata dalam juz sekian halaman sekian’, dan yang semisalnya, maka anda akan diterima. Kemudian, jika mereka telah menerima anda, mereka nantinya akan menghormati Ibnu Taimiyah dan mengetahui bahwasanya beliau berada di atas kebenaran, mereka akan menghormati Ibnu Abdul Wahhab dan mengetahui pula bahwasanya beliau juga di atas kebenaran. Semoga Allah memberkahimu… demikianlah…!!!
Aku katakan : hal ini merupakan peringatan kepada perangai hikmah di dalam mendakwahi manusia ke jalan Allah Tabaroka wa Ta’ala. Termasuk diantara juga yaitu : janganlah kalian memaki jama’ah mereka, “Dan janganlah kalian memaki berhala-berhala yang mereka sembah selain Allah karena mereka nanti akan memaki Allah dengan melampaui batas tanpa pengetahuan.” (al-An’am : 108).
Aku berkata : ketika aku berkunjung ke Sudan, aku beristirahat di Port Sudan, beberapa pemuda Ansharus Sunnah datang menyambutku dan mereka berkata : “Wahai Syaikh, kami menginginkan sesuatu dari anda”.
Aku menjawab : “silakan”
Mereka berkata : “Berbicaralah apa yang anda kehendaki. Ucapkanlah: Allah berfirman, Rasulullah bersabda. Dan celalah sekehendak anda segala kebid’ahan dan kesesatan, baik itu do’a kepada selain Allah, sembelihan, nadzar, istighotsah, dan selainnya. Namun anda jangan menyebut kelompok ini dan itu!, dan jangan pula syaikh fulan! Janganlah anda menunjuk Tijaniyah bagian dari kelompok-kelompok (sesat, ed.)! Jangan pula Bathiniyah! Jangan pula pembesar-pembesar mereka. Akan tetapi, perbaikilah aqidah niscaya kebenaran yang anda bawa akan diterima.” Aku berkata kepadanya : “Baiklah” lantas aku mengikuti cara ini dan kudapatkan manusia menerima dengan penerimaan yang luar biasa.
Janganlah anda menduga wahai penuntut ilmu, bahwasanya termasuk kesempurnaan manhaj yang benar ini adalah harus memaki syaikh-syaikh mereka dan mencela mereka! Karena Allah Subhanahu berfirman : “Dan janganlah kalian memaki berhala-berhala yang mereka sembah selain Allah karena mereka nanti akan memaki Allah dengan melampaui batas tanpa pengetahuan.” (al-An’am : 108). Jika anda memaki seorang syaikh! Atau anda katakan : (syaikh ini) sesat! Atau begini! Atau thoriqoh fulan (begini)! Maka metode ini menurut kami menyebabkan mereka lari darimu, anda telah berbuat salah, dan anda telah menjadikan manusia lari, kalau begitu anda adalah munaffirun (sebagaimana dalam hadits yang telah berlalu, pent.).
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam tatkala mengutus Mu’adz dan Abu Musa ke Yaman beliau berpesan : “Permudahlah janganlah kalian persulit, dan berilah kabar gembira janganlah menyebabkan orang lari”4
Hal ini termasuk cara yang Taysir (mempermudah) dan tabsyir (memberikan berita gembira), tidak ada di dalamnya tanfir. Dan demi Allah, tidaklah aku memasuki masjid melainkan aku melihat wajah mereka berbinar-binar, dan aku tidak mampu keluar karena banyaknya orang yang datang menemuiku dan menyalamiku serta menyapaku.
Kemudian ketika pembesar-pembesar sufiyah syaithaniyah melihat bahayanya dakwah yang benar ini, mereka berkumpul dan membuat makar serta merangkai kata sepakat untuk membantahku. Mereka mengumumkan tentang ceramahku di wilayah yang lebih luas. Kemudian kami berkumpul di wilayah tersebut, dan akupun berbicara, lantas berdiri seorang pembesar mereka dan mengomentari perkataanku, dan mulai membolehkan istighotsah, tawasul, dan berbicara tentang ta’thil (peniadaan) sifat Allah, dan dia berkata dan berkata… dan dia memperkuat kebatilannya dengan takwil-takwil yang rusak!
