Hajr Ekstrim bagian 6

 Oct, 07 - 2006   9 comments

PENJELASAN TENTANG HAKIKAT SIKAP EKSTRIM
DI DALAM MENGISOLIR DAN MENVONIS BID’AH
Petikan dari ucapan para ulama salafiyin
Bagian VI : Beberapa Syubuhat dan Jawabannya (Membela Syaikh Ahmad Surkati yang dituduh Aqlani Mu’tazili)

اعداد :
أبو سلمى الأثري

Beberapa Syubuhat dan Jawabannya (2)

Berikut ini adalah Syubuhat kedua yang sering dilontarkan oleh sebagian kalangan untuk melegalisasikan tindakan hajr bahkan tabdi’-nya ke saudaranya sesama ahlus sunnah. Berikut ini adalah syubuhat mereka beserta tanggapan dan jawabannya.

2. Membela Syaikh Ahmad Surkati yang dituduh Aqlani Mu’tazili dan menggunakan nama Al-Irsyad dan bekerja sama dengan orang-orang di dalamnya.

Hantaman kedua sebagai sarana untuk menembakkan hajr dan tabdi’ kepada saudara mereka sesama ahlus sunnah adalah, adanya kerja sama dengan Al-Irsyad dan orang-orang di dalamnya. Mereka mengatakan bahwa Al-Irsyad adalah organisasi hizbiyah ahlul bid’ah. Pendirinya (yaitu Syaikh as-Surkati) adalah aqlani mu’tazili, ahlul bid’ah dan antek-antek Belanda.[1] Dalam hal ini, mereka sangat sentimen dengan Ma’had Ali Al-Irsyad Surabaya. Sehingga karena nama inilah, para du’at salafiyin yang berada di dalamnya, dimakan ‘daging’nya mentah-mentah hingga tak bersisa satu pun.

Ada dua poin utama yang akan kami klarifikasikan, yaitu (1) tuduhan terhadap Syaikh Ahmad as-Surkati sebagai ahlul bid’ah, mu’tazili dan agen Belanda dan (2) kerjasama dan penggunaan nama Al-Irsyad pada Ma’had Ali yang dipimpin oleh al-Ustadz Abu ‘Auf as-Salafi. Berikut ini adalah jawaban terhadap syubuhat tersebut –dengan menyebut asma Alloh dan sifat-sifat-Nya yang mulia dan tinggi-.

a. Menjawab tuduhan terhadap Syaikh Ahmad Muhammad as-Surkati

Sebelum menjawab tuduhan-tuduhan tersebut, ada baiknya kita mengenal sosok Syaikh Ahmad as-Surkati ini. Sejarah tentang beliau sebenarnya sangat sedikit apabila dibandingkan dengan tokoh-tokoh Islam lainnya, tercatat ada beberapa sumber yang menjadi mashdar (sumber) utama di dalam menjelaskan hakikat dakwah beliau, diantaranya adalah :

1. Tarjamat al-Ustadz asy-Syaikh Ahmad Surkati yang ditulis oleh adik Syaikh as-Surkati sendiri, yaitu Abu Fadhl Sati Muhammad Surkati.
2. Tarjamat al-Hayat al-Ustadz asy-Syaikh Ahmad as-Surkati al-Anshori as-Sudani, karya Umar Sulaiman Naji.
3. Tarikh Thawrat al-Ishlah wal Irsyad bi Indonesia, karya Umar Sulaiman Naji.
4. Tarikh Hadhramaut as-Siyasi, karya Sholah Abdul Qadir al-Bakri.
5. Tarikh Harokatu al-Ishlah wal Irsyaad wa Syaikhul Irsyaadiyin Ahmad Muhammad as-Surkati fil Indunisiya yang ditahqiq oleh DR. Ahmad Ibrahim Abu Syauq.
6. Asy-Syaikh Abdul Aziz ar-Rasyid Siiratuhu wa Hayaatuhu[2] karya DR. Ya’qub Yusuf.
Dan beberapa buku lainnya yang berbahasa Indonesia dan Eropa.

Oleh karena itu, kepada orang yang menuduh dakwah syaikh dengan tuduhan keji hendaknya menelaah buku-buku tarikh tersebut di atas dan karya-karya Syaikh Surkati yang sebagiannya telah dicetak, baik di dalam negeri maupun di luar negeri.

Biografi Ringkas Syaikh Surkati

Beliau adalah Ahmad bin Muhammad bin Muhammad Al-Anshori yang diberi gelar Surkati. Syaikh Ahmad diyakini memiliki hubungan nasab dengan sahabat Jabir bin Abdillah al-Anshori. Adapun gelar Surkati diambil dari bahasa Dongula Sudan, yang artinya adalah “banyak kitab”, karena sur artinya adalah “kitab” dan katti artinya adalah “banyak”. Gelar ini dilekatkan kepada dirinya karena nenek beliau memiliki banyak kitab sepulang dari menuntut ilmu. [3]

Syaikh Ahmad dilahirkan di desa Udfu, Jazirah Urqu, Dongula, Sudan pada tahun 1292 H atau 1875 M. Saudara beliau, yaitu Sati Muhammad menuturkan bahwa Ahmad Surkati kecil telah memiliki kelebihan dibandingkan anak-anak lainnya berupa kejernihan fikiran dan kecerdasan. Hal ini yang mendorong ayahnya, Syaikh Muhammad, memperlakukan beliau lebih istimewa dibandingkan saudara-saudara lainnya. Beliau aktif menghadiri majlis-majlis dan pengajian-pengajian ilmiah. Beliau senantiasa menyibukkan diri dengan menghafal al-Qur’an dan pelajaran-pelajaran agama. [4]

Syaikh Ahmad meneruskan pelajaran di Ma’had Syarqi Nawi, sebuah ma’had yang dipimpin oleh seorang ulama kenamaan di Dongula. Setelah selesai, ayah beliau menginginkan agar Ahmad Surkati melanjutkan pendidikannya di Al-Azhar Mesir sebagaimana dirinya dulu. Namun maksud tersebut tidak terpenuhi, karena Sudan ketika itu dikuasai oleh pemerintahan al-Mahdi yang bermaksud melepaskan diri dari kekuasaan Mesir. Raja Sudan saat itu yang bernama Abdullah ath-Thaya’isi tidak memperbolehkan orang-orang Sudan bepergian ke Mesir. [5]

Namun Syaikh Ahmad tidak patah semangat untuk menuntut ilmu ke luar negeri, di dalam kondisi yang kurang memungkinkan, beliau akhirnya memutuskan untuk berangkat ke Makkah pada tahun 1314 H/1869 M tanpa memberitahu keluarganya. Setelah di Makkah, hubungan beliau dengan keluarganya di Sudan terputus karena terputusnya jalan haji antara Sudan dan Hijaz. [6]

Syaikh Ahmad hanya tinggal sebentar di Makkah, lalu beliau pindah di Madinah. Di Madinah, beliau memperdalam ilmu agama dan Bahasa Arab selama kurang lebih empat setengah tahun. Dua guru beliau yang terkenal di Madinah adalah dua orang ahli hadits kenamaan asal Maroko, yaitu Syaikh Shalih dan Umar Hamdan. Beliau juga belajar al-Qur’an pada Syaikh Muhammad al-Khuyari. Beliau belajar ilmu fikih kepada dua ulama ahli fikih saat itu, yaitu Syaikh Ahmad Mahjub dan Syaikh Mubarak an-Nismat. Beliau mendalami bahasa Arab kepada seorang ahli bahasa yang bernama Syaikh Muhammad al-Barzanji. [7]

Dari Madinah, beliau kembali lagi ke Makkah dan tinggal di sana selama kurang lebih 11 tahun dan beliau mendalami fikih madzhab Syafi’iyah. Di Makkah, Syaikh Ahmad adalah orang Sudan pertama yang mendapatkan gelar sebagai al-‘Allamah pada tahun 1326 H. Di antara guru di sana adalah al-Allamah Syaikh Yusuf al-Khayyath dan Syaikh Syu’aib Musa al-Maghribi. Setelah itu beliau membuka madrasah di sana dan mengajar. Beliau juga tercatat sebagai pengajar tetap Masjidil Haram. Beliau juga aktif berkorespondensi dengan ulama-ulama al-Azhar Mesir, sehingga beliau cukup dikenal di kalangan ulama-ulama al-Azhar pada saat itu. [8]

Dari hubungan korespondensi itulah, akhirnya ulama al-Azhar merekomendasikan nama beliau kepada Jami’at al-Khair, sebuah perhimpunan masyarakat Arab pertama di Indonesia yang dikelola oleh Alu Ba’alawi[9], supaya Syaikh Ahmad mau menjadi guru dan mengajar di Hindia Timur (nama Indonesia tatkala itu). Akhirnya berangkatlah beliau ke Jawa disertai dengan dua orang sahabatnya, Syaikh Muhammad Abdul Hamid as-Sudani dan Syaikh Muhammad Thayib al-Maghribi. [10]

Di tangan Syaikh as-Surkati, madrasah Jami’at al-Khair menjadi maju pesat. Oleh karena itulah, Jami’at al-Khair mendatangkan lagi guru-guru dari luar negeri yang keseluruhnya berasal dari Sudan. Mereka itu adalah : Muhammad Aqib as-Sudani, Abul Fadl Muhammad Sati adik Syaikh Ahmad, Muhammad Nur al-Anshori dan Hasan Hamid al-Anshori. Namun, sambutan baik ini tidak berlangsung lama, karena persinggungan dan perselisihan dengan kalangan Alu Ba’alawi semakin melebar. Puncak-puncaknya adalah kejadian yang dikenal dengan sebutan “Fatwa Solo”, dimana syaikh Ahmad ditanya oleh seorang keturunan Arab yang tinggal di Solo, Sa’ad bin Sungkar dengan pertanyaan tentang hukum perkawinan antara wanita Alu Ba’alawi dengan non Ba’alawi, syaikh as-Surkati menjawab dengan singkat dan tegas akan kebolehannya menurut hukum syara’ yang adil. [11]

Kejadian “Fatwa Solo” ini mengguncang masyarakat Alu Ba’alawi dan menganggapnya sebegai suatu penghinaan besar-besaran. Mereka pun menekan Syaikh Ahmad agar mencabut fatwa tersebut namun Syaikh Ahmad tetap bersikeras tidak mau mencabut fatwanya tersebut. Bahkan Syaikh Ahmad memberikan jawaban beliau lebih terperinci dengan menyebutkan dalil-dalilnya di dalam risalah Surat al-Jawab yang dimuat di dalam surat kabar “Suluh Hindia” pimpinan H. Oemar Said Tjokroaminoto. Dengan demikian, masyarakat Alu Ba’alawi semakin marah kepada beliau, mereka mengucilkan beliau dan bermaksud mengusir beliau dari Jami’at al-Khair dan tanah Jawa. Maka Syaikh Ahmad mundur dari Jami’at pada tahun 1332 H/ 1914 M. [12]

Sebagaimana perjanjian, seharusnya fihak Jami’at menanggung tiket perjalanan kembali Syaikh Ahmad dan kawan-kawannya ke Makkah, namun Jami’at menolaknya. Di tengah kesulitan inilah, beberapa orang keturunan Arab non Ba’alawi, yaitu Umar Manqusy, Sholih ‘Ubaid dan Sa’id bin Salim al-Masy’abi datang kepada beliau dan memintanya untuk tetap di Jawa dan mengajar. Mereka akan menanggung semua kebutuhan Syaikh Ahmad dan akan menyediakan pula madrasah yang akan dipimpin oleh Syaikh Ahmad. Syaikh Ahmad menerima tawaran tersebut dan akhirnya pada 15 Syawal 1332 H yang bertepatan dengan 6 September 1914 dibukalah Madrasah Al-Irsyad Al-Islamiyah dan didirikannya Jum’iyah Al-Ishlah wal Irsyad Al-Arobiyah yang menaungi madrasah tersebut. [13]

Bagi masyarakat Arab non Ba’alawi, keluarnya Syaikh Ahmad dari Jami’at al-Khair dianggap sebagai awal kebangkitan dan perjuangan al-Musaawah (persamaan derajat), keadilan dan ilmu di Indonesia. Di lain fihak, kalangan Alu Ba’alawi melancarkan reaksi yang cukup keras, mereka menuduh Syaikh Ahmad sebagai pemecah belah dan merendahkan ahlul bait. Kecaman-kecaman ini mereka lakukan dengan segala cara. Mereka mendekati sultan-sultan Hadhramaut dan menghasut mereka untuk melarang kaum Irsyadi[14] masuk ke negeri itu. Mereka juga mengirim surat tertanggal 5 Dzulhijjah 1336 kepada Sultan Hijaz Husain bin Ali supaya melarang mereka melaksanakan haji, dengan tuduhan penghina ahlul bait dan khowarij. [15]

Sungguh, apabila kita mencermati perjalanan dakwah Syaikh Ahmad, maka akan ada keserupaan dengan apa yang dialami dengan perjalananan dakwah Syaikhul Islam Muhammad bin Abdul Wahhab, dimana dakwah mereka mendapatkan perlawanan dari musuh-musuh tauhid, mereka dicela dan dihujat, digelari dengan gelar-gelar buruk khowarij, penghina ahlul bait, pelaku bid’ah dan sebagainya. Mereka juga difitnah dengan cara menghasut penguasa-penguasa muslim agar menolak mereka. Mereka juga berhasil membangkitkan perlawanan melawan bid’ah dan kesyirikan, membantah kesesatan dan penyimpangan. Sebentar lagi saya akan turunkan muqoronah (perbandingan) sebagian karya Syaikh as-Surkati dengan karya Syaikhul Islam Muhammad bin Abdul Wahhab dan ulama-ulama ahlus sunnah lainnya.


Karya-karya Syaikh as-Surkati

Syaikh Ahmad as-Surkati memiliki beberapa karya tulis, sebagian besar karya-karyanya berbentuk sanggahan dan bantahan terhadap penyimpangan-penyimpangan aqidah, ibadah ataupun amalan lainnya dari al-Qur’an dan as-Sunnah yang shahih. Beliau adalah orang pertama di Indonesia yang memperkenalkan kritik sanad hadits di dalam beristinbath (menggali hukum), dan menolak hadits-hadits yang tidak shahih di dalam beristidlal (berdalil). Bagi orang yang menelaah risalah Syaikh Ahmad ini dengan obyektif dan inshaf (adil) niscaya akan menemukan kedalaman ilmu dan pemahaman penulisnya. Berikut ini adalah sebagian karya-karya Syaikh Ahmad yang cukup terkenal :

– Surat al-Jawab (1915), berisi tentang bantahan ilmiah mengenai masalah kafa’ah (kufu di dalam pernikahan) yang dipegang oleh Alu Ba’alawi. Di dalam risalah ini beliau membantah pemahaman kafa’ah yang keliru dengan argumentasi dari al-Qur’an, as-Sunnah yang shahih, ucapan para salaf dan ulama mujtahid. Risalah ini disebarkan pertama kali oleh surat kabar “Suluh Hindia”.

– Tawjiihul Qur’an ila Adabil Qur’an (1917), risalah ini menguatkan risalah Surat al-Jawab sebelumnya dengan tambahan-tambahan ilmiah yang lebih memperkuat argumentasi beliau di dalam membantah faham kafa’ah Alu Ba’alawi. Di dalam risalah ini beliau menjelaskan bahwa kedekatan terhadap Nabi bukanlah didasarkan atas nasab, namun haruslah dengan kesungguhan di dalam ittiba’ kepadanya Shalallahu ‘alaihi wa Salam. Beliau juga menjelaskan bahwa keutamaan seorang muslim letaknya bukanlah pada nasabnya, namun pada ketakwaan dan keilmuannya.

– Adz-Dzakhiirah al-Islamiyyah (1923), adalah majalah bulanan yang beliau pimpin. Majalah ini hanya terbit sampai edisi ke-10. Beliau lebih banyak menuangkan pemikiran beliau di dalam majalah ini berupa fatwa-fatwa, pembahasan hadits-hadits lemah dan palsu, bahasan ilmiah fikih, tafsir, nasehat dan peringatan-peringatan, dan lain-lain. Di dalam majalah ini beliau banyak menghantam syirik, bid’ah, khurofat dan takhayul yang telah mendarah daging di hati kebanyakan kaum muslimin.

