PERINGATAN TERHADAP FITNAH TAJRIH DAN TABDI’

 Oct, 13 - 2006   no comments   Nasehat Ulama

 

التحذير من فتنة التجريح والتبديع من بعض أهل السنة في هذا العصر

 

PERINGATAN TERHADAP FITNAH TAJRIH[1] DAN TABDI’[2]

SEBAGIAN AHLUS SUNNAH DI MASA KINI


Oleh :

Al-Allamah al-Muhaddits asy-Syaikh al-Walid Abdul Muhsin bin Hamd al-Abbad al-Badr[4]

Yang semisal dengan bid’ah Imtihaanu an-Naas bil Asykhosh (menguji manusia dengan perseorangan)[5] yang terjadi dewasa ini dari sekelompok kecil Ahlus Sunnah yang gemar mentajrih saudara-saudaranya sesama Ahlus Sunnah dan mentabdi’ mereka, sehingga mengakibatkan timbulnya hajr[6], taqathu’[7] dan memutuskan jalan kemanfaatan dari mereka. Tajrih dan tabdi’ tersebut dibangun di atas dugaan suatu hal yang tidak bid’ah namun dianggap bid’ah.


Sebagai contohnya adalah dua syaikh kita yang mulia, yaitu Syaikh Abdul Aziz bin Bazz dan Syaikh Ibnu Utsaimin, semoga Allah merahmati mereka berdua, telah menfatwakan bolehnya memasuki suatu jama’ah (semacam yayasan khairiyah pent.) dalam beberapa perkara yang mereka pandang dapat mendatangkan kemaslahatan dengan memasukinya. Dari mereka yang tidak menyukai fatwa ini adalah kelompok kecil tadi dan mereka mencemarkan jama’ah tersebut. Permasalahannya tidak hanya berhenti sebatas ini saja, bahkan mereka menyebarkan aib (menyalahkan) siapa saja yang bekerja sama dengan memberikan ceramah pada jama’ah tersebut dan mereka sifati sebagai mumayi’[8] terhadap manhaj salaf, walaupun kedua syaikh yang mulia tadi pernah memberikan ceramah pada jama’ah ini via telepon.


Perkara ini juga meluas sampai kepada munculnya tahdzir (peringatan) untuk menghadiri pelajaran (durus) seseorang dikarenakan orang tersebut tidak berbicara tentang fulan dan fulan atau jama’ah fulani. Yang mempelopori hal ini adalah salah seorang muridku[9] di Fakultas Syariah Universitas Islam Madinah, yang lulus pada tahun 1395-1396H. Dia meraih peringkat ke-104 dari jumlah lulusan yang mencapai 119 orang. Dia tidaklah dikenal sebagai orang yang menyibukkan diri dengan ilmu, dan tidak pula aku mengetahuinya memiliki pelajaran-pelajaran ilmiah yang terekam, tidak pula tulisan-tulisan ilmiah, kecil ataupun besar.


Modal ilmunya yang terbesar adalah tajrih, tabdi’ dan tahdzir terhadap mayoritas Ahlus Sunnah, padahal si Jarih[10] ini ini tidaklah dapat menjangkau mata kaki orang-orang yang dicelanya dari sisi banyaknya kemanfaatan pada pelajaran-pelajaran, ceramah-ceramah dan tulisan-tulisan mereka.


Keanehan ini tidak berakhir sampai di situ bahkan jika seorang yang berakal mendengarkan sebuah kaset yang berisi rekaman percakapan telepon yang panjang antara Madinah dan Aljazair[11]. Di dalam kaset ini, fihak yang ditanya ‘memakan daging’ mayoritas ahlu Sunnah, dan di dalamnya pula si penanya memboroskan hartanya tanpa hak. Orang-orang yang ditanyainya mencapai hampir 30-an orang pada kaset ini, diantara mereka (yang ditanyakan) adalah Wazir (menteri), pembesar dan orang biasa, juga di dalamnya ada sekelompok kecil yang tidak merasa disusahkan (yang tidak dicela karena termasuk kelompok kecil tersebut, pent.). Yang selamat adalah orang-orang yang tidak ditanyakan di dalamnya, namun mereka-mereka yang selamat dari kaset ini sebagiannya tidak selamat dari kaset-kaset lainnya[12]. Penyebaran utamanya adalah dari situs-situs informasi internet[13].

