Hajr Ekstrim bagian 3
PENJELASAN TENTANG HAKIKAT SIKAP EKSTRIM
DI DALAM MENGISOLIR DAN MENVONIS BID’AH
Petikan dari ucapan para ulama salafiyin
Bagian III : Ucapan Para Ulama Tentang Hajr dan Tabdi’ : (Syaikh Ibnu Baz, Al-Albani, Ibnu Utsaimin, Muqbil al-Wadi’i)
اعداد :أبو سلمى الأثري
Ucapan Samahatul Imam Abdul Aziz bin Abdillah bin Bazz
Samahatul Imam Abdullah bin Abdil Aziz bin Bazz rahimahullahu ditanya tentang bagaimana sikap seorang muslim yang berada di atas sunnah nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam, sedangkan ia memiliki hubungan erat (nasab) dengan kelompok yang mengamalkan bid’ah seperti menambah lafazh adzan dengan asyhadu anna ‘Aliyya waliyyullah dan hayya ‘ala khayril ‘amal, mereka juga mengatakan bahwa keturunan Muhammad dan Ali adalah sebaik-baik keturunan, serta melakukan aqiqoh bid’ah di saat ada kerabat yang meninggal dengan memotong domba dan tidak menghancurkan tulangnya, namun tulang dan kotorannya dikuburkan dengan anggapan hal ini adalah baik dan wajib diamalkan. Kemudian beliau rahimahullahu juga ditanya apakah boleh menikahi mereka, berlemah lembut dengan mereka, menghadiri walimah-walimah mereka padahal mereka menunjukkan aqidah mereka secara terang-terangan dan mereka mengklaim bahwa mereka adalah al-Firqoh an-Najiyah dan selain mereka adalah di atas kebatilan.Syaikh rahimahullahu pertama menjawab tentang bid’ahnya lafazh adzan dan aqiqoh bid’ah di atas, kemudian beliau menjawab tentang bagaimana sikap muslim yang berada di atas sunnah di dalam mensikapi mereka sebagai berikut :
وأما قول السائل ما موقف المسلم الذي على السنة المحمدية وله بهذه الطائفة رابطة نسب هل يوادهم بمعنى يكرمهم ويكرمونه ويتزوج منهم ويزوجهم مع العلم بأنهم يجاهرون بعقيدتهم ويقولون إنهم الفرقة الناجية وأنهم على الحق ونحن على الباطل . . ؟
”Adapun pertanyaan penanya bagaimana sikap seorang muslim yang berada di atas Sunnah al-Muhammadiyah sedangkan dia dengan kelompok ini memiliki ikatan darah (nasab), apakah ia (perlu) menyayangi mereka dengan artian memuliakan mereka sehingga mereka juga turut memuliakannya, dan menikahi (wanita) dari kalangan mereka serta menikahkan mereka, padahal telah diketahui bahwa mereka menampakkan aqidah mereka secara terang-terangan dan mereka mengatakan bahwa mereka adalah al-Firqoh an-Najiyah dan mereka (mengklaim) berada di atas kebenaran sedangkan kita di atas kebatilan…?”
والجواب : إذا كانت عقيدتهم هي ما تقدم في الأسئلة مع موافقة أهل السنة في توحيد الله سبحانه وإخلاص العبادة لله وعدم الشرك به لا بأهل البيت ولا بغيرهم فلا مانع من تزويجهم والتزوج منهم وأكل ذبائحهم والمشاركة في ولائمهم وموادتهم على قدر ما معهم من الحق وبغضهم على قدر ما معهم من الباطل؛ لأنهم مسلمون قد اقترفوا أشياء من البدع والمعاصي لا تخرجهم من دائرة الإسلام
”Maka jawabnya : Jika aqidah mereka adalah sebagaimana yang dikemukakan di dalam pertanyaan sebelumnya, (yaitu) tetap mensepakati ahlus sunnah di dalam tauhidullah subhanahu wa Ta’ala dan mengkihlaskan ibadah hanya untuk-Nya semata tanpa mensekutukan-Nya dengan sesuatu apapun baik dengan ahlul bait atau selainnya, maka tidaklah mengapa menikahkan mereka dan menikah dengan mereka, memakan sembelihan mereka dan berkumpul (menghadiri) di walimah-walimah mereka. Kita menyayangi mereka sebatas kebenaran yang ada pada mereka dan kita membenci terhadap kebatilan yang mereka miliki, karena sesungguhnya mereka adalah kaum muslimin yang terhimpun pada mereka sesuatu dari kebid’ahan dan kemaksiatan yang tidak sampai mengeluarkan mereka dari lingkaran Islam.”