Setelah dia selesai –dan dia kehabisan dalil, dia hanya mendatangkan hadits-hadits dha’if (lemah) dan maudhu’ (palsu) dan mendatangkan ucapan-ucapan Asqorothiyyin (pengikut asyqrot, seorang filsuf, ed.)-. Aku berkata : Wahai jama’ah, kalian telah mendengar ucapanku, aku berkata : Allah berfirman, Rasulullah bersabda, Ulama’ umat yang terkenal berkata, dan orang ini datang dengan hadits palsu, dan aku tidak mendengar darinya al-Qur’an sedikitpun! Apakah kalian pernah mendengar : Allah berfirman begini tentang bolehnya istighotsah kepada selain Allah??! Tentang bolehnya tawasul??! Apakah kalian pernah mendengarkan ucapan ulama besar seperti Malik dan semisalnya tentangnya??! Kalian tidak pernah mendengarnya! Sesungguhnya yang kalian dengar (darinya) hanyalah hadits-hadits palsu dan lemah, dan perkataan-perkataan orang-orang yang kalian telah mengenalnya sebagai khurofiyun (penggemar khurofat, pent.)! Tiba-tiba berdiri seorang khurofiy sembari memaki-maki dan mencela! Lantas aku tersenyum, aku tidak membalas makiannya tidak pula celaannya, dan aku tidak mengucapkan sesuatupun ketika itu melainkan hanya : Semoga Allah memberkahimu! Semoga Allah membalasmu dengan kebaikan! Semoga Allah membalasmu dengan kebaikan! Semoga Allah memberkahimu!.
Kamipun berpisah, dan demi Allah yang tiada sesembahan yang haq kecuali Dia, ketika masuk waktu pagi –pada hari kedua- orang-orang sedang bercerita di masjid-masjid dan pasar-pasar bahwa kelompok sufi telah terkalahkan! Maka pelajarilah wahai saudara-saudara sekalian metode syar’iyah dan shahihah ini. Tujuan dakwah adalah menunjukkan manusia kepada jalan yang lurus dan menanamkan kebenaran ke dalam hati manusia!
Wahai saudaraku, wajib atasmu untuk mempergunakan segala sarana yang kalian sanggupi dari sarana-sarana yang syar’i di dalam jalan dakwah kepada Allah. Bukanlah yang kita maksud adalah (ucapan) tujuan memperbolehkan segala cara! Hal ini termasuk metodenya Ahlul Bid’ah. Dengan sebab kaidah tadi (yaitu, tujuan memperbolehkan segala cara, pent.) mereka terjerumus kepada kedustaan, kerancuan, kelicikan dan kepicikan! Sebagaimana yang diutarakan oleh Imam ‘Ali bin Harb al-Mushili : “Seluruh pengikut hawa nafsu itu selalu berdusta dan mereka tidak peduli”5.
Hal ini semuanya bukanlah perangai kita, karena kita adalah ahlu shidqi (pemilik kejujuran) dan ahlu haqqi (pemilik kebenaran). Akan tetapi kita menghidangkan dakwah ini kepada manusia dalam bentuk yang bisa diterima setiap orang dan bisa menarik hati mereka. Semoga Allah memberkahi kalian.
Kemudian kami pergi ke Kasala –sebuah tempat di Sudan juga-, dan masya Allah, dakwah di sana sangat berkembang pesat dengan baik, segala puji hanya milik Allah. Kami sempat berceramah di sana dan semoga Allah menjadikan ceramah kami tersebut bermanfaat.
Kemudian kami pergi ke al-Ghizhorif, yaitu sebuah kota kecil di sana, kami berkeliling ke seluruh masjid di sana. Mereka berkata : tidak ada di kota ini kecuali satu masjid yang dikuasai Tijaniyah sedangkan kami tidak mampu menembusnya! Aku bertanya : kenapa? Mereka menjawab : Mereka sangat fanatik sekali. Aku berkata : kita pergi menemui dan meminta izin kepada mereka, jika mereka mengizinkan kita berbicara maka kita sampaikan, dan jika mereka melarang kita maka kita memiliki udzur di sisi Allah, serta tidak selayaknya kita menghadapi mereka dengan paksaan dan kekuatan. Semoga Allah memberkahimu.
Kamipun tiba dan kami sholat bersama imam, setelah selesai akupun datang dan mengucapkan salam kepadanya, dan aku berkata kepadanya : Apakah anda mengizinkan diri saya untuk menyampaikan beberapa patah kata bagi saudara-saudara kami di sini?, Ia berkata : Silakan. Maka akupun berbicara, aku menyeru mereka kepada Allah, kepada Tauhid, Sunnah dan kepada hal-hal lain dari perkara yang menyangkut ilmu. Dan aku mengkritik beberapa kesalahan yang ada, dan beberapa kesesatan, hingga aku sampai kepada hadits ‘Aisyah Radhiallahu ‘anha yang muttafaq ‘alaihi : “Tiga hal, barang siapa yang berbicara dengan salah satu dari ketiganya maka sungguh ia telah berbuat kedustaan yang besar terhadap Allah, yaitu barangsiapa mengatakan bahwa Muhammad melihat Rabnya maka sungguh ia telah berbuat kedustaan yang besar terhadap Allah, dan barangsiapa yang mengatakan bahwa Muhammad mengetahui apa yang akan terjadi besok maka ia telah berbuat kedustaan yang besar terhadap Allah, –dan akupun membawakan dalil-dalil tentang perkataan ini– serta barangsiapa yang mengatakan bahwa Muhammad tidak menyampaikan apa yang diturunkan atasnya maka ia telah berbuat kedustaan yang besar terhadap Allah”6.