 

Wajib baginya menghentikan memakan daging para ulama dan para thullabul ‘ilm dan wajib pula bagi para pemuda dan penuntut ilmu untuk tidak mengarahkan pandangannya kepada tajrihat (celaan-celaan) dan tabdi’at (pembid’ahan) yang merusak tidak bermanfaat ini, serta wajib bagi mereka menyibukkan diri dengan ilmu yang bermanfaat yang akan membawa kebaikan dan akibat yang terpuji bagi mereka di dunia dan akhirat.


Al-Hafidh Ibnu Asakir –rahimahullah– mengatakan dalam bukunya, Tabyinu Kadzibil Muftarii (hal 29) :

واعلم يا أخي! وفقنا الله وأياك لمرضاته وجعلنا ممن يخشاه ويتقيه حق تقاته أنّ لحوم العلماء وحمة الله عليهم مسمومة وعادة الله في هتك أستار منتقصيهم معلومة.

Ketahuilah saudaraku, semoga Allah menunjuki kami dan kalian kepada keridhaan-Nya dan semoga Dia menjadikan kita orang-orang yang takut kepada-Nya dan bertakwa dengan sebenar-benarnya takwa, bahwasanya daging para ulama –rahmatullahu ‘alaihi- adalah beracun dan merupakan kebiasaan Allah (sunnatullah) merobek tabir kekurangan mereka pula.” Dan telah kujabarkan dalam risalahku, Rifqon Ahlas Sunnah bi Ahlis Sunnah, sejumlah besar ayat-ayat, hadits-hadits dan atsar-atsar berkenaan tentang menjaga lisan dari mencerca Ahlus Sunnah, terutama terhadap ulamanya.


Kendati demikian, hal ini tidaklah memuaskan sang pencela (jarih), bahkan dia mensifati risalahku tersebut tidak layak untuk disebarkan. Dia juga mentahdzir risalahku dan orang-orang yang menyebarkannya. Tidak ragu lagi, barang siapa yang mengetahui celaan (jarh) ini dan menelaah risalahku, ia akan menemukan bahwa perkara ini di satu lembah dan risalahku di lembah yang lain, dan hal ini sebagaimana yang dikatakan seorang penyair :


قد تنكر العين ضوء الشمس من رمد وينكر الفم طعم الماء من سقم

Mata boleh menyangkal cahaya matahari dikarenakan sakit mata

dan mulut boleh menyangkal rasa air dikarenakan sakit mulut


Adapun ucapan si Jarih ini terhadap risalah Rifqon Ahlas Sunnah bi Ahlis Sunnah, ucapannya : “misalnya tentang anggapan bahwa manhaj Syaikh Abdul Aziz bin Bazz dan manhaj Syaikh Utsaimin menyelisihi manhaj Ahlus Sunnah yang lainnya, maka hal ini adalah suatu kesalahan tidak diragukan lagi, yakni mereka berdua tidak memperbanyak bantahan dan membantah orang-orang yang menyimpang. Hal ini, sekalipun benar dari mereka, maka (ini artinya manhaj mereka) menyelisihi manhajnya Ahlus Sunnah wal Jama’ah, dan yang demikian ini artinya adalah sebuah celaan bagi kedua syaikh tersebut atau lainnya yang punya anggapan demikian!!!”

Maka jawabannya dari beberapa sisi :


Pertama, hal tersebut tidaklah terdapat di dalam risalahku bahwa Syaikh Abdul Aziz tidak memperbanyak bantahan. Bahkan, bantahan beliau banyak. Hal ini telah diterangkan dalam risalahku (hal. 51) sebagai berikut : “Hendaknya bantahan tersebut dilakukan dengan keramahan dan lemah lembut disertai dengan keinginan kuat untuk menyelamatkan orang yang salah tersebut dari kesalahannya apabila kesalahannya jelas dan tampak. Selayaknya seorang yang hendak membantah orang lain, merujuk kepada metodenya Syaikh Ibnu Bazz ketika membantah untuk kemudian diterapkannya.”


Kedua, Sesungguhnya aku tidak mengingat telah menyebutkan manhaj Syaikh Utsaimin di dalam membantah, dikarenakan aku tidak tahu, sedikit atau banyak, apakah beliau memiliki tulisan-tulisan bantahan. Aku pernah bertanya kepada salah seorang murid terdekatnya yang bermulazamah kepadanya sekian lama tentang hal ini, dan dia memberitahuku bahwa dia tidak mengetahui pula apakah syaikh memiliki tulisan-tulisan bantahan. Yang demikian ini tidaklah menjadikan beliau tecela, dikarenakan beliau terlalu sibuk dengan ilmu, menyebarkannya dan menulis buku-buku.