وتجب نصيحتهم وتوجيههم إلى السنة والحق وتحذيرهم من البدع والمعاصي فإن استقاموا وقبلوا النصيحة فالحمد لله وهذا هو المطلوب ، أما إن أصروا على البدع المذكورة في الأسئلة فإنه يجب هجرهم وعدم المشاركة في ولائمهم حتى يتوبوا إلى الله ويتركوا البدع والمنكرات كما هجر النبي صلى الله عليه وسلم كعب بن مالك الأنصاري وصاحبيه لما تخلفوا عن غزوة تبوك بغير عذر شرعي
”Maka wajib menasehati dan mengarahkan mereka kepada as-Sunnah dan al-Haq, serta memperingatkan mereka dari kebid’ahan dan kemaksiatan. Jika mereka berlaku lurus dan menerima nasehat, falhamdulillah, maka inilah yang dituju/dikehendaki. Jika mereka masih bersikeras dengan bid’ah-bid’ah yang disebutkan di pertanyaan tadi, maka wajib menghajr mereka dan tidak boleh menghadiri walimah-walimah mereka hingga mereka mau bertaubat kepada Allah dan meninggalkan kebid’ahan dan kemungkaran. Sebagaimana Nabi shallallahu ‘alaihi wa Sallam menghajr Ka’ab bin Malik al-Anshari dan dua orang rekannya yang tidak turut berperang di perang Tabuk tanpa udzur syar’i.”
وإذا رأى قريبهم أو مجاورهم أن عدم الهجر أصلح وأن الاختلاط بهم ونصيحتهم أكثر فائدة في الدين وأقرب إلى قبولهم الحق فلا مانع من ترك الهجر؛ لأن المقصود من الهجر هو توجيههم إلى الخير وإشعارهم بعدم الرضا بما هم عليه من المنكر ليرجعوا عن ذلك
”Namun jika seseorang memandang bahwa tidak menghajr teman atau tetangganya adalah lebih bermashlahat dan bercampur dengan mereka serta menasehati mereka lebih dekat dengan penerimaan mereka kepada kebenaran, maka tidak terlarang meninggalkan hajr. Karena tujuan dari hajr adalah mengarahkan mereka kepada kebaikan atau mensyiarkan ketidakridhaan terhadap kemungkaran agar mereka mau kembali (ruju’) dari kemungkaran tersebut.”
فإذا كان الهجر يضر المصلحة الإسلامية ويزيدهم تمسكا بباطلهم ونفرة من أهل الحق كان تركه أصلح كما ترك النبي صلى الله عليه وسلم هجر عبد الله بن أبي بن سلول رأس المنافقين لما كان ترك هجره أصلح للمسلمين
”Jika sekiranya hajr akan merusak mashlahat Islami dan semakin menambah mereka untuk berpegang dengan kebatilan dan mereka lari dari ahlul haq, maka meninggalkan hajr lebih bermashlahat, sebagaimana nabi meninggalkan hajr kepada Abdullah bin Ubai bin Salul, pimpinan kaum munafikin, yang mana ketika nabi tidak menghajrnya adalah demi kemashlahatan kaum muslimin.”
أما إن كانت هذه الطائفة تعبد أهل البيت كعلي وفاطمة والحسن والحسين رضي الله عنهم أو غيرهم من أهل البيت بدعائهم والاستغاثة بهم وطلبهم المدد ونحو ذلك ، أو كانت تعتقد أنهم يعلمون الغيب أو نحو ذلك مما يوجب خروجهم من الإسلام ، فإنهم والحال ما ذكر لا يجوز مناكحتهم ولا مودتهم ولا أكل ذبائحهم بل يجب بغضهم والبراءة منهم حتى يؤمنوا بالله وحده …
”Namun, jika kelompok ini menyembah ahlul bait seperti Ali, Fathimah, Husain atau Hasan Radhiyallohu ’anhum, atau mempersembahkan do’a kepada mereka, beristighotsah dan memohon pertolongan atau semacamnya kepada mereka, atau meyakini bahwa mereka mengetahui perkara yang ghaib atau semacamnya dari amalan-amalan yang mewajibkan pelakunya keluar dari Islam. Maka sesungguhnya mereka dan perkara-perkara yang disebutkan (di atas) menyebabkan tidak boleh menikahi mereka, tidak pula mengasihi mereka, tidak memakan sembelihan mereka, bahkan wajib membenci dan berlepas diri dari mereka, hingga mereka beriman kepada Allah Ta’ala semata…”
Lantas syaikh menyebutkan dalil-dalil pengharaman syirik, dan beliau rahimahullahu melanjutkan jawabannya :
