KONTROVERSI PUASA SUNNAH HARI SABTU 1
KONTROVERSI PUASA SUNNAH HARI SABTU HARAM, MAKRUH ATAUKAH MUBAH ??
Tinjauan dari Studi Hadits dan Fikih
Bagian 1
Penyusun :
Abu Salma al-Atsary
PENDAHULUAN
Bagaimanakah hukum berpuasa sunnah (Muharam) pada hari Sabtu?? Haramkah? Makruh ataukah Mubah? Apakah kita lebih mendahulukan larangan tentang berpuasa hari Sabtu ataukah kita mendahulukan hadits yang menganjurkan puasa sunnah pada hari itu?? Berikut ini adalah pembahasan lengkapnya.
Dalam hal ini para ulama berbeda pendapat secara tajam. Dalam al-Wajiz hal. 203, di dalam sub bab yang berjudul al-Ayyamu al-Munha ’an Shiyaamiha (hari-hari yang terlarang berpuasa), no.4, Syaikh Abdul Azhim Badawi hafizhahullahu memasukkan hari Sabtu secara bersendirian termasuk hari yang terlarang berpuasa di dalamnya. Berdasarkan hadits dari Abdullah bin Busr as-Sulami dari saudarinya yang bernama ash-Shamma’, bahwasanya Nabi Shallallahu ’alaihi wa Sallam bersabda : ”Janganlah berpuasa pada hari Sabtu kecuali puasa yang diwajibkan kepada kalian, jika kalian tidak mendapatkan apapun kecuali hanya kulit pohon anggur atau ranting pohon, maka kunyahlah”. (Hadits Shahih : Shahih : 2116; Sunan Abu Dawud (VII/66/4303); Sunan Turmudzi (II/123/741) dan Sunan Ibnu Majah (I/550/1726), lihat takhrijnya di dalam al-Wajiz hal. 203)
Syaikh al-Albany Rahimahullahu berpendapat bahwa berpuasa pada hari Sabtu hukumnya haram secara mutlak (al-Irwa’ : IV/122) dan pendapat beliau dikuatkan oleh Syaikh Ali Hasan al-Halaby dalm Zahru ar-Raudli fi Hukmi Shiyaami Yawmi Sabti fi Ghoyril Fardli. Syaikh Abdul Azhim Badawi dalam al-Wajiz fi Fiqhis Sunnah memasukkan hari Sabtu sebagai hari-hari terlarang dan haram jika dilaksanakan bersendirian, sedangkan jumhur ulama menyatakan hukumnya adalah makruh sebagaimana pendapat Syaikh Abul Hasan al-Ma’ribi dalam Silsilah Fatawa Syar’iyah, sebagian lagi memperbolehkan secara mutlak seperti Syaikh Abu Abdillah Mustofa al-‘Adawi, Syaikh Usamah Abdul Aziz (dalam Shiyaamu Tathawu’ Fadha’il wal Ahkam – terjemahan : Puasa Sunnah, penerbit : Darul Haq), Syaikh Abu Ishaq al-Huwaini (dalam tanya jawab di http://www.alheweni.com) dan selainnya. Demikian pula apa yang dikuatkan oleh Syaikh Abu ’Umar al-’Utaibi.
Ibnu Rusyd berkata dalam Bidayatul Mujtahid (V/216-217) : “Hari-hari yang dilarang berpuasa ada yang telah disepakati dan ada yang masih diperselisihkan. Adapun yang telah disepakati adalah pada hari Fithri dan Adlha yang telah tsabat larangannya. Adapun yang diperselisihkan adalah hari-hari tasyriq, hari syak, hari Jum’at, hari Sabtu, pertengahan akhir bulan Sya’ban dan puasa Dahri…” beliau melanjutkan ucapannya, “Adapun hari Sabtu, maka sebab terjadinya perselisihan adalah karena perbedaan di dalam menshahihkan hadits yang diriwayatkan dari Nabi bahwasanya beliau bersabda : “Janganlah kalian berpuasa pada hari Sabtu kecuali puasa yang telah diwajibkan kepada kalian”…”.
Imam ath-Thahawi berkata di dalam Syarh Ma’ani al-Atsaar (II/80) setelah meriwayatkan hadits larangan berpuasa pada hari Sabtu : “Para ulama berpendapat dengan hadits ini, dan mereka membenci berpuasa tathawu’ (sunnah) pada hari Sabtu.” Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata dalam Iqtidla’ ash-Shirathal Mustaqim (II/570) ketika menyebutkan waridnya hadits larangan berpuasa pada hari Sabtu : “Para ulama telah berselisih pendapat tentangnya.”
Beberapa ulama berargumen di dalam menolak hadits larangan berpuasa hari pada hari Sabtu ini dengan menyatakan bahwa hadits ini adalah syaadz. Agar permasalahan ini menjadi jelas, maka ada baiknya jika kita melihat perincian jalan-jalan hadits larangan berpuasa pada hari Sabtu ini, sehingga madzhab yang kita ambil adalah madzhab Ahlul Hadits bukan madzhab Fulani atau Fulan.
TAFSHIL (PERINCIAN) JALUR-JALUR PERIWAYATAN HADITS LARANGAN BERPUASA HARI SABTU DAN PENETAPAN KESHAHIHANNYA
Fadhilatus Syaikh Ali Hasan al-Halaby al-Atsary berkata di dalam Zahru ar-Roudli fi Hukmi Shiyaami Yaum as-Sabti fi ghoiri al-Fardli :
Hadits ini warid (datang) dari empat orang sahabat. Tiga diantaranya merupakan ahlul bait yang satu, yakni :
1. Abdullah bin Busr
2. Saudarinya, Shamma’ binti Busr
3. Bapak keduanya, Busr bin Abi Busr al-Maaziniy
Ibnu Abdil Bar meriwayatkan dalam ‘al-Isti’ab’ (12/228-229) dengan sanad yang sampai kepada Duhaim, ia berkata : “Sahabat nabi yang satu ahlul bait (keluarga) ada empat orang, yaitu Busr dan kedua puteranya, Abdullah dan Athiyah, serta saudari keduanya, Shamma’” (Lihat : ar-Rabbaniy fil Hadist (hal. 26) karya Abdul Ghani bin Said al-Azdi dengan tahqiqku (Syaikh Ali Hasan), cet. Dar Ammar)