Ketiga, bahwasanya manhajnya Syaikh Abdul Aziz bin Bazz –rahimahullahu– berbeda dengan manhaj sang murid pencela ini dan orang-orang yang serupa dengannya. Dikarenakan manhajnya syaikh dikarakteristiki oleh keramahan, kelembutan dan keinginan kuat untuk memberikan manfaat kepada orang yang dinasehati dan demi menolongnya ke jalan keselamatan. Adapun sang pencela dan orang-orang yang serupa dengannya, manhajnya dikarakteristiki dengan syiddah[14], tanfir[15] dan tahdzir[16]. Dan mayoritas orang yang dicelanya di dalam kaset-kasetnya adalah orang-orang yang dulunya dipuji oleh Syaikh Abdul Aziz, yang beliau do’akan mereka (dengan kebaikan) dan beliau anjurkan mereka untuk berdakwah dan mengajari manusia serta mendorong dan beristifadah (mengambil manfaat) dari mereka.


Walhasil, sesungguhnya aku tidak menisbatkan kepada Syaikh Abdul Aziz bin Bazz –rahimahullahu– tentang ketiadaan-bantahannya terhadap orang lain. Adapun Ibnu ‘Utsaimin, aku tidak ingat pernah menyebutkan dirinya pada perkara bantahan, dan apa yang dikatakan si pencela ini tidak sesuai dengan risalahku. Hal ini merupakan dalil yang nyata tentang kesembronoannya dan ketidakhati-hatiannya (tanpa tatsabut). Jika hal ini dari dirinya tentang ucapan yang tertulis, lantas bagaimana keadaannya tentang apa-apa yang tidak tertulis???


Adapun ucapan pencela risalahku, “Aku sesungguhnya telah membaca risalah tersebut, dan aku telah mengetahui bagaimana sikap Ahlus Sunnah terhadap risalah ini. Semoga engkau akan melihat bantahannya dari sebagian ulama dan masyaikh, dan aku tidak menduga bahwa bantahan-bantahan tersebut akan berhenti sampai di sini, sesungguhnya akan ada lagi yang membantahnya, karena sebagaimana dinyatakan oleh seorang penyair :


جاء شقيق عارض رمحه إن بني عمك فيهم رماح

Datang Syaqiq (Saudara kandung) sambil menawarkan tombaknya

Sesungguhnya Bani (anak-anak) pamanmu telah memiliki tombak

 

Demikianlah (yang dinyatakan si pencela ini), عارضAaridlun[17], padahal yang benar عارضا Aaridlon[18].

Tanggapan : Bahwasanya Ahlus Sunnah yang ia maksudkan adalah mereka yang manhajnya berbeda dengan manhajnya Syaikh Abdul Aziz –rahimahullahu– yang telah kutunjukkan barusan, dan ia dengan perkataannya ini (bermaksud) menghasut (membangkitkan semangat) orang-orang yang tidak mengenal mereka untuk mendiskreditkan risalahku setelah ia menghasut orang-orang yang mengenal mereka.


Sesungguhnya aku tidak melontarkan tombak, namun sesungguhnya diriku hanya menyodorkan nasihat yang tidak mau diterima oleh si pencela ini dan orang-orang yang serupa dengannya. Dikarenakan nasehat itu bagi orang yang dinasehati, bagaikan obat bagi orang-orang yang sakit, dan sebagian orang-orang yang sakit menggunakan obat ini walaupun rasanya pahit dengan harapan akan memperoleh manfaat.


Diantara orang-orang yang dinasehati tersebut ada yang menjadikan hawa nafsunya menjauh dari nasehatku, tidak mau menerimanya bahkan mentahdzirnya. Aku memohon kepada Allah untuk saudara-saudaraku semuanya taufiq dan hidayah-Nya serta keselamatan dari tipu muslihat dan makar Syaithan.