– Al-Masa`il ats-Tsalats (1925) yang berisi tentang masalah ijtihad – taklid, sunnah – bid’ah dan ziarah kubur –tawasul. Risalah ini sebenarnya merupakan makalah sebagai bahan debat dengan Ali ath-Thayib dari kalangan Alu Ba’alawi. Debat ini sendiri digagas oleh PERSIS dan direncanakan dilaksanakan di Bandung. Namun Ali ath-Thayib membatalkannya dan meminta supaya debat dipindah di Masjid Ampel Surabaya. Namun akhirnya dia membatalkan lagi sehingga tidak ada lagi perdebatan.

– Al-Washiyatul Amiriyah (1918) berisi tentang anjuran-anjuran kepada sunnah dan kebajikan. Buku ini senantiasa diawali dengan seruan ayyuhal mu’min (wahai sekalian orang beriman)…

– Al-Adab Al-Qur’aniyah yang diterjemahkan oleh Van Der Plaas ke dalam bahasa Belanda dengan judul Zedeleer Uit Den Qoran. Buku ini ditujukan kepada orang-orang Islam yang berpendidikan Belanda.

– Al-Khawatir al-Hisan (1941) adalah risalah beliau yang terakhir ketika beliau telah berusia lanjut dan buta matanya yang berisikan syair-syair beliau.

Syaikh juga sering memberikan jawaban pada kegiatan tanya jawab dengan organisasi-organisasi Islam semisal PERSIS dan Muhammadiyah. Tidak sedikit fatwa-fatwa beliau dimuat dan disebarkan oleh majalah-majalah dan buku-buku mereka. Syaikh senantiasa menghabiskan waktunya untuk ilmu, belajar dan mengajar. Beliau seringkali memberikan ceramah dan yang paling terkenal adalah pengajian umum yang disebut dengan Muhadharah Islamiyah pada tahun 1937 di hadapan murid-muridnya dengan bahasan Tafsir. Beliau di dalam penyampaiannya menjelaskan akan pentingnya Bahasa Arab di dalam memahami ilmu tafsir dan ilmu agama-agama lainnya. Beliau juga menjelaskan metodologi tafsir yang diperpegangi oleh para salaf, yaitu bil ma’tsur, yakni dengan pendekatan penafsiran Al-Qur’an dengan Al-Qur’an sendiri, dengan hadits dan dengan ucapan para sahabat. [16]

Pendekatan antara Syaikh Ahmad as-Surkati dengan Ulama Ahlus SunnahDalam Masalah Tauhid

Tatkala mayoritas kaum muslimin terbelenggu oleh khurofat dan takhayul bid’ah yang penuh dengan kesyirikan, dan ajaran tauhid masih asing di jiwa mereka. Bahkan musuh-musuh tauhid menciptakan fobia terhadap dakwah tauhid dengan gelar-gelar tanfir yang menyebabkan manusia lari dari kebenaran, hingga sampai-sampai ancaman dan tindakan fisik tidak segan akan mereka lakukan kepada siapa saja yang menyelisihi mereka, maka bangkitlah Syaikh Ahmad rahimahullahu menyuarakan hakikat tauhid dan kebenaran yang sejati, beliau tidak takut ancaman dan celaan orang-orang yang gemar mencela hingga akhir hayat beliau.

Syaikh Ahmad as-Surkati memiliki pandangan yang hampir 100 % sama di dalam masalah tauhid dengan Syaikhul Islam Muhammad bin Abdul Wahhab dan ulama ahlus sunnah lainnya. Bahkan syaikh as-Surkati terinspirasi oleh ajaran pemurnian yang dibawa oleh Mujaddid Syaikhul Islam Muhammad bin Abdul Wahhab. Hal ini tampak dari ucapan Syaikh Ahmad dan murid-muridnya di dalam Mabadi Al-Irsyad tahun 1938 menyebutkan : “Awal mula suara yang membela cakrawala dan mengejutkan orang-orang yang lalai lagi mabuk karena tenggelam di dalam bid’ah, khurafat dan kesesatan adalah suara Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab dari Nejed di pedalaman jazirah Arab…”

Syaikh Ahmad di dalam Muhadharah Islamiyah menegaskan aspek tauhid yang ditekankan oleh Ahlus Sunnah, beliau rahimahullahu berkata : “Pengakuan seorang hamba, pengakuan akan keyakinannya dan keimanannya akan kemandirian Alloh dengan segala sifat kesempurnaan-Nya dan pengesaan terhadap-Nya dalam segala hal tersebut. Dan keyakinan seorang hamba bahwasanya tiada sekutu bagi-Nya dan tiada yang menyerupai-Nya di dalam kesempurnaan-Nya, dan hanya Dia-lah yang berhak untuk disembah dan diibadahi oleh seluruh makhluk-Nya…”

Ucapan syaikh di atas mengandung penekanan kepada tauhid Uluhiyah dan Asma’ wa Shifat yang juga ditekankan oleh para ulama ahlus sunnah. Karena pada kedua tauhid inilah kebanyakan kaum muslimin menyimpang dan menyeleweng. Di dalam majalah “al-Mursyid” (Majalah Al-Irsyad), vol 24, th. 1939, pandangan-pandangan Syaikh sama persis dengan pandangan Imam Ibnu Abdil Wahhab di dalam masalah tauhid uluhiyah. Syaikh Ahmad menyebutkan ibadah-ibadah yang sering dilakukan oleh orang Hadhrami (Arab terutama Alu Ba’alawi) yang seringkali menyimpang dan terjatuh kepada kesyirikan. Ibadah yang seharusnya hanya ditujukan kepada Alloh mereka tujukan kepada selain Alloh, diantara ibadah tersebut adalah :

1. Sholat, puasa, haji dan sedekah.
2. Adz-Dzabh (penyembelihan), yang mayoritas kaum muslimin saat itu banyak mempersembahkan sembelihannya kepada kuburan keramat dan tempat-tempat yang disakralkan lainnya.
3. An-Nadzar (bernadzar) kepada orang-orang suci, para wali atau orang-orang shalih yang dikultuskan.
4. Istighotsah dan Isti’anah kepada selain Alloh yang lagi marak di tengah-tengah kaum muslimin.
5. Bersumpah dengan selain nama Alloh.
6. Do’a, yang saat itu mayoritas ulama kaum muslimin menyatakan bahwa do’a bukanlah bagian dari ibadah.
7. Al-Khouf al-Ghaibi wal Khusyu’ wal Khudu’ ar-Ruuhi (rasa takut di dalam batin dan tunduk serta patuh rohani) yang banyak dilakukan kaum muslimin kepada mayit orang-orang shalih, wali atau orang yang dikultuskan.
8. Menghalalkan apa yang diharamkan Alloh dan mengharamkan apa yang dihalalkan Alloh, menurut syaikh hal ini adalah kafir.
9. Membawa jimat, mantera atau cincin yang diyakini dapat memberi madharat dan mashlahat.
10. Berkeyakinan adanya selain Alloh yang mengetahui yang ghaib dan adanya wali-wali kutub yang melakukan pengaturan terhadap alam semesta.

Menurut syaikh orang yang demikian adalah musyrik kafir. Dan masih banyak lagi pemikiran-pemikiran beliau yang serupa dengan para ulama ahlus sunnah di dalam masalah aqidah dan tauhid.

Dalam Masalah Sunnah dan Bid’ah

Apabila membaca tulisan-tulisan Syaikh rahimahullahu di dalam majalahnya Adz-Dzakhiirah al-Islamiyyah, terutama risalahnya yang berjudul al-Masa`il ats-Tsalats, niscaya kita akan mendapatkan bahwa syaikh memiliki pemahaman yang komprehensif di dalam masalah sunnah dan bid’ah. Beliau menjelaskan dengan ilmiah dan sistematis dalil-dalil pengharaman bid’ah dari al-Qur’an dan as-Sunnah yang shahih beserta ucapan-ucapan para ulama salaf. Padahal di zaman itu bid’ah adalah suatu hal yang lazim dan sunnah adalah suatu hal yang sangat asing. Namun Syaikh rahimahullahu tetap menegakkan kebenaran dan menjelaskan hakikat masalah ini. Beliau tidak gentar menghadapi serangan celaan dan hujatan, baik lisan maupun fisik yang dilancarkan oleh musuh-musuh beliau dari kalangan sufiyah Alu Ba’alawi dan masyarakat lokal tradisionalis.

Syaikh Surkati sangat anti terhadap bid’ah, di dalam al-Masa`il ats-Tsalats (hal. 45) beliau berkata :

لاتجوز الزيادة في الشرع وبالخصوص في العبادات لأن الله لم يأذن بذلك بل نهى عنه في كتابه ووبخ عليه من سبق من الأمم…

“tidak diperbolehkan sama sekali adanya penambahan di dalam syara’, terutama di dalam masalah ibadah karena Alloh di dalam kitab-Nya telah melarangnya dan mencela orang-orang terdahulu yang berbuat demikian…”

Beliau kemudian membawakan ayat-ayat al-Qur’an yang menunjukkan argumentasi atas pernyataan beliau di atas, lalu beliau melanjutkan (hal. 45) :

والإسلام هو ما جاء به الرسول عن ربه فقط لا ما يخترعه فلان وفلان من صور العبادات

“Dan Islam adalah apa yang dibawa oleh Rasulullah dari Rabb beliau saja, bukannya yang dibuat-buat oleh fulan dan fulan dari bentuk ibadah…”.

Setelah itu beliau membawakan ayat al-Qur’an surat al-Maidah ayat 3, kemudian beliau memberikan komentar sebagai berikut (45-46) :

فعلم من ذلك إن الإسلام كامل لايحتاج إلى زيادة احد وإن الله لم يرضى لنا غيره ولا يعقل أن نتقرب إلى الله بما لم يرضاه.

“Dari sini telah diketahui bahwa Islam telah sempurna, tidak memerlukan lagi tambahan-tambahan dari seorang pun, dan bahwa Alloh tidak akan meridhai kita selain dengan Islam. Suatu hal yang tidak masuk akal apabila kita mendekatkan diri kepada Alloh dengan jalan yang tidak diridhai-Nya…”

Kemudian syaikh setelah panjang lebar menyebutkan hadits-hadits nabi yang shahih tentang hal ini, beliau rahimahullahu menyimpulkan bahwa semua bid’ah itu sesat di dalam perkataannya (hal. 46) :

هذا وبعد أن علمنا بنص الكتاب والسنة أن الزيادة في الدين لاتجوز وأن العمل الديني الذي لم يكن عليه أمر الله والرسول مردود وأن ذلك هو عين البدعة المحكوم عليها بالضلالة اذ ليس بعد الحق إلا الضلال

“Demikianlah, dan setelah kita mengetahui dengan nash dari al-Qur’an dan as-Sunnah bahwasanya penambahan di dalam agama itu tidak diperbolehkan dan semua perbuatan agama yang tidak didasarkan atas perintah Alloh dan Rasul-Nya adalah tertolak dan inilah hakikat daripada bid’ah yang dihukumi sesat. Dan tidak ada setelah kebenaran melainkan hanyalah kesesatan.”

Tidak hanya itu, bahkan syaikh juga berkata tentang orang yang menyatakan adanya bid’ah hasanah : “Barangsiapa yang menganggap baik suatu amalan dan menjadikannya sebagai bagian agamanya dalam rangka beribadah kepada Alloh dengan agama tersebut, maka ia berarti telah mengada-adakan syariat yang dilarang oleh Alloh. Orang yang berbuat demikian artinya telah musyrik.”[17]

Dalam Masalah Ijtihad dan Taqlid

Dalam masalah taqlid dan ijtihad, syaikh memiliki pandangan yang sama dengan para ulama ahlus sunnah wal jama’ah. Pandangan beliau sama persis dengan pandangan Imam asy-Syaukani, al-Ma’shumi dan juga al-Albani di dalam buku-buku mereka. Padahal di zaman syaikh rahimahullahu kaum sufiyun Alu Ba’alawi sangat gencar menyebarkan faham wajibnya taklid kepada para ulama, terutama dari kalangan mereka. Bahkan mayoritas mereka beranggapan bahwa taqlid adalah bagian dari syariat Islam dan pintu ijtihad telah ditutup bagi selain imam-imam mereka.

Syaikh Surkati rahimahullahu menyatakan bahwa kewajiban muslim adalah berpegang dengan Kitabullah dan sunnah yang shahih, dan tidak wajib berpegang kepada suatu madzhab apapun dan beliau menukil ucapan-ucapan empat imam madzhab yang menjelaskan kewajiban berpegang kepada Kitabullah dan Sunnah Rasul saja. Beliau menyatakan bahwa pendapat para ulama bukanlah dalil namun yang menjadi dalil adalah Kitabullah dan Sunnah Rasulullah yang shahih saja.

Beliau juga menjelaskan hakikat taqlid dan ijtihad serta syarat-syarat bagi mujtahid. Karena betapa banyak para penyeleweng yang menuduh orang yang menyatakan bahwa pintu ijtihad masih terbuka dan haramnya bertaklid buta, mereka menuduhnya dengan tuduhan bahwa dia telah mewajibkan tiap muslim untuk berijtihad. Ini adalah suatu tuduhan yang sangat keliru sekali dan tidak berpijak dari argumentasi yang kuat. Karena menurut syaikh, tidak semua orang dapat berijtihad dan tidak semua taklid itu haram.

Bagi yang ingin mengetahui lebih lengkap masalah ini bisa merujuk kepada risalah Masa`il ats-Tsalats beliau (hal. 19-39), niscaya Anda akan mengetahui bagaimana dalamnya pemahaman syaikh di dalam masalah ini dan kemiripan terhadap apa yang disebut oleh Syaikh al-Muhaddits Muhammad Nashiruddin al-Albani di dalam muqoddimah Shifat Sholat Nabi dan Bid’ah Ta’ashshub Madzhabi yang disusun oleh murid beliau rahimahullahu, Syaikh Muhammad Ied Abbasi rahimahullahu.

Menghidupkan Ilmu hadits dan kritik hadits
Syaikh adalah orang pertama di Indonesia yang menghidupkan ilmu kritik hadits, dan menyatakan tidak semua hadits boleh diterima dan diamalkan. Karena hadits Rasulullah perlu diteliti isnadnya dengan ilmu hadits yang kompleks yang telah diletakkan oleh para ulama hadits dari zaman dahulu. Beliau adalah orang yang kritis di dalam berdebat dan berdiskusi dengan lawan beliau dengan mengkritisi derajat riwayat hadits yang dijadikan argumentasi lawan beliau. Majalah adz-Dzakhirah adalah saksi beliau di dalam hal ini.
Di dalam buku murid dan sahabat beliau, Ahmad Al-Aqib al-Anshori yang berjudul Fashlul Khithab fi Ta’yidi Surat al-Jawab (hal. 45) sebagai bantahan terhadap buku Irsalul Shihab ala Suratil Jawab tulisan Muhammad Shadaqoh Dahlan yang membantah risalah Syaikh Surkati Surat al-Jawab, Syaikh Ahmad al-Aqib menukil ucapan Syaikh Ahmad Surkati tentang mensikapi khilaf yang terjadi, beliau rahimahullahu berkata : “Tidak setiap perbedaan dapat dipegangi, adanya khilaf atau perselisihan mengharuskan adalah penelitian (tahqiq).” Kemudian beliau menukil ucapan-ucapan imam yang mendukung hal ini, diantaranya ucapan Imam asy-Syafi’i yang mengatakan : “Apabila telah shahih suatu hadits dari nabi maka itulah yang harus diambil, tidak boleh ditinggalkan karena pendapat lainnya.” Dan ucapan-ucapan imam lainnya yang semisal.[18]Di dalam risalah ini, Syaikh al-Aqib menunjukkan lemahnya hujjah dan dalil Muhammad Dahlan, beliau rahimahullahu juga menerangkan kelemahan dan kepalsuan hadits-hadits yang dijadikan sandaran oleh Dahlan. Dalam hal ini syaikh al-Aqib sering beristifadah dalam masalah tashhih (penshahihan) dan tadh’if (pendhaifan) hadits kepada gurunya, al-Allamah Ahmad Surkati rahimahullahu. Di dalam majalah adz-Dzakhiirah al-Islamiyyah banyak sekali bab yang diulang-ulang tentang penjelasan kedhaifan dan kepalsuan suatu hadits.