4. Abu Umamah, yang nama asli beliau adalah Shuday bin ‘Ajlan.
Berikut ini adalah perincian riwayat-riwayat mereka, jalur-jalurnya beserta takhrijnya (Yang dinukul dari risalah Zahru ar-Roudli :
PERTAMA : ABDULLAH BIN BUSR
Memiliki banyak jalur :
Pertama : Diriwayatkan Ibnu Majah (1726), ‘Abd bin Humaid dalam Musnad-nya no 507, Nasa`iy dalam al-Kubra (55/m/1), Ibnu Syahin dalam Nasikh wa Mansukh (no. 398, cet. Al-Manar) dan Abu Nu`aim dalam al-Hilyah (V/218). Seluruhnya dari jalur Isa bin Yunus, dari Tsaur bin Yazid, dari Khalid, dari Abdullah, ia berkata :
“Janganlah kalian berpuasa pada hari Sabtu kecuali puasa yang diwajibkan atas kalian, jika kalian tak mendapatkan apa-apa kecuali hanya kulit pohon anggur atau ranting pohon, maka kunyahlah”
Diriwayatkan pula oleh Tamam ar-Razi dalam Fawaid-nya no 654 dari jalan Utbah bin Sakkan, dari Tsaur yang serupa…
Aku (Syaikh Ali) berkata : “Isa bin Yunus adalah Ibnu Abi Ishaq as-Sabi’iy, seorang yang tsiqot ma’mun. Adapun Utbah bin Sakkan, Daruquthni berkata tentangnya, “Dia matruk”. Berkata Baihaqi tentangnya, “Lemah tertuduh memalsu hadits”. Biografinya terdapat dalam al-Lisan (IV/128). Adapun rijal sanad lainnya tsiqoh dan sanadnya shahih. Keberadaan Utbah tidak menganggu kesahihannya karena riwayat Utbah hanyalah mutaabi’ (penyerta).”
Kedua : Diriwayatkan Ahmad (IV/189) dan al-Khathib dalam Tarikh-nya (VI/24), dari jalur Ibrahim bin Ishaq ath-Thalqooniy, ia berkata : Mengabarkan kepada kami Walid bin Muslim, dari Yahya bin Hassan, ia berkata, aku mendengar Abdullah bin Busr al-Maaziniy berkata, Aku mendengar Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam bersabda : (sama seperti redaksi sebelumnya)
Rijal-rijalnya seluruhnya tsiqot, namun Walid bin Muslim telah melakukan Tadlis Taswiyah1, ia tidak menyatakannya dengan tahdits (perkataan haddatsana) dari gurunya, namun beliau menegaskannya pada (tabaqat/tingkatan) gurunya guru beliau.2
Syaikh kami Albany telah mengisyaratkan hal ini dalam al-Irwa’ (IV/122) perkataan adl-Dliya’ al-Maqdisy dalam al-Ahadits al-Mukhtarah (191/1) yang berkata, “Sanad hadits ini shahih.” Barangkali pada riwayatnya, Walid menegaskan riwayatnya dengan tahdits. Wallahu a’lam.
Ketiga : Diriwayatkan Ahmad (IV/189), Nasa`iy dalam al-Kubra sebagaimana tercantum dalam at-Tuhfah (IV/293), Ibnu Hibban dalam Shahih-nya (V/250-ihsan), ad-Daulabi dalam al-Kuna (II/118), ath-Thabrani –dari jalur al-Mizzi- dalam Tahdzibul Kamal (VI/43-Basyar), Ibnu Asakir dalam Tarikh-nya (9/no. 8), Abu Zur’ah ad-Dimasyqy dalam Tarikh-nya (no. 611) secara ringkas. Keseluruhannya dari dua jalan, dari Hassan bin Nuh, ia berkata, aku mendengar Abdullah bin Busr berkata, apakah kau lihat kedua tanganku ini? Aku telah membaiat Rasulullah dengan kedua tanganku ini, dan aku mendengar beliau bersabda… (sama seperti redaksi sebelumnya)
Aku (Syaikh Ali) berkata, “Sanadnya hasan insya Allah. Dan Hassan, banyak perawi tsiqot meriwayatkan darinya. Al-Ijli, Ibnu Hibban dan Ibnu Hajar mentsiqotkannya. Adz-Dzahabi berkata, Shaduq.”3
Aku (Syaikh Ali) katakan : Hadits dari jalur Abdullah dishahihkan al-Hakim, ia berkata, “Shahih menurut syarat Bukhari.”4 Ibnu Sakkan menshahihkannya sebagaimana tercantum dalam at-Talkhishu Habir (II/216) karya Ibnu Hajar.
KEDUA : ASH-SHAMMA’ BINTI BUSR
As-Shamma’ ini diperselisihkan tentangnya.
Ibnu Hajar Berkata dalam at-Tahdzib (12/431) : “Beliau adalah saudari Abdullah bin Busr, adapula yang mengatakan beliau adalah ‘amati (bibi yang memiliki hubungan darah dengan ayah atau saudarinya ayah)-nya dan ada pula yang mengatakan beliau adalah kholati (bibi yang memiliki hubungan darah dengan ibu atau saudarinya ibu)-nya.”
Beliau berkata pula dalam al-Ishabah (12/160) : “Nasa`iy mengeluarkan haditsnya, dan dia meneliti tentang argumentasi perselisihan perawi di dalam sanadnya. Beliau pada mayoritas riwayatnya disebut namanya, ash-Shama’, namun pada jalan lain disebut ‘amati-nya (Abdullah), di jalan lain disebutkan kholati-nya (Abdullah), dan di jalan lain tidak disebut namanya.”
Aku (Syaikh Ali) berkata, “Persahabatannya (Ash-Shama’) dengan Rasulullah adalah tsabit (benar), namun bagaimana hubungan kekerabatannya dengan Abdullah bin Busr adalah perkara ikhtilaf yang masih suram. Tapi, ikhtilaf ini tidak mempengaruhi hadits ini sebagaimana zhahirnya” (bahwa ash-Shama’ adalah shahabiyah dan seluruh shahabiyah adalah ‘adil, peny.).