Ada tiga orang yang menyertai si pencela ini, yang dua di Makkah dan Madinah dan kedua-duanya dulu muridku di Universitas Islam Madinah. Orang yang pertama lulus tahun 1384-1385 sedangkan yang kedua lulus tahun 1391-1392. Adapun orang yang ketiga berada di ujung selatan negeri ini. Orang yang kedua dan ketiga inilah yang mensifati orang-orang yang menyebarkan risalahku sebagai mubtadi’, dan tabdi’ ini merupakan tabdi’ keseluruhan dan umum, aku tidak tahu apakah mereka faham atau tidak, bahwa yang menyebarkan risalahku adalah ulama dan penuntut ilmu yang disifatkan dengan bid’ah.


Aku berharap mereka mau memberikanku masukan/alasan mereka atas tabdi’ mereka yang mereka bangun secara umum, jika ada, untuk diperhatikan lagi.


Syaikh Abdurrahman as-Sudais, Imam dan Khathib Masjidil Haram, pernah berkhutbah di atas mimbar di Masjidil Haram yang di dalamnya beliau mentahdzir dari sikap saling mencela Ahlus Sunnah satu dengan lainnya. Hendaknya kita alihkan perhatian kita kepada khuthbahnya, karena sesungguhnya khuthbahnya begitu penting dan bermanfaat.


Aku memohon kepada Allah Azza wa Jalla untuk menunjuki seluruh ummat kepada apa yang diridhai-Nya, agar mereka mendalami agama mereka (tafaqquh fid din) dan menetapi kebenaran, serta agar mereka menyibukkan diri dengan perkara yang bermanfaat dan menjauhkan dari apa-apa yang tidak bermanfaat. Sesungguhnya Ia berkuasa dan berkemampuan atasnya. Semoga Sholawat dan Salam senantiasa tercurahkan kepada Nabi kita Muhammad, kepada keluarganya dan para sahabatnya.


_________
Foot Note

[1] Mencela atau menerangkan aib seseorang yang dapat menjatuhkan kredibilitas (keadilan) seseorang.

[2] Membid’ahkan atau menghukumi seseorang sebagai mubtadi’ (Ahlul Bid’ah)

[3] Ini adalah petikan pasal terakhir dari kutaib Syaikh Abdul Muhsin al-Abbad –hafidhahullahu– yang berjudul al-Hatstsu ‘alat-tiba`is Sunnah wa tahdziiri minal Bida’i wa Bayaanu Khatharihi. Risalah ini adalah risalah yang beliau tulis setelah risalah Rifqon Ahlas Sunnah bi Ahlis Sunnah yang dikritisi oleh sebagian oknum (sekelompok kecil menurut istilah beliau). Sebagaimana dalam risalah Rifqon, beliau membahas kaidah-kaidah dasar terlebih dahulu beserta dalil-dalilnya, baru kemudian beliau masuk ke inti pembahasan tanpa berdalam-dalam mengupasnya. Bahkan di dalam mengkritik sesama ahlus sunnah, beliau lakukan dengan lemah lembut dan tanpa menyebutkan orangnya, namun hanya mengisyaratkan saja. Hal ini menunjukkan bagaimana halus dan lembutnya syaikh dalam menasehati dengan harapan orang yang dinasehati tersebut akan kembali. Bukan dengan cara-cara mencela dan membongkar aibnya sehingga menjadikan orang yang dinasehati semakin lari menjauh dari nasihatnya.
Dalam risalah ini syaikh menjelaskan terlebih dahulu tentang sifat-sifat syariat, kekekalan, keuniversalitasan dan kesempurnaannya. Kemudian syaikh menjelaskan definisi Sunnah dan Bid’ah dengan menyertakan dalil-dalilnya, beliau terangkan dengan gamblang tentang bahaya bid’ah dan kewajiban mentahdzirnya sembari beliau bantah pemahaman yang menyatakan adanya bid’ah hasanah. Beliau juga menerangkan perbedaan antara Mashlahah Mursalah dan menyatakannya bukan sebagai bentuk bid’ah. Beliau menjelaskan pula tentang kewajiban berpegang dengan sunnah baik ushul maupun furu’nya, lengkap dengan dalil dan penukilan-penukilan ucapan ulama salaf. Sebelum menjelaskan tentang bahaya fitnah tajrih (mencela) dan tabdi’ (membid’ahkan), syaikh menerangkan diantara jenis bid’ah yang sering dilalaikan ummat, yaitu bid’ah menguji manusia dengan perseorangan, yang kebanyakan beliau nukil dari ucapan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah.