أما قول هذه الطائفة أنهم الفرقة الناجية وأنهم على الحق وغيرهم على الباطل فالجواب عنه أن يقال : ليس كل من ادعى شيئا تسلم له دعواه بل لا بد من البرهان الذي يصدق دعواه كما قال الله سبحانه : قُلْ هَاتُوا بُرْهَانَكُمْ إِنْ كُنْتُمْ صَادِقِينَ …
“Adapun klaim mereka bahwa mereka adalah al-Firqoh an-Najiyah dan merekalah yang berada di atas kebenaran, dan orang-orang selain mereka adalah berada di atas kebatilan. Maka jawabannya adalah : tidaklah setiap orang yang mengklaim sesuatu maka klaimnya telah bebas/selamat, namun haruslah klaim itu disertai burhan (bukti-bukti yang nyata) yang mendukung klaimnya. Sebagaimana firman Allah sunhanahu : “Katakanlah, datangkan bukti-buktimu jika kamu adalah orang-orang yang benar” (QS al-Baqoroh : 111)…” dst hingga akhir jawaban beliau…[1]
Ucapan Muhadditsul Ashr al-Imam Muhammad Nashiruddin al-Albani
Samahatul Imam, Muhaddits al-Ashr, Muhammad Nashirudin al-Albany rahimahullahu berkata di dalam mendefinisikan siapakah mubtadi’ itu sebagai berikut :
أثر أبي هريرة رضي الله عنه يصلح أن يكون مثالاً عن أنَّ وقوع العالم في بدعة لا يعني أنه مبتدع, وأنَّ وقوع العالم في ارتكاب محرّم أي القول في إباحة ما هو محرم اجتهادًا منه لا يعني أنه ارتكب محرما. فأقول : أثر أبي هريرة رضي الله عنه هذا الذي ينصّ على أنّه كان يقوم يوم الجمعة قبل الصلاة يعظ الناس, يصلح بأن يكون مثالاً صالحاً, كون البدعة قد تقع من عالم وليس مع ذلك أنه مبتدع.
“Atsar Abu Hurairoh radhiallahu ‘anhu sesuai untuk dijadikan sebagai contoh dari permasalahan bahwa jatuhnya seorang alim ke dalam kebid’ahan tidak otomatis menjadikannya mubtadi’. Dan jatuhnya seorang alim ke dalam perbuatan haram yaitu dengan berpendapat tentang bolehnya sesuatu yang haram karena hasil ijtihadnya maka tidak otomatis menyebabkannya sebagai pelaku keharaman. Aku katakan, atsar Abu Hurairoh radhiallahu ‘anhu ini yang menashkan/menunjukkan bahwa beliau berdiri pada hari Jum’at sebelum sholat, memberikan nasehat kepada manusia, merupakan contoh tepat yang sesuai, bahwasanya terkadang bid’ah itu dilakukan oleh seorang yang alim namun tidaklah menjadikannya sebagai mubtadi’ begitu saja.”
وقبل الخوض في تمام الجواب أقول : المبتدع هو أولا الذي من عادته الابتداع في الدين, وليس الذي يبتدع بدعة ولو كان هو فعلا ليس عن اجتهاد وإنما عن هوى, مع هذا لا يسمى مبتدعاً. وأوضه مثال لتقريب هذا المثال, أن الحاكم الظالم قد يعدل في بعض أحكامه فلا يقال فيه عادل, كما أن العادل قد يظلم في بعض أحكامه فلا يقال فيه ظالم, وهذا يؤكد القاعدة الإسلامية الفقهية أن الإنسان بما يغلب عليه من خير أو شر إذا عرفنا هذه الحقيقة عرفنا من هو المبتدع.
”Sebelum masuk lebih mendalam kepada jawaban, aku katakan : pertama, mubtadi’ itu adalah orang yang kebiasaannya mengada-adakan bid’ah di dalam agama. Dan tidaklah orang yang melakukan kebid’ahan walaupun ia melakukannya bukan dari ijtihadnya tetapi dari hawa nafsunya, namun walau demikian ia tidak dikatakan sebagai mubtadi’. Aku terangkan sebuah contoh yang mirip dengan contoh ini, seorang hakim yang zhalim, terkadang berlaku adil dalam sebagian keputusannya namun dia tidaklah dikatakan sebagai hakim yang adil, sebagaimana juga hakim yang adil terkadang melakukan kezhaliman pada sebagian keputusannya namun dia tidak dikatakan sebagai hakim yang zhalim. Hal ini menyokong suatu kaidah fikih islami bahwasanya seseorang itu dihukumi dari kebaikan dan keburukan yang dominan pada dirinya, apabila kita telah mengetahui realita ini niscaya kita mengetahui siapakah mubtadi’ itu.”
فيشترط إذن في المبتدع شرطان : أولاً : أن لا يكون مجتهدا وإنما يكون متّبعاً للهوى, والثاني : أن يكون ذلك من عادته ومن دينه.