Syaikh Ahmad as-Surkati dan Salaf

Syaikh Ahmad rahimahullahu tidak sedikit menyebutkan tentang kewajiban untuk kembali kepada as-Salaf ash-Shalih. Di dalam al-Masa`il syaikh Surkati menyeru kaum muslimin untuk mencontoh kaum salaf. Nilai-nilai Islam dari salaf yang murni inilah yang seharusnya dicontoh selain Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa Salam. Menurut Syaikh rahimahullahu, yang dimaksud dengan salaf adalah kaum muhajirin dan anshor dan siapa saja yang mengikuti jejak mereka hingga hari kiamat. Syaikh menjelaskan bahwa mereka (orang-orang yang mengikuti jejak salaf sampai kiamat) adalah orang yang tidak bertaklid buta namun mereka adalah orang yang senantiasa mengkaji Islam dari sumber-sumber pertamanya. (Lihat al-Masa`il bab Ijtihad dan Taqlid).

Oleh karena itu, Ustadz Abubakar Aceh di dalam bukunya yang berjudul “Salaf” yang terbit tahun 1970 dan diterbitkan oleh penerbit Permata Jakarta (hal. 10) menyatakan bahwa Syaikh Ahmad Surkati adalah pelopor gerakan salaf di Jawa.

Syaikhuna Ali Hasan al-Halaby al-Atsari hafizhahullahu setelah membaca hampir keseluruhan karya Syaikh as-Surkati mengatakan tentang Syaikh Ahmad as-Surkati rahimahullahu tatkala ditanya oleh Ustadzuna Abdurrahman bin Abdil Karim at-Tamimi as-Salafy, beliau hafizhahullahu berkata :

هو سلفي بل شيخ السلفي

“Beliau adalah salafiy bahkan beliau adalah syaikhnya salafiy!!!” [19]

Syaikh Muhammad bin Abdil Wahhab al-Aqil juga mengatakan hal yang sama bahwa as-Surkati adalah salafiy setelah beliau membaca tulisan-tulisan as-Surkati yang diajukan oleh Ustadzuna Yazid Jawwas dan Abdurrahman at-Tamimi tatkala pertemuan di Lombok beberapa tahun silam.[20]

Risalah Syaikh as-Surkati yang berjudul al-Masa`il ats-Tsalaats yang diterbitkan oleh Darul Ulum, Kairo Mesir pada tahun 1977 dimuroja’ah (dikoreksi) dan ditaqdim (diberi kata pengantar) oleh Syaikh Muhammad bin Abdillah as-Saman dari Kairo Mesir. Syaikh Muhammad as-Saman berkata di dalam kata pengantarnya (hal. 5) :

المؤلف هو احد كبار العلماء الدين السلفيين الذين لهم اثر كبير في نشر عقيدة السلفية في جاوة بصفة خاصة والدعوة إلى الله بصفة عامة, ويعتبر المؤلف العلامة صاحب مدرسة اسلامية كبرى تتلمذ اليها العديد من الشباب المسلم المستنير …

“Penulisnya adalah salah satu ulama agama salafi yang senior, yang mana beliau memiliki andil besar di dalam menyebarkan akidah salaf di jawa secara khusus dan menyebarkan dakwah yang menyeru kepada Alloh secara umum. Penulis ini dianggap sebagai Allamah pemilik sekolah Islami yang besar, yang banyak para pemuda muslim yang tercerahkan berguru kepadanya…”[21]


Kekeliruan Syaikh Ahmad as-Surkati rahimahullahu

Sebagaimana manusia lainnya, syaikh rahimahullahu juga terjatuh ke dalam beberapa kesalahan karena tidak ada manusia yang ma’shum selain Nabiyullah Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa Salam dan para Rasul ‘alaihimus Sholatu was Salam. Sebagaimana pula al-Hafizh Ibnu Hajar al-Asqolani dan Imam an-Nawawi jatuh ke dalam aqidah Asy’ariyah, Ibnu al-Jauzi dan Ibnu Hazm jatuh ke dalam aqidah jahmiyah, Imam Abu Hanifah dan sahabat-sahabatnya ke dalam aqidah murji’ah fuqoha’, dan juga ulama-ulama lainnya rahimahumullahu jami’an.

Syaikh Ahmad rahimahullahu juga jatuh ke dalam masalah kalamiyah dan terpengaruh oleh madrasah Muhammad Abduh dan Sayyid Rasyid Ridha rahimahumallahu. Beliau rahimahullahu jatuh ke dalam kesalahan penolakan hadits-hadits ahad di dalam beberapa masalah aqidah, sepeti nuzul-nya Isa, keluarnya Dajjal dan Imam Mahdi dan selainnya. Kesalahan beliau ini tergolong kesalahan yang cukup fatal, namun sebagaimana ulama lainnya, kesalahan beliau ini tidak layak untuk dicela dan dihujat, dan semoga Alloh mengampuni kesalahan beliau dan memberinya pahala atas ijtihad beliau yang keliru ini.

Imam Sa’id al-Musayyib rahimahullahu berkata :

ليس من عالم ولا شريف ولا ذوفضل إلا وفيه عيب ولكن من الناس من لاينبغي أن تذكر عيوبه زمن كان فضله أكثر من نقصه ذهب نقصه لفضله.

“Tidak ada seorang alim pun, ataupun seorang yang mulia dan memiliki keutamaan, melainkan ia pasti memiliki cela. Akan tetapi ada sebagian manusia yang tidaklah sepatutnya mereka menyebutkan cela-cela para ulama ini. Barangsiapa yang keutamaannya lebih banyak dariada kekurangannya, niscaya hilanglah kekurangannya karena banyaknya keutamaannya.”[22]

Sungguh benar Imam Sa’id al-Musayyib rahimahullahu, apabila kita cela dan kita hujat setiap orang yang memiliki kesalahan, niscaya tidak ada seorang imam dan ulama pun yang tersisa melainkan mereka semua tercela.

Sungguh indah pula apa yang diutarakan oleh al-Imam adz-Dzahabi rahimahullahu di dalam kitab besar beliau, Siyaru a’laamin Nubalaa`(V/271), beliau rahimahullahu berkata :

ثم إن كبير من أئمة العلم إذا كثر صوابه وعلم تحريه للحق واتسع علمه وظهر ذكاؤه وعرف صلاحه وورعه واتباعه تغفر له زللـه ولاتضلله ونطرحه وننسى محاسنه, نعم ولا نقتدي به في بدعته وخطئه…

“Kemudian, sesungguhnya pembesar dari para imam ilmu agama apabila lebih banyak benarnya, dikenal akan keberfihakannya pada kebenaran, keluasan ilmunya, kecemerlangan kecerdasannya, dia dikenal akan kesalihan, kewaro’an dan ketauladanannya, maka diampuni segala ketergelincirannya, kita tidak menvonisnya sesat dan tidak pula mendepaknya serta melupakan semua kebaikannya. Iya, kita memang tidak mengikutinya di dalam kebid’ahan dan kesalahannya…”[23]


Menuduh Syaikh Surkati sebagai Mubtadi’ adalah suatu kezhaliman

Atas sebagian ketergelinciran dan kesalahan-kesalahan syaikh Surkati ini, sebagian pemuda yang ghuluw, berargumentasi dengan perkataan ustadz-ustadz mereka, menyatakan dengan tegas bahwa syaikh Surkati adalah ahlul bid’ah dan mubtadi’. Mereka berargumentasi bahwa tidak mungkin seorang salafi ahlus sunnah menolak hadits-hadits ahad di dalam masalah aqidah, tidak mungkin seorang salafi ahlus sunnah menolak khobar Rasulullah tentang keluarnya Dajjal dan Imam Mahdi, turunnya Isa dan selainnya… Sebagian mereka menggunakan uslub yang lebih ‘lunak’, mengganti kata mubtadi’ dengan mu’tazili aqlani… namun saya tidak menemukan perbedaan antara sebutan mu’tazili dengan mubtadi’… keduanya sama. Karena setiap mu’tazili pastilah mubtadi’. Berbeda apabila dikatakan, pada diri fulan ada pemahaman, pemikiran atau ucapan mu’tazili. dan keduanya ini adalah berbeda, maka perhatikanlah!

Apabila mereka menyatakan bahwa syaikh Surkati jatuh kepada kesalahan ini dan itu, Syaikh Surkati terpengaruh pemahaman mu’tazilah, maka selesailah perkara. Risalah ini tidak perlu diperpanjang, karena pendapat kita sama. Namun dikarenakan mereka melebihi kapasitas mereka dengan melemparkan tabdi’ dan celaan, bahkan tidak hanya selesai sampai di situ, mereka juga membangun kaidah al-Wala’ dan al-Baro’ dengannya, dengan kaidah إن لم يكن معنا فعلينا (apabila tidak beserta kami maka adalah musuh kami), atau kaidah من لا يبدع من نبدع فهو مبتدع (barangsiapa yang tidak mentabdi’ orang yang kita tabdi’ maka dia adalah mubtadi’), sehingga tembakan hajr, tahdzir, jarh dan semisalnya melayang kepada setiap yang menyelisihi mereka, Allahumma, maka saya katakan ini adalah hizbiyah gaya baru berkedok salafi, yaitu haddadiyah gaya baru.

Maka saya katakan kepada mereka, wahai pencela ingatlah firman Alloh :

مَا يَلْفِظُ مِن قَوْلٍ إِلا لَدَيْهِ رَقِيبٌ عَتِيدٌ

“Tidaklah suatu perkataan yang diucapkan melainkan padanya ada malaikat pencatat yang dekat.”

Dan firman-Nya :

وَلاَ تَقْفُ مَا لَيْسَ لَكَ بِهِ عِلْمٌ إِنَّ السَّمْعَ وَالْبَصَرَ وَالْفُؤَادَ كُلُّ أُولَئِكَ كَانَ عَنْهُ مَسْئُولاً

“Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati, semuanya itu akan dimintai pertanggung jawabannya.”

Pernahkah dirimu mendengar nasehat seorang penashat yang etrpercaya, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Salam :

ليس منا من لم يجل كبيرنا ويرحم صغيرنا ويعرف لعالمنا حقه

“Bukanlah termasuk golongan kami siapa saja yang tidak menghormati orang yang lebih tua, menyayangi yang lebih muda dan mengenal hak orang alim kita.” (HR Ahmad dan Hakim, dihasankan oleh Al-Albani di dalam Shahihul Jami’ no. 4319).

Tahukah dirimu bahwa Imam Ahmad bin Hanbal pernah berkata :

إخراج الناس من السنة شديد

“Mengeluarkan manusia dari sunnah itu sungguh perbuatan yang sangat besar.”[24]

Sudahkah dirimu faham wahai pencela kaidah ahlus sunnah di dalam tabdi’ sebagaimana telah saya paparkan di atas pada bab sebelumnya… jika belum faham, maka akan saya ulang lagi secara ringkas…

Imam Albani rahimahullahu berkata :

ليس كل من وقع في البدعة وقعت البدعة عليه وليس من وقع في الكفر وقع الكفرعليه

“Tidak setiap orang yang jatuh ke dalam kebid’ahan maka (dengan serta merta) kebid’ahan jatuh atasnya (menjadi mubtadi’) dan tidak setiap orang yang jatuh ke dalam kekufuran maka (dengan serta merta) kekufuran jatuh atasnya (menjadi kafir.”

Kemudian, fahamkah Anda dengan syarat iqomatul hujjah sebelum vonis ditegakkan?!! Sudahkah Anda menegakkan hujjah kepada Syaikh as-Surkati rahimahullahu sebelum Anda mentabdi’ beliau?!! Atau adakah ulama lain yang telah menegakkan hujjah kepada beliau sehingga beliau layak divonis sebagai mubtadi’?!!

Fahamkah Anda dengan kaidah-kaidah ini?!! Jika belum maka saya katakan :

علي نحت القفافي من معادنها و ما علي إن لم تفهم البقر

Tugasku adalah mengukir bait-bait syair dari sumbernya

Dan bukanlah tugasku jika sapi itu tidak paham

Pernahkah Anda mendengar, bahwa Imam Muhammad Nashr al-Marwazi, salah seorang Imam dan hafizh, yang mana Imam Hakim menyebut beliau sebagai imam ilmu hadits pada zamannya tanpa ada perselisihan sedikitpun, yang mana beliau mendengar dan mengambil ilmu dari imam-imam besar semisal Imam Yahya at-Tamimi, Ishaq bin Rahawaih, Ibnu Abi Syaibah dan selain mereka, namun beliau jatuh kepada kesalahan di dalam masalah keimanan, yaitu lafazh al-Qur’an adalah makhluk. Imam adz-Dzahabi di dalam Siyaru A’laamin Nubala’ berkata tentang nya:

ولو أن كلما أخطأ إمام في اجتهاده في آحاد مسائل خطأ مغفورا له قمنا عليه وبدعناه وهجرناه منا سلم معنا لا ابن نصر ولا ابن منده ولا من هو أكبر منهما والله هو هادي الخلق إلى الحق وهو أرحم الراحمين فنعوذ بالله من الهوى والفظاظة

“Kalau seandainya setiap kali seorang imam bersalah di dalam ijtihadnya pada suatu masalah dengan kesalahan yang terampuni, kemudian kita menvonisnya bid’ah dan menghajrnya, maka tak ada seorangpun yang selamat dari kita, tidak Ibnu Nashr (al-Marwazi), tidak pula Ibnu Mandah, ataupun yang lebih senior dari mereka berdua. Dan Allohlah Dia yang memberi petunjuk hamba-Nya kepada kebenaran dan Dia adalah yang paling penyayang. Kita memohon perlindungan dari hawa nafsu.”[25]

Imam an-Nasa`i, yang mana Imam adz-dzahabi mensifatkan beliau sebagai orang yang tiada bandingannya di dalam hafalan, sebagai orang yang paling dalam ilmunya di dalam ilmu hadits dan ilal (penyakit-penyakit)nya, dan para perawinya adalah perawi Muslim, Abu Dawud, Abu Isa dan selainnya, namun beliau agak sedikit tasyayu’ (berfaham kesyia’ah-syi’ahan), beliau menyimpang di dalam memusuhi musuh-musuh Imam Ali Radhiyallahu ‘anhu semisal Mu’awiyah, ‘Amr bin ‘Ash dan selainnya dari kalangan para sahabat yang ahlus sunnah menjaga lisan mereka darinya.[26]

Imam ath-Thohawi, Imam adz-Dzahabi menyatakan bahwa pada beberapa pembahasan di dalam kitab aqidahnya tentang hudud (batasan), ghoyat (tujuan), arkan (rukun) Alloh, dll dan tidak ada petunjuk dari salaf tentang penafian semacam ini terhadap berita tentang sifat-sifat Alloh, juga kepada kesalahan beliau yang jatuh kepada irja’, namun hal ini tidaklah menghalangi para ulama untuk mengambil masalah aqidah dari bukunya, bahkan mereka menganggapnya sebagai buku terbaik di dalam masalah aqidah yang pernah ditulid, mereka puji buku ini dan mereka ajarkan di ma’had-ma’had ilmiah.[27]

Imam Ibnu Abdil Barr, yang jatuh kepada masalah tabaruk, beliau membolehkan bertabaruk dengan keutamaan, kedudukan dan maqom para nabi dan orang-orang shalih, sebagaimana di dalam kitab beliau at-Tamhid (XIII/26), beliau juga menakwil sifat-sifat Alloh, semisal tertawanya Alloh beliau takwil dengan Alloh merahmati hambanya, dan lain lain. [28] Namun beliau tetap menjadi imam Ahlus Sunnah.

Inilah kaidah mulia yang dimiliki oleh Ahlus Sunnah, namun sayangnya tidak difahami oleh mereka yang mengaku-ngaku sebagai Ahlus Sunnah. Sungguh benar perkataan seorang penyair :

الدعاوى ما لم تقيم عليها بينة ابناءها ادعياء

Para pendakwa yang tidak menopang dakwaannya dengan argumentasi

Maka dia hanyalah para pendakwa belaka

Ingatlah wahai saudaraku yang gemar mencela, hak ulama yang wajib kita penuhi adalah menghormati mereka, menjaga lisan kita dari mereka dan membela mereka dari tuduhan-tuduhan dusta dan keji. Imam Ibnu Asakir rahimahullahu berkata :

واعلم رحمك الله أن لحوم العلماء مسمومة

“Ketahuilah semoga engkau dirahmati Alloh, bahwa daging para ulama itu beracun”[29]

Oleh karena itu jagalah lisan Anda dari berkata buruk kepada ulama, apalagi yang telah wafat mendahului Anda, yang mana amalnya –insya Alloh- jauh melebihi Anda, bahkan mungkin menjangkau mata kakinya saja tidak sampai. Apabila Anda melihat ada kesalahan pada mereka, maka jagalah diri Anda dari berburuk sangka kepadanya, jagalah lisan Anda dari mencela, mengumpat, menghujat apalagi sampai melaknat dan menvonisnya sebagai ahli bid’ah dan kesesatan tanpa disertai burhan dan bashirah, karena apabila Anda mau muhasabah (introspeksi) niscaya kesalahan Anda akan lebih banyak dan besar daripada mereka.