[4] Beliau adalah al-Allamah al-Muhaddits al-Faqih az-Zahid al-Wara’ asy-Syaikh Abdul Muhsin bin Hammad al-‘Abbad al-Badr –semoga Allah memelihara beliau dan memperpanjang usia beliau dalam ketaatan kepada-Nya dan memberkahi amal dan lisan beliau-, dan kami tidak mensucikan seorangpun di hadapan Allah Azza wa Jalla.

Beliau lahir di ‘Zulfa’ (300 km dari utara Riyadh) pada 3 Ramadhan tahun 1353H. Beliau adalah salah seorang pengajar di Masjid Nabawi yang mengajarkan kitab-kitab hadits seperti Shahih Bukhari, Shahih Muslim, Sunan Abu Dawud dan saat ini beliau masih memberikan pelajaran Sunan Turmudzi. Beliau adalah seorang ‘Alim Robbaniy dan pernah menjabat sebagai wakil mudir (rektor) Universitas Islam Madinah yang waktu itu rektornya adalah al-Imam Abdul Aziz bin Bazz –rahimahullahu-.

Beliau sangat dekat dengan al-Imam al-Allamah Abdul Aziz bin Bazz –rahimahullahu-, bahkan karena kedekatan beliau dengan al-Imam, ketika Imam Bin Bazz tidak ada (tidak hadir) maka Syaikh Abdul Muhsinlah yang menggantikan beliau, sehingga tak heran jika ada yang mengatakan bahwa Universitas Islam Madinah dulu adalah Universitasnya Bin Bazz dan Abdul Muhsin.

Semenjak kecil beliau telah biasa berkutat dengan ilmu, sehingga ketika beliau telah menginjak dewasa, tampak pada beliau perangai dan skill sebagai seorang muhadits yang ulung, yang sering dirujuk oleh masyaikh dan thullabul ilmi lainnya. Kedekatan beliau dengan masyaikh kibar telah mengukir keilmuan beliau hingga saat ini, dimana usia beliau saat ini kurang lebih 75 tahun dan beliau masih sanggup untuk memberikan muhadharah dan nasihat dan menyampaikan pelajaran hadits (terutama Sunan Abi Dawud) baik riwayah maupun dirayah. Beliau juga masih menjadi dosen di Universitas Islam Madinah dengan izin khusus kerajaan yang mana hal ini menunjukkan kesungguhan beliau dalam berdakwah dan menuntun ummat ke jalan yang lurus dan benar.

Diantara guru-guru beliau adalah :

  • al-Allamah asy-Syaikh Muhammad bin Ibrahim –rahimahullahu

  • al-Allamah Abdullah bin Abdurrahman al-Ghaits –rahimahullahu

  • al-Allamah asy-Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Bazz –rahimahullahu

  • al-Allamah asy-Syaikh Muhammad Amin asy-Syinqithy –rahimahullahu

  • al-Allamah asy-Syaikh Abdurrahman al-Afriqy –rahimahullahu

  • al-Allamah asy-Syaikh Abdur Razaq Afifi –rahimahullahu

  • al-Allamah asy-Syaikh Umar Falatah –rahimahullahu

dan masih banyak lagi. Yang disebutkan di atas adalah guru-guru beliau yang paling mempengaruhi diri beliau.

Beliau memiliki banyak karangan dan rekaman kaset-kaset ilmiah yang melimpah, diantara karya tulisnya adalah :