”Kalau begitu, disyaratkan bagi mubtadi’ itu dua syarat, yaitu : pertama, dia bukanlah termasuk mujtahid namun ia adalah pengikut hawa nafsu, dan kedua yaitu, dia tidaklah melakukannya sebagai kebiasaannya atau sebagai bagian dari agamanya.[2]”
Samahatul Imam juga ditanya dengan pertanyaan sebagai berikut :
السائل : هل صحيح أن هجر المبتدعة في هذا الزمان لا يطبق؟
“Apakah benar bahwa menghajr ahli bid’ah di zaman ini tidak tepat untuk diimplementasikan?”
Samahatul Imam rahimahullahu menjawab :
هو يريد أن يقول لا يحسن أن يطبق, هل صحيح لا يطبق؟ هو لا يطبق لأنه المبتدعة و الفساق والفجار هم الغالبون, ولكن هو يريد أن يقول لا يحسن أن يطبق, وهو كأنه السائل يعنيني أولا يعنيني. فأقول: نعم, هو كذلك, لا يحسن أن يطبق, وقد قلت هذا صراحة آنفا حينما ضربت المثل الشامي: أنت مسكّر وأنا مبطّل.
“Dia (penanya) bermaksud mengatakan bahwa praktek hajr tidak layak untuk diterapkan, apakah benar tidak layak diterapkan? Yang benar adalah praktek hajr memang tidak diterapkan karena mubtadi’, orang-orang fasik dan fajir (durhaka) adalah dominan di zaman ini. Akan tetapi dia (penanya) ingin mengatakan tidak layak untuk diimplementasikan. Dan penanya seakan-akan memaksudkanku dengan pertanyaannya ataukah tidak memaksudkanku. Maka aku katakan, “iya” keadaannya adalah demikian, tidak layak untuk diterapkan. Saya telah mengatakannya dengan jelas tadi ketika aku membuat permisalan tentang pepatah Syaami (orang Syam) : “Kamu menutup (pintu masjid) maka aku tidak jadi sholat.”[3]
Beliau rahimahullahu ditanya kembali :
السائل : لكن مثلاً إذا وجدت بيئة, الغالب في هذه البيئة أهل السنة مثلاً, ثم وجدت بعض النوابت ابتدعوا في دين الله عزّ وجل, فهنا يطبق أم لا يطبق؟
“Tapi (wahai syaikh), misalkan ada sebuah lingkungan, dan yang dominan di lingkungan ini adalah ahlus sunnah misalnya, kemudian ditemukan ada sekelompok orang yang berbuat bid’ah di dalam agama Alloh Azza wa Jalla, maka apakah (hajr) diterapkan ataukan tidak?”
Beliau rahimahullahu menjawab :
يجب هنا استعمال الحكمة, هذه الفئة الظاهرة القوية, هل إذا قاطعت الفئة المنحرفة عن الجماعة, يعود الكلام سابق هل ذلك ينفع الطائفة المتمسكة أم يضّرها, هذا من جهتهم, ثمّ هل ينفع المقاطعين والمهجورين من الطائفة المنصورة أم يضّرهم, هذا سبق جوابه كذلك. يعني لا ينبغي أن تأخذ مثل هذه الأمور بالحماس وبالعاطفة وإنما بالروية والأناة و الحكمة…
“Yang wajib adalah kita harus menggunakan hikmah. Jika kelompok yang lebih kuat yang mayoritas yang menghajr kelompok yang menyeleweng –kita kembalikan kepada pembahasan yang telah lalu- apakah hal ini akan memberikan manfaat pada kelompok yang berpegang pada kebenaran ataukah malah akan mencederai (memudharatkan)nya? Ini dari satu sisi. Kemudian dari sisi lain apakah hajr yang diterapkan oleh ath-Thaifah al-Manshurah bermanfaat bagi kelompok yang dihajr atau justru menimbulkan mudharat bagi mereka. Jawabannya telah lalu, yaitu tidaklah patut dalam permasalahan seperti ini kita mengambil sikap dengan semangat dan perasaan belaka, namun seharusnya dengan sikap hati-hati, tenang (tidak gegabah) dan penuh hikmah…”[4]
Ucapan Faqiihuz Zaman Samahatus SyaikhMuhammad Sholih al-Utsaimin
Samahatul Imam, Faqiihuz Zaman, Muhammad bin Shalih al-’Utsaimin rahimahullahu berkata :
فإذا كان في الهجر من فعل معصية لترك واجب أو فعل محرم فائدة فإنه يهجر حتى تتحقق الفائدة ، وأما من كان هجره لا يفيد شيئاً بل لا يزيد الأمر إلا شدة وإلا بعداً عن أهل الخير فلا يهجر ، لأن الشرع جاء بالمصالح وليس بالمفاسد ، فإذا علمنا أننا لو هجرنا هذا العاصي لم يزدد إلا شراً وكراهة لنا وكراهة ما معنا من الخير ، فإننا لا نهجره ، نسلم عليه ونرد عليه السلام لأنه وإن عصى الله ، والمؤمن لا يهجر فوق ثلاث ، هذا هو الحكم فيما يتعلق بالهجر ،
”Apabila menghajr orang yang melakukan kemaksiatan dan meninggalkan kewajiban atau berbuat kemaksiatan memberikan faidah, maka dia (perlu) dihajr hingga dapat mewujudkan faidah. Akan tetapi orang yang hajrnya tidak membuahkan faidah sedikitpun, namun malah menambah keras kepala dan menjauh dari kebenaran, maka janganlah dihajr. Karena syariat itu datang dengan membawa kemashlahatan bukan kerusakan. Apabila kita telah tahu bahwa apabila kita menerapkan hajr pada kemaksiatan ini tidaklah menambah melainkan keburukan, kebencian terhadap kita dan kebencian terhadap apa yang kita bawa berupa kebaikan, maka kita jangan menghajrnya. Kita ucapkan salam padanya dan kita jawab salamnya. Karena, walaupun dia telah bermaksiat kepada Alloh, seorang mukmin itu tidaklah dihajr lebih dari tiga hari. Inilah hukum yang berkaitan dengan hajr.