Karena apabila tidak… maka Anda-lah yang layak untuk dicela dan dihujat, dan Anda lebih layak untuk dikucilkan dan dijauhi, sampai Anda bertaubat kepada Alloh Azza wa Jalla dan mau meninggalkan faham Anda yang menyimpang, walaupun Anda mengklaim sebagai Ahlus Sunnah wal Jama’ah, Salafiyun, al-Firqoh an-Najiyah maupun ath-Tha`ifah al-Manshurah.


Tuduhan 1 : Syaikh as-Surkati mencela Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab dan Wahhabiyah

Di dalam bundel yang berisi sejumlah meriam ‘celaan’ kepada Syaikh as-Surkati rahimahullahu yang dikirimkan oleh beberapa gelintir orang tidak bertanggung jawab dan tidak pula memiliki sikap ilmiah, yang mereka kirimkan bundel tersebut ke hadapan para masyaikh, diantaranya kepada Syaikh Ali Hasan al-Halabi hafizhahullahu untuk menjelaskan hakikat Syaikh as-Surkati dengan hujjah bundelan tersebut.

Diantara tuduhan mereka adalah ucapan Syaikh as-Surkati yang umum yang mensifatkan wahabiyah dengan gerakan yang keras, lalu dengan serta merta mereka mengambil kesimpulan bahwa Syaikh mencela dakwah Syaikh Muhammad bin Abdil Wahhab. Sungguh sangat menyedihkan sekali… bagaimana tidak??? Wong diantara barisan para pengirim tersebut di belakangnya ada para penuntut ilmu dan ustadz yang seharusnya memiliki sikap ilmiah dan teliti, namun mereka dengan gegabahnya mudah sekali mengambil hukum tanpa penelitian dan tahqiq lebih mendalam.

Apabila mereka mau membaca karya dan kumpulan maqolat Syaikh as-Surkati dan murid-muridnya, niscaya mereka akan tahu secara yakin bahwa Syaikh as-Surkati tidak pernah mencela dan melecehkan Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab. Bahkan beliau memujinya. Anehnya mereka menukil dari majalah adz-Dzakhiirah al-Islamiyyah (majalah resmi yang dipimpin oleh Syaikh as-Surkati) untuk melemparkan tuduhan ini, namun mereka tidak mau menyebutkan ucapan Syaikh as-Surkati yang memuji Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab rahimahullahu di dalam majalah yang sama pula, dimana syaikh Ahmad as-Surkati menyatakan bahwa Syaikhul Islam Muhammad bin Abdul Wahhab adalah “Ulama yang sangat bijaksana dan tidak ada satupun pandangannya yang bertentangan dengan pendapat para mujtahid dan selalu didasarkan atas dalil dan hujjah.”[30] Entah mereka melakukan ini karena tidak tahu ataukah untuk melakukan talbis dan tadlis, wallohu ‘alam. Mudah-mudahan mereka melakukannya memang karena mereka tidak mengetahuinya.

Jikalau apabila dikatakan bahwa syaikh mengkritik gerakan atau istilah wahabiyah, maka ada beberapa jawaban mengenai hal ini :

1. Istilah Wahabiyah adalah istilah yang tidak tepat, kecuali apabila Anda membenarkan istilah Wahabiyah?!! Kita telah sama-sama tahu bahwa Wahabiyah adalah istilah yang tidak benar, istilah yang dibuat oleh musuh-musuh dakwah untuk menjauhkan umat dari dakwah Syaikh Ibnu Abdil Wahhab. Oleh karena itu mayoritas ummat Islam fobia dengan istilah ini, dan mereka menganggap dan mengira bahwa Wahabiyah sebagai madzhab ke-5 yang didirikan oleh Syaikh Ibnu Abdil Wahhab yang mengajarkan penyimpangan dan bid’ah-bid’ah. Dengan demikian mencela syaikh as-Surkati karena ucapan beliau kepada “Wahabiyah” tidaklah otomatis sebagai celaan terhadap dakwah Syaikh Ibnu Abdil Wahhab. Oleh karena itu tidak tepat menganggap apalagi menuduh bahwa Syaikh Surkati memusuhi dakwah Syaikh Ibnu Abdil Wahhab dan ini adalah suatu kesalahan dan kezhaliman apabila tidak mau dikatakan suatu kedustaan.

2. Penyandaran terhadap individu tertentu belum tentu menggambarkan hakikat individu tersebut. Apabila ada kaum yang menyebut diri sebagai Wahabiyah, belum tentu dakwah mereka merepresentasikan dakwah Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab yang sebenarnya. Karena betapa banyak pengaku-ngaku menyelisihi hakikat dari pengakuannya. Juga tidak menutup kemungkinan adanya sebagian oknum terutama masyarakat badui atau pedesaan yang terpengaruh oleh dakwah mubarokah ini, mereka menjadi bengis dan kasar lagi keras dikarenakan ketiadafahaman mereka terhadap hakikat dakwah Syaikh Ibnu Abdil Wahhab. Mereka hanya ikut-ikutan saja atau hanya terbakar emosi belaka dan pemahaman mereka masih labil. Hal ini sendiri telah dijelaskan oleh putera-putera dan murid Syaikh Ibnu Abdil Wahhab di dalam risalah-risalah dan buku-buku yang membantah tuduhan-tuduhan dan fitnah keji terhadap dakwah Syaikh Muhammad bin Abdil Wahhab seperti di dalam Durorus Saniyyah dan Da’awa al-Munawwi’in, yang mana mereka menyatakan bukanlah suatu hal yang dipungkiri ada sebagian oknum orang-orang pedesaan yang terpengaruh dengan dakwah ini mereka bersikap keras lagi bengis, sebagian mereka bahkan ada yang mengkafirkan orang yang merokok dan semisalnya, namun ini bukanlah hakikat dakwah Syaikh Ibnu Abdil Wahhab dan dakwah beliau berlepas diri darinya. Oleh karena itu, kritikan terhadap “wahabiyah” tidaklah serta merta merupakan kritikan terhadap dakwah mubarokah tersebut.

3. Bisa jadi dan sangat mungkin juga apabila berita yang sampai ke Syaikh as-Surkati bahwa “wahabiyun” adalah kaum dan kelompok yang keras, yang melakukan ini dan itu. Dan berita yang ia dapatkan adalah muatawafirun (banyak sekali), apalagi di zaman beliau musuh-musuh dakwah Syaikh Ibnu Abdil Wahhab sangatlah banyak dan tersebar ke seluruh penjuru negeri. Kemudian, keadaan juga sangat tidak memungkinkan apabila syaikh menyandarkan dakwahnya kepada Wahabiyah, karena akan menyebabkan fobia dan penentangan besar-besaran. Apabila hanya karena hal ini diambil kesimpulan bahwa syaikh mencela dakwah Syaikh Muhammad bin Abdil Wahhab, niscaya ulama hadits India yang tersohor, Shiddiq Hasan Khan rahimahullahu juga bisa dikatakan sebagai pencela dakwah Syaikh Muhammad bin Abdil Wahhab, karena beliau menyebutkan bahwa wahabiyah adalah para penumpah darah. Dah beliau mendapatkan sumber berita ini dari buku-buku orientalis Kristen.[31] Beliau menyebutkan demikian karena tidak mengetahui hakikat sebenarnya, yang mana apabila beliau tahu hakikat dakwah Syaikh Ibnu Abdil Wahhab sebenarnya niscaya beliau tidak akan mengemukakan hal ini. Wallohu a’lam.

4. Syaikh as-Surkati rahimahullahu dan murid-muridnya memuji Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab dan menganggap beliau sebagai barisan mujaddid Islam. Bahkan syaikh as-Surkati terinspirasi oleh ajaran pemurnian yang dibawa oleh Mujaddid Syaikhul Islam Muhammad bin Abdul Wahhab. Hal ini tampak dari ucapan Syaikh Ahmad dan murid-muridnya di dalam Mabadi Al-Irsyad tahun 1938 menyebutkan : “Awal mula suara yang membela cakrawala dan mengejutkan orang-orang yang lalai lagi mabuk karena tenggelam di dalam bid’ah, khurafat dan kesesatan adalah suara Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab dari Nejed di pedalaman jazirah Arab…” Juga rujuklah kembali pembahasan tauhid Syaikh Surkati di atas yang mirip dengan dakwah Syaikhul Islam Muhammad bin Abdul Wahhab rahimahullahu. Baca pula karya-karya Syaikh mengenai tauhid dan syirik kemudian bandingkan dengan dakwah Syaikh Ibnu Abdil Wahhab. Karena sesungguhnya ibrah itu bukanlah kesesuaian di dalam nama, namun kesesuaian di dalam sifat dan karakter.

Kesimpulan : tuduhan bahwa Syaikh as-Surkati mencela dan menolak dakwah Syaikh Muhammad bin Abdil Wahhab adalah tuduhan batil, palsu, berangkat dari kebodohan akan hakikat dakwah Syaikh, berburuk sangka dan prematur.


Tuduhan 2 : Syaikh as-Surkati adalah antek Belanda

Subhanalloh, tiada kata yang layak terucap melainkan :

سبحان الله هذا بهتان عظيم

“Maha suci Alloh, Ini sungguh adalah suatu kedustaan yang besar.”

Bagaimana tidak, ketika mereka tidak mampu membantah dakwah Syaikh rahimahullahu ini secara ilmiah, maka mereka menghalalkan segala cara untuk menfitnah dan membuat kedustaan terhadap syaikh rahimahullahu. Manhaj mereka ini serupa dan setali tiga uang dengan Shufiyun, Syi’ah dan Hizbut Tahrir yang menuduh Syaikh Muhammad bin Abdil Wahhab sebagai antek-antek Inggris. Karena berangkat dari argumentasi dan hujjah kosong serta kedustaan belaka.

Syaikh Ahmad as-Surkati rahimahullahu sebagaimana dijelaskan oleh para sejarawan Indonesia maupun asing, memiliki hubungan yang erat dengan semua elemen yang ada di negeri ini. Beliau sampai-sampai dikatakan sebagai Syaikhul Masyaikh bagi kalangan Muhammadiyah, Persatuan Islam, Jong Islamieten Bond, Komite Pembelaan Islam Bandung, dan lain lain.[32] Hampir semua dari kalangan mereka menulis peran Syaikh as-Surkati dan menukil sejarah kehidupannya, namun tak ada satupun yang menvonis beliau sebagai antek Belanda kecuali baru pada zaman ini, oleh anak-anak muda yang bukan pakar Sejarah, dan hanya membaca sejarahnya pada satu atau dua buku, dan dengan berani menempatkan diri melebihi mufti, menvonis Syaikh sebagai antek Belanda!!! Subhanalloh.

Perlu diketahui, saat itu Indonesia dikuasai dan dijajah oleh Belanda. Dan pemerintah Hindia Belanda saat itu memiliki pemerintahan di Jawa yang mengatur perundangan di Jawa baik berupa pertanahan, properti, hak milik dan lain sebagainya. Termasuk pemerintah Belanda saat itu memiliki semacam Islamic Advisory Center yang disebut dengan Adviseuur Voor Islamistsche – Zaken. Tidak dipungkiri bahwa Syaikh as-Surkati memiliki hubungan ilmiah diskusi intelektualitas dengan mereka. Saat itu badan Adviseuur ini dipimpin oleh K. Gobee dan dua stafnya, yaitu Dr. G. F. Fijper dan Ch. O. Van der Plas.

Tidak diketahui secara pasti apakah agama mereka ini. Namun yang pasti mereka memberikan persaksian sebagai berikut terhadap Syaikh as-Surkati rahimahullahu :

Fijper berkata : “Saya pribadi kenal baik dengan alim ini di Jakarta. Pada waktu itu selama tiga tahun berturut-turut saya belajar ilmu tafsir dan ilmu fikih kepadanya, seminggu sekali. Saya sering berbincang-bincang dengannya meminta nasehat dan pendapatnya sehubungan dengan urusan pribumi dan golongan Arab yang merupakan tugas saya sebagai penasehat Pemerintah Hindia Belanda.”[33]

Kaitannya dengan pemerintah Hindia Belanda, Fijper berkata tentang Syaikh as-Surkati : “Sebagai seorang muslim yang baik, beliau menjauhkan diri dari pejabat pemerintah, inipun dilaksanakan semenjak muda.” Fijper juga mengemukakan bahwa Ahmad as-Surkati bukanlah tipe seorang sahabat pemerintah kolonial. Ketika Syaikh Ahmad Surkati wafat beliau menyempatkan diri berziarah ke makamnya.[34]

Van der Plas menyebutkan hubungannya dengan Syaikh Ahmad Surkati sebagai berikut :

“Saya bertemu Syaikh Surkati pertama kali tahun 1927. Hati saya penuh dengan kegembiraan, karena saya merasa keikhlasan dan kebesaran hatinya. Dapat dikatakan bahwa baru sekali ini saya bertemu dengan orang seperti dia. Dengan kata lain, selama setengah abad saya belum pernah berjumpa seseorang yang seikhlas al-Ustadz. Pendapatnya adil, keyakinannya kuat dan tawakkalnya kepada Alloh sangat besar. Sangat tepat apabila ia digelari ash-Shadiq.

As-Sayyid as-Surkati saya anggap sebagai guru saya. Selanjutnya saya sering mengunjungi dan berdialog sebagai teman manakala saya merasa gelisah dan penat bekerja. Barangkali as-Sayyid as-Surkati tidak merasakan betapa besar pertolongan yang diberikannya kepada teman-temannya, karena ia memang beramal hanyalah untuk Alloh. Ia selalu memberikan belas kasihan kepada yang memerlukan pertolongan dan sering tanpa memperhatikan kepentingannya sendiri yang dikorbankan.

Saya seringkali menemuinya ketika saya membantu menterjemahkan al-Adab al-Qur’aniyah yang diterbitkan dengan judul “Zedeleer uit den Qoran”. Tujuan penerjemahan buku tersebut adalah untuk mempermudah para pemuda berpendidikan barat memperoleh ketenangan. Sungguh akan terjadi keadaan aman dan tenteram bagi organisasi kemasyarakatan apabila manusia-manusianya mau mengikuti petunjuk-petunjuk yang ada di dalam kitab itu.”[35]

Apakah dengan hubungan semisal ini bisa dikatakan dan diambil kesimpulan bahwa Syaikh adalah antek dan agen Belanda?!! Padahal hubungan beliau dengan mereka adalah hubungan ilmiah, belajar mengajar dan bukan hubungan wala’ ataupun kecintaan terhadap mereka. Terlebih, tidak ada suatu kepastian apakah mereka-mereka ini telah berubah menjadi muslim ataukah masih tetap kafir… Sebagai tambahan, Fijper juga memiliki hubungan baik dengan tokoh-tokoh Islam Indonesia semisal al-Ustadz Ahmad Dahlan rahimahullahu, apakah dengan demikian beliau dapat dengan serta merta dituduh agen Belanda?!!

Adapun hubungan Syaikh dengan Snouck Hurgonje, hanyalah sebatas surat menyurat belaka. Dan itupun isinya tidaklah diketahui secara pasti. Hal ini juga tidak dapat dijadikan sebagai bukti untuk menuduh syaikh sebagai antek Belanda, semoga Alloh melindungi beliau dari segala tuduhan seperti ini. Melihat karakter syaikh, sesungguhnya beliau memiliki karakter gemar berdiskusi dan berhubungan dengan siapa saja, karena pendekatan dakwah beliau adalah tarbiyah atau edukatif. Terlebih, Snouck Hurgonje dalam masa itu dikenal sebagai seorang Belanda yang telah masuk Islam dan memiliki kemampuan di dalam masalah ke’islam’an dan Bahasa Arab. Oleh karena itu, masih banyak kesamaran dan syubuhat yang melingkupi hal ihwal masalah ini. Dengan demikian, kaidah husnuzh zhan haruslah dikedepankan, apalagi ini menyangkut masalah aqidah seorang muslim.