          ‘Isyruuna Hadiitsan min Hadiitsil Bukhaariy

          ‘Isyruuna Hadiitsan min Shohihil Imam Muslim

          Min Akhlaaqi Rasulil Kariim

          Aqidah Ahlus Sunnah wal Jama’ah fish Shahabatil Kiram

          Fadhlu Ahlil Bait wa Uluwwu Makanatihim ‘inda Ahlis Sunnah wal Jama’ah

          Aqidah Ahlus Sunnah wal Atsar fil Mahdi al-Muntazhar

          Ar-Raddu ‘ala ar-Rifa’iy wal Buthy

          Al-Intisharu lishahaabati al-Akhyar fi raddi abathil Hasan al-Maliki

          Asy-Syaikh Abdul Aziz bin Bazz rahimahullahu namuwdzaj minar Ra’iylil Awwal

          Asy-Syaikh Umar bin Abdirrahman Falatah wa kaifa araftuhu

          Al-Ikhlash wal Ihsan wal Iltizaamu bisy-Syari’ah

          Fadhlul Madinah wa Aadabu Sukkanaha wa Ziyarotiha

          Rifqon Ahlas Sunnah bi Ahlis Sunnah

          Bi ayyi aqlin yakunu tadmir wa tafjir jihaadan

          Fathu Qowiy al-Matin Syarh Arba’in Nawawi

          Syarh Hadits Jibril fi ta’limis dien

          Kaifa Nastafiidu min Sunnati Nabawiyah

Dan masih banyak lainnya. Beliau juga memiliki banyak kaset-kaset ceramah yang terekam, diantaranya adalah :

          Syarh Mukhtashor Alfiyyah as-Suyuthi (57 Kaset)

          Al-Qirwaniyyah (14 Kaset)

          Syarh Shahih al-Bukhary (623 kaset dan belum selesai)

          Sunan an-Nasa`iy (414 kaset)

          Sunan Abi Dawud (272 kaset/3 CD)

          Kitabush Shiyam min Lu’lu’ wal Marjan (7 kaset)

          Aadabul Masyi ilash Sholah (14 kaset)

Dan masih banyak lainnya lagi. Ilmu dan waktu beliau benar-benar berkah, apalagi di usia beliau yang lebih dari tujuh puluh, beliau masih sempat dan sanggup memberikan nasehat beliau bagi generasi muda salafiyin.

Beliau memiliki putra yang juga ‘alim yang bernama Syaikh Abdur Razaq bin Abdul Muhsin al-Abbad, yang produktif dan cemerlang. Beliau memiliki banyak murid, diantaranya adalah :

  • Syaikh al-Allamah Rabi’ bin Hadi al-Madkhaly

  • Syaikh al-Allamah Ubaid al-Jabiry

  • Syaikh al-Allamah Abdul Malik Ramadhani al-Jazairy

  • Syaikh al-Allamah Sulaiman ar-Ruhaily

  • Syaikh al-Allamah Ibrahim ar-Ruhaily

Dan masih banyak lagi.

Tidak diragukan lagi, beliau adalah ‘Alim Robbaniy saat ini yang dianggap paling senior. Namun, sungguh tak beradab, tatkala Syaikh al-‘Alim ini dicerca bahkan direndahkan oleh sebagian manusia-manusia yang tak tahu diri yang masih ingusan namun merasa sok alim. Mereka merendahkan dan menjatuhkan kewibawaan Syaikh dengan menyatakan bahwa Syaikh Abdul Muhsin bermanhaj tamyi’ (lunak terhadap ahlul bid’ah) atau tidak faham realita saat ini (tuduhan ini seperti pendapatnya sururiyin yang menyatakan ulama tak faham waqi’/realita) tentang beberapa perkara fitnah dimana Syaikh Abdul Muhsin memiliki sikap yang berseberangan dengan beberapa masyaikh.

Mereka, para pemuda ingusan yang ghuluw tersebut, dengan kedangkalan ilmunya dan dibakar oleh semangat jahiliyahnya, berani mencela risalah Syaikh yang berjudul Rifqon Ahlas Sunnah bi Ahlis Sunnah, dan mereka mengutip perkataan beberapa masyaikh kiram (yang mulia) tentang dilarangnya menyebarkan risalah ini. Wallahul musta’an.

Falhamdulillah, Syaikh yang mulia ini bangkit dan mengklarifikasi isi risalahnya terdahulu dari para pengkritik, bahkan beliau mentahdzir salah seorang murid beliau yang menurut beliau sudah berlebihan dalam bersikap. Maka, risalah al-Hatstsu ‘ala ittiba`is Sunnah wa tahdzir minal bida’ wa bayaanu khathariha ini muncul dan beredar, menunjukkan kekokohan manhaj Syaikh yang diperpeganginya sebagaimana manhajnya guru-guru beliau terdahulu.

[5] Bid’ah menguji manusia adalah menguji manusia dengan perseorangan atau individu tertentu. Bid’ah ini mulai merebak di tengah-tengah pemuda yang berintisab dengan salafiyin yang menjadikan individu-individu tertentu sebagai tolok ukur berwala’ dan baro’. Mereka sering menanyakan, “bagaimana pandangan antum terhadap fulan dan fulan?”. Apabila orang yang dimaksud tersebut adalah orang yang mereka puji maka orang lain haruslah memujinya, dan apabila orang yang dimaksud adalah orang yang dicela maka orang lain juga harus turut mencelanya, karena apabila tidak maka orang tersebut akan dicela pula.