وفي النهاية يسوءني أن أحد المسلمين اليوم يمر بعضهم ببعض لا يسلم أحدهم على الآخر ، يتلاقيان يضرب كتف أحدهما كتف الآخر لا يسلم عليه وكأنما مر بجيفة أو يهودي أو نصراني ، مع أنهم أخوه ، ومع هذا إذا سلم عليه ماذا يستفيد ؟ عشر حسنات نقداً ، إيمان ، محبة ، ألفة ، دخول الجنة .قال النبي صلى الله عليه وسلم : ( والله لا تدخلوا الجنة حتى تؤمنوا ولا تؤمنوا حتى تحابوا أفلا أخبركم بشئ إذا فعلتموه تحاببتم أفشوا السلام بينكم ) فبين أن إفشاء السلام من أسباب المحبة من الإيمان والإيمان سبب لدخول الجنة
”(Keadaan) akhir-akhir ini sungguh mengecewakanku, bahwasanya ada seorang muslim pada hari ini, mereka berlalu melewati sebagian lainnya namun tidak saling mengucapkan salam antar satu dengan lainnya, seakan-akan mereka berlalu dengan ketakutan atau seakan-akan mereka melewati orang Yahudi atau Nasrani, padahal mereka adalah saudaranya, padahal apabila dia mengucapkan salam, apa faidah yang dapat ia peroleh? (dia akan memperoleh) sepuluh kebaikan secara sempurna, keimanan, kecintaan, keterpaduan dan masuk ke dalam surga. Nabi Shallallahu ’alaihi wa Salam bersabda :
والله لا تدخلوا الجنة حتى تؤمنوا ولا تؤمنوا حتى تحابوا أفلا أخبركم بشئ إذا فعلتموه تحاببتم أفشوا السلام بينكم
”Demi Alloh, kalian tidak bakal masuk surga sampai kalian beriman, dan kalian tidak beriman sampai kalian saling mencintai. Maukah kalian aku beritakan dengan sesuatu amalan yang apabila kalian laksanakan maka kalian akan saling mencintai? Yaitu sebarkan salam di tengah-tengah kalian.”
Beliau menjelaskan bahwa menyebarkan salam termasuk sebab-sebab yang dapat menghantarkan kepada kecintaan dan keimanan, sedangkan keimanan itu merupakan sebab masuk ke dalam surga.
ويؤسفنا جداً أن نرى مسلمين يلتقي بعضهم ببعض ولا يسلم ، بل ربما كانا أخوين زميلين في الدراسة ، سواء في دراسة المسجد أو في دراسة الكلية أو المعهد أو المدارس الأخرى ، لا يسلم بعضهم على بعض إذاً ما فائدة العلم ؟ ما فائدة طلب العلم ؟إذا لم يتربَّ طالب العلم بالتربية الحسنة التي دل عليها الكتاب والسنة ،
Sungguh sangat menyedihkan sekali, kami melihat kaum muslimin bertemu antara satu dengan lainnya namun tidak saling mengucapkan salam. Bahkan betapa banyak dua orang bersaudara yang berteman baik di suatu sekolah, baik di Masjid, perkuliahan, ma’had ataupun sekolahan lainnya, mereka tidak saling mengucapkan salam antara satu dengan lainnya. Lantas, apa manfaatnya ilmu?!! Apa faidahnya menuntut ilmu?!! Apabila tidak berimplikasi sama sekali terhadap seorang penuntut ilmu pendidikan yang baik, yang telah ditunjukkan oleh Kitabullah dan Sunnah Rasulullah.