Bagi yang mengamati dan menelaah karya-karya Syaikh, niscaya akan sungguh sangat jauh asumsi ini dari diri Syaikh. Karena seseorang yang memerangi bid’ah, syirik, khurofat, takhayul dan menghidupkan ilmu, sunnah dan ilmu hadits di zaman kegelapan ilmu di Indonesia pada saat itu, maka sungguh sangatlah jauh apabila dia adalah seorang antek yang bemaksud merusak ajaran Islam. Sedangkan di sisi lain, kaum shufiyun Alu Ba’alawi dan tradisionalis, sebagai penghidup dan penyubur kesyirikan, khurofat, takhayul dan bid’ah, yang getol menyerang dakwah Syaikh Ahmad Surkati, tidak pernah terdengar mereka menuduh syaikh sebagai antek Belanda. Namun mereka menyebutnya dengan sebutan khowarij, pencela Ahlul Bait, dan tuduhan-tuduhan keji lainnya. Sungguh, apa yang dilakukan oleh saudara-saudara kita yang menuduh Syaikh Surkati ini akan membuka pintu-pintu keburukan.

Kesimpulan : tuduhan Syaikh Surkati rahimahullahu sebagai antek Belanda adalah tuduhan yang kosong dari bukti, tendensius, penuh dengan kedustaan dan mengada-ada dan berangkat dari kejahilan akan perihal dakwah syaikh rahimahullahu. Semoga Alloh merahmati Syaikh Surkati dan mengampuni dosa-dosa para penuduh beliau yang telah berlaku zhalim padanya.

Tuduhan 3 : Para Ulama Ahlus Sunnah mentahdzir Syaikh Surkati

Syaikh Ubaid al-Jabiri dan Syaikh Ahmad Yahya an-Najmi memberikan jawaban terhadap pertanyaan tentang Syaikh Surkati yang diajukan para penuduh setelah mengirimkan bundel dokumen yang –menurut dugaan kuat saya- sama dengan yang dikirimkan ke Syaikh Ali Hasan al-Halabi hafizhahullahu. Berikut ini akan saya nukilkan ucapan mereka hafizhahumallahu.

Syaikh Ubaid berkata setelah membaca pertanyaan yang menjelaskan tentang Ahmad As-Surkati dan organisasinya:
“Sesungguhnya dari apa yang telah sampai kepadaku[36] dari dokumen yang disebarkan melalui majalah “Adz-Dzakhirah”, maka nampak bagiku secara meyakinkan bahwa organisasi Al-Irsyad yang didirikan oleh seorang yang disebut Ahmad bin Muhammad As-Surkati As-Sudani Al-Anshari adalah organisasi Ikhwaniyyah Siyasiyyah dan bukan di atas Sunnah sama sekali. Namun dia dibangun diatas manhaj organisasi Ikhwanul Muslimin yang didirikan oleh Hasan Al-Banna di Mesir satu kurun masehi yang telah lalu[37]. Oleh karena itu, maka sesungguhnya saya memperingatkan anak-anakku, saudara-saudaraku di Indonesia dan aku mengajak agar jangan mereka berta’awun bersamanya dalam bentuk apapun. Karena sesungguhnya dia bukan salafiyyah walaupun mengaku diatasnya.” (Tanya jawab dengan Syaikh Ubaid pada hari Ahad tanggal 11 September 2005, terekam dalam kaset yang ada pada kami –Ustadz Abu karimah, pen.).

Adapun Syaikh Ahmad An-Najmi hafidzahullah Ta’ala yang mengatakan tentang Ahmad As-Surkati, maka beliau menjawab tentangnya:
“Dia bukan alim salafi dan bukan pula da’i salafi” (Tanya jawab dengan Syaikh An-Najmi pada hari Sabtu, tanggal 10 September 2005, kasetnya ada pada kami, –Ustadz Abu karimah, pen.).[38]

Kemudian dengan dasar ini, maka telah jatuh hukum bahwa Syaikh Surkati adalah hizbiyun siyasiyun bukan termasuk salafiyun sedikitpun. Wajib mentahdzirnya, menjauhinya dan tidak boleh berta’awun dengan mereka.

Di dalam mensikapi hal ini, adalah beberapa perincian sebagai berikut.

Pertama, Di dalam suatu kaidah dikatakan :

الحكم فرع على تصوره

“Menghukumi sesuatu itu cabang dari gambaran keadaannya”

Maka, adalah suatu yang tidak dipungkiri bahwa seseorang pasti akan memberikan jawaban dari pertanyaan yang sampai padanya, atau dengan kata lain seseorang akan menangkap gambaran dari gambaran yang diberikan kepadanya. Apabila gambaran yang diberikan hanyalah yang buruk maka tentu yang ditangkap pastilah keburukan, demikian pula sebaliknya. Lain halnya apabila gambaran yang diberikan adalah gambaran keseluruhan yang adil dan obyektif, tanpa ada penambahan dan pengurangan.

Apabila dokumen yang sampai kepada kedua masyaikh yang mulia ini adalah sama dengan yang sampai kepada Syaikh Ali Hasan, maka tidaklah heran apabila kedua syaikh yang mulia di atas akan memberikan jawaban sebagaimana di atas. Sebagaimana sabda Nabi yang mulia Shallallahu ‘alaihi wa Salam dari Ummi Salamah Radhiyallahu ‘anha, beliau berkata : Rasulullah Shollollohu ‘alaihi wa Salam bersabda :

إِنَّمَا أَنَا بَشَرٌ وَإِنَّكُمْ تَخْتَصِمُوْنَ إِلَيَّ وَلَعَلَّ بَعْضُكُمْ أَنْ يَكُوْنَ أَلْحَنَ بِحُجَّتِهِ مِنْ بَعْضٍ وَأُقْضِي لَهُ عَلَى نَحْوِ مَا أَسْمَعُ فَمَنْ قَضَيْتُ لَهُ مَنَّا حَقَّ أَخِيهِ شَيئًا فَلا يَأْخُذْ فَإِنَّمَا أَقْطَعُ لَهُ قِطْعَةً مِنَ النَّارِ )رواه الخمسة(

“Sesungguhnya aku hanyalah manusia biasa, dan kalian mengadukan perselisihan kalian kepadaku. Bisa jadi sebagian dari kalian lebih mahir dalam mengemukakan hujjahnya dibandingkan lainnya sehingga aku putuskan baginya dengan apa yang aku dengar. Barangsiapa yang aku putuskan baginya dengan (mengambil) sesuatu dari hak saudaranya, maka hendaklah dia tidak mengambilnya karena sesungguhnya telah kupastikan baginya bagian dari api neraka.” (HR Imam yang lima).

Subhanalloh. Ini sungguh adalah suatu hadits yang agung, yang mana Nabi yang ma’shum sendiri mengatakan bisa jadi salah di dalam memutuskan hukum. Lantas bagaimana dengan selain Nabi?!! Oleh karena itu sungguh benar apa yang dikatakan oleh seorang penyair :

يَاابْنَ الكِرَامِ أَلا تَدْنُو فَتُبْصِرَ مَا قَدْ حَدَّثُواكَ فَمَا رَاءٍ كَمَنْ سَمِعَا

Hai anak orang-orang yang mulia, tidakkah kau mendekat yang menyebabkan kamu dapat melihat tentang apa

Yang mereka bicarakan mengenai dirimu, karena sesungguhnya orang yang melihat itu tidak sama dengan orang yang mendengar

Dengan demikian, apa yang dikatakan oleh dua syaikh yang mulia di atas terkait erat dengan berita dan gambaran yang diberikan oleh penanya. Dalam hal ini, kami tidak meragukan kredibilitas kedua syaikh yang mulia di atas sama sekali, namun yang kami ragukan adalah kredibilitas sumber penanya dan dokumen yang mereka berikan kepada dua syaikh yang mulia di atas.

– Apakah dokumen yang diberikan itu adalah dokumen yang dapat dipertanggungjawabkan?

– Apakah dokumen yang diberikan itu adalah dokumen yang ditulis di atas kejujuran, kebenaran, keadilan dan obyektifitas? Ataukah malah sebaliknya???

– Apakah dokumen yang diberikan itu adalah dokumen yang menjelaskan gambaran syaikh Surkati beserta dakwahnya terdahulu dari sumber-sumber terpercaya tanpa ada pemotongan, penghapusan ataupun penambahan-penambahan???

– Ataukah dokumen yang dikirimkan tersebut adalah dokumen yang telah dipermak dan dibuat sedemikian rupa sehingga sebelum dikirimpun maka telah diketahui dengan dugaan secara pasti bahwa jawaban syaikh adalah sebagaimana yang diinginkan penanya???

Wallahu ‘alam bish showab. Apabila dokumen itu sama dengan yang dikirim kepada Syaikhuna Ali Hasan al-Halabi, maka sungguh dokumen tersebut penuh dengan talbis, kedustaan dan iftiraa sebagaimana sebagiannya telah saya jelaskan di atas pada pembahasan sebelumnya.

Kedua : Taruhlah fatwa di atas adalah benar –dan insya Alloh fatwa tersebut adalah benar apabila realitanya adalah demikian-. Namun juga harus diperhatikan, bahwa ada masyaikh lainnya yang menfatwakan berbeda dengan yang di atas, diantaranya adalah 4 masyaikh Yordania dan Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab al-Aqil hafizhahumullahu jami’an.

Apabila mau dikembalikan kepada kaidah yang sering mereka –para penuduh- dengang-dengungkan : “yang memiliki ilmu merupakan hujjah atas yang tidak memiliki ilmu”, yang mana kaidah ini sering mereka dengang-dengungkan di dalam permasalahan Ihya’ut Turats, maka dengan kaidah ini pula maka saya ajukan pertanyaan ini :

– Apakah Syaikh Ubaid dan Syaikh an-Najmi hafizhahumallahu membaca karya-karya Syaikh Surkati keseluruhan ataukah hanya nukilan belaka, tidak sebagaimana masyaikh Yordania terutama Syaikh Ali Hasan yang membaca hampir keseluruhan karya Syaikh as-Surkati rahimahullahu??

– Apakah Syaikh Ubaid dan Syaikh an-Najmi membaca tarikh dan sejarah Syaikh Surkati dari kitab-kitab aslinya yang dapat dipertanggungjawabkan ataukah hanya dari informasi sepenggal sepenggal yang dipilah pilih oleh penyusun dokumen yang dikirimkan kepada mereka, tidak sebagaimana masyaikh Yordania yang membaca buku-buku tarikh beliau?!!

– Apakah Syaikh Ubaid dan Syaikh an-Najmi mengetahui langsung, melihat dan mendengar keadaan Ma’had Ali Al-Irsyad Surabaya sebagaimana masyaikh Yordania melihat langsung, mendengar dan berinteraksi di dalamnya?

Dari sini, manakah yang lebih mengetahui???

Ketiga : Baiklah, taruhlah pendapat-pendapat masyaikh di atas sama-sama kuatnya. Maka apakah layak yang satu mengklaim yang paling benar dan lawannya berada di atas kebatilan kemudian menyalahkan yang lainnya dengan pengingkaran yang keras sampai-sampai mentahdzir dan menghajr saudaranya. Apakah demikian sikap Imam al-Albani dan al-Allamah al-Wadi’i ketika berselisih tentang kesalafiyahan Sayyid Rasyid Ridha??? Apakah mereka yang memegang pendapat Syaikh al-Albani bahwa Sayyid Rasyid Ridha adalah ahlus sunnah layak dituduh dengan aqlani mu’tazili?!! Padahal insya Alloh, kami lebih merajihkan bahwa pendapat yang kuat adalah pendapat Syaikh al-Albani rahimahullahu di dalam masalah ini. Karena biar bagaimanapun Sayyid Rasyid Ridha banyak memberikan kontribusi yang besar bagi dakwah salafiyah. Oleh karena itu, banyak ulama selain Imam al-Albani yang memuji beliau, tanpa memuji kesalahan-kesalahan beliau rahimahullahu.

Keempat : Baiklah, Taruhlah pendapat masyaikh Yordania kurang kuat apabila dibandingkan dengan kedua syaikh di atas. Lantas, apakah dengan demiikian Anda serta merta bebas melayangkan hajr dan tabdi’ di dalam masalah ini kepada saudara-saudara Anda?! Apakah Anda merasa harus untuk menerbangkan celaan, makian dan umpatan kesana kemari?!! Fasubhanalloh, apabila demikian keadaannya maka sungguh Anda telah menyelisihi manhaj salaf di dalam masalah ini…!!!

Kesimpulan : Insya Alloh yang terkuat menurut pandangan kami adalah : Syaikh as-Surkati adalah ahlus sunnah dan tidak layak menuduh beliau dengan tuduhan-tuduhan tidak berdasar. Adapun jawaban dua masyaikh yang mulia maka jawaban tersebut berangkat dari kebatilan dan talbis bukti dokumen yang diajukan.

Tuduhan 4 : Memuji Syaikh Surkati sama dengan membela Syaikh Surkati salah maupun benar.
Ini yang senantiasa mereka dengang-dengungkan walaupun tanpa mereka sadari. mereka menganggap, orang yang memuji syaikh Surkati tidak mau membicarakan kesalahan-kesalahan beliau rahimahullahu. Mereka beranggapan, memuji syaikh Surkati berarti turut membela faham aqlaniyun di dalam menolak khobar Ahad dalam masalah aqidah. Mereka menyangka, membela syaikh Surkati dari tuduhan-tuduhan yang batil sama dengan membela kesalahan-kesalahannya. Bahkan sebagian mereka tidak segan-segan menuduh kami dengan fanatik Surkati, fanatik Irsyadi dan lain sebagainya…

Maka saya katakan, ini adalah kebodohan di atas kebodohan. Karena tidak ada satupun dari kami yang beranggapan seperti anggapan mereka. Bahkan al-Ustadz Abu ‘Auf hafizhahullahu tatkala bertanya kepada Syaikh Ali Hasan tentang perihal Syaikh Surkati rahimahullahu, beliau turut menyampaikan kesalahan-kesalahan Syaikh Surkati untuk melihat bagaimana tanggapan syaikh Ali Hasan. Namun, jawaban syaikh Ali Hasan adalah tetap dan tidak berubah, beliau tetap menganggap Syaikh Surkati rahimahullahu sebagai ahlus sunnah dan pelopor dakwah tauhid salafiyah di Indonesia sembari menyatakan bahwa manusia terkadang salah terkadang benar.

Bahkan, Syaikh Ali Hasan tatkala datang kembali ke Indonesia untuk menghadiri Dauroh yang ke-5, saat itu beliau juga mendapatkan kiriman bundel dokumen gelap dari orang-orang yang tidak dikenal, yang isinya menjelekkan Syaikh Surkati dan Ma’had Ali Al-Irsyad As-Salafi Surabaya, beliau dengan tegas dan lantang menyatakan :

“Kita di dalam daurah–daurah, pelajaran-pelajaran, majlis-majlis serta tulisan-tulisan kita tidak pernah fanatik terhadap seorangpun dari masyayikh meski tinggi kedudukannya. Sesungguhnya kita mencari petunjuk dari Al-Qur’an dan sunnah, kita mengagungkan orang yang mengagungkan Al-Qur’an dan sunnah, kita membantah orang yang menyelisihi keduanya dengan bantahan yang tegak diatas keadilan dan jauh dari metode menimbang yang rusak yang tujuannya untuk mematikan kebenaran serta menghinakan para pengikut kebenaran.

Jika demikian perkaranya maka tidaklah tersembunyi lagi bagi kita keadaan Syaikh Ahmad Surkati rahimahullahu yang merupakan pendiri pertama Jum’iyyah Al-Irsyad, kita mengetahui sejarahnya[39] tapi kita tidak fanatik kepada beliau serta tidak menjadikannya sebagai hizbiyah.

Namun yang wajib diketahui oleh setiap yang memiliki akal dan pandangan bahwa Syaikh Surkati rahimahullahu hidup dinegeri ini satu abad yang lalu dan pada saat itu negeri ini menjadi lahan subur bagi sufisme, penyembah kubur, kesyirikan, bid’ah dan kesesatan. Tidak ada pada waktu itu da’i yang menyeru manusia untuk menolak bid’ah, syirik, bahkan hadits lemah maupun palsu (selain daripada beliau).

Dan di dalam majalah beliau “Adz-Dzakhiirah” terdapat bab-bab yang diulang-ulang tentang penjelasan hadits lemah dan palsu terlebih lagi tentang dialog ilmiah yang amat banyak untuk membela sunnah, akan tetapi (secara jujur) beliau terpengaruh dengan madrasah/pemikiran Syaikh Muhammad Abduh dan Rasyid Ridho dan beliaupun memiliki kesalahan-kesalahan.

Namun beliau mengagungkan Al-Qur’an dan sunnah. Seandainya Allah memberi umur panjang kepada beliau dan memberi kesempatan kepadanya untuk pindah dan bertemu para ulama’ lalu dijelaskan yang benar maka orang yang seperti beliau ini (yakni, da’i pengagung kebenaran, Al-Qur’an dan Sunnah) akan kembali kepada kebenaran.