[6] Pemboikotan atau Isolir.

[7] Saling memutus hubungan.

[8] Orang yang bermanhaj lunak terhadap Ahlul Bid’ah.

[9] Yang beliau maksudkan di sini adalah Syaikh Falih bin Nafi’ al-Harby –hadaahullahu-, sebagaimana telah maklum di kalangan Mahasiswa Islam Madinah tatkala Syaikh Abdul Muhsin memberikan ceramah dan menjabarkan isi kutaibnya ini. Hal ini diperkuat dengan munculnya tahdzir dari dua Masyaikh Yordan, yakni Syaikh Muhammad Musa Nashr dan Syaikh Salim bin Ied al-Hilaly –hafidhahumallahu-, dan diikuti oleh ulama lainnya seperti Syaikh Rabi’ bin Hadi, Syaikh Ubaid al-Jabiri dan selain mereka hafizhahumullahu.

[10] Pencela atau orang yang gemar mencela.

[11] Transkrip kaset ini telah disebarkan ke situs www.sahab.net dan www.anasalafi.net, yang dikumpulkan dan ditranskrip oleh Abu Adunah Ied al-Jazairi dengan judul Rudud wa Masa`il fil Jarh wa Ta’dil. Kami memiliki kopian transkrip ini dan beberapa transkrip dari kaset-kaset Syaikh Falih –hadaahullahu– lainnya yang isinya tahdzir dan tajrih kepada mayoritas Ulama Ahlus Sunnah, seperti Syaikh Abubakar Jabir al-Jazairi dikatakan jahil, Syaikh Muhammad Jamil Zainu dikatakan bukan ulama dan tak dapat membedakan antara salafi dan hizbi, syaikh Musa Nashr dan Husain al-Awaisyah dikatakan di atas manhaj kaum hizbiyun, Syaikh Abdurrazaq bin Abdul Muhsin dikatakan tamyi’ sebagaimana manhajnya Syaikh al-Allamah Abdul Malik Ramadhani yang juga beliau tuduh tamyi’, dan masih banyak lagi.

[12] Dalam kaset-kaset dan kesempatan lainnya, berpuluh-puluh masyaikh salafiyin tidak selamat dari tajrih dan bahkan tabdi’ beliau. Oleh karena itu Syaikh Ubaid al-Jabiri pernah mengeluarkan maklumat di penghujung tahun 1424 yang isinya mengklarifikasi tabdi’ Syaikh Falih kepada beberapa masyaikh salafiyin seperti Syaikh Ibrahim ar-Ruhaili, Sulaiman ar-Ruhaili, Tarhib ad-Dausary dan lain-lain. Terakhir, beberapa Syaikh Kibar seperti Syaikh al-Allamah Rabi’ bin Hadi al-Madkholy dan Syaikh Ahmad Yahya an-Najmi membantah dan menasehati Syaikh Falih bin Nafi’ al-Harby. Semoga Allah memberkahi para ulama kita yang saling menasehati dalam rangka menetapi kebenaran dan kesabaran.

[13] Penyebaran utamanya adalah syabakah sahab.net dan anasalafi.net. Al-Allamah asy-Syaikh DR. Rabi’ bin Hadi al-Madkholi telah memberikan nasehat yang cukup pedas kepada webmaster syabakah www.anasalafi.net untuk memperhatikan ushlub dakwahnya, dan sekarang website ini menjadi pembela utama Syaikh Falih dan tetap meniti jalannya sehingga website ini telah menjadi website Haddadiyah gaya baru. Beliau juga menasehatkan bagi www.sahab.net dan situs-situs salafiy lainnya untuk memperhatikan risalah-risalah yang akan dimuat lebih cermat tentang maslahat dan madharatnya, dan beliau juga menasehatkan supaya tidak memasukkan artikel-artikel dari orang-orang yang (tidak dikenal) dan hanya menggunakan kunyah. Semoga Allah memberkahi ilmu Syaikh Rabi’ bin Hadi al-Madkholy –Hafidhahullahu-.

[14] Kekerasan, baik dengan sikap yang bengis, tidak ramah, tidak mau senyum kepada sesama muslim dan perangai-perangai buruk lainnya.