وكان عليها رسول الله صلى الله عليه وسلم فما الفائدة من التعليم فهو والجاهل سواء ، إن لم يكن الجاهل خيراً منه ، ولهذا احثكم على إفشاء السلام لفوائدة العظيمة ، وهو لايضر ، لأنه عمل اللسان ، واللسان لو يعمل من الصباح إلى الغروب ما كلَّ ولا ملَّ فنسأل الله لنا ولكم الهداية والتوفيق والعصمة والتوبة إنه على كل شئ قدير .
Rasulullah Shallallahu ’alaihi wa Salam telah mewajibkan untuk menuntut ilmu, lantas apa faidahnya belajar apabila dirinya dengan orang bodoh itu sama saja?!! Kalau tidak demikian maka orang bodoh itu lebih baik baginya. Oleh karena itu, aku anjurkan kalian semua untuk menyebarkan salam agar memperolah faidah yang agung, dan hal ini (menyebarkan salam) tidaklah membahayakan, dikarenakan hal ini merupakan perbuatan lisan, dan lisan apabila dipergunakan dari pagi hari sampai sore, tidak bakal habis dan berkurang. Kami memohon kepada Alloh hidayah, taufiq, keterpeliharaan dan taubat bagi diri kami dan kalian, sesungguhnya Dia atas yang demikian ini adalah Maha Mampu.”[5]
Syaikh rahimahullahu juga berkata :
فكل مؤمن وإن كان فاسقاً فإنه يحرم هجره ما لم يكن في الهجر مصلحة ، فإذا كان في الهجر مصلحة هجرناه ، لأن الهجر حينئذ دواء ، أما إذا لم يكن فيه مصلحة أو كان فيه زيادة في المعصية والعتو ، فإن مالا مصلحة فيه تركه هو المصلحة .
”Maka setiap mukmin, walaupun ia seorang yang fasiq, haram menghajrnya selama tidak mendatangkan faidah. Namun jika bermashlahat maka kita lakukan. Karena hajr adalah obat, jika hajr tidak mempunyai mashlahat atau justru malah menambah kemaksiatan dan kedurhakaan, maka sesuatu yang tidak bermashlahat meninggalkannya adalah suatu mashlahat pula.[6]
Ucapan Muhaddits Yaman al-’Allamah asy-Syaikh Muqbil bin Hadi al-Wadi’i
Berkata asy-Syaikh al-’Allamah al-Muhaddits Muqbil bin Hadi al-Wadi’i rahimahullahu ketika ditanya tentang kriteria di dalam menghajr :
الحمد لله رب العالمين وصلى الله على نبينا محمد وعلى آله وأصحابه أجمعين ، وأشهد أن لا إله إلا الله وحده لا شريك له ، وأشهد أن محمداً عبده ورسوله أما بعد:
”Segala puji hanyalah milik Alloh Pemelihara alam semesta, sholawat dan salam semoga senantiasa terlimpahkan kepada Nabi kita Muhammad, keluarga beliau dan para sahabatnya seluruhya. Saya bersaksi bahwa tiada sesembahan yang haq selain Alloh semata yang tidak ada sekutu bagi-Nya dan saya bersaksi bahwa Muhammad adalah hamba dan utusan-Nya. Amma Ba’du :
فالهجر : هجر المسلم يعتبر من الكبائر والرسول صلى الله عليه وسلم يقول : ( لا يحل لمسلم أن يهجر أخاه فوق ثلاث ) نعم ويقول أيضاً 🙁 إن الله سبحانه وتعالى يغفر لجميع خلقه إلا لمشرك أو مشاحن فيقول انظروا هذين حتى يصطلحا ) فهجر المسلم يعتبر من الكبائر ،
Hajr (dalam artian) menghajr seorang muslim itu termasuk dosa besar, Rasulullah Shallallahu ’alaihi wa Salam bersabda :
لا يحل لمسلم أن يهجر أخاه فوق ثلاث
”Tidak halal bagi seorang muslim menghajr saudaranya lebih dari tiga hari.”
Dan sabda beliau pula :
إن الله سبحانه وتعالى يغفر لجميع خلقه إلا لمشرك أو مشاحن فيقول انظروا هذين حتى يصطلحا
”Sesungguhnya Alloh Subhanahu wa Ta’ala mengampuni seluruh hamba-Nya kecuali orang yang musyrik dan orang yang bertikai. Lantas beliau berkata : perhatikanlah dua perkara ini sampai keduanya terbebas”
Maka menghajr seorang muslim itu termasuk dosa besar.