Telah warid seluruh riwayat-riwayat darinya. Berikut ini penjelasannya :
Pertama : Dari Abdullah bin Busr dari Saudarinya ash-Shamma’
Daruquthni meriwayatkan secara mu’allaq dalam al-Mu’talif wal Mukhtalif (I/247), dan warid (datang) maushul (penguhubung sanad)-nya dari jalan Tsaur bin Yazid dari Khalid bin Ma’dan dst…
Diriwayatkan oleh jama’ah, yakni :
1. Diriwayatkan oleh Abu Dawud (2421), Ibnu Majah (1726), Nasa`iy dalam al-Kubra (65/a/3) sebagaimana tercantum dalam at-Tuhfah (II/344), Ibnu Asakir dalam Asadul Ghobah (VI/155) dari jalur Sufyan bin Hubaib dan Walid bin Muslim.
2. Diriwayatkan oleh Turmudzi (744), Baghawi dalam Syarhus Sunnah (1806), Thabrani (24/330) dari jalur Sufyan bin Hubaib.
3. Diriwayatkan oleh Ahmad (VI/368), Darimi (II/19), Ibnu Khuzaimah (2164), Thahawi (II/80), Baihaqi (IV/302), Thabrani dalam al-Kabir (24/325) dari jalan Abu ‘Ashim.
4. Diriwayatkan oleh Hakim (I/436), Thabrani (24/327), Ibnu Abi Ashim dalam al-Ahad wal Matsaaniy (3411) dari jalan al-Walid.
5. Diriwayatkan oleh Nasa`iy dalam al-Kubra (55/a/2), Thabrani dalam al-Kabir (24/330) dari jalan Asbagh bin Zaid.
6. Diriwayatkan oleh Tammam dalam Fawa`id-nya (652) dari jalan Auza`iy.
7. Diriwayatkan oleh Nasa`iy dalam al-Kubra (55/a/4) dari jalan Abdul Malik bin Shobah.
8. Diriwayatkan oleh Thabrani dalam al-Kabir (24/330) dari jalan Qurrah bin Abdurrahman.
9. Diriwayatkan oleh Thabrani dalam al-Kabir (24/330) dari jalan al-Fadhl bin Musa.
10. Diriwayatkan oleh adl-Dliya’ al-Maqdisy dalam al-Muntaqa min Masmu’atihi bimarruw (no. 34/1), sebagaimana tercantum dalam al-Irwa’ (IV/118) dari jalan Yahya bin Nashr. Syaikh Ali Hasan berkata : “sanadnya shahih menurut syarat Bukhari.”
Keseluruhan sepuluh riwayat di atas, seluruh perawinya termasuk perawi tsiqoh, yang meriwayatkan dari Tsaur dan menetapkan bahwa Shamma’ adalah saudari Abdullah bin Busr. Akan datang sebentar lagi riwayat Baqiyyah dari Tsaur yang menetapkan Shamma’ bukan saudari Abdullah, akan tetapi haditsnya munkar, demikian pula riwayat Abu Bakr al-Muqri’, haditsnya syadz.
Barangkali, dari sinilah para ulama menyatakan bahwa ash-Shamma’ adalah saudari Abdullah bin Busr. Pendapat lainnya warid dari riwayat lainnya yang akan datang dari jalur Tsaur memiliki mutaabi’ (penyerta).
Diriwayatkan oleh Ahmad (VI/368) dan Thabrani dalam Musnad asy-Syaamiyyin (1591) dari jalan Isma`il bin Ayyasy dari Muhammad bin Walid az-Zubaidi, dari Luqman bin ‘Amir, dari Khalid bin Ma’dan, dari Abdullah bin Busr, dari saudarinya, ash-Shamma’… dst…
Sanadnya hasan karena adanya Luqman, dan riwayat Isma`il dari penduduk Syam adalah shahih. Namun :
Diriwayatkan oleh Nasa`iy dalam al-Kubra (55/a/6) dan Thabrani dalam Musnad asy-Syaamiyyin (1850), sebagaimana komentar asy-Syaikh Hamdi Abdul Majid as-Salafy terhadap Mu’jamul Kubra (II/328), beliau menyebutkan adanya dua jalan, dan diriwayatkan al-Mizzi dalam Tahdzibul Kamal (641) dari jalur Baqiyah bin Walid, dari az-Zubaidi, dari Luqman bin Amir, dari Amir bin Jasyib, dari Khalid, dari Abdullah bin Busr secara Marfu’.
Yaitu, dengan tambahan rawi Amir bin Jasyib diantara Luqman dan Khalid dan dia adalah orang yang tsiqoh, dan riwayatnya menghilangkan Shamma’ saudari Abdullah.
Hal ini tidak menyebabkan ‘illat (cacat) bagi hadits, karena Luqman bin Amir meriwayatkan dari Abu Darda’, Abu Hurairoh, Abu Umamah, dll. Dan riwayatnya dari Khalid lebih utama, demikian pula riwayatnya dari Amir juga Tsabit.5
Kemudian Aku (Syaikh Ali) melihat pada jalur Tsaur memiliki mutaba’ah lainnya, namun dengan tambahan rawi ‘Aisyah setelahnya.
Nasa`iy meriwayatkan dalam al-Kubra (55/a/11) sebagaimana tercantum dalam Tuhfatul Asyraf (II/401) dari Muhammad bin Wahb, dari Muhammad bin Salamah (dalam at-Tahdzib (9/506) disebut bin Maslamah), dari Abu Abdurrahman (namanya adalah Khalid bin Abi Yazid bin Sammal –dalam at-Tahdzib (8/217-dengan tahqiq Basyar Awwad) disebut bin Sammak-, lihat al-Ikmal (IV/353) karya Ibnu Makuula), dari al-Allaa’, dari Dawud bin Ubaidillah, dari Khalid bin Ma’dan, dari Abdullah bin Busr, dari saudarinya ash-Shamma’, dari ‘Aisyah….
Al-Mizzi berkata, “Demikianlah teksnya, ia berkata, dari saudarinya ash-Shamma’, dari ‘Aisyah. Sekumpulan ulama telah meriwayatkan dari Abdullah bin Busr, dari ‘amati-nya, dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam. Pendapat lain mengatakan, dari kholati-nya, dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam. Ada pendapat lain lagi mengatakan, dari Abdullah, dari ayahnya, dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam..”