[15] Perilaku yang menyebabkan manusia lari dari kebenaran, enggan menerimanya dan menjauh dari ahli kebenaran.

[16] Sekarang coba perhatikan situs www.salafy.or.id [dahulu sebelum mereka akhirnya dinasehati oleh ustadz-ustadz mereka, namun sebagian mereka membuat website gelap seperti fakta.blogsome.com dan lainnya]!!! Pembaca budiman akan mendapatkan bahwa modal utama yang dijajakan situs ini adalah tahdzir dan tajrih. Mereka mengklaim bahwa situs ini adalah situs Jarh wa Ta’dil di Indonesia, aduhai sungguh mudah mengklaim daripada membuktikan, sebagaimana peribahasa mengatakan ad-Da’awiy maa lam tuqiimu ‘alaiha bayyinatin abna’uhaa ad’iyaa’ (Pengaku tanpa disertai bukti hanyalah pengaku-ngaku belaka).

Syaikh al-Allamah Abdul Muhsin al-Abbad telah menjelaskan kekeliruan klaim Jarh wa Ta’dil ini dalam transkrip tanya jawab beliau dengan seorang Yamani, yang dimuat di situs www.calltoislam.com (Forum). Silakan dirujuk karena besar manfaatnya.

Terlebih lagi, seorang pembaca yang berakal, pasti akan mengetahui dengan gamblang bagaimana manhaj ghuluw (ekstrim dalam mencela dan membid’ahkan) tidak akan menghasilkan kemanfaatan bagi ummat, bahkan akan menimbulkan perpecahan di tubuh ummat sendiri. Sebagaimana pernah ditanyakan kepada Syaikh Salim al-Hilaly dan Syaikh Muhammad Musa Nashr –hafidhahumallahu- tentang hal ini (i.e. perpecahan di tubuh salafiyah), maka mereka berdua –hafidhahumallahu- telah memberikan jawaban yang indah dan memuaskan.

Syaikh Salim –hafidhahullahu– berkata : “Sebenarnya terdapat sekelompok orang yang tidak memiliki rasa takut kepada Allah, yang berupaya untuk memecah-belah para ulama salaf dengan menyebarkan berita-berita bohong, dan mengarang kejadian-kejadian fiktif yang sebenarnya tidak ada, membesar-besarkan kesalahan, sibuk dengan qila wa qola dan mengadu domba. Wajib bagi para da’i dan ulama salaf agar waspada terhadap kelompok-kelompok pembuat makar dan keji ini, yang mengingatkan aku tentang pemikiran yang dibawa Al-Haddadi sejak sepuluh tahun yang lalu yang menamakan kelompok mereka dengan As-Sunnah;(berkedok) memerangi ahli bid’ah dan sebagainya, ternyata mereka berupaya untuk mencela para ulama salaf yang terbaik. Mereka mencela Ibn Hajar, an-Nawawi bahkan hampir saja mereka mencela Syeikhul Islam dan Ibn al-Qayyim. Kini kelompok new-Haddadi ini muncul kembali dengan wajah baru, maka para ulama harus benar-benar waspada kepada kelompok yang zhalim terhadap diri mereka, zhalim terhadap para penyeru kepada dakwah salafiyyah”.

Syaikh Musa melanjutkan, “Namun ada orang-orang yang berusaha memecah belah barisan ulama, mengadu domba antara penuntut ilmu sebagaimana yang diterangkan Syeikh Salim dalam jawabannya tadi. Dari sini kami peringatkan kepada para du’at salafi untuk mewaspadai gerakan ini yang targetnya hanyalah kejelekan terhadap dakwah salaf yang telah tersebar di seantero dunia Islam bahkan diseluruh dunia, sebagaimana menyebarnya api jika disulut minyak”.

[17] Kata Aridlun di sini sebagai na’t/sifat.

[18] Kata Aaridlon di sini sebagai haal.

 

 

[Dialihbahasakan oleh Abu Salma dari kutaib al-Hatstsu ‘alat-tiba`is Sunnah wa tahdziiri minal Bida’i wa Bayaanu Khathariha, editor dan muraja’ah Ust. Abu Abdurrahman Thayyib, Lc dengan beberapa tambahan footnote dari beberapa sumber.]

 


Related articles

Leave a Reply

Your email address will not be published. Fields with * are mandatory.