وقد وقع مع النبي صلى الله عليه وسلم أن هجر الثلاثة الذين خلفوا عن غزوة تبوك هجرهم نحو خمسين ليلة وهكذا أيضاً هجر نساءه عند أن تظاهرن عليه وطلبن منه النفقة فيما لا يقدر عليه هجرهن شهراً ثم بعد ذلك أمره الله أن يخيرهن بين البقاء معه وبين الفراق ( يا أيها النبي قل لأزواجك إن كنتن تردن الحياة الدنيا وزينتها فتعالين أمتعكن وأسرحكن سراحاً جميلاُ وإن كنتن تردن الله ورسوله والدار الآخرة فإن الله أعد للمحسنات منكنَّ أجراً عظيماً )
Terjadi di zaman Nabi Shallallahu ’alaihi wa Salam bahwasanya beliau menghajr tiga orang yang tidak turut dalam perang Tabuk, beliau menghajr mereka selama 50 malam. Beliau juga menghajr isteri-isteri beliau tatkala mereka membangkang dari beliau dan menuntut harta kepada nabi yang tidak beliau sanggupi, beliau hajr mereka selama sebulan, kemudian setelah itu beliau memberikan pilihan kepada mereka antara tetap bersama beliau ataukah perceraian.
يا أيها النبي قل لأزواجك إن كنتن تردن الحياة الدنيا وزينتها فتعالين أمتعكن وأسرحكن سراحاً جميلاُ وإن كنتن تردن الله ورسوله والدار الآخرة فإن الله أعد للمحسنات منكنَّ أجراً عظيماً
”Hai nabi, Katakanlah kepada isteri-isterimu: “Jika kamu sekalian mengingini kehidupan dunia dan perhiasannya, Maka marilah supaya kuberikan kepadamu mut’ah dan Aku ceraikan kamu dengan cara yang baik. Dan jika kamu sekalian menghendaki Allah dan Rasulnya-Nya serta negeri akhirat, Maka Sesungguhnya Allah menyediakan bagi siapa yang berbuat baik diantaramu pahala yang besar.” (al-Ahzab : 28-29)
Beliau rahimahullahu lalu melanjutkan perkataannya :
فالهجر الذي وقع من النبي صلى الله عليه سلم قليل وقليل ، فلا ينبغي لكل من رأي منه تقصيراً أن تهجره فإن النبي صلى الله عليه وسلم يقول : ( حق المسلم على المسلم خمس ومنها إذا لقيتها فسلم عليه ) والهجر في هذا الزمن وفي غير هذا الزمن لابد أن لا يكون شهوة . بينك وبين صاحبك خصام قلت : أنا أهجرك لله ، لكن لو فتشت نفسك وأنصفت لكان الهجر لأجل نفسك فلا يكون لحظ النفس
Hajr yang terjadi dari Nabi Shallallahu ’alaihi wa Salam sangatlah sedikit dan sedikit. Maka tidaklah sepatutnya bagi setiap orang yang ia melihat ada kekurangan pada seseorang lantas kamu menghajrnya, karena Nabi Shallallahu ’alaihi wa Salam bersabda :
حق المسلم على المسلم خمس ومنها إذا لقيتها فسلم عليه
”Hak muslim yang satu dengan muslim lainnya ada lima, diantaranya apabila bertemu maka ucapkan salam padanya.”
Hajr di zaman ini dan selain zaman ini, haruslah tidak boleh atas dasar syahwat (hawa nafsu). Jika ada permusuhan antara dirimu dengan temanmu, kamu berkata : ”aku menghajrmu karena Alloh” akan tetapi jika kau tilik dirimu dan kau berlaku adil maka sesungguhnya hajr itu adalah untuk dirimu bukan untuk kebahagian diri.
تهجر لله سبحانه وتعالى فمثلاً ولدك أو أخوك أو جارك أخوك في الله هجرته وما شعرت إلا وقد انحرف ، أو ذهب إلى الشيوعين ، أو إلى غيرهم ، وأنت تعتبر آثماً وأنت المتسبب في انحرافه ، فلا بد أن تنظر المصلحة ، مثلاً إذا هجرت ولدك يوماً أو يومين وهو محتاج إليك ، وسيرجع وأنت متأكد أنه سيرجع ، أما إذا كان سيخطفه الخربيون ، أو كان سيضيع ويميع في الشوارع ، فعليك أن تصبر عليه وتدعو الله له بالهداية ، فإن دعوتك بإذن الله مستجابة تدعو الله أن يهديه
Kamu menghajr karena Alloh Subhanahu wa Ta’ala, misalnya anakmu, atau saudaramu, atau tetangga saudaramu, menghajrnya di jalan Alloh, dan tidaklah kamu rasakan melainkan tambah menyimpang, atau berubah menjadi sosialis atau selainnnya, maka kamu menjadi dosa dan menjadi sebab atas penyimpangannya. Maka haruslah kamu perhatikan maslahatnya. Misalnya apabila kamu hajr anakmu sehari atau dua hari sedangkan ia butuh kepadamu dan dia akan kembali (taubat) maka kamu harus yakin bahwa dia bakal kembali. Adapun jika hizbiyun akan merenggutnya, atau dia akan menyia-nyiakan dan meremehkan syariat, maka kamu wajib bersabar atasnya dan do’akan baginya hidayah dari Alloh, karena do’amu dengan izin Alloh adalah mustajabah, maka berdo’alah kepada Alloh supaya Ia memberinya hidayah.