Aku (Syaikh Ali Hasan) berkata, “akan datang seluruh takhrijnya nanti. Dan sanad yang telah kupaparkan tadi dengan adanya rawi ‘Aisyah adalah dha’if, dikarenakan majhulnya Dawud bin Ubaidillah6. Tidak ada yang menerima riwayat darinya melainkan hanya al-Alla’. Tidak pula diketahui jarh wa ta’dil terhadapnya. Al-Mizzi menuliskan biografinya dalam Tahdzibul Kamal (VIII/916), dan Ibnu Hajar menerangkan kemajhulannya dalam at-Taqrib (no. 1999), demikian pula oleh Dzahabi dalam al-Mizan (II/107). Maka pendapat yang menyelisihi hal ini adalah tidak diterima.”
Kedua : Dari Abdullah bin Busr dari Ibunya
Tammam al-Hafizh meriwayatkannya dalam Fawa`id-nya (no. 653), ia berkata, “Mengabarkan kepada kami Ahmad bin Sulaiman bin Ayyub bin Hadzlam, menceritakan kepada kami Yazid bin Muhammad bin Abdush-Shamad, menceritakan kepada kami Abu Bakr Abdullah bin Yazid bin Muqri’, ia berkata : Aku mendengar Tsaur bin Yazid berkata, telah menceritakanku Khalid bin Ma’dan…”
Ibnu Abi Ashim juga meriwayatkannya di dalam al-Ahad wal Matsaaniy (3413) dari Isma`il bin Abdillah, dari Abdullah bin Yazid.
Syaikh kami, al-‘Allamah al-Albany berkata di dalam al-Irwa` (IV/119) : “Abdullah bin Yazid al-Muqri’ bersendirian di dalam hadits ini, namun dia orang yang tsiqoh. Tapi tersamar atasku karena kutemukan kunyahnya dalam tulisan tanganku dengan kunyah Abu Bakr, sedangkan Abdullah bin Yazid berkunyah dengan Abu Abdurrahman7. Dan ia termasuk gurunya Imam Ahmad.”
Syaikh Jasim bin Fuhaid telah menghimpun mutaabi’-nya dalam ar-Raudhul Bassam (II/198).
Aku (Syaikh Ali) berkomentar : “Rijal-rijal lainnya tsiqoh dan sanadnya hasan. Tetapi al-Muqri’ bersendirian menyebut ash-Shamma’. Adapun jalur Abdullah menyelisihi perawi tsiqot terdahulu yang menyebutkan mereka dan menghukumi riwayatnya syadz.”
Ketiga : Abdullah bin Busr dari ‘amati-nya
Diriwayatkan oleh Ibnu Khuzaimah (2164), Baihaqi (IV/302), Nasa`iy dalam al-Kubra (55/a/2) sebagaimana tercantum dalam at-Tuhfah (II/345), Thabrani dalam al-Kabir (24/324-325), Ibnu Mandah –sebagaimana tercantum dalam al-Ishabah (VIII/130), Ibnu Abi Ashim dalam al-Ahad wal Matsaaniy (3412), dari dua jalur dari Mu’awiyah bin Shalih, dari Ibnu Abdillah bin Busr, dari ayahnya, dari ‘amati-nya ash-Shamma’ saudari Busr…
Ibnu Khuzaimah berkata : “Tsaur bin Yazid menyelisihi Mu’awiyah bin Sholih dalam sanad ini. Tsaur berkata : ‘dari saudarinya’ dan yang dimaksudkan olehnya adalah saudari Abdullah bin Busr, tapi Mu’awiyah berkata : ‘dari ‘amati-nya ash-Shomma’ saudari Busr’, yaitu ‘amati ayahnya Abdullah bin Busr, bukan saudari ayahnya Abdullah bin Busr.”
Aku (Syaikh Ali) berkata, “Riwayat Tsaur disertai oleh Luqman bin ‘Amir sebagaimana yang telah lewat.”
Syaikh kami Albany berkata dalam al-Irwa` (IV/121) : “Telah terbetik sekilas dalam fikiranku tentang perkataan terhadap Abdullah bin Busr8, dari ‘amati-nya yaitu ‘amati-nya Abdullah bukan ‘amati-nya ayahnya (Busr, peny.). Jika mengandung arti yang berlawanan (sebaliknya), maka sebagaimana yang terbetik dalam diriku dan riwayat ini sebagai syaahid maka tidaklah mengapa. Namun jika bermakna lain maka tidaklah mempengaruhi kedhaifannya.”
Aku (Syaikh Ali) berkata, “Namun sanad dalam riwayat ini adalah ‘amati-nya Abdullah dan saudarinya Busr, sebagaimana telah warid penjelasan (tashrih) pada jalur Thabrani, Nasa`iy dan selainnya.”
Syaikh kami (Albani) berkata sebelum perkataannya di atas, “Akan tetapi aku tidak mengenal Ibnu Abdullah bin Busr ini!”, dan beliau mengomentari kembali ucapannya dalam footnotenya, “kemudian aku melihat ucapan Ibnu Khuzaimah terhadap hal ini tanpa lafazh ‘ibnu’, barangkali dia benar.”