Adapun yang membandingkan antara dakwah salafiyah sekarang di Indonesia atau yang lainnya dengan dakwah salafiyah pada zaman Syaikh Surkati satu abad yang lampau maka ini adalah perbandingan yang dzalim dan tidak benar.[40] Apabila ada yang ingin mengetahui keadaan seseorang maka hendaklah dia mengenal sekelilingnya, fakta serta madrasah/pemikiran yang selaras ataupun yang menyelisihinya.

Kita mengatakan seperti ini karena sebagian orang menyangka bahwa kita atau saudara-saudara kita yang mengadakan daurah serta ma’had (Ali Al-Irsyad) –secara khusus- memuji Syaikh Surkati atas kesalahan-kesalahannya.[41]

Tidak!!! Kita tidak memuji melainkan yang sesuai dengan kebenaran. Ini daurah yang kelima dan merupakan yang pertama disebutkan tentang Syaikh Surkati rahimahullahu meskipun mungkin dahulu pernah disebut secara sepintas. Kita sebutkan hal ini berdasar keyakinan dan amanat (ilmiah) agar kita tidak mendzolimi atau terdzolimi…”

Na’am, demikian inilah sikap kami dan masyaikh kami. Sikap yang tidak fanatik di dalam membela dan memuji, juga tidak terlalu ghuluw di dalam mencela dan menghujat atas kesalahan-kesalahan. Kita senantiasa berusaha menempatkan sesuatu pada tempatnya, bahwa yang batil adalah batil dan yang haq adalah haq, tanpa takut celaan orang-orang yang mencela. Kita bela syaikh as-Surkati rahimahullahu dan siapa pun selain beliau di dalam kebenaran yang beliau berada di atasnya, tanpa meniadakan untuk meninggalkan segala kesalahan-kesalahan beliau, tanpa disertai celaan, makian apalagi tabdi’ terhadap beliau. Inilah pendapat yang kami berjalan di atasnya, dan tidaklah membuat kami oleng dan terhuyung pendapat-pendapat mereka yang menyelisihi kami, baik itu pendapat para fanatikus yang membela Syaikh Surkati salah maupun benar, ataupun para pencela yang senantiasa mencari-cari kesalahan untuk dapat menghujat dan mencela. Alhamdulillah.

Bersambung –insya Alloh-

——————————————————————————–

[1] Subhanalloh. Bagaimana kejinya lisan mereka. Bahkan orang yang sudah meninggal pun tidak luput dari sasaran obsesi mereka yang gemar mencela dan menghujat. Bahkan metode mereka di dalam menuduh Syaikh as-Surkati sama persis dengan kelompok sesat HT yang menuduh Syaikhul Imam Muhammad bin Abdul Wahhab sebagai Agen Inggris. Wal’iyadzubillah.

[2] Syaikh Abdul Aziz ar-Rasyid adalah ulama Makkah yang dikirim oleh Malik Abdul Aziz untuk berdakwah di Indonesia dalam rangka menyebarkan dakwah tauhid. Dalam buku ini diterangkan hubungan baik dan dekat antara syaikh Abdul Aziz dengan Syaikh Ahmad. Hal ini juga menunjukkan bahwa ada hubungan yang erat antara dakwah Syaikh Ahmad dengan dakwah yang disebarkan oleh kerajaan Arab Saudi pada saat itu. Hal ini ditunjukkan dengan ditemukannya surat-surat korespondensi antara Syaikh Ahmad dengan Malik Abdul Aziz, dan surat ini dimuat di Majalah al-Arkhabil, LIPIA.

Menuduh Syaikh Ahmad membenci apalagi menolak dakwah tauhid yang dikibarkan oleh Imam Ibnu Abdul Wahhab adalah suatu kajahilan, tuduhan dusta dan mengada-ada. Saya akan menunjukkan bagaimana dekatnya pemahaman aqidah Syaikh as-Surkati dengan Syaikh Ibnu Abdil Wahhab di dalam pembahasannya nanti –insya Alloh-.

[3] Lihat Tarjamat al-Hayat al-Ustadz asy-Syaikh Ahmad as-Surkati karya Umar Sulaiman Naji, manuskrip, hal. 12; melalui perantaraan “Pembaharu dan Pemurni Islam di Indonesia”, Prof. Dr. Bisri Affandi, MA., tesis, Pustaka al-Kautsar, 1999, hal. 4.

[4] Lihat Tarjamat al-Hayat al-Ustadz asy-Syaikh Ahmad as-Surkati karya Umar Sulaiman Naji, manuskrip, hal. 12; melalui perantaraan “Pembaharu dan Pemurni Islam di Indonesia”, Prof. Dr. Bisri Affandi, MA., tesis, Pustaka al-Kautsar, 1999, hal. 4.

[5] Ibid, hal. 6-7.

[6] Ibid, hal. 7.

[7] Ibid, hal. 8.

[8] Ibid, hal. 8-9.

[9] Alu Ba’alawi adalah suatu nisbat kepada keturunan Ali bin Abi Thalib. Mereka mengklaim sebagai keturunan resmi Ali bin Abi Thalib dari garis keturunan : Alawi bin Ubaidillah bin Ahmad bin Isa al-Muhajir bin Ali bin Ja’far ash-Shodiq bin Muhammad al-Baqir bin Ali Zainal Abidinbin Husain bin Ali bin Abi Thalib. Mereka menyebut kalangan mereka dengan sebutan Sayyid (dari keturunan Husain) dan Syarif (dari keturunan Hasan). Sayangnya, sebagian besar mereka menyombongkan nasab mereka dan mengklaim telah memetak tanah di surga sebagai bagian mereka. Mereka juga mengharamkan pernikahan antara seorang wanita Alu Ba’alawi dengan non Alu Ba’alawi. Mereka juga mengajarkan kultus terhadap individu tertentu yang nasabnya paling tinggi. Mereka juga mendoktrim bahwa walaupun sesama Alu Ba’alawi, namun wanita nasab tertinggi tidak boleh menikah dengan pria nasab terendah, seperti misalnya wanita bin Syaikh Abu Bakar (Babakar) tidak boleh menikah dengan pria yang bermarga al-Haddad. Ironisnya lagi, di tengah kebanggaan akan nasab sebagai keturunan Rasulullah, mereka adalah kaum yang paling getol mempertahankan kesyirikan, kebid’ahan, takhayul dan khurofat –kecuali di antara mereka yang dirahmati Alloh-. Mereka inilah yang nantinya menjadi kaum yang akan bersinggungan dengan dakwah Syaikh Surkati.

[10] Ibid, hal. 9.

[11] Ibid, hal. 10-11.

[12] Ibid, hal. 12.

[13] Ibid,

[14] Secara bahasa Irsyadiy maksudnya adalah penisbatan kepada nama Al-Irsyad. Penggunaan istilah ini dapat bermaksud tiga hal :

1. Untuk memberikan sebutan sebagai informasi belaka sehingga mempermudah di dalam memberikan maksud yang dituju. Dan inilah yang saya maksudkan dengan sebutan Irsyadi dan penyebutan semacam ini bukanlah termasuk tafriq (pemecahbelahan) ataupun ahobiyah hizbiyah (fanatik kepartaian).

2. Untuk memberikan sebutan dengan maksud celaan, dengan tujuan untuk mengindikasikan orang yang disematkan dengan sebutan ini sebagai orang yang fanatik, menyimpang dan sesat. Sebagaimana sebutan Sururi, Quthbi, Ikhwani, Tablighi dan semacamnya. Seringkali sebutan-sebutan ini bermaksud sebagai tafriq (memecah belah) karena disematkan kepada orang yang tidak layak menerimanya.

3. Untuk membedakan diri dari kelompok-kelompok lainnya dan berbangga-bangga dengannya. Ini adalah sikap hizbiyah dan ashobiyah yang tercela.

Sengaja saya memberikan keterangan ini untuk menjelaskan maksud ucapan saya supaya tidak dibawa kepada maksud yang keluar dari konteksnya. Karena betapa banyak sekarang gelar-gelar yang disematkan kepada sesama ahlus sunnah, apalagi kepada muslim lainnya, hanya karena kebodohan, kedengkian dan sikap ghuluw.

[15] Ibid, hal. 9.

[16] Ibid, hal. 39-54.

[17] Al-Masa`il ats-Tsalats oleh Syaikh Ahmad as-Surkati, Darul Ulum, Kairo, 1977, hal. 47.

[18] Fashlul Khithab fi Ta’yiid Surat al-Jawab oleh Ahmad al-Aqib al-Anshori, manuskrip, hal. 45; melalui perantaraan “Pembaharu dan Pemurni Islam di Indonesia”, Prof. Dr. Bisri Affandi, MA., tesis, Pustaka al-Kautsar, 1999, hal. 229.

[19] Lihat artikel “Pembelaan terhadap Syaikh Ahmad as-Surkati” di dalam Maktabah Abu Salma al-Atsari http://www.geocities.com/abu_amman

[20] Ibid.

[21] Muqoddimah al-Masa`il ats-Tsalats oleh Syaikh as-Surkati rahimahullahu, Darul Ulum, Kairo, 1977, hal. 5

[22] Disebutkan oleh Imam Ibnu Abdil Barr di dalam at-Tamhid (III/283); melalui perantaraan Aqwaal wa Fatawa (op.cit.) hal. 9.

[23] Al-Aqwaal, hal. 9-10.

[24] Lihat as-Sunnah karya Imam al-Khollal, hal. 373; melalui perantaraan (ibid) hal. 12

[25] Ibid, hal. 10.

[26] Lihat Siyaru A’lamin Nubala’ (XIV/133); melalui perantaraan (ibid), hal. 10-11).

[27] Ibid.

[28] Ibid.

[29] Tabyin Kadzibil Muftari oleh Imam Ibnu Asakir; melalui perantaraan al-Aqwaal hal. 2.

[30] Adz-Dzakhiirah al-Islamiyyah (1923), hal 415. Perlu diketahui juga, pada zaman itu, menyebut nama Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab saja sudah dapat menyebabkan ketakutan akan diserang oleh masyarakat yang mayoritas khurofiyun dan bergelimang di dalam kebid’ahan. Karena tidak ada satupun yang berani menyebut apalagi memuji kecuali Syaikh Ahmad as-Surkati rahimahullahu. Dan setelah itu barulah orang-orang yang terpengaruh dengan dakwahnya mulai menyuarakan hal yang sama, sebagaimana yang dilakukan oleh Persis dan Muhammadiyah generasi awal.

[31] Disebutkan di dalam Da’awa al-Munawi’in (158-160); melalui perantaraan “Hanya Islam Bukan Wahhabi”, karya DR. Nashir Abdul Karim al-Aql, Darul Falah, 2006, hal. 286.

[32] Lihat “Pembaharu”, Op.Cit., hal. 29.

[33] Ibid, hal. 30.

[34] Ibid, hal 30-31. Ucapan Fijper ini membantah tuduhan mereka yang menyatakan Syaikh sebagai antek Belanda.

[35] Ibid, hal. 31-32.

[36] Hal ini menunjukkan bahwa Syaikh mendasarkan fatwanya dari dokumen yang sampai kepadanya.

[37] Wallohu a’lam berita seperti apa yang disampaikan oleh fihak penuduh kepada Syaikh Ubaid hafizhahullahu sampai-sampai Syaikh Ubaid menyatakan bahwa Jum’iyah al-Ishlah wal Irsyad al-Arobiyah yang didirikan oleh Syaikh Ahmad as-Surkati di Jawa didirikan di atas manhaj Ikhwanul Muslimin. Padahal Ikhwanul Muslimin didirikan pada tahun 1347 sedangkan Jum’iyah Al-Irsyad didirikan pada 15 Syawal 1332 (6 September 1914). Artinya Al-Irsyad 15 tahun lebih dulu ada dibandingkan Ikhwanul Muslimin. Lantas, bagaimana mungkin organisasi yang 15 tahun lebih dulu ada mengadopsi manhaj organisasi yang baru muncul seperempat abad kemudian. Haihata haihat!!! Sungguh lihai sekali mereka melakukan kedustaan terhadap ulama.

[38] Dari risalah “Ulama antara yang senior dan paling senior” tulisan al-Ustadz Abu Karimah al-Bugisi.

[39] Perhatikanlah ucapan Syaikh Ali Hasan yang di-bold-kan ini. Ini menunjukkan secara pasti dan tegas bahwa Syaikh mengetahui dan membaca sirah Syaikh Surkati rahimahullahu. Maka batallah tuduhan yang menyatakan bahwa Syaikh hanyalah dibisiki oleh Irsyadiyun belaka hanya untuk menutupi kesesatan dan kesalahan mereka. Na’udzu billai minal hawa wal fizhohoh.

[40] Sungguh alangkah benarnya syaikh hafizhahullahu. Ini menunjukkan bagaimana dalamnya pengetahuan syaikh akan sejarah negeri Indonesia satu abad lampau, dan hal ini menunjukkan pula bahwa syaikh senantiasa melakukan tahqiq dan verifikasi sebelum memberikan hukum. Hafizhahullahu Ta’ala.

[41] Inilah tuduhan mereka yang sangat tendensius dan tidak berdasar. Semuanya berangkat dari buruk sangka dan semangat permusuhan belaka. Hal serupa juga mereka terapkan kepada du’at-du’at yang menjelaskan masalah Ihya’ut Turats dengan menuduh bahwa mereka membela kesesatan dan penyimpangan Ihya’ut Turats. Padahal mereka para du’at tersebut tidak membela penyimpangan Ihya’ut Turats sedikitpun, namun hanya menjelaskan perincian masalah ta’awun dengan jum’iyah ini. Namun dengan liciknya, supaya bisa memenuhi ambisinya, para penuduh tersebut menghalalkan segala cara dengan membuat kedustaan, perancuan dan talbis untuk mengesankan bahwa para du’at salafiyin tersebut adalah pembela kesesatan dan penyimpangan Ihya’ut Turats. Nas’alullaha as-Salamah wal ‘Afiyah.

(Bersambung Bagian 7)

-***-***-***-


 Comments 9 comments

  • bukutamu darussalaf says:

    Akh… coba cek ini :
    Dari buku tamu darussalaf.or.id

    Abu Ubaidillah 2006-10-26 09:29:39
    Assalamu’alaikum,

    Kaifa Haaluk? Ana baru lihat-2 blognya Abu Salma, walapun tadinya aga males juga, soalnya aksesnya lambat. Ana pikir jelas saja dia ngebelain adanya photo makhluq hidup di Webnya AL Irsyad. Jawaban dia terhadap komentar Abu Reyhan bahwasanya para Asatidzah mereka belum tentu ridha adanya photo-2 di Web itu adalah jawaban yang dicari -cari. Lha mustahil, mereka – para asatidzah itu tidak tahu adanya photo2 di Web site resmi mereka, atau seandainya tidak tahupun apa mereka tidak mengkosnsultasikannya kepada para asatidzah mereka itu sebelum photo-2 itu dipejeng, tak iye?. Lagi pula apa para ustazd mereka tdk melihat ketika mereka diphoto di depan hidung mereka sendiri?
    Tapi sebenarnya ga aneh dengan rajul bernama Abu Salma ini, lha wong di blognya sendiri gambar -2 wanita setengah telanjang tampil besar2. Jadi photo2 yang ada di webnya Al Irsyad itu dgan photo2 yang ada di blognya, ya ga ada apa2nya. Kalau dipertanyakan paling2 dia bilang kalau photo2 itu bukan dia yang pasang tapi iklan dari blog yang dia tempati dan dia kemungkinan akan bilang kalau dia juga tidak ridha dgan adanya gambar-2 itu – tapi tidak berusaha untuk mencari blog yang bebas dari gambar2 walapun gratis. Ada engga akh, blog yang seperti itu?
    Ada rencana untuk mewawancarai para Ustadz lain yang juga diPHK Yazid Jawwas karena berani mengkritik Ihya Turats spt Ustadz Sholeh Suaidi dan yang lain-2? Biar yang lain yang masih punya hati nurani semakin tahu kepada siapa mereka taklim sebenarnya dan biar mereka tahu kalau ini bukan Qiila wa Qoola spt dia bilang, Kaif?
    Barakallahu fiik.
    HP ana ketinggalan di Ma’had jadi ga bisa kontak antum.