نعم أنصحكم أن لا تحضروا محاضرة المبتدعة من حزبيين ، ومن غيرهم لماذا ؟ لأنهم يبثون السموم فيها شعرتم أو لم تشعروا ، أما إذا لقيته في الطريق فالسلام عليكم ، وعليكم السلام ، وإذا صافحك فصافحه ، لكن من أجل سلامة قلوبكم والمحافظة على قلوبكم من الشبه أنصحكم أن لا تحضروا محاضرات المبتدعة سواء كانوا حزبيين أم غيرهم ، نعم من أجل المحافظة على سلامة القلوب فإن أحدكم ربما يخرج على سيارته من صنعاء إلى حضرموت وليس له إلا أن يدعو إلى حزبه المغلف ، أو إلى حزبه الظاهر والله المستعان .
Iya, aku nasehatkan kalian untuk tidak menghadiri pengajiannya mubtadi’, baik dari kaum hizbiyin ataupun selain mereka, kenapa? Karena mereka akan menancapkan bisa beracunnya baik kamu rasakan maupun tidak kamu rasakan. Adapun apabila kamu bertemu dengannya di jalan, maka ucapkan assalamu’alaykum, wa’alaykumus salam, apabila dia mengajakmu bersalaman maka bersalamanlah dengannya. Akan tetapi, dalam rangka untuk keselamatan hati kalian dan menjaga hati kalian dari syubuhat, maka aku nasehatkan kalian supaya tidak menghadiri pengajian mubtadi’, baik mereka dari hizbiyin ataupun selainnya. Iya, dalam rangka untuk menjaga keselamatan hati. Karena sesungguhnya, betapa banyak salah seorang diantara kalian keluar melakukan perjalanan dari Shon’a menuju Hadhromaut, tidak ada yang mengajak dirinya melainkan orang yang mengajak kepada partainya yang tertutup (tersembunyi) atau kepada partainya yang tampak, Dan hanya kepada Alloh kita memohon pertolongan.”[7]
——————————————————————————–
[1] Lihat : al-Ajwibah al-Mufiidah ‘an Ba’dli Masa`ilil Aqidah oleh al-Imam Abdul Aziz bin Baz, diterbitkan oleh : Ri`aasah al-idaaroh al-Buhuts al-Ilmiyyah wal Iftaa’, cet. III, 1422/2002, Riyadh, hal. 25-31.
[2] Dari kaset Man Huwa al-Mubtadi’, Silsilah al-Huda wan Nur ash-Shoutiyah no. 785, side B; dinukil dari buku Aqwaalu wa Fataawa al-Ulama`u fit Tahdziiri min Jama’ati al-Hajri wat Tabdii’, penyusun : Kumpulan Penuntut Ilmu, cet. II, 1424 H., tanpa penerbit, hal. 18-19.
[3] Dari kaset Haqiqotul Bida’ wal Kufri, Silsilah al-Huda wan Nur no. 666, side B; dinukil dari al-Manhajus Salaf ‘inda asy-Syaikh Nashiruddin al-Albani karya ‘Amru ‘Abdul Mun’im Salim hal. 90-91; Bagi yang ingin mendapatkan terjemahan lengkap ceramah ini bisa didownload di http://geocities.com/fsms_sunnah (Download Centre Maktabah Abu Salma).
[4] Ibid.
[5] Syarh Riyadhus Shalihin oleh Syaikh Muhammad bin Shalih al-‘Utsaimin, tahqiq : Syaikh Abdullah ath-Thoyar, cet. I, 1415 H./1995 M, Darul Wathon, Riyadh, juz IV, hal. 219-220.
[6] Lihat Muzilul Ilbas fi Hukmi ‘ala an-Naasi karya Said bin Shabir Abduh, hal. 252; Melalui perantaraan Aqwalu A`immah ad-Da’wah as-Salafiyah fi hadzal ‘Ashr fi Mas`alati al-Hajr wat Tabdi’di dalam www.muslm.net/vb
[7] Lihat al-Ajwibah as-Sadidah fi Fatawa al-‘Aqidah oleh al-‘Allamah Muqbil bin Hadi, juz I, hal. 167-168; melalui perantaraan Aqwal (ibid.)
(Bersambung Bagian 4)
-***-***-***-