Sang imam pun berdiri dan ia tampak gelisah, kemudian ia berkata : Demi Allah, sesungguhnya Muhammad melihat Rabnya dengan kedua mata kepalanya! Aku menjawab : Semoga Allah membalasmu dengan kebaikan, adapun Aisyah, dia adalah manusia yang paling mengetahui tentang diri Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam, ia berkata : “Barangsiapa yang menyangka bahwa Muhammad melihat Rabnya maka sungguh ia telah berbuat kedustaan yang besar terhadap Allah”. Jika sekiranya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam melihat Rabnya ia pasti akan mengabarkannya kepada kita namun ia tidak mengabarkannya.
Maka dia mulai membuat gaduh dan mengajukan pertanyaan bertubi-tubi, aku berkata kepadanya : Wahai saudaraku, tunggulah sebentar sampai aku menyelesaikan perkataanku, setelah itu anda boleh bertanya apa saja sesuka anda, jika aku mengetahui jawabannya maka aku akan menjawabnya dan jika aku tidak mengetahuinya maka aku akan berkata kepadamu, Allahu a’lam, akupun meninggalkannya dan kulanjutkan perkataanku. Aku tidak tahu apakah ia tetap tinggal ataukah pergi! Aku benar-benar tidak tahu karena aku tidak menoleh kepadanya. Kemudian aku mendengar seorang lelaki berkata : “Demi Allah, perkataan orang ini adalah benar” (dengan logat Sudan, pent.), kemudian aku mendengar untuk kesekian kalinya ungkapan yang serupa dari selainnya dengan tambahan : “orang ini berkata dengan firman Allah dan sabda Rasulullah”. -Semoga Allah memberkahi kalian-. Sampai tiba adzan isya’, ceramahku telah selesai dan sholat akan ditegakkan, kemudian mereka menghendaki aku mengimami mereka! Maka aku menjawab : jangan, aku tidak layak jadi imam, Imam (rawatib) kalian yang layak mengimami, mereka berkata : Demi Allah sholatlah (jadi imam), aku menjawab : Baik, dan akupun mengimami mereka. Setelah selesai shalat aku menunggu, kemudian aku dan beberapa pemuda Ansharus Sunnah keluar bersama-sama, aku bertanya kepada mereka : Kemana perginya imam? Mereka menjawab : Mereka mengusirnya! Aku bertanya kembali : Siapa yang mengusirnya? Mereka menjawab : Demi Allah, jama’ahnya sendiri.
Jika sekiranya seseorang datang dan membodohbodohkan Tijaniyah Mirghaniyah! Maka barangkali mereka akan membunuhnya, tidak hanya diusir saja. Namun jika anda datang dengan hikmah dan kelembutan, semoga Allah memberkahi kalian- maka niscaya Allah akan menjadikannya bermanfaat bagi mereka.
Persembahkanlah wahai saudaraku, ilmu yang bermanfaat, hujjah yang pasti dan hikmah yang berfaidah di dalam dakwahmu. Dan wajib atas kalian berakhlak dengan setiap akhlak yang indah dan mulia, yang mana hal ini dianjurkan oleh al-Kitab dan Rasul Shallallahu ‘alaihi wa Sallam, karena sesungguhnya hal ini merupakan upaya kemenangan dan keberhasilan.
Sesungguhnya para sahabat tidak menyebarkan Islam sehingga merasuk ke dalam hati manusia melainkan karena hikmah dan ilmu mereka, yang hal ini lebih banyak daripada dengan hunusan pedang. Akan tetapi, barangsiapa yang masuk ke dalam Islam karena di bawah naungan pedang mungkin tidak bisa tetap keimanannya. Namun orang-orang yang masuk ke dalam Islam dari jalan ilmu, hujjah dan burhan maka keimanannya tetap/istiqomah –dengan izin dan Taufiq Allah-.