    Ini juga dari Abu Reyhan 

    abu reyhan 2006-10-16 05:22:47
    Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh.Ana pernah menulis kritikan di blognya abu salma murid abdurrahman attamimi. Kritikan ttg foto album yg mereka rilis beberapa tahun yang lalu (lihat copy paste yg ana sertakan di bawah!). Siapa pun paham, tentu pada waktu pembuatan album tersebut, mereka sudah paham ttg haramnya gambar/foto makhluk bernyawa karena mereka sudah mengenal dakwah salafiyah dan turut ‘mengibarkannya’ (menurut sangkaan mereka). Namun, begitulah keadaan mereka, mengambil sunnah yang satu dan menginjak sunnah yg lain. Mengambil fatwa ulama yg ini dan melemparkan fatwa ulama yg lain yg tidak mencocoki hawa nafsu mereka. Allahul musta’an. Semoga Allah menunjuki dan memberikan taufik-Nya kepada kita semua. Amin
    Satu lagi bukti ketidakjujuran abu salma adalah menghilangkan baris http://www.infoalirsyad.com/edisi53/index-9.html yang ana sertakan sebagai bukti perbuatan mereka yang ana kritik waktu itu. Ana gak tahu kenapa dihilangkan dan ana gak mau berandai-andai dalam hal ini. Yang jelas dengan penghilangan bukti ini, menjadikan keroksi terhadap mereka menjadi bertambah satu point.
    ***************************************
    abu reyhan
    October 11th 2006
    02:56:06 AM
    Judul Komentar : Mana Komitmen Alirsyad Terhadap Sunnah?
    Asal : Sragen
    Komentar
    Assalamu’alaikum.
    Di blog antum ini, banyak menyuarakan dakwah salafiyah. Kemudian, pembelaan (fanatik) terhadap guru dan ma’had tempat antum belajar. Namun, itu semua seperti pembelaan kosong melompong yang menjadi bumerang bagi diri sendiri. Di mana kecintaan antum kepada sunnah dan kebencian terhadap hal yang haram? Ndak ada bedanya seperti ikhwanul muslimin dan semisalnya dalam hal menghalalkan foto bernyawa. Allahul musta’an.
    ….Allahu yahdikum. Allahul musta’an wailallahi musytaka…..
    ————————-
    Tanggapan
    Wa’alaikumus Salam
    Jika antum jeli maka antum tidak akan berkomentar seperti di atas. Namun tampaknya antum yang lebih fanatik. Semoga Alloh menghilangkan fanatisme di dalam diri kita dan kaum muslimin. Masalah foto makhluk bernyawa, sungguh suatu argumentasi yang dipaksakan utk menghantam asal-2an.
    Amin… wa iyyakum…

    Mereka benar-benar kebakaran ‘jenggot’ akh dengan blog antum… trus lah antum menulis dan jelaskan al-Haq kepada umat, janganlah takut celaan para pencelaa juhala’ seperti mereka…
    Lihatlah, bagaimana mereka tidak punya hujjah sama sekali… hanya celaan dan celaan… Lucu

  • Abu Sufyan Al Bathowy says:

    Waduh…
    kalo begini keadaanya…ngeri bethul…
    ente dari Al Irsyad ya?…
    masak kondisinya seperti itu….pake foto2 segala….
    trus,comen yang di atas tuh…siapa bilang ngga punya hujjah…lha udah jelas itu ada potonya,plus syeikhnya juga ikut di poto….nggak mungkin ah kalo ngga ada yang tau kalo di poto…
    komitmen lah dengan ucapan dan perkataan….
    ngeri ah…..
    yok istiqamah….

    Jawaban : Al-Akh al-karim, Abu Sufyan… Sebenarnya pertanyaan dan komentar ini sudah sangat berulang-ulang dan bisa dikatakan ana sangat tidak berkeinginan untuk memberikan jawaban-jawaban thd komentar semacam ini. Karena komentar-komentar semacam ini hanyalah berangkat dari ketidaktahuan (ke’jahi’an), isti’jal (ketergesa-gesaan), tidak adanya sikap ta’anni (kehati-hatian) dan su’uzh zhan. Namun, sebagai penghormatan terhadap antum, sebagai pengejawantahan kewajiban saling menasehati sesama muslim, maka ini sedikit jawaban dan komentar dari ana, yang mungkin “tidak mengenyangkan dan tidak menghilangkan dahaga.”
    Ucapan antum : ente dari Al Irsyad ya?, maka ana jawab : Jika yg antum maksudkan adalah perhimpunan Al-Irsyad, maka ana katakan bahwa ana bukan dari perhimpunan Al-Irsyad… Namun jika antum katakan, apakah ana dari Ma’had Ali Al-Irsyad as-Salafy? maka ada dua jawaban :
    Jika pernah belajar ke Ma’had Al-Irsyad, maka ana belum pernah
    Jika pernah belajar ke Ta’lim (kursus) B.Arab dan belajar dien ke Al-Irsyad, maka ana katakan iya
    Jika antum bertanya, apa bedanya Ma’had Ali Al-Irsyad dengan Perhimpunan (Organisasi) Al-Irsyad?? Maka ana jawab, beda! Diantaranya adalah :
    Ma’had Ali Al-Irsyad tidak ada sangkut paut keorganisasian dengan Perhimpunan Al-Irsyad, demikian pula perhimpunan Al-Irsyad tidak memiliki hubungan struktural dengan Ma’had Ali Al-Irsyad. Dengan demikian Perhimpunan tidak bisa intervensi terhadap ma’had, membubarkan ataupun turut ‘campur tangan’ di dalam Ma’had Al-Irsyad.
    Ma’had Ali Al-Irsyad di bawah payung Yayasan al-Ihsan, independen dan tidak terpengaruh oleh kebijaksanaan perhimpunan
    Ma’had Ali Al-Irsyad, pembiayaannya murni dari tanggungan para dermawan dan tidak ada sangkut pautnya dengan perhimpunan
    Dan selainnya…
    Oleh karena itu, mengasosiasikan kesalahan-kesalahan perhimpunan Al-Irsyad thd Ma’had dan menyandarkan kesalahan-2 tsb kepada para staf pengajarnya adalah suatu kedustaan, kebohongan, kedengkian dan fitnah.
    Berikut ini contoh sikap Ma’had terhadap beberapa kegiatan Yayasan Al-Irsyad (Yayasan juga terpisah dengan perhimpunan, semuanya mengklaim independen) dan perhimpunan yang menyelisihi sunnah :
    Ketika DPP (Dewan Pendidikan dan Pengajaran) Al-Irsyad yang dibawahi yayasan Al-Irsyad, para gurunya melakukan ikhtilath, percampurbauran dan semisalnya, maka Ma’had Al-Irsyad segera mengkritiknya baik secara pribadi, formal (dalam bentuk surat teguran) maupun disampaikan di mimbar-mimbar jum’at.
    Ketika DPP melakukan kegiatan yang bersifat bid’ah, semisal mabit awal tahun dan lebih menfokuskan pendidikannya dengan pengadopsian metode quantum, maka Ma’had melakukan kritikan dan protes kepada mereka
    Ketika perhimpunan melakukan penyelewengan syar’i, semisal ikhtilath, foto-2an dan semisalnya, maka ma’had juga turut melakukan kritikan dan nasehat-nasehat.
    Bahkan ketika, KH Abdullah Jaedi (ketua PP Al-Irsyad kubu “anti salafi”) melakukan tuduhan2 dusta kepada dakwah salafiyah, maka Ma’had Al-Irsyad dengan majalahnya “adz-Dzakhiirah” melakukan counter keras terhadap tulisan tersebut.
    Ketika dakwah di Masjid Al-Irsyad sudah tidak bebas lagi, dan kepengurusan takmir yang pro salafiyah telah diganti oleh fihak yayasan secara sefihak, maka Ma’had memutuskan untuk keluar dari Masjid Al-Irsyad dan melakukan ta’lim di masjid-2 lain.
    Ini adalah beberapa sikap Ma’had Al-Irsyad yang tegas, yang tidak ada tendensi sama sekali, alhamdulillah, untuk bermudahanah, tamyi’ maupun tuduhan-2 keji lainnya yang tidak berdasar.
    Kepada para penuduh kami bersedia dan siap untuk berdiskusi dan bertahakum di hadapan masyaikh ahlus sunnah untuk menghukumi masalah ma’had Al-Irsyad ini. Dan kami ajak kepada para penyeru itu untuk bertabayun dan melihat langsung keadaan Ma’had kami ini… Apabila antum dapat penyimpangan, maka luruskan… karena apabila nasehat antum itu benar adanya, suatu hal yang terlarang bagi kami untuk menolak kebenaran…
    Dengan demikian, kami seru kembali supaya para penuduh untuk mendahulukan tabayun, cek dan ricek atas kebenaran… Dan tidak tergesa-gesa di dalam mengambil keputusan dan vonis…
    Adapun tuduhan Abu reyhan dan Abu Ubaidillah, maka sekali lagi -demi Alloh- adalah tuduhan yang berangkat dari ketdaktahuan (kejahilan), ketergesa-gesaan, kebencian dan memiliki tendensi buruk kalo tidak mau dikatakan kedustaan…
    Mengenai masalah foto-2 di atas, maka ana jawab :
    Website di atas dikeluarkan oleh Infoirsyad, majalah yang dikeluarkan oleh perhimpunan. Dengan demikian tidak ada sangkut pautnya dengan Ma’had. Tuduhan Abu Ubaidillah adalah tuduhan licik dan dusta ketika mengatakan Jawaban dia terhadap komentar Abu Reyhan bahwasanya para Asatidzah mereka belum tentu ridha adanya photo-2 di Web itu adalah jawaban yang dicari -cari. Lha mustahil, mereka – para asatidzah itu tidak tahu adanya photo2 di Web site resmi mereka, atau seandainya tidak tahupun apa mereka tidak mengkosnsultasikannya kepada para asatidzah mereka itu sebelum photo-2 itu dipejeng, tak iye?. Ana katakan kepada Abu Ubaidillah, ittaqillaha ya akhy…!!! Begitu lancang dan beraninya dia berkata “mustahil” dan dengan yakinnya mengatakan ‘web site resmi mereka”… Subhanalloh. Darimana dia bisa mengatakan demikian ini apabila tidak berangkat dari kejahilannya?!! dari pemahamannya yang ‘pendek’?!! dari manhajnya yang ‘unik’?!! Ana tantang Abu Ubaidillah, untuk menunjukkan bahwa website inforsyad adalah website resmi Ma’had Al-Irsyad, dan ana berani untuk mengajak dia sumpah kepada Alloh untuk membuktikan tuduhannya ini… padahal kewajiban ahlus sunnah adalah apabila tidak tahu hendaknya dia berdiam diri. Ana katakan, tuduhan Abu Ubaidillah ini berangkat dari kegelapan di atas kegelapan… karena :
    1. Ma’had Al-Irsyad tidak memiliki website resmi infoirsyad.
    2. Webmaster infoirsyad tidak meminta izin ataupun memberitahukan apalagi mengkonsultasikan bahwa mereka akan menampilkan gambar tersebut.
    3. pada saat acara banyak sekali para hadirin yang datang, bahkan jama’ah Masjid Ampel (yang nota bene quburiyun) juga banyak yang hadir untuk dapat bertatap muka dengan syaikh Syuraim. Dan banyak di antara mereka membawa kamera dan shooting. Sehingga tuduhan Abu Ubaidillah : Lagi pula apa para ustazd mereka tdk melihat ketika mereka diphoto di depan hidung mereka sendiri? adalah suatu kedustaan dan sikap sok tahu…
    Dan ana tidak heran dengan sikap-2 seperti Abu Ubadillah ini… karena seperti inilah manhajnya dan manhaj sahabat-2nya yang serupa dengannya… asbun (asal bunyi) dan asduh (asal tuduh)… Bahkan dia berani melakukan kedustaan dengan menyatakan bahwa di web ana ada gambar wanita setengah telanjang tampil besar-besar… subhanalloh, ini adalah suatu kedustaan yang besar… dan betapa banyak yang sampai di web ana (blogspot) (lebih dari 30.000) namun tidak ada yang memberikan komentar seperti dia… apakah hanya dia saja yang mendapatkan gambar wanita setengah telanjang tersebut??? kemudian apa korelasinya dengan foto-2 yang ada di infoirysad??? Apakah ia bermaksud membuat fitnah kepada ana bahwa ana menghalalkan foto-2 tsb…??? Maka tidak ada ucapan melainkan, laa hawla wa laa quwwata illa billah.
    Dengan demikian, ana berani berdiskusi, atau bersumpah ataupun bahkan ber’mubahalah’ sekalian, apabila para penuduh itu merasa yakin bahwa tuduhannya benar… Jika tidak mau terima… kalo gitu tabayun dulu donk…
    Realita telah kami sampaikan, dan Alloh lah sebagai saksi…

  • Galih says:

    Assalaamu’alaikum wr. wb.
    Afwan jika komentarnya tidak berkenan dihati sudilah kiramya berikan nasehat atau teguran.

    > Manusia memiliki apa yang disebut Adam Smith sebagai Need of Approval
    > Sentiment, sentimen untuk dihargai atau diapresiasi. Didorong oleh
    > sentimen ini, manusia pada dasarnya tidak suka direndahkan,
    dikecilkan,
    > dianggap tidak baik ataupun disalahkan. Oleh karena pada kasus apa
    saja
    > yang dianggap sebagai perendahan, pengecilan, pelecehan, penyalahan
    dan
    > sejenisnya, manusia selalu membangun self defence mechanism
    (mekanisme melindungi diri sendiri)
    > yang selalu otomatis. Manusia justru akan
    > berjuang keras untuk menyatakan yang sebaliknya, “Aku tinggi, aku
    > besar, aku baik, atau aku benar.” Penjahat-penjahat yang paling sadis
    > pun – al Capone misalnya – merasa dirinya orang baik dan tidak
    > bersalah. Dia bertanya-tanya mengapa dia harus dipenjara? Dia selalu
    > mengklaim bahwa dia dalah orang baik yang dermawan, bukan seorang
    > mafiosi yang sangat kejam, pembantai siapa saja yang menghalangi
    usaha
    > haramnya.
    >
    > Kritik, oleh karena itu, bagi manusia adalah sangat tidak
    menyenangkan.
    > Dale Carnigie, dalam Bagaimana Mencari Teman dan Mempengaruhi Orang
    > lain, memberi saran “Jangan Mengkritik”. Kritik, urainya, seperti
    > merpati pos, kembalinya ke si pengkritik sendiri. Ketika anda
    > mengkritik, hampir pasti yang anda peroleh adalah upaya keras dari
    yang
    > anda kritik, bahwa dia tidak seperti yang anda kritikan. Akhirnya,
    > lahir debat perkepanjangan, yang hasil akhirnya masing-masing merasa
    > benar. Suasana rusak, walau hati dan barangkali kepala masing-masing
    > merasa puas dan besar.
    >
    > NATO: Not Action Talk Only, adalah salah satu kritik yang populer
    > dilempar di arena diskusi terutama yang bertema “Memperjuangkan
    Dienul islam
    Wassalamu’alaikum

  • Ibnu thabrani says:

    assalamu alaikum

    saya ingin mengkritik galih…ah

    Tolong mas galih jgn mengambil keterangan-keterangan dari org2 kafir dgn psikologinya. saya yakin Islam punya penjelasan yg lebih baik dan benar.

    kritik bagian dari nahi munkar dan itu diperintahkan oleh agama kita. dan kritik atau nasihat juga adalah bagian dari action (amal).

    wassalam

    semoga Allah merahmati anda semua.

  • Abu Sufyan Al Bathowy says:

    Baguslah kalau seperti itu keadaannya….
    lebih bagus antum mencari Ma’had yang lebih istiqomah…
    buannyyaaaak ma’had2 atau pondok2 salaf yang masih kekurangan asatidzah….
    sudah keluar saja dari ma’had tersebut….pindah ke pondok yang murni salafy….Insya Allah lebih berkah….