Aku (Syaikh Ali) berkomentar : “Yang benar adalah tsabat-nya sebagaimana telah tetap di dalam sumber-sumber (referensi) tarikh yang telah disebutkan, dan perihal yang terdapat dalan Shahih Ibnu Khuzaimah adalah suatu kesalahan, entah kesalahan cetak ataupun naskah. Adapun Ibnu Abdullah bin Busr ini, maka al-Mizzi telah memaparkannya dalam Tahdzibul Kamal (III/q.1664) dalam bab ‘man nusiba ila abiihi’ (Orang-orang yang dinisbatkan kepada ayahnya) tanpa ada penilainan sedikitpun! Serupa pula dengan apa yang dilakukan oleh Ibnu Hajar dalam Tahdzibut Tahdzib (302/12), kemudian beliau menambahkan, “Di dalamnya mudhtarib (goncang) sekali!” Namun beliau menegaskannya dalam at-Taqrib (no. 8470) tingkatannya, perkataannya : “Tidak dikenal tidak pula disebut namanya”! Maka sanadnya dha’if.9”
Aku (Syaikh Ali) berkata : Nasa`iy (55/a/5) meriwayatkan dari Sa’id bin ‘Amru al-Himshi, dalam (sanad)-nya juga ada Baqiyah, dari Tsaur, dari Khalid bin Ma’dan, dari Abdullah bin Busr, dari ‘amati-nya ash-Shama’… Aku (Syaikh Ali) berkata : Riwayat ini munkar!!! Baqiyyah tidak menegaskan dengan tahdits dan dia adalah seorang mudallis. Juga riwayatnya menyelisihi riwayat yang lebih tsiqot yang perawinya meriwayatkan dari Tsaur dan selainnya dengan menyebutkan nama ash-Shamma’ saudarinya Abdullah. Adapun riwayatnya saja yang menyebutkan ash-Shomma’ sebagai ‘amati-nya Abdullah. Maka tidaklah dianggap riwayat syaahid ini dalam penyebutan ‘amati.
Keempat : Abdullah bin Busr dari kholati-nya ash-Shomma’
Diriwayatkan Nasa`iy dalam al-Kubra (55/a/5) sebagaimana tercantum dalam at-Tuhfah (11/345), Thabrani dalam al-Kabir (24/330), Ibnu Mandah –sebagaimana dalam al-Ishabah (VIII/130), dari jalur Muhammad bin Harb, dari az-Zubaidi, dari Fudhail (teks dalam at-Tuhfah disebut Mufadhl dan dalam al-Ishabah disebut Fadhl) bin Fudholah, dari Abdullah bin Busr, dari kholati-nya…
Aku (Syaikh Ali) berkomentar : “Isnadnya hasan namun haditsnya syaadz karena penyebutan ash-Shamma’ sebagai kholati-nya Abdullah, bertentangan dengan perawi yang lebih tsiqot yang menyatakan bahwa ash-Shamma’ adalah saudarinya Abdullah, akan datang penilaian terhadap Fudhail sebentar lagi insya Allah.”10
KETIGA : BUSR BIN ABI BUSR AL-MAAZINIY
Diriwayatkan oleh Nasa`iy dalam al-Kubra sebagaimana tercantum dalam Tuhfatul Asyraf (2/96) dan Abu Nu’aim al-Ashbahani dalam Ma’rifatu ash-Shahabah (no. 1199) dari jalan ‘Imran bin Bukkar, dari Abu Taqiy –beliau adalah Abdul Hamid bin Ibrahim, dari Abdullah bin Salim, dari az-Zubaidi, dari al-Fudhail bin Fadholah, dari Khalid bin Ma’dan dari Abdullah bin Busr dari ayahnya…
Nasa`iy berkata, “Abu Taqiy ini orangnya dha’if laysa bi syai’in (lemah tidak ada apa-apanya), diperselisihkan riwayatnya terhadap Abdullah bin Busr.”
Syaikh Ali Hasan berkata, “dalam tambahan di Tuhfatul Asyraaf : Ishaq bin Ibrahim bin Zibriq menyertai riwayatnya dari ‘Amru bin al-Harits dari Abdullah bin Salim.”
Aku telah mengetahui riwayat penyerta ini –segala pujian milik Allah-, yaitu :
Dikeluarkan oleh Thabrani dalam al-Kabir (1191) dan di dalam Musnad asy-Syaamiyyin (1875), ia berkata : menceritakan kepada kami ‘Amru bin Ishaq bin Ibrahim bin Zibriq al-Himshi, menceritakan kepadaku ayahku dan menceritakan kepada kami Yahya bin Utsman bin Shalih, menceritakan kepada kami Ishaq bin Ibrahim bin Zibriq al-Himshi, ia berkata : menceritakan kepada kami ‘Amru bin al-Harits dari Abdullah bin Salim, dari az-Zubaidi, menceritakan kepada kami al-Fudhail bin Fadhalah bahwasanya Khalid bin Ma’dan mengisahkan bahwa Abdullah bin Busr menceritakan bahwa dirinya mendengar ayahnya –Busr- berkata : Sesungguhnya Rasulullah melarang berpuasa pada hari Sabtu, beliau bersabda : “Jika kalian tidak menemukan sesuatupun kecuali hanya mengunyah ranting pohon maka janganlah kalian berpuasa pada hari itu.”
Abdullah bin Busr berkata : jika kalian meragukannya maka temuilah saudariku, ia berkata, maka Kholid bin Ma’dan berjalan menuju saudarinya dan bertanya kepadanya tentang perihat yang disebutkan Abdullah, maka ia menyebutkan (menjawab) hal yang sama.
Aku (Syaikh Ali) berkata : Isnad ini memperkuat riwayat, namun kedua riwayat ini memiliki kelemahan, adapun Fudhail bin Fadholah, ia ditsiqotkan oleh Ibnu Hibban (5/295) dan berkata : “Ahlu Syam meriwayatkan darinya”.
Al-Hafizh menyebutkan di dalam at-Tahdzib (8/298) riwayat sekumpulan ulama (jama’ah) darinya. Maka orang sepertinya hasan haditsnya.11
Syaikh Ali kembali berkata : “Dalam riwayat ini terdapat faidah yang besar, yaitu adanya penegasan (tashrih) bahwa Abdullah, ash-Shamma’ dan ayahnya Busr, semuanya telah meriwayatkan hadits ini dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam. Sebagai penguatnya adalah telah lalu penjelasannya dan perinciannya. Demikianlah, haditsnya adalah shahih dan segala puji hanya milik Allah. Sebagaimana dikatakan oleh syaikh kami di dalam al-Irwa’ (4/121), “diperhitungkan seluruhnya dari seluruh aspek riwayat yang beraneka ragam dan keseluruhannya adalah shahih”.
KEEMPAT : HADITS ABU UMAMAH
Padanya ada dua jalur :
Pertama : Thabrani meriwayatkan di dalam al-Mu’jamul Kabir (5722) ia berkata, bercerita kepada kami Abdullah bin Ahmad bin Hanbal, bercerita kepadaku al-Hukmu bin Musa, menceritakan kami Ismail bin Ayyasy dari Abdullah bin Dinar dari Abu Umamah dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam bersabda : “Janganlah kalian berpuasa pada hari Sabtu kecuali puasa wajib, jika kalian tak mendapatkan apapun kecuali ranting pohon maka berbukalah dengannya”.