Wajib bagi kalian berpegang dengan jalan-jalan kebaikan ini, dan wajib bagi kalian bersungguh-sungguh di dalam ilmu dan di dalam dakwah kepada Allah. Kemudian aku mengingatkan kalian –wahai saudaraku- dari dua perkara ini :
Pertama : Untuk saling bersaudara diantara sesama Ahlus Sunnah seluruhnya. Maka wahai sekalian salafiyun, bangkitkan ruh kecintaan dan persaudaraan diantara kalian, dan aplikasikan apa yang diingatkan oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam tentang orang-orang mukmin yang “Bagaikan satu tubuh, satu dengan lainnya saling menguatkan”7 dan mereka itu “Bagaikan tubuh yang satu, jika satu bagian mengeluh maka akan menyebabkan seluruh tubuh lainnya merasakan demam dan sakit”8. Jadilah seperti ini wahai saudaraku, jauhilah oleh kalian perbuatan yang dapat menghantarkan kepada perpecahan, karena sesungguhnya hal ini adalah perbuatan yang jelek lagi berbahaya dan penyakit yang parah.
Kedua : Jauhilah oleh kalian sebab-sebab yang dapat menghantarkan kepada permusuhan dan kebencian, serta perpecahan dan saling menjauh. Jauhilah oleh kalian perkara-perkara ini, karena perkara ini telah menyebar akhir-akhir ini melalui tangan orang-orang yang Allah lebih mengetahui keadaan dan tujuan mereka. Sehingga perkara ini menyebar, dan berkembang serta mengoyak-ngoyak para pemuda di negeri ini –baik di Universitas maupun selainnya- atau di seluruh antero dunia.
Mengapa?! Dikarenakan telah turun ke medan dakwah orang-orang yang bukan ahlinya, yang tidak memiliki pengetahuan dan pemahaman. Dan boleh jadi ada musuh yang menyusup ke tengah-tengah salafiyun dalam rangka mengoyak-ngoyak dan memecah belah mereka. Perkara ini bukan hal yang mustahil –selamanya-, bahkan benar-benar terjadi. Semoga Allah memberkahi kalian. Bersemangatlah kalian dalam sikap saling bersaudara, dan jika muncul di antara kalian sesuatu hal yang tidak disukai, maka berusahalah melupakan masa lalu9 dan keluarkan lembaran putih yang baru sekarang.
Dan aku berkata kepada saudara-saudaraku sekalian :
Orang-orang yang memiliki kekurangan maka tidak sepatutnya kita menyalahkannya dan mencercanya, dan orang-orang yang tersalah diantara kita, janganlah kita mencercanya, Semoga Allah memberkahi kalian, namun seyogyanya kita mengobatinya dengan kelembutan dan hikmah, kita obati dengan kecintaan dan kasih sayang serta dengan seluruh akhlak yang shalih, dengan dakwah yang benar hingga ia mau kembali, jika masih tertinggal dalam dirinya kelemahan, maka janganlah kita tergesa-gesa mengambil sikap terhadapnya, jika tidak maka demi Allah tidak akan tersisa seorangpun, tidak akan tersisa seorangpun (kecuali akan dicela semuanya, ed.)!
Sebagian manusia sekarang ini, mengusik salafiyin sampai-sampai ulama pun mereka sebut sebagai mumayyi’in! Saat ini, tidaklah tersisa di daerah manapun seorang alim –atau yang dekat dengannya- melainkan dirinya dicela dan dijelekkan! Hal ini –tentu saja- merupakan metodenya Ikhwanul Muslimin dan Ahlul Bid’ah. Karena sesungguhnya Ahlul Bid’ah itu, diantara senjata mereka adalah memprakarsai dalam menjatuhkan ulama, bahkan metode ini merupakan metode Yahudi Masoniyah yang mana jika mereka menghendaki untuk menjatuhkan suatu pemikiran maka mereka jatuhkan ulama atau pribadi individu-individunya!! Karena itu jauhilah perangai yang jelek ini dan hormatilah para ulama.
(Bersambung insya Alloh)
1 Hadits Riwayat Muslim (2165).
2 Hadits Riwayat Bukhari (7159) dan Muslim (466) dari Abu Mas’ud al-Anshari
3 Hadits Riwayat Bukhari (69) dan Muslim (1732) dari Abu Musa al-Asy’ari
4 Hadits riwayat Bukhari (4341) dan Muslim (2733).
5 Al-Kifaayah (hal. 123) karya Imam al-Khathib al-Baghdadi
6 Hadits riwayat Bukhari (4855) dan Muslim (177) dengan lafazh yang serupa
7 Dikeluarkan Bukhari (481) dan Muslim (2586) dari Abu Musa al-Asy’ari
8 Dikeluarkan oleh Bukhari (6011) dan Muslim (2586) –dan lafazh ini dari Muslim- dari Nu’man bin Basyir
9 Dimanakah gerangan orang-orang yang mau mengambil pelajaran?! Dimanakah gerangan orang-orang yang mau mengambil ibrah?! Dan dimanakah gerangan mereka yang mendengar perkataan ulama?! Dan dimanakah mereka yang mau mengikuti nasehat dan petunjuk para ulama?!!