  • abul hasan says:

    Saya agak aneh dengan kesimpulan ini :
    Kesimpulan : Insya Alloh yang terkuat menurut pandangan kami adalah : Syaikh as-Surkati adalah ahlus sunnah dan tidak layak menuduh beliau dengan tuduhan-tuduhan tidak berdasar. Adapun jawaban dua masyaikh yang mulia maka jawaban tersebut berangkat dari kebatilan dan talbis bukti dokumen yang diajukan.
    Dari kesimpulan di atas maka antum mengambil pendapat yang paling mendekati kebenaran, namun di sisi lain mengenai masalah jum’iyyah ihya’ ut turots yg merupakan jum’iyyah hisby mengapa antum tidak mengambil pendapat yang paling mendekati kebenaran dari para masyaikh yg melarangnya? Bukankah ini pendapat yg paling mendekati kebenaran? Karena bagaimanapun juga sikap kehati-hatian thd jum’iyyah hisby tentu lebih mendekati selamat daripada mengambil kerjasama dengan mereka. Dan antum lebih memilih itu sebagai masalah khilafiyah ijtidahiyah. Bukankah menjauhi ahlul bid’ah/hisby adalah lebih benar daripada bekerja sama apalagi mengambil dana dari mereka.
    Bukankah kesimpulan tsb saling bertentangan?
    Ana harap dijawab kalau tidak ditampilkan komentar ana mohon kirim ke email ana.

    Apabila antum baca artikel dan ulasan ana di web ini ttg IT maupun di forum ini, maka antum tidak akan berkomentar demikian. Ana menguatkan pendapat bahwa IT itu memiliki penyimpangan2 hizbiyah, namun ana tidak mentabdi’ dan menuduh sururi ikhwah salafiyah yang bekerja sama dengan mereka, selama manhajnya tidak berubah. Dan pertanyaan ini selalu diulang-2. Implikasi sikap kita langsung menjauhi, mentabdi’, menjarh, menuduh dengan tuduhan keji, maka mengharuskan kita melakukan hal ini kepada masyaikh salafiyin yang masih mau bekerjasama dengan IT. Semisal Syaikh Abdurrazaq bin Abdul Muhsin termasuk bapaknya, al-Walid al-Allamah ‘Abdul Muhsin, Syaikh Musa Nashr, Syaikh Muhammad Khalifah at-Tamimi, dll.
    Ana tidak memungkiri bahwa pendapat yang paling mendekati kebenaran adalah yang mentahdzirnya, sebagaimana masyaikh Yordania. Namun apakah mereka mencontohkan supaya kita menerapkan muqotho’ah serampangan thd ikhwan sesama ahlus sunnah. Cermatilah nasehat Syaikh ‘Abdul Malik Ramadhani, Syaikh Ibrahim ar-Ruhaili dan al-Allamah Abdul Muhsin Abbad di dalam blog ini pada artikel “Sekali lagi tentang Ihya’ut Turats”.
    Apabila antum menguatkan pendapat IT itu hizbi ahli bid’ah, tidak boleh mutlak berta’awun dengan mereka, maka itu adalah tahqiq dan tarjih antum. Sekarang masalahnya adalah, apakah antum akan mentabdi’, menghajr, menjarh, dan menvonis saudara-2 antum yang masih berhubungan dengan IT sebagai hizbi, sururi, gila dinar kuwait, matre’ dan tuduhan2 keji lainnya? Padahal manhaj mereka tidak berubah atau tidak ada penyimpangan manhaj prinsipil pada mereka… Jika demikian, maka inilah perbedaan kita, dan semoga Alloh memberikan hidayah dan taufiq-Nya kepada kita tentang kebenaran di dalam hal ini.

  • abul hasan says:

    dan kejanggalan kedua yg ana tangkap dari arikel di atas
    —————————————————————————–
    Kedua : Taruhlah fatwa di atas adalah benar –dan insya Alloh fatwa tersebut adalah benar apabila realitanya adalah demikian-. Namun juga harus diperhatikan, bahwa ada masyaikh lainnya yang menfatwakan berbeda dengan yang di atas, diantaranya adalah 4 masyaikh Yordania dan Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab al-Aqil hafizhahumullahu jami’an.
    —————————————————————————–
    Dpt diambil kesimpulan bahwa Syaikh Yahya dan Syaikh Ubaid dianggap tdk mengetahui realita tentang Syaikh Surkati, sehingga mereka hanya menelan bulat-bulan apa2 yg dibawa oleh penanya.
    Namun di sisi lain ana pernah membaca kalau tidak salah tulisan dari ustadz Firanda mengenai Ihya’Ut Turots bahwa tidak mungkin para masyaikh yg membolehkan berta’awun dengan ihya’ ut turots itu bodoh dan tidak tahu keadaan yg sebenarnya dari Jum’iyyah tsb, ketika dinyatakan hal yg sama spt tsb diatas dengan kurang lebih perkataan
    ‘kemungkinan para masyaikh yg ditanya tentang yayasan ihya’ ut turots pun hanya menjawab apa yg diajukan si penanya tanpa mengetahui sebenarnya yayasan tsb, sehingga kejelekan2 yayasan tsb tidak disebutkan/disembunyikan,sehingga syaikh berfatwa dengan mengambil kesimpulan dari si penanya tanpa mengetahui hal yg sebenarnya’.
    Bukankah ini sesuatu hal yg bertolak belakang? Dan maaf bagi saya ini cukup aneh.
    Mengenai hajr dan yg semisalnya saya hanya bisa menjawab wallahua’lam, karena fakir nya saya dari ilmu.

    Tidak aneh sebenarnya apabila antum jeli…
    Seorang manusia itu tidak dapat mengetahui semuanya, apalagi keadaan di negeri-2 lainnya. Dan masalah IT dengan masalah di atas adalah sangat berbeda sekali. Perbedaannya adalah :
    1. IT telah ma’ruf di Arab Saudi, karena IT sering memberikan bantuan kepada madrosah-2 dan universitas-2 Islam di Arab Saudi dan negeri lainnya. Baik berupa kutub (buku-buku) ataupun fasilitas lainnya semisal komputer, dll. Jadi IT telah diketahui oleh masyaikh Arab Saudi. Adapun Syaikh Surkati tidak demikian. Syaikh Surkati lebih banyak menghabiskan waktunya dakwah di Nusantara dan beliau pun meninggal di sini rahimahullahu.
    2. Berita-2 ttg IT sangat santer di Arab Saudi, bahkan tahdzir-2an thd IT menyebar luas di kaset-2, website-2, buku-2, dan media lainnya. Tentunya sangat naif apabila mengatakan bahwa banyak masyaikh yang tidak tahu realita ini. Adapun Syaikh Surkati, untuk mengetahui sejarah pastinya masih butuh penelaahan dan studi tersendiri. Buku ttg perikehidupan Syaikh Surkati banyak ditulis namun yang mutabanat (bisa dijadikan sandaran secara ilmiah) masih lah sedikit. Yang paling layak adalah tulisan adik Syaikh Surkati sendiri, yaitu Syaikh Muhammad Sati dan Sulaiman Naji. Karena isnadnya lebih tinggi.
    3. Masalah IT menyangkut masalah lembaga atau yayasan yang komplek. Syiar dan dakwah mereka sangat menyebar. Dakwah mereka pun ada dimana-mana, apalagi di Arab Saudi. Sedangkan masalah yang kita bicarakan ini adalah masalah individu yang disandarkan padanya organisasi/jum’iyah Al-Irsyad. Menghukumi seorang individu tertentu secara spesifik tidak bisa serampangan dan butuh penelaahan mendalam.
    Baiklah kembali ke masalah di atas.
    Telah saya utarakan di dalam artikel bahwa “al-Hukmu far’un ‘ala tashowwurihi” (menghukumi itu cabang atas gambaran realitanya), sehingga suatu jawaban akan berangkat dari gambaran pertanyaan dari penanya.
    Saya akan contohkan beberapa hal :
    1. Syaikh Fauzi al-Bahraini -hadaahullahu- di dalam buku “Madza Yuriidu Ahlus Sunnah bi Ahlis Sunnah” [bantahan thd risalah al-Allamah Abdul Muhsin “Rifqon Ahlas Sunnah bi Ahlis Sunnah”, buku Fauzi ini dinilai buku yang lancang oleh Syaikh Abdussalam Barjas rahimahullahu, dan Fauzi dinilai Ruwaibidhah oleh Syaikh Abdul Malik Ramadhani sebelum Fauzi ditahdzir oleh masyaikh lainnya, bahkan masih dipuji], menukilkan tanya jawab antara Imam Ibnu Baz dengan seorang penanya yang menanyakan ucapan Syaikh Muhammad al-Maghrawi yang menyeleweng, lantas Imam Ibnu Baz rahimahullahu mengatakan, “hadza rojulun tsauri… hadza rojulun tsauri” [Ini orang pengobar revolusi… ini orang pengibar revolusi]. Fauzi lantas menyimpulkan bahwa Imam Ibnu Baz telah metahdzir Muhammad al-Maghrawi dan menyatakannya sebagai hizbi ahli bid’ah quthbi.
    Syaikh Abdullah al-Farsi -hadaahullahu- [beliau juga dikritik atas sebagian penyelewengan manhajnya] membantah buku ini di dalam artikelnya yang berjudul “Daf’u azh-Zhulm Fauzi al-Jadidah” dengan menukilkan tanya jawab antara seorang Maghribi dengan Imam Ibnu Baz, penanya ini mengatakan apakah benar bahwa Syaikh telah mentahdzir Syaikh al-Maghrawi dan menilainya ahli bid’ah. Dengan serta merta Imam Ibnu Baz menyatakan “hadza kidzbun ‘alayya” [ini dusta atas nama saya] sebanyak hampir 3 kali.
    Faidah : Tidaklah setiap ucapan yang sesat maka mengharuskan pengucapnya juga sesat. Dan Imam Ibnu Baz menjawab berdasarkan pertanyaan.
    2. Imam Ibnu Utsaimin, juga dinukil oleh Fauzi di dalam risalahnya, ditanya oleh seseorang yang membawa rekamah cerama DR. al-Qordhowi seputar parlemen dan demokrasi yang menyatakan sekiranya Alloh pun turun dan masuk mengangkat diri-Nya sebagai dewan yang dipilih, niscaya Ia pun akan mendapatkan suara kecil dari manusia. Imam Ibnu Utsaimin setelah mendengarkan ucapan ini -dan beliau tidak tahu siapa pengucapnya- menyatakan “ini kufur… ini kufur… orang yang mengucapkan ini harus dipaksa bertaubat dan apabila tidak maka ia harus dibunuh oleh imam…”
    Lantas ada seorang yang menyatakan bahwa Imam Ibnu Utsaimin mengkafirkan al-Qordhowi, lalu seseorang bertanya kepada Imam Ibnu Utsaimin dan mengkonfirmasi hal ini, dengan serta merta Imam Ibnu Utsaimin menyatakan, “ini dusta… ini dusta…”
    Saya berkata : Siapakah yang berdusta dalam hal ini??? Tentu saja yang berdusta adalah orang yang meminta fatwa atau jawaban dari seorang ulama lalu ia melebarkan maksud karena kejahilannya atau kesengajaan untuk mentahdzir atau memenuhi ambisinya menyerang orang yang dibencinya… Allohul Musta’an…
    Akhy fillah… Masyaikh Yordania dan Syaikh Muhammad al-Aqil telah membaca sebagian besar karya Syaikh Surkati, terlebih Syaikhuna Ali Hasan al-Halabi. Penilaian beliau bukanlah atas dasar bisikan-2 sebagaimana dituduhkan Abdul Hadi atau yang semisal dengan rojul ini. Bahkan Abdul Hadi dkk-lah yang belum menelaah seluruh ucapan Syaikh Surkati sehingga dengan pemikiran Haddadiyahnya ia melemparkan tuduhan-2 keji.
    Adapun dua syaikh mulia di atas, Syaikh Ubaid al-Jabiri dan Ahmad Yahya an-Najmi, maka jawaban beliau berdasarkan satu bundel dokumen yang disusun dari sana sini -seperti investigasi ala FAKTA- yang hanya menukilkan ucapan-2 yang salah dari Syaikh Surkati dan tanpa menjelaskan seluruh keadaannya.
    Apabila antum bertanya kepada seorang syaikh atau ustadz misalnya, “Syaikh… bagaimana hukum orang yang mengucapkan bahwa istiwa itu maknanya adalah istawla, apakah ia ahlis sunnah?”. Tentu saja syaikh itu akan menjawab, ‘ia bukan ahlis sunnah, ia adalah asy’ariyah ahli bid’ah” atau jawaban yang semisal. Lantas antum memaksudkannya sebagai Imam Jalaludin Suyuthi di dalam tafsir Jalalainnya, dan antum mengatakan kepada umat, “As-Suyuthi itu ahli bid’ah, sebagaimana dikatakan oleh syaikh Fulan…”. Nas’alullaha minal Jahalah wal Fizhozhoh… Apabila syaikh tsb mendengarkan pastila beliau akan mengingkarinya…
    Akhy fillah… ana melihat antum sepertinya tidak mendapatkan gambaran penuh ttg masalah ini. Maka ana sarankan antum sibukkan diri dengan perkara yang bermanfaat. Tidak ada gunanya antum menyibukkan diri dengan perkataan-2 fulan dan fulan. Karena ilmulah yang akan menjadi penerang mana yang haq dan mana yang bathil. Apabila antum ingin mengetahui masalah ini, maka bacalah buku “Lerai Pertikaian Sudahi Permusuhan” karya Ustadz Firanda dengan hati yang bersih, lalu bandingkan dengan bantahannya, lalu baca lagi jawaban Ust Firanda thd bantahan tsb.
    Demikianlah, Allohu a’lam.

  • abul hasan says:

    oh iya afwan ana tambahkan pernyataan antum, dlm tulisan pembelaan antum terhadap jum’iyyah ihya’ut turots :
    —————————————————————————-
    1. Mengapa antum tidak memakai kemungkinan yang lebih besar, yaitu para ulama memang mengetahui kondisi yayasan ini, sebagaimana argumen di atas? Mengapa justru kemungkinan yang kecil yang antum jadikan pijakan? Mungkinkah para ulama mengeluarkan pernyataan tanpa ilmu dan tanpa mengetahui realita?!!
    —————————————————————————-
    2. Jika perkaranya seperti yang mereka katakan, maka sungguh malang nasib para ulama kita yang kerap kali ditipu oleh para penanya, apalagi dalam permasalahan besar seperti ini yang menyangkut keselamatan jiwa raga. Konsekuensinya adalah tuduhan bahwa para ulama kita agak “dungu” karena sering ditipu, juga tuduhan bahwa para ulama kita tidak mengerti fiqhul waqi’ sebagaimana perkataan para hizbiyyin. Na’udzu billahi minal hizbiyyah.
    —————————————————————————
    Dan berarti pula ketika antum menyatakan hal yang sama dlm artikel di atas, maka secara tidak langsung antum juga melakukan tuduhan yang sama thd syaikh yahya dan syaikh ubaid. Padahal para masyaikh tsb tentulah kita akui tentang keilmuan mereka.

    Tidak demikian, Allohumma… Baca kembali ulasan ana di bawah.
    Ini adalah analogi yang jauh dari hakikatnya. IT telah ma’ruf akan hakikatnya, namun tidak demikian dengan Syaikh Surkati. Allohul Musta’an. Pertanyaan adalah apakah :
    1. Kedua syaikh tsb apakah telah membaca risalah-2 Syaikh Surkati agar mendapatkan gambaran yang utuh?
    2. Kedua syaikh tsb apakah telah membaca tarik Syaikh Surkati dari sumber yang mutabanat, yaitu yang tinggi isnadnya, yang ditulis oleh adiknya Syaikh Muhammad Sati atau Sulaiman Naji.
    Adapun sandaran Abul Hadi, Abdul Ghofur, Ibrahim, dkk… walaupun mereka mengklaim, ini buku resmi DPP, ini buku yg layak jadi sandaran, dst… Maka, ana ajak mereka untuk membaca karya-2 Syaikh Surkati dan tarikhnya yang berbahasa Arab bersama-2. Apakah karena mereka tidak mampu membaca kitab-2 berbahasa Arab tsb maka mereka mencukupkan dengan buku bhs Indonesia tsb?
    Yang lebih aneh lagi ulasan Abdul Hadi ttg “Himpunan Tiga Risalah” (Majmu’atu Rosa`il ats-Tsalats) karya majlis Tarjih Al-Irsyad, khususnya seputar masalah “hisab”, dengan pemahamannya yang cetak ia memalingkan ucapan penyusun buku ini dan menyatakan bahwa Syaikh Surkati mencela ulama ahlis sunnah… dan menyebut buku ini dengan sebutan yang tidak layak.
    Insya Alloh akan turunkan pembahasannya khusus ttg hal ini, dan akan saya buka kedok kejahilan dan kedustaan Abdul Hadi dkk dalam metode penulisannya yang tidak ilmiah. Tunggulah…

  • ALLOHUAKBAR, seakan tidak pernah selesai satu celaan bersambung ke celaan berikutnya

  • Leave a Reply

    Your email address will not be published. Fields with * are mandatory.