Haitsami berkata di dalam Majma’uz Zawa`id (3/198) setelah menyandarkannya kepada Thabrani : “… Dari jalan Isma`il bin ‘Ayyasy dari penduduk Hijaz, dan dia termasuk lemah di kalangan mereka.”
Aku (Syaikh Ali) berkomentar : “Haitsami –rahimahullahu Ta’ala- telah menduga bahwa Ibnu Dinar tersebut adalah al-‘Adawi al-Madini, padahal bukan dia! Yang benar dia adalah Abdullah bin Dinar al-Burhaani al-Himshi, termasuk penduduk Syam, dan riwayat Isma`il darinya adalah shahih, namun dirinya –yaitu al-Burhani- masih diperbincangkan tentangnya, Ibnu Hibban dan Abu Ali al-Hafizh mentsiqohkannya. Berkata al-Juzjani tentangnya : yata`anna fiihi. Namun Daruquthni, Ibnu Ma’in dan Abu Zur’ah al-Azdi mendhaifkannya.”12
Aku mengatakan : Dalam sanadnya juga terdapat illat yang kedua, yaitu : terputusnya antara Ibnu Dinar dengan Abu Umamah.
Kedua : Ar-Ruyani berkata di dalam Musnad ash-Shahabah (juz 30/no. 225/a – manuskrip Zhahiriyah) : “Bercerita pada kami Salamah, bercerita pada kami Abu al-Mughiroh, bercerita pada kami Hassan bin Nuh, ia berkata : aku mendengar Abu Umamah berkata : Aku mendengar Rasulullah bersabda : … (sebagaimana redaksi sebelumnya)
Aku katakan : “Sanadnya hasan musalsal (bersambung) dengan tahdits (bercerita) dan sima’ (mendengar). Segala puji hanya milik Allah atas taufiq-Nya.”
Syaikh Ali menutup ucapannya : Inilah akhir dari riwayat yang aku teliti dari jalur-jalur hadits yang melarang berpuasa pada hari Sabtu. Orang yang meneliti dan memahaminya akan mengetahui pasti ketetapan (tsabat) hadits ini dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam dari riwayat empat orang sahabat. Maka jika anda telah mengetahuinya, maka batallah apa yang didakwakan oleh Yahya bin Ied dalam kitabnya al-Qoulu ats-Tsabt (hal. 18) yang berkata : “Abdullah bin Busr dan Abu Umamah bersendirian dalam riwayat pelarangan ini”. Ucapan ini sungguh aneh, karena tidaklah dua orang yang meriwayatkan hadits dikatakan ‘bersendirian’!!! (Selesai di sini penukilan dari zahru ar-Roudli tentang tafshil thuruqil hadits).
Penyusun menambahkan :
Berbeda dengan Syaikh Usamah Abdul Aziz, beliau hanya menguatkan jalur dari Tsaur bin Yazid dari Khalid bin Ma’dan dari Abdullah bin Busr dari saudarinya ash-Shamma’ dan melemahkan jalur selainnya. Beliau berkata : “Inilah pendapat yang dikuatkan oleh Daruquthni, dimana dalam al-Ilal (Juz V/II/86B) setelah membawakan semua jalur periwayatan hadits ini, ia mengatakan, ‘riwayat yang shahih adalah riwayat yang bersumber dari Ibnu Busr dari saudarinya (ash-Shamma’)’. Hadits ini sanadnya shahih dan semua perawinya tsiqot. Akan tetapi banyak ulama yang menilai hadits ini mengandung ‘illat meskipun dhahirnya shahih13. Inilah pendapat mereka :
1. Imam Malik. Abu Dawud mengatakan dalam as-Sunan (II/436), bahwa Malik berkata : “hadits ini dusta”.
2. Imam az-Zuhri. Abu Dawud (2423) dan al-Hakim (I/436) meriwayatkan melalui jalur Ibnu Wahab, bahwa ia berkata : “Aku mendengar bahwa al-Laits meriwayatkan dari Ibnu Syihab az-Zuhri bahwa jika disebutkan di sisinya hadits larangan berpuasa hari Sabtu, ia berkata : “Ini hadits orang Himsha”.” Ath-Thahawi berkata : “Az-Zuhri tidak menganggap hadits ini hadits yang bisa diriwayatkan dan dia menilai haditsnya lemah.”
3. Imam al-Auza’iy. Abu Dawud (2424) mengeluarkan, yang jalurnya dikeluarkan pula oleh al-Baihaqi dalam as-Sunan al-Kubra (IV/302-303) melalui jalan al-Walid bin Muslim dari al-Auza’iy bahwa ia berkata : “saya masih melihat haditsnya tersembunyi hingga akhirnya saya melihatnya tersiar, yakni hadits Abdullah bin Busr tentang berpuasa hari Sabtu.”
4. Yahya bin Sa`id al-Qaththan. Ibnul Qoyyim berkata dalam Mukhtashar as-Sunan (III/298), Abu Abdullah (Imam Ahmad) mengatakan, Yahya bin Sa`id menjauhi hadits ini dan ia tidak mau menceritakannya kepadaku. Ia mendengar hadits ini dari Tsaur yang mengatakan, “Saya mendengarnya dari Abu ‘Ashim”. Ibnul Qoyyim mengatakan, “Ungkapan ini sepertinya menganggap lemahnya hadits ini.”
5. Imam Ahmad. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah mengatakan dalam Iqtidha’ (II/574) bahwa al-Atsram mengatakan, “Aku mendengar Abu Abdillah (Imam Ahmad) pernah ditanya tentang berpuasa secara khusus hari Sabtu, lalu ia menjawab, “Adapun mengenai berpuasa secara khusus pada hari Sabtu terdapat dalam hadits ash-Shamma’, yakni yang diriwayatkan oleh Tsaur bin Yazid dari Khalid bin Ma’dan dari Abdullah bin Busr dari saudarinya ash-Shamma’ dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam, beliau bersabda, “Janganlah berpuasa pada hari Sabtu kecuali puasa yang diwajibkan atas kalian.”. Abu Abdillah mengatakan, “Yahya bin Sa`id menjauhi hadits ini dan enggan menceritakannya kepadaku. Ia mendengarnya dari Tsaur yang mengatakan, aku mendengarnya dari Abu ‘Ashim.” Al-Atsram berkata, “Dasar yang dipegang oleh Abu Abdillah dalam membolehkan berpuasa hari Sabtu adalah karena hadits-hadits yang ada, semuanya berbeda dengan hadits Abdullah bin Busr.” (Beliau menyebutkan hadits tentang berpuasa sepanjang masa, berpuasa pada bulan Sya’ban dan hari Jum’at setelahnya, hadits-hadits tentang mengiringi puasa Ramadhan dengan puasa enam hari di bulan Syawwal dan hadits tentang berpuasa pada hari-hari putih.). Selanjutnya Ibnu Taimiyah berkata, “Al-Atsram memahami dari ucapan Imam Ahmad bahwa ia ragu untuk menerima hadits Ibnu Busr dan Ahmad membolehkan berpuasa pada hari Sabtu tersebut, dimana ia menyebutkan hadits yang dijadikan dasar untuk memakruhkannya. Kemudian al-Atsram menuturkan bahwa Imam Ahmad mengatakan dalam Ilal al-Hadits, Yahya bin Sa`id menjauhi hadits ini dan ia enggan menceritakan padaku.’. Ini semua adalah bentuk penilaian terhadap kelemahan sebuah hadits.”
6. Abu Dawud. Setelah meriwayatkan hadits Ibnu Busr ia mengatakan, “Hadits ini mansukh” (Selanjutnya ia menyebutkan pendapat para ulama yang menilai hadits ini mengandung ‘illat)
7. An-Nasa`iy. Ibnu Hajar mengatakan dalam at-Talkhish (II/216) bahwa hadits ini mudhtarib.”
8. Al-Atsram. Pendapatnya telah dikemukakan sebelumnya.
9. Ath-Thahawi. Setelah menyebutkan hadits-hadits yang berbeda dengan hadits Ibnu Busr, beliau berkata dalam Syarh Ma’ani al-Atsar (II/80), “Riwayat-riwayat ini semuanya memperbolehkan puasa sunnah pada hari Sabtu dan hadits-hadits tersebut lebih masyhur dan lebih jelas dari hadits yang syadz ini (larangan puasa hari Sabtu).”
10. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah. Dalam al-Iqtidha’ (II/275) beliau berkata, “Hadits ini mungkin syadz, tidak shahih dan mungkin juga hukumnya dibatalkan.”
11. Ibnul Qoyyim. Dalam al-Mukhtashar as-Sunan (III/298) berkata, “Hal ini menunjukkan bahwa hadits ini tidak shahih dan syaadz.” (Selesai di sini ucapan Syaikh Usamah Abdul Aziz)
12. Berkata Imam Hakim dalam Mustadrak (I/345) : “Hadits ini memiliki kontradiktif dengan hadits lain yang bersanad shahih.” (Poin nomor 12 ini tidak disebutkan oleh Syaikh Usamah, namun disebutkan oleh Syaikh Ali Hasan dalam bab ar-Raddu ‘ala adillati mu`allif wa tarjiihu al-Qowl al-Mukhtar, peny.)
(Bersambung –insya Alloh-)
1 Para ulama mensyaratkan terhadap Mudallis Taswiyah agar haditsnya tegas dengan tahdits pada seluruh thobaqot sanadnya, yang dimulai dari syaikhnya hingga sahabat. Jika tidak demikian maka haditsnya ditolak.
2 Syaikh Usamah Abdul Aziz al-Mishri berkomentar dalam Shiyaamu at-Tathowwu’ Fadha`il wa Ahkaam : “Sanad hadits ini masih bisa diterima. Hanya saja dikhawatirkan adalah tadlis yang dilakukan oleh al-Walid bin Muslim, dimana pada sanad ini ia menggunakan redaksi ‘an’anah
3 Syaikh Usamah Abdul Aziz berbeda pendapat dengan Syaikh Ali, beliau berkata dalam kitabnya Shiyaamu at-Tathowwu’ Fadha`il wa Ahkaam: “Hassan bin Nuh adalah perawi majhul dan hanya Ibnu Hibban dan al-Ijli yang mentsiqotkannya. Jadi kekeliruan muncul darinya. Pandangan ini lebih baik daripada menilai waham terhadap perawi-perawi tsiqot yang meriwayatkan darinya. Wallahu a’lam”
4 Syaikh Ali berkata : Ibnu Mulaqqin menukil dari al-Hakim dalam Tuhfatul Muhtaj (I/114), ia berkata, “Shahih menurut syarat syaikhaini”. Penisbatan ini tidak benar!? Yang benar adalah apa yang disebut oleh al-Hakim.
5 Syaikh Usamah Abdul Aziz berkomentar : “Riwayat ini tidak lebih baik dari riwayat Dawud bin ‘Ubaidillah dan Fudhail bin Fadholah, karena Luqman bin ‘Amir dinilai oleh Abu Hatim sebagai perawi yang boleh ditulis haditsnya dan tidak ada kritikus hadits yang diakui yang menilainya tsiqot.”
Riwayat yang serupa ini banyak, hanya saja Baqiyah adalah seorang Mudallis dan dia melakukan ‘an’anah, maka yang menjadi patokan adalah sanad yang pertama.
6 Syaikh Usamah Abdul Aziz dalam Shiyaamu at-Tathowwu’ Fadha`il wa Ahkaam berkomentar : “Riwayat ini tidak shahih karena Dawud bin ‘Ubaidillah perawi yang majhul sebagaimana dikemukakan Ibnu Hajar.”
7 Aku (Syaikh Ali) berkata, “keduanya (yang diisyaratkan Imam Albany di atas, peny.) adalah orang yang berbeda. Abu Bakr ini telah ditulis biografinya oleh Abu Hatim dalam al-Jarh wat Ta’dil (V/202) dan menunjukkan riwayatnya dari Tsaur bin Yazid. Kemudian diriwayatkan dari Duhaim, bahwa ia memujinya dan mensifatinya dengan as-Sitru dan ash-Shidqu. Diriwayatkan pula dari ayahnya tentang penilaian ayahnya tersebut, ayahnya berkata, ‘syaikhun’.”
8 Aku (Syaikh Ali) berkomentar : “Perkataan Syaikh kurang tepat, kecuali jika kami boleh membenarkan ada kesalahan kalimat ‘ibnu’ dalam perkataan Syaikh, seharusnya yang tepat adalah, ‘Telah terbetik sekilas dalam fikiranku tentang perkataan terhadap (Ibnu) Abdullah bin Busr.”
9 Syaikh Usamah Abdul Aziz berkomentar : “riwayatnya (Ibnu Abdullah bin Busr) dikeluarkan oleh Nasa`iy dalam as-Sunan al-Kubra (2/n0. 2760), Ibnu Khuzaimah (2164), ath-Thabrani dalam Mu’jamul Kabir (24/no. 2760), al-Baihaqi dalam as-Sunan al-Kubra (4/302), Abu Nu’aim dalam Ma’rifatu ash-Shahabah (7725) melalui jalan Mu’awiyah bin Shalih dari Abdullah bin Busr dari bapaknya dari ‘amati-nya ash-Shamma’. Sanad ini sangat lemah karena Ibnu Abdullah bin Busr menurut Ibnu Hajar dalam at-Taqrib majhul dan namanya juga tidak diketahui.”
10 Syaikh Usamah Abdul Aziz dalam Shiyaamu at-Tathowwu’ berkata, “Riwayat para ahli hadits yang berasal dari Tsaur dengan menyebut saudarinya (Abdullah), itulah yang lebih utama untuk diterima.”
Beliau (Syaikh Usamah) kembali berkomentar : “Dari pemaparan di atas jelaslah bahwa riwayat yang kuat adalah riwayat yang bersumber dari Tsaur bin Yazid dari Khalid bin Ma’dan dari Abdullah bin Busr dari saudari perempuannya, ash-Shamma’. Karena Tsaur adalah perawi yang tsiqot dan ia hafal hadits yang bersumber dari Khalid bin Ma’dan. Walid bin Muslim berkata tentangnya, ‘Tsaur hafal hadits yang bersumber dari Khalid bin Ma’dan. Perawi-perawi yang riwayatnya berbeda dengannya tidak perlu dihiraukan karena mereka adalah perawi yang majhul atau dha’if. Wallahu a’lam’.”
11 Syaikh Usamah Abdul Aziz melemahkan riwayat ini dalam Shiyaamu at-Tathowwu’ sembari berkata : “Riwayat ini juga lemah karena majhul-nya Fudhail dan hanya Ibnu Hibban yang mentsiqotkannya sesuai dengan kaidah yang dipakainya, yakni menilai tsiqot perawi yang majhul. Sementara Ibnu Hajar dalam at-Taqrib menilainya maqbul (bisa diterima).”
12 Syaikh Usamah Abdul Aziz berkata : “Sanad ini tidak shahih dan kelemahan terdapat pada Abdullah bin Dinar al-Burhaani al-Himshi. Ibnu Ma’in berkata tentangnya : ‘penduduk Syam yang lemah’. Daruquthni berkata : ‘Dia perawi yang tidak diperhitungkan.’ Al-Azdi berkata : ‘Haditsnya tidak sama dengan hadits kebanyakan perawi dan mayoritas ulama melemahkannya kecuali penilaian ganjil dariAbu ‘Ali al-Hafizh yang mengatakan, dia menurut saya perawi yang tsiqot. Namun pendapat yang diambil adalah pendapat jumhur.”
13 Demikian pula pendapat Syaikh Abu Abdullah Mustofa bin al-Adawi –hafizhahullahu- dalam perkara ini, beliau berkata setelah meriwayatkan hadits-hadits yang berlawanan dengan hadits larangan berpuasa pada hari Sabtu –sebagaimana dinukil Syaikh Usamah Abdul Aziz dalam Shiyaamu at-Tathowwu’ (terj.) sebagai berikut :
Masing-masing hadits secara sendiri dari semua hadits yang telah kami kemukakan ini lebih shahih tentang berpuasa pada hari Sabtu. Maka tidak seyogyanya dan bagaimanapun tidak layak menolak hadits-hadits ini dengan mendahulukan hadits yang berbunyi : “Janganlah kalian berpuasa pada hari sabtu kecuali puasa yang diwajibkan atas kalian”. Kemudian bagiamanapun juga, pandangan ulama dalam masalah ini tidak dapat begitu saja diabaikan. Akan tetapi semua hadits-hadits yang ada harus dikumpulkan lalu dipilah mana diantara hadits-hadits tersebut yang lebih kuat. Demikian juga perlunya meninjau pandangan pada ulama baik dalam hal penilaian mereka terhadap derajat hadits maupun dalam hal pemahaman mereka terhadap hukum yang terkandung di dalamnya. Adapun dengan hanya melihat satu matan dan satu sanad saja dengan mengabaikan selainnya akan menimbulkan pemahaman yang ganjil. Jadi sangatlah aneh jika ada orang yang tidak berpuasa pada hari ‘Asyura’ sementara kaum muslimin semuanya berpuasa lantaran hari ‘Asyura` itu jatuh pada hari Sabtu dan menurut dugaannya berpuasa pada hari sabtu itu haram. Juga sangat aneh bila ada orang yang bukan sedang melakukan ibadah haji tidak berpuasa pada hari ‘Arafah sementara semua orang di sekelilingnya berpuasa. Bukankan orang seperti ini telah rugi tidak mendapatkan pahala karena kekurangfahamannya dan sikapnya mengabaikan semua hadits?? Bukankah sepatutnya ia mengumpulkan semua hadits dan melihat pandangan pada Salaf Shalih –rahimahumullahu- serta mengkompromikannya dengan cara yang dapat diterima. Sungguh benar, sesungguhnya itulah yang semestinya dilakukannya sebagaimana sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam : “Barangsiapa yang dikehendaki oleh Allah kebaikan maka Allah akan memberikan kefahaman agama kepadanya.”
[…] mengenai puasa hari sabtu:sumber: http://abusalma.net/?p=